Korupsi telah menjadi sebuah kata yang paling ramai
dibicarakan akhir-akhir ini kendati hajatan besar bangsa, semisal kasak-kusuk blusukan
figur partai politik membangun koalisi besar menjelang pemilihan presiden sudah
di depan mata. Selain karena korupsi
merupakan perbuatan mengambil hak orang banyak untuk memperkaya diri, juga
karena korupsi sangat bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Anehnya, kata ini tidak sekadar kata, namun menjadi praktik
nyata dan sungguh merasuki, bahkan begitu cepat menjamah hampir setiap bidang
kehidupan, baik itu ekonomi, politik, sosial, pendidikan, juga bidang agama
yang mengajarkan orang untuk hanya berbuat baik. Faktanya tentu kita semua
tahu. Di mana-mana. Kapan saja kalau ada peluang untuk melakukan perbuatan ini,
tanpa tedeng aling-aling orang akan melakukannya demi memenuhi hasrat
atau libido egoismenya. Baudrillad menyebutnya sebagai libido ekonomi atau libidonomics
(Saryono, 2005). Dalam bidang pendidikan, bidang pengeram, penghela, dan
pencetak sumber daya manusia negeri inipun tidak tanggung-tanggung. Korupsi
sangat merajalela. Bahkan, meenurut ICW korupsi dalam bidang pendidikan untuk
satu dasawarsa terakhir mencapai 619 Milyar. Paling banyak adalah korupsi pada
dana DAK, mulai dari perencanaan sampai rehabilitasi pembangunan sekolah (Flores
Pos, 14 Oktober 2014). Pertanyaan kita, bagaimana dengan propinisi ini?
Bentuk Korupsi
Kalau kita simak pemberitaan media massa cetak di NTT,
maka korupsi pendidikan di Propinsi Kepulauan ini termanifestasi dalam beberapa
bentuk. Pertama, korupsi dalam bentuk pengadaan sarana dan prasarana
pendidikan, juga fasilitas belajar lainnya. Sebagai contoh, kasus pengadaan
buku bagi seluruh SMP di Kota Kupang oleh di Dinas PPO Kota Kupang tahun
anggaran 2010 senilai 2,6 miliyar. Banyak buku yang tidak sesuai kontrak yang diterima
sekolah, bahkan sampai jumlahnya pun kurang (PK, 29 Juni 2013). Kasus serupa
ini juga pernah terkuak di Kabupaten Lembata. Dugaannya sama tentang pembelian
buku yang tidak sesuai dengan harga buku sebenarnya. Di mana-mana, rakyat
mengetahui bahwa menjadi pemimpin publik berarti menjadi pejabat administratif
dan pejabat politik. Pejabat administratif berarti menjalankan administrasi
pemerintahan secara baik, sedangkan pejabat politik, artinya memperjuangkan
kesejahteraan hidup masyarakat sehari-hari secara baik dan benar. Dalam banyak
hal, perlu kita akui bahwa Das Sein, apa yang terjadi, apa yang ada
dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara menyangkut kemaslahatan
masyarakat banyak, seperti kehidupan sosial, budaya, politik, hukum, ekonomi,
bahkan demokrasi menyimpang dari Das Sollen, apa yang seharusnya
terjadi, apa yang diharapkan oleh bangsa ini menurut hati nurani, sebagaimana
teramanat dalam Pancasila dan UUD 1945.
Betapa pembangunan sumber daya manusia kita sedang
dikebiri. Dibonsai oleh birokrasi yang ditugaskan untuk melayani masyarakat.
Apalagi kasus buku. Sebuah kejahatan yang para pelakunya tidak harus ditolerir
karena telah dengan tahu dan mau membuat anak-anak sekolah kehilangan sumber
belajar. Buku sebagai bahan bacaan yang kata orang sebagai wadah sekaligus
jendela untuk melihat keluar dunia nan luas dengan beraneka isi dan
kehidupannya telah diterabas oleh kepentingan pribadi, ingat diri. Dan,
jaringan mafia koruptor ada di dalamnya. Memprihatinkan.
Kedua, korupsi
pendidikan dalam bentuk pembayaran uang-uang yang menjadi hak para guru. Harian-harian
di NTT pada setiap edisinya pasti saja memberitakan keluhan para guru tentang
ini. Paling anyar adalah TPDI melaporkan sebagian bupati di NTT akibat
ketidaktuntasan pembayaran dana sertifikasi guru. Bayangkan, betapa masifnya
korupsi di lingkungan birokrat pendidikan kita. Bagaimana kita bicara soal
peningkatan mutu pendidikan kalau apa yang menjadi hak guru masih saja dianggap
sepele. Bagaimana mungkin guru dapat bekerja maksimal apabila perhatian kepada
mereka masih setengah hati? Ini menunjukkan kealpaan pemerintah, Cq Dinas PPO
masing-masing kabupaten untuk mengurus pelaku pendidikan ini. Guru yang menjadi
tulang punggung keberhasilan pendidikan sering diabaikan. Pengabaian itu terasa
semakin kentara dalam balutan semboyan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Tanggung
jawab yang diberikan guru dianggap sebagai pengabdian toh. Bagi saya,
inilah ungkapan eufemistis yang tak lagi relevan ketika tugas dan beban kerja
guru semakin banyak. Karena gara-gara semboyan ini pula, guru semakin diabaikan,
termasuk pemenuhan hak-haknya. Segala sesuatu yang dilakukan oleh guru,
termasuk mendidik anak bangsa dianggap sebagai pengabdian semata. Karena
pengabdian itulah segala urusan tetek bengek bahkan hak dan kewajiban guru yang
perlu diperhatikan dan disikapi secara cepat menjadi yang terakhir dari urusan-urusan
lain. Apalagi kalau bidang pendidikan ini telah disusupi oleh
kepentingan-kepentingan politik. Ada politisasi pendidikan. Dan ini bukan
rahasia, malahan telah menjadi buah bibir masyarakat umum di negeri nan elok
permai ini.
Ketiga,
korupsi fisik pembangunan pendidikan melalui proyek-proyek miliyaran rupiah.
Ada banyak contoh yang memprihatinkan. Misalnya, di Sikka, bangunan SMKN 2
Maumere seharga 7 miliyar yang dibangun sejak 2012 terlantar dan belum
digunakan. Bahkan, ruangannya berlumpur, temboknya pecah, dan kacanya tidak
terawat (PK, 20/11/2013). Kasus lain lagi, dari Sumba Timur dilaporkan
terjadi korupsi proyek Unit Sekolah Baru (USB) SMP Negeri 2 Kecamatan Nggaha
Ori Angu, senilai 1.5 Miliyar tahun anggaran 2008/2009.
Apakah ini petanda telah terjadi konspirasi penguasa dan
pengusaha untuk sama-sama hidup dari proyek-proyek yang ada? Atau mungkin,
lenturnya regulasi pendidikan yang membolehkan pihak-pihak terkait untuk
main-main dengan uang rakyat? Berbagai kemungkinan penyebab kegagalan
pembangunan infrastruktur tersebut, namun yang pasti bahwa kita turut prihatin
atas sikap dan perilaku yang mengais untung berlebih dari kondisi-kondisi
seperti ini.
Korupsi dekat dengan Kekuasaan
Berangkat dari pengungkapan fakta empirik terjadinya
korupsi dalam bidang pendidikan di atas secara gamblang menguak dengan tegas–benderang
bahwa korupsi sangat dekat dengan
kekuasaan. Kekuasaan telah melekat kuat pada orang bahkan kelompok-kelompok
yang diberi kuasa. Kekuasaan tersebut digunakan tanpa kendali, termasuk mark-up
dana-dana untuk kesejahteraan rakyat, demi kepentingan pribadi, termasuk pembangunan
pendidikan di dalamnya. Parahnya, kekuasaan tersebut digiring masuk ke ranah
privat melibatkan anggota keluarga (suami, istri, juga anak). Dengan demikian,
penataan birokrasi yang menjadi misi reformasi perlu sekali lagi mendapat
prioritas dan berjalan terus tanpa henti oleh pemimpin-pemimpin di daerah ini.
Salah satu di antaranya adalah menempatkan orang “jauh” dari kepentingan
sesaat, namun tetap memperhatikan syarat-syarat kepangkatan. Tentu niat kita
adalah memotong mata rantai korupsi yang disinyalir sangat dekat dengan
kekuasaan di atas. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar