Judul yang imperatif. Semacam “memerintah”, mengharuskan,
dan bersifat segera. Perihal penting untuk ditindak lanjuti. Kira-kira demikian,
kalau tulisan ini dianggap sebagai sebuah surat. Ya, sebuah surat kecil. Bingkisan
atau kado pada setapak jedah usia perjalanan kemerdekaan bangsa yang ke-72
tahun. Usia 72 tahun adalah sebuah rentang perjalanan waktu yang tidak singkat.
Jauh, dan tentunya melelahkan. Begitu banyak hasil pembangunan yang telah kita tuai
dan nikmati bersama sebagai anak bangsa. Itulah sehingga, di usia ini kita mensyukurinya
bahwa bangsa ini tetap tegak merdeka, sekalipun berbagai bencana menimpanya. Namun,
aneka evaluasi juga perlu dilakukan demi pencapaian yang lebih baik.
Judul di atas menggugah rasa kesadaran saya, juga sesama kita,
terutam apara elite penguasa di propinsi kepulauan ini, penguasa pendidikan di
NTT untuk ”segera” mengambil langkah dan jalan keluar strategis menyelamatkan
guru-guru NTT yang menurut data yang disampaikan Sekretaris Dinas PPO NTT
Aloysius Min, sebanyak 31,45% belum sarjana (PosKupang, 10 Agustus 2017). Tentu kita prihatin. Guru menjadi komponen
penting dalam pendidikan. Mutu pendidikan itu selalu dikaitkan dengan mutu
guru. Dan, salah satu strategi untuk menjaga mutu adalah dengan mensarjanakan para
guru. Walaupun kita seakan telah terlambat merespon regulasi pendidikan tentang
kualifikasi guru.
Pertanyaannya adalah mungkinkah masih ada kesempatan bagi
para guru yang belum memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma empat
untuk boleh melanjutkan pendidikannya pada pendidikan tinggi, secara khusus sebagaimana
yang dipersentasikan di atas? Dan, apakah mungkin setelah itu keluhan tentang
kualitas pendidikan di NTT yang selama ini menjadi keprihatinan semua pihak
dapat teratasi? Gagasan singkat ini lebih menyoroti pertanyaan pertama di atas.
Solusi Segera
Mendesak sehingga dibutuhkan solusi segera karena
persoalan keberhasilan pendidikan tentunya melibatkan berbagai komponen. Bagi
saya komponen yang juga mendesak yang perlu ditangani secara cepat adalah guru.
Guru menjadi titik mulai dan akhir pembelajaran di kelas. Anak-anak kita akan
mulai belajar di kelas kalau guru sudah masuk kelas. Sebaliknya, kelas akan
menjadi tidak aman kalau guru tidak berada di dalam kelas. Ini artinya,
keberhasilan belajar para siswa juga sangat ditentukan oleh guru sebagai sang
kreator kelas. Oleh karena itu, terlepas berbagai faktor dan komponen
keberhasilan pendidikan, komponen guru menjadi perhatian serius di tengah lajunya
dunia pendidikan dengan aneka pendekatan, paradigma, dan teknologi pembelajaran
yang bergerak cepat.
Pertama,secara
pribadi saya berterima kasih kepada Sekretaris Dinas Pendidikan NTT yang telah menyampaikan
ke media tentang kondisi guru-guru di NTT yang belum memiliki kualifikasi
akademik sarjana atau diploma empat. Bagi saya ini merupakan motivasi atau
lecutan energi baru kepada para guru yang masuk dalam kelompok ini untuk
mengambil langkah “menyekolahkan diri” tentu atas restu dinas. Sementara di
pihak lain, pemberitaan ini merupakan kritik kepada pemangku kepentingan di
masing-masing kabupaten/kota untuk mengambil langkah bijak dan segera demi
menjawab harapan agar semua guru di NTT pada tiga atau empat tahun mendatang
harus berijasah sarjana atau diploma empat. Dengan demikian, dinas pendidikan kabupaten/kota perlu melakukan pemutahiran data lengkap
agar jalan keluar yang ditempuh juga tepat, tentunya disertai dengan
pertimbangan-pertimbangan yang saling menguntungkan.
Kedua, Pemerintah
NTT, dalam hal ini Dinas Pendidikan NTT melalui Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
secepatnya menggandeng atau bekerja sama dengan LPTK di NTT untuk peningkatan
kualifikasi pendidikan dan kapasitas kompetensi para guru yang belum memiliki
kualifikasi akademik sarjana atau diploma empat sebagaimana diatur dalam Pasal 8
dan 9 UU No.14/2005. Pasal 8 berbunyi “Guru wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Sedangkan
Pasal 9 berbunyi “Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma
empat”.
Ini artinya, kita belum terlambat demi kemaslahatan dan kemajuan pendidikan kita. Secara
pribadi saya optimis bahwa LPTK di NTT sangat memadai dan memiliki rasa
tanggung jawab yang besar untuk pendidikan lanjut para guru yang belum memiliki
kualifikasi pendidikan akademik sarjana. Langkah ini tentunya diikuti dengan
kebijakan-kebijakan stretegik lainnya, seperti suntikan dana, kemudahan pemberian
izin belajar, mengingat NTT sebagai Propinsi Kepulauan dengan konsentrasi
penyelenggaraan pendidikan tinggi selama ini masih terpusat di kota.Di Flores
ada Universitas Flores Ende, Unipa Maumere, dan STKIP Ruteng, sedangkan di
Timor ada Undana, Unwira,Unimor, dan beberapa PTS yang lain.
Ketiga,
LPTK di NTT juga sedapat mungkin memberi dan membuka ruang akademik yang cukup
untuk kerja sama. Ini dilandasi oleh kesadaran, keterlibatan juga keberpihakan
yang sungguh terhadap peningkatan sumber daya manusia guru, menuju penguatan
kapasitas daya saing pendidikan dan pemerataan akses pendidikan sampai ke
pelosok daerah. Oleh sebab itu, para pemangku kepentingan LPTK di NTT untuk
berpikir dan diharapkan untuk bertindak dalam menangani puluhan ribu guru kita
yang belum memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma empat. Mekanisme
yang ditempuh tentu tetap berlandas pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Kita berharap agar tiga atau empat tahun yang akan datang
jumlah guru di atas telah berijazah sarjana atau diploma empat. Tentunya ini
sebuah solusi, sekaligus salah satu upaya untuk keluar dari pesimisme emosional
masyarakat bahwa mutu pendidikan kita selalu saja merosot. Terlepas faktor
lain, bagi saya setelah guru-guru kita berijazah sarjana, maka pendidikan,
terlebih proses pembelajaran di kelas akan memasuki tahapan baru menuju
pencapaian mutu yang kita idamkan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar