Halaman

Selasa, 14 November 2017

Bahasa Sumpah, Sebuah Simbol Sakral




Di Aula Ben Mboi Kantor Gubernur NTT, Jalan Basuki Rahmat N0. 1 Kupang, 17 Februari 2016, Gubernur NTT Drs. Frans Lebu Raya melantik sembilan pasangan bupati dan wakil bupati di NTT, hasil pemilihan umum kepala daerah langsung (Pilkada) serentak pada Desember 2015. Maraton pelantikan kepala daerah ini diawali pelantikan tujuh gubernur dan wakil gubernur oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, 12 Februari 2016 lalu. Dalam pelantikan tersebut Presiden Joko Widodo berharap agar pembangunan di daerah harus berpedoman pada visi dan misi Presiden. Dengan cara demikian, kita bisa membangun keterpaduan, keintegrasian, memperkuat sinergi dalam pencapaian pembangunan nasional (Kompas, 13 Februari 2016).
Sembilan pasangan di NTT yang dilantik itu adalah Drs. Gidion Mbilijora, M.Si., dan Umbu Lili Pekawuli,S.T., M.T. (Kabupaten Sumba Timur dengan perolehan 65.120 suara atau 54.85%); Agustinus Ch. Dulla dan drh. Maria Geong,Ph.D., (Kabupaten Manggarai Barat dengan perolehan 29.158 suara atau 25.39%); Raymundus Sau Fernandez,S.Pt., dan Aloysius Kobes, S.Sos. (Kabupaten TTU dengan perolehan 74.953 suara atau 79.74%); Drs. Agustinus Niga Dapawole dan Marthen Ngailu Toni, S.P., (Kabupaten Sumba Barat dengan perolehan 15.006 suara atau 26.32%); Willybrodus Lay dan Drs.J.T. Ose Luan (Kabupaten Belu dengan perolehan 40.907 atau 47.20%); Dr. Stefanus Bria Seran, MPH. dan Drs. Daniel Asa (Kabupaten Malaka dengan perolehan 44.776 suara atau 52.60%); Ir.Marthen Dira Tome dan Drs. Nikodemus N.Rihi Heke,M.Si. (Kabupaten Sabu Raijua dengan perolehan 23.784 suara atau 59.13%); Marianus Sae, SAP., dan Drs. Paulus Soliwoa (Kabupaten Ngada dengan perolehan 52.164 suara atau 68.05%); dan Dr. Deno Kamelus, S.H., M.H. (Kabupaten Manggarai dengan perolehan 65.666 suara atau 5064%).
Pasangan hasil tuaian demokrasi langsung dari rakyat. Tanpa ragu-ragu rakyat di sembilan kabupaten mempercayai mereka. Memutuskan berdasarkan hati nurani yang bulat nan ikhlas, tekat yang tunggal, disertai kebeningan pikiran yang luhur untuk mencoblos pasangan-pasangan itu. Sebuah vonis juga pilihan penuh makna. Berarti untuk untuk keberlangsungan pemerintahan dan keberlanjutan pembangunan lima tahun ke depan. Rakyat tentu menaruh ekspektasi yang besar agar pasangan-pasangan yang dilantik ini tetap terus “mesra”, tidak saling mendahului karena vested interest tertentu.
Enam di antara sembilan pasangan bupati dan wakil bupati yang dilantik adalah dari incumbent. Mereka tentu memiliki memori yang dalam tentang eksistensi daerahnya. Tentang pertumbuhan, pembangunan dan pemerataannya pada semua aspek pembangunan. Kita berharap agar memori kewilayahaan tersebut tidak lekas redup bahkan dilupakan dengan kalkulasi politik pragmatis. Mudah-mudahan, gerilya masuk keluar kampung tim sukses pasangan bupati dan wakil bupati ketika musim kampanye lalu tetap melejit semangat untuk terus bergerilya mengangkat derajat kemaslahatan rakyat. Kesejahteraan rakyatlah menjadi basis pembangunan ke depan.
Peristiwa pelantikan, dari aspek legal yuridis menjadi momentum legitimasi yang menerangkan bahwa orang yang dilantik telah dinyatakan sah oleh sebuah lembaga yang berwenang. Pada sisi lain, hemat saya ada satu hal kecil yang juga menjadi sangat penting untuk dicermati. Hal itu adalah bahasa sumpah atau janji pelantikan yang diucapkan oleh para pasangan bupati dan wakil bupati. Bahasa adalah pesan. Perantara tak terbantahkan atas seluruh aspek dan peristiwa yang mengitari kehidupan sosial manusia. Dalam konteks pelantikan ini, bahasa sumpah mengemban amanat  agung yang positif.  Sumpah sebagaimana artinya berupa pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar disertai dengan janji atau ikrar yang teguh akan menunaikan sesuatu (KBBI,2008: 1388).
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban sebagai Bupati dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar  1945 dan menjalankan segala undang-undang dan paraturannya selurus-lurusnya, serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Dalam konteks bahasa sumpah ini, hemat saya sekurang-kurangnya ada lima jenis sumpah yang terendap di dalamnya, yakni  pertama, sumpah kepada Tuhan. Ini sumpah religius. Sebuah simbolisme sakral, Eliade (Ricoeur, 2003: 132) menekankan kemunculan ”Yang Sakral” (Suci) sebagai kekuatan, energi, dan ketangguhan. Sumpah ini memberi energi “religius” tambahan bagi bupati dan wakil bupati untuk berkarya.
 Kedua, sumpah kepada diri sendiri mensyaratkan untuk patuh, taat asas, dan mampu menyelaraskan keseimbangan untuk semua pihak melalui perilaku bertutur, bertindak dalam kehidupan bersama di bermasyarakat. Tidak berarti menjauhkan diri dari suasana kehidupan yang sesungguhnya. Ketiga, sumpah kepada jabatan mensyaratkan  agar bupati dan wakil bupati yang dilantik bersedia dalam situasi apapun menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya, selurus-lurusnya, juga menjauhkan diri dari “godaan-godaan” internal maupun eksternal yang tidak menguntungkan dan merugikan rakyat banyak. Keempat, sumpah kepada norma atau aturan mensyaratkan untuk tetap berpegang teguh dan berjalan pada koridor undang-undang dan seluruh perangkat peraturan yang mengatur berbagai tatanan dalam kehidupan bermasyarakat. Para bupati tidak terjebak dengan kehadiran berbagai “tas”, prioritas dan fasilitas yang menggiurkan, dan lupa akan keutuhan manusia, alam kosmos sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Kelima, sumpah kepada nusa dan bangsa mensyaratkan bahwa para bupati dan wakil bupati yang dilantik mesti menjaga keutuhan kabupatennya masing-masing yang adalah bagian integral dari nusa dan bangsa Indonesia. Bagian dari tugas untuk tetap menjaga tegaknya wilayah kesatuan NKRI.
Bahasa sumpah di atas adalah sebuah teks. Di balik teks sumpah tersebut ada intensi, ujud, dan beraneka harapan. Ada “transaksi” pesan untuk sebuah pengaturan kehidupan masyarakat secara komperhensif. Di sanalah dibutuhkan interaksi dan kemauan bersama antara pemberi pesan dan penerima pesan (yang disumpah) untuk memahami secara bersama-sama pesan-pesan tersebut. Terutama langkah implementatif yang realistik faktual dari penerima pesan.  Di sinilah bahasa tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam suatu kerangka kohesi sosial yang “mempersatukan”, sekaligus menjadi milik kolektivitas masyarakat. Dari itu, pesan mesti ditanggapi secara aktif, kreatif, dan inovatif melalui berbagai rencana dan pelaksanaan strategis dan prioritas  oleh penerima pesan karena darinya mencerminkan suatu kehidupan sosial, memantulkan potret kondisi sosial kehidupan bermasyarakat, dan simbol kehadiran berbagai entitas masyarakat yang dahaga akan perubahan. Begitulah, bahasa selalu menyisahkan ruang yang memadai demi terjaninnya sebuah komunikasi. Ia selalu mengaktivasi peran untuk menjaga kohesi sosial agar tetap utuh. Namun, terkadang bahasa bisa berubah peran menjadi pedang penghunus. Bahasa juga bisa menjadi alat pemaksaan, dan alat intimidasi dan penyiksaan. Artinya, bahasa menghadirkan  makna lebih, atau makna “yang lain” dari bentuk yang dituturkan.
Sebagaimana kata Goenawan Muhamad, bahasa ibarat sebuah keris, terkadang dipakai sebagai hiasan dalam upacara, tetapi pada dasarnya ia selalu mengandung kemungkinan yang mencemaskan karena ia dianggap mudah membangkitkan hati yang panas, perbantahan dan bahkan bentrokan, dan oleh sebab itu, lebih sering tak dihunus dibiarkan dalam rangkanya yang diam. Karena itu, kata tak cukup buat berkata, tulis sastrawan Toto Sudarto Bachtiar. Itu artinya, deretan kata-kata yang komplit, sekaligus mesti memiliki badan dan roh. Jangan hanya memiliki badan, namun tinggal jazadnya. Kita berharap agar peristiwa pelantikan bupati dan wakil bupati yang termeterai dalam bahasa sumpah pelantikan tidak lain sedang “menghukum” pasangan bupati dan wakil bupati untuk mencari kekuatan (kekuasaan) kata-kata di dalam kata-kata. Dengan kata lain, saya hendak mengatakan bahwa bahasa yang mewujud dalam deretan kata-kata sumpah telah memasang “perangkap” bagi yang dilantik untuk mencari makna terdalam, dan bukan kesenangan, kecuali kesenangan yang terendam dalam makna. (*)






[1] Artikel ini dimuat dalam HU Flores Pos, 26 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar