Halaman

Rabu, 08 November 2017

Korupsi Pendidikan



              

Korupsi telah menjadi sebuah kata yang paling ramai dibicarakan akhir-akhir ini kendati hajatan besar bangsa, semisal kasak-kusuk blusukan figur partai politik membangun koalisi besar menjelang pemilihan presiden sudah di depan mata.  Selain karena korupsi merupakan perbuatan mengambil hak orang banyak untuk memperkaya diri, juga karena korupsi sangat bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Anehnya, kata ini tidak sekadar kata, namun menjadi praktik nyata dan sungguh merasuki, bahkan begitu cepat menjamah hampir setiap bidang kehidupan, baik itu ekonomi, politik, sosial, pendidikan, juga bidang agama yang mengajarkan orang untuk hanya berbuat baik. Faktanya tentu kita semua tahu. Di mana-mana. Kapan saja kalau ada peluang untuk melakukan perbuatan ini, tanpa tedeng aling-aling orang akan melakukannya demi memenuhi hasrat atau libido egoismenya. Baudrillad menyebutnya sebagai libido ekonomi atau libidonomics (Saryono, 2005). Dalam bidang pendidikan, bidang pengeram, penghela, dan pencetak sumber daya manusia negeri inipun tidak tanggung-tanggung. Korupsi sangat merajalela. Bahkan, meenurut ICW korupsi dalam bidang pendidikan untuk satu dasawarsa terakhir mencapai 619 Milyar. Paling banyak adalah korupsi pada dana DAK, mulai dari perencanaan sampai rehabilitasi pembangunan sekolah (Flores Pos, 14 Oktober 2014). Pertanyaan kita, bagaimana dengan propinisi ini?

Bentuk Korupsi

Kalau kita simak pemberitaan media massa cetak di NTT, maka korupsi pendidikan di Propinsi Kepulauan ini termanifestasi dalam beberapa bentuk. Pertama, korupsi dalam bentuk pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, juga fasilitas belajar lainnya. Sebagai contoh, kasus pengadaan buku bagi seluruh SMP di Kota Kupang oleh di Dinas PPO Kota Kupang tahun anggaran 2010 senilai 2,6 miliyar. Banyak buku yang tidak sesuai kontrak yang diterima sekolah, bahkan sampai jumlahnya pun kurang (PK, 29 Juni 2013). Kasus serupa ini juga pernah terkuak di Kabupaten Lembata. Dugaannya sama tentang pembelian buku yang tidak sesuai dengan harga buku sebenarnya. Di mana-mana, rakyat mengetahui bahwa menjadi pemimpin publik berarti menjadi pejabat administratif dan pejabat politik. Pejabat administratif berarti menjalankan administrasi pemerintahan secara baik, sedangkan pejabat politik, artinya memperjuangkan kesejahteraan hidup masyarakat sehari-hari secara baik dan benar. Dalam banyak hal, perlu kita akui bahwa Das Sein, apa yang terjadi, apa yang ada dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara menyangkut kemaslahatan masyarakat banyak, seperti kehidupan sosial, budaya, politik, hukum, ekonomi, bahkan demokrasi menyimpang dari Das Sollen, apa yang seharusnya terjadi, apa yang diharapkan oleh bangsa ini menurut hati nurani, sebagaimana teramanat dalam Pancasila dan UUD 1945.
Betapa pembangunan sumber daya manusia kita sedang dikebiri. Dibonsai oleh birokrasi yang ditugaskan untuk melayani masyarakat. Apalagi kasus buku. Sebuah kejahatan yang para pelakunya tidak harus ditolerir karena telah dengan tahu dan mau membuat anak-anak sekolah kehilangan sumber belajar. Buku sebagai bahan bacaan yang kata orang sebagai wadah sekaligus jendela untuk melihat keluar dunia nan luas dengan beraneka isi dan kehidupannya telah diterabas oleh kepentingan pribadi, ingat diri. Dan, jaringan mafia koruptor ada di dalamnya. Memprihatinkan.
Kedua, korupsi pendidikan dalam bentuk pembayaran uang-uang yang menjadi hak para guru. Harian-harian di NTT pada setiap edisinya pasti saja memberitakan keluhan para guru tentang ini. Paling anyar adalah TPDI melaporkan sebagian bupati di NTT akibat ketidaktuntasan pembayaran dana sertifikasi guru. Bayangkan, betapa masifnya korupsi di lingkungan birokrat pendidikan kita. Bagaimana kita bicara soal peningkatan mutu pendidikan kalau apa yang menjadi hak guru masih saja dianggap sepele. Bagaimana mungkin guru dapat bekerja maksimal apabila perhatian kepada mereka masih setengah hati? Ini menunjukkan kealpaan pemerintah, Cq Dinas PPO masing-masing kabupaten untuk mengurus pelaku pendidikan ini. Guru yang menjadi tulang punggung keberhasilan pendidikan sering diabaikan. Pengabaian itu terasa semakin kentara dalam balutan semboyan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Tanggung jawab yang diberikan guru dianggap sebagai pengabdian toh. Bagi saya, inilah ungkapan eufemistis yang tak lagi relevan ketika tugas dan beban kerja guru semakin banyak. Karena gara-gara semboyan ini pula, guru semakin diabaikan, termasuk pemenuhan hak-haknya. Segala sesuatu yang dilakukan oleh guru, termasuk mendidik anak bangsa dianggap sebagai pengabdian semata. Karena pengabdian itulah segala urusan tetek bengek bahkan hak dan kewajiban guru yang perlu diperhatikan dan disikapi secara cepat menjadi yang terakhir dari urusan-urusan lain. Apalagi kalau bidang pendidikan ini telah disusupi oleh kepentingan-kepentingan politik. Ada politisasi pendidikan. Dan ini bukan rahasia, malahan telah menjadi buah bibir masyarakat umum di negeri nan elok permai ini.
Ketiga, korupsi fisik pembangunan pendidikan melalui proyek-proyek miliyaran rupiah. Ada banyak contoh yang memprihatinkan. Misalnya, di Sikka, bangunan SMKN 2 Maumere seharga 7 miliyar yang dibangun sejak 2012 terlantar dan belum digunakan. Bahkan, ruangannya berlumpur, temboknya pecah, dan kacanya tidak terawat (PK, 20/11/2013). Kasus lain lagi, dari Sumba Timur dilaporkan terjadi korupsi proyek Unit Sekolah Baru (USB) SMP Negeri 2 Kecamatan Nggaha Ori Angu, senilai 1.5 Miliyar tahun anggaran 2008/2009.
Apakah ini petanda telah terjadi konspirasi penguasa dan pengusaha untuk sama-sama hidup dari proyek-proyek yang ada? Atau mungkin, lenturnya regulasi pendidikan yang membolehkan pihak-pihak terkait untuk main-main dengan uang rakyat? Berbagai kemungkinan penyebab kegagalan pembangunan infrastruktur tersebut, namun yang pasti bahwa kita turut prihatin atas sikap dan perilaku yang mengais untung berlebih dari kondisi-kondisi seperti ini.

Korupsi dekat dengan Kekuasaan

Berangkat dari pengungkapan fakta empirik terjadinya korupsi dalam bidang pendidikan di atas secara gamblang menguak dengan tegas–benderang  bahwa korupsi sangat dekat dengan kekuasaan. Kekuasaan telah melekat kuat pada orang bahkan kelompok-kelompok yang diberi kuasa. Kekuasaan tersebut digunakan tanpa kendali, termasuk mark-up dana-dana untuk kesejahteraan rakyat, demi kepentingan pribadi, termasuk pembangunan pendidikan di dalamnya. Parahnya, kekuasaan tersebut digiring masuk ke ranah privat melibatkan anggota keluarga (suami, istri, juga anak). Dengan demikian, penataan birokrasi yang menjadi misi reformasi perlu sekali lagi mendapat prioritas dan berjalan terus tanpa henti oleh pemimpin-pemimpin di daerah ini. Salah satu di antaranya adalah menempatkan orang “jauh” dari kepentingan sesaat, namun tetap memperhatikan syarat-syarat kepangkatan. Tentu niat kita adalah memotong mata rantai korupsi yang disinyalir sangat dekat dengan kekuasaan di atas. (*)


Opini ini dimuat pada HU Pos Kupang, 16 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar