Di Aula Ben Mboi Kantor Gubernur NTT, Jalan Basuki Rahmat
N0. 1 Kupang, 17 Februari 2016, Gubernur NTT Drs. Frans Lebu Raya melantik
sembilan pasangan bupati dan wakil bupati di NTT, hasil pemilihan umum kepala
daerah langsung (Pilkada) serentak pada Desember 2015. Maraton pelantikan
kepala daerah ini diawali pelantikan tujuh gubernur dan wakil gubernur oleh
Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, 12 Februari 2016 lalu. Dalam
pelantikan tersebut Presiden Joko Widodo berharap agar pembangunan di daerah
harus berpedoman pada visi dan misi Presiden. Dengan cara demikian, kita bisa
membangun keterpaduan, keintegrasian, memperkuat sinergi dalam pencapaian
pembangunan nasional (Kompas, 13 Februari 2016).
Sembilan pasangan di NTT yang dilantik itu adalah Drs.
Gidion Mbilijora, M.Si., dan Umbu Lili Pekawuli,S.T., M.T. (Kabupaten Sumba
Timur dengan perolehan 65.120 suara atau 54.85%); Agustinus Ch. Dulla dan
drh. Maria Geong,Ph.D., (Kabupaten Manggarai Barat dengan perolehan 29.158 suara
atau 25.39%); Raymundus Sau Fernandez,S.Pt., dan Aloysius Kobes, S.Sos.
(Kabupaten TTU dengan perolehan 74.953 suara atau 79.74%); Drs. Agustinus Niga
Dapawole dan Marthen Ngailu Toni, S.P., (Kabupaten Sumba Barat dengan perolehan
15.006 suara atau 26.32%); Willybrodus Lay dan Drs.J.T. Ose Luan (Kabupaten
Belu dengan perolehan 40.907 atau 47.20%); Dr. Stefanus Bria Seran, MPH. dan
Drs. Daniel Asa (Kabupaten Malaka dengan perolehan 44.776 suara atau 52.60%);
Ir.Marthen Dira Tome dan Drs. Nikodemus N.Rihi Heke,M.Si. (Kabupaten Sabu
Raijua dengan perolehan 23.784 suara atau 59.13%); Marianus Sae, SAP., dan Drs.
Paulus Soliwoa (Kabupaten Ngada dengan perolehan 52.164 suara atau 68.05%); dan
Dr. Deno Kamelus, S.H., M.H. (Kabupaten Manggarai dengan perolehan 65.666 suara
atau 5064%).
Pasangan hasil tuaian demokrasi langsung dari rakyat.
Tanpa ragu-ragu rakyat di sembilan kabupaten mempercayai mereka. Memutuskan
berdasarkan hati nurani yang bulat nan ikhlas, tekat yang tunggal, disertai kebeningan
pikiran yang luhur untuk mencoblos pasangan-pasangan itu. Sebuah vonis juga
pilihan penuh makna. Berarti untuk untuk keberlangsungan pemerintahan dan
keberlanjutan pembangunan lima tahun ke depan. Rakyat tentu menaruh ekspektasi
yang besar agar pasangan-pasangan yang dilantik ini tetap terus “mesra”, tidak
saling mendahului karena vested interest tertentu.
Enam di antara sembilan pasangan bupati dan wakil bupati
yang dilantik adalah dari incumbent. Mereka tentu memiliki memori yang
dalam tentang eksistensi daerahnya. Tentang pertumbuhan, pembangunan dan
pemerataannya pada semua aspek pembangunan. Kita berharap agar memori
kewilayahaan tersebut tidak lekas redup bahkan dilupakan dengan kalkulasi
politik pragmatis. Mudah-mudahan, gerilya masuk keluar kampung tim sukses
pasangan bupati dan wakil bupati ketika musim kampanye lalu tetap melejit
semangat untuk terus bergerilya mengangkat derajat kemaslahatan rakyat.
Kesejahteraan rakyatlah menjadi basis pembangunan ke depan.
Peristiwa pelantikan, dari aspek legal yuridis menjadi
momentum legitimasi yang menerangkan bahwa orang yang dilantik telah dinyatakan
sah oleh sebuah lembaga yang berwenang. Pada sisi lain, hemat saya ada satu hal
kecil yang juga menjadi sangat penting untuk dicermati. Hal itu adalah bahasa
sumpah atau janji pelantikan yang diucapkan oleh para pasangan bupati dan wakil
bupati. Bahasa adalah pesan. Perantara tak terbantahkan atas seluruh
aspek dan peristiwa yang mengitari kehidupan
sosial manusia. Dalam konteks
pelantikan ini, bahasa sumpah mengemban amanat
agung yang positif. Sumpah
sebagaimana artinya berupa pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan
bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan
kebenaran dan kesungguhannya disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan
kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar
disertai dengan janji atau ikrar yang teguh akan menunaikan sesuatu (KBBI,2008:
1388).
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban
sebagai Bupati dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar 1945 dan menjalankan
segala undang-undang dan paraturannya selurus-lurusnya, serta berbakti kepada
Nusa dan Bangsa.”
Dalam konteks bahasa sumpah ini, hemat saya sekurang-kurangnya
ada lima jenis sumpah yang terendap di dalamnya, yakni pertama, sumpah kepada Tuhan. Ini sumpah religius. Sebuah
simbolisme sakral, Eliade (Ricoeur, 2003: 132) menekankan kemunculan ”Yang Sakral” (Suci)
sebagai kekuatan, energi, dan ketangguhan. Sumpah ini memberi energi “religius” tambahan
bagi bupati dan wakil bupati untuk berkarya.
Kedua, sumpah kepada diri sendiri mensyaratkan untuk patuh,
taat asas, dan mampu menyelaraskan keseimbangan untuk semua pihak melalui perilaku
bertutur, bertindak dalam kehidupan bersama di bermasyarakat. Tidak berarti
menjauhkan diri dari suasana kehidupan yang sesungguhnya. Ketiga, sumpah
kepada jabatan mensyaratkan agar bupati
dan wakil bupati yang dilantik bersedia dalam situasi apapun menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya, selurus-lurusnya, juga menjauhkan
diri dari “godaan-godaan” internal maupun eksternal yang tidak menguntungkan
dan merugikan rakyat banyak. Keempat, sumpah kepada norma atau aturan
mensyaratkan untuk tetap berpegang teguh dan berjalan pada koridor
undang-undang dan seluruh perangkat peraturan yang mengatur berbagai tatanan
dalam kehidupan bermasyarakat. Para bupati tidak terjebak dengan kehadiran
berbagai “tas”, prioritas dan fasilitas yang menggiurkan, dan lupa akan
keutuhan manusia, alam kosmos sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Kelima,
sumpah kepada nusa dan bangsa mensyaratkan bahwa para bupati dan wakil bupati
yang dilantik mesti menjaga keutuhan kabupatennya masing-masing yang adalah
bagian integral dari nusa dan bangsa Indonesia. Bagian dari tugas untuk tetap
menjaga tegaknya wilayah kesatuan NKRI.
Bahasa sumpah di atas adalah sebuah teks. Di balik teks
sumpah tersebut ada intensi, ujud, dan beraneka harapan. Ada “transaksi” pesan
untuk sebuah pengaturan kehidupan masyarakat secara komperhensif. Di sanalah
dibutuhkan interaksi dan kemauan bersama antara pemberi pesan dan penerima
pesan (yang disumpah) untuk memahami secara bersama-sama pesan-pesan tersebut.
Terutama langkah implementatif yang realistik faktual dari penerima pesan. Di sinilah bahasa tidak berdiri sendiri,
melainkan berada dalam suatu kerangka kohesi sosial yang “mempersatukan”,
sekaligus menjadi milik kolektivitas masyarakat. Dari itu, pesan mesti
ditanggapi secara aktif, kreatif, dan inovatif melalui berbagai rencana dan
pelaksanaan strategis dan prioritas oleh
penerima pesan karena darinya mencerminkan suatu kehidupan sosial, memantulkan
potret kondisi sosial kehidupan bermasyarakat, dan simbol kehadiran berbagai
entitas masyarakat yang dahaga akan perubahan. Begitulah, bahasa selalu
menyisahkan ruang yang memadai demi terjaninnya sebuah komunikasi. Ia selalu
mengaktivasi peran untuk menjaga kohesi sosial agar tetap utuh. Namun,
terkadang bahasa bisa berubah peran menjadi pedang penghunus. Bahasa juga bisa
menjadi alat pemaksaan, dan alat intimidasi dan penyiksaan. Artinya, bahasa menghadirkan makna lebih, atau makna “yang lain” dari
bentuk yang dituturkan.
Sebagaimana
kata Goenawan Muhamad, bahasa ibarat sebuah keris, terkadang dipakai sebagai
hiasan dalam upacara, tetapi pada dasarnya ia selalu mengandung kemungkinan
yang mencemaskan karena ia dianggap mudah membangkitkan hati yang panas,
perbantahan dan bahkan bentrokan, dan oleh sebab itu, lebih sering tak dihunus
dibiarkan dalam rangkanya yang diam. Karena itu, kata tak cukup buat berkata,
tulis sastrawan Toto Sudarto Bachtiar. Itu artinya, deretan kata-kata yang
komplit, sekaligus mesti memiliki badan dan roh. Jangan hanya memiliki badan,
namun tinggal jazadnya. Kita berharap agar peristiwa pelantikan bupati dan
wakil bupati yang termeterai dalam bahasa sumpah pelantikan tidak lain sedang
“menghukum” pasangan bupati dan wakil bupati untuk mencari kekuatan (kekuasaan)
kata-kata di dalam kata-kata. Dengan kata lain, saya hendak mengatakan bahwa bahasa
yang mewujud dalam deretan kata-kata sumpah telah memasang “perangkap” bagi
yang dilantik untuk mencari makna terdalam, dan bukan kesenangan, kecuali kesenangan yang
terendam dalam makna. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar