Halaman

Senin, 06 November 2017

Wakil Rakyat dan Egoisme Kepentingan





Ritus politik lima tahun sekali itu sudah setahun berlalu dari kehidupan keseharian kita. Pagelaran rakyat di bawah judul pemilihan umum dalam sapaan khas rakyat yang lugas, pendek dari akrab di telinga, pemilu telah menghasilkan wakil-wakil rakyat di perlemen. Dari DPR pusat sampai DPRD kabupaten/kota. Latar belakang wakil rakyat kita ini pun bervariasi. Ada penyanyi dangdut, ada pensiunan PNS, ada dosen, ada kontraktor, ada tukang kotbah agama, ada artis, pedagang, dan masih banyak profesi lainnya. Mereka ini dianggap orang-orang terhormat yang telah menjadi wakil rakyat dalam Pemilu 2004 yang dianggap paling demokratis dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Elite Politik

Menjejaki kembali tahapan pemilihan umum yang sudah dilewati, tanpa disadari bahwa kita (baca: rakyat biasa) telah dijadikan alat bagi kepentingan elite politik (penguasa). Kita ingat waktu kampanye. Keterlibatan kita ketika kempanye dan dalam pemilu itu sendiri hanyalah demi memperkuat sebuah status quo atau kemapanan penguasa. Dengan lain perkataan, kita telah digiring ke dalam sebuah objek zaman orang-orang yang menamakan diri sebagai wakil rakyat, dengan upaya untuk memperoleh suara terbanyak dalam memuluskan langkah mereka melenggang ke gedung rakyat.
Indikatornya cukup jelas. Hampir tidak ada kebenaran antara apa yang dikampanyekan dari realitas yang ada sekarang. Kitapun boleh mengkredokan kembali ucapan Aristoteles, si tukang batu dari negeri dewa-dewi itu, mereka yang berpikir benar dan mampu mengungkapkannya secara benar pula, belum tentu dengan sendirinya akan bertindak benar. Itulah kenyataan. Antara apa yang diucapkan dalam retorika kampanye dan apa yang nyata sekarang memanglah tidak sejalan.
Tentu juga masih segar dalam benak kita. Suara-suara lantang menggema, memekikkan telinga, diikuti ugal-ugalan simpatisan partai, para juru kampanye yang nota bene adalah elite politik meneriakkan perubahan struktur masyarakat (sistem) ke arah yang lebih baik. Tuntutan akan perbaikan dan pembenahan pemerintahan yang bersih bebas dari segala bentuk korupsi, kolusi, nepotisme dan persekongkolan, pengangkatan mutu pendidikan dan kesehatan, serta penyalahgunaan kekuasaan menjadi isu sentral dan menggairahkan. Di samping tuntutan akan penghormatan, penghargaan atas HAM, kebebasan pers dan mengeluarkan pendapat, demokratisasi dan penghapusan monopoli di segala aspek kehidupan  demi kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan golongan hanya janji-janji manis dan permainan di siang bolong yang tidak pasti kenyataannya.
Masih saja kita saksikan berlangsungnya demokarsi mahasiswa yang tidak lain menuntut keadilan, kendatipun kadang mereka harus berhadapan dengan situasi represif pihak keamanan karena dianggap mengganggu stabilitas keamanan. Masih terdengarnya ratap jerit kaum kawula (wong cilik) yang tak tega menyaksikan tanah dan rumahnya digusur demi sebuah pembangunan. Untuk apa sebuah pembangunan itu kalau dipaksakan. Juga harapan sekian banyak pekerja (buruh) pasal upah mereka tidak dibayar sesuai dengan upah mininium regional (UMR). Pada sisi pandang lain, masih ada jerit tangis para pencari keadilan yang sering didera ketidakadilan para penegak hukum. Dalam derap langkah hukum kita yang cenderung “gemulai”, awasan Mansur Samin, sastrawan kelahiran Batangtoru, Sumatera Utara, dalam Pidato Seorang Demonstran telah menjadi nyata. Pada tataran tersebut, sastra justru lahir untuk mengungkap realitas kehidupan yang dianggap tidak sejalan dengan situasi zaman. Sastra menjadi penting ketika mempunyai kecenderungan untuk mengangkat harkat dari martabat manusia dalam gejala yang selalu berubah. Sastra merupakan istrumen penting kontrol sosial. Dan di sini, teriakan kritis seorang demonstran ala Samin puluhan tahun lalu itu masih sangat nelevan dan aktual untuk kita sekarang. Dalam konteks bahwa penerapan hukum di Indonesia, bahkan konteks-konteks lokal pun masih berjalan di tempat. Dalih klasik dari mubazir, masih dalam pulbaket (pengumpulan bahan dan keterangan) dan barang bukti, menjadi senjata paten menyembunyikan penanganan kasus-kasus  di sekitar kita. Apalagi kasus yang menimpa pejabat-pejabat negara. Ya, tentunya menunggu izin presiden yang kadang terkatung-katung hingga bentahun-tahun. 
Samin mengekspresikannya ‘mereka telah menembak teman kita, ketika mendobrak, sekarang jelas bagi saudara, sampai mana kebenaran hukum di Indonesia”. Sebuah tanda tanya besar. Realitas keseharian kita akan aktualisasi hukum Indonesia yang sarat dengan pasal dan ayat, betapa tidak optimal diterapkan. Nyaris ini sudah diterjemahkan, ketika lembaga penegak hukum pun berinterprestasi berbeda atas pasal dan ayat yang sama. Sekali lagi suram, bahkan menjadi semakin kelam. Lalu, di mana wakil rakyat kita?
Di Flores Timur, misalnya ada aksi mogok pegawai kontrak di RSUD Larantuka karena ada dugaan korupsi dana KLB yang dilakukan kepala RSUD Larantuka dr. Dasliyati Paluan (FP 6/4/2005). Lain lagi di Ende. Janji penegakan itu cuma omong kosong doang hingga masa MPK (gabungan 7 unsur masyarakat) mempertanyaakan penegakkan kasus-kasus, seperti kupon putih, kayu ilegal dan CPNSD 2003 (FP, 8/4/2005). Dan lebih parah lagi, ketika hebonya pendobelan penggunaan SPPD dalam satu kali perjalanan, yang dipraktikkan oleh wakil rakyat di Kabupaten Tiwu Telu ini. Sampai di sini sebuah fenomena paradoksal justru dipraktikkan oleh figur-figur pilihan Pemilu 2004. Dengan praktik demikian, di manakah keberpihakan wakil rakyat kita, di tengah hingar bingar dan gegap gempitanya upaya pemberantasan KKN di Republik ini? Signal praktik korupsi terjadi juga di gedung dewan ada benamya. Ketika akhir-akhir ini, di mana-mana banyak anggota, bahkan mantan anggota dewan diduga mengkorupsi uang rakyat. Lagi-lagi M. Samin, mensinyalkan rona ini dalam bahasa ‘ketika kesukaran tambah menjadi, para menteri sibuk keluar negeri, tapi korupsi makin meraja, sebab percaya keadaan berubah, rakyat diam saja. Bukankah ini indikasi kalau tidak disebut sebagai kebangkrutan moral dari perilaku dehumanisasi kaum elite di tengah kesangsaraan rakyat. Atau strategi khas “orang besar” yang coba didesain untuk hidup lebih enak-enak, di tengah bergulirnya isu tuntutan persamaan hak agar semua warga negara menjadi sama-sama enak?
Dari Lembata dikabarken akibat gagal panen rakyat di Kecamatan Ile Ape kelaparan, (FP, 21/3/2005). Kondisi ini kemudian menimbulkan pro dan kontra penghuni rumah rakyat Peten Ina dalam menentukan sikap. Akibatnya, terjadi voting tentang haruskah rakyat yang memilih mereka dari yang sudah lapar tersebut patut diberikan bantuan pangan atau tidak. Oleh dewan, ini terjadi hanya karena ketidakakuratan data dari pihak eksekutif.

Bencana Korupsi

Di Sikka ada dugaan penyimpangan pada proyek pengadaan dua unit mobil tangki di dinas  Kimpraswil Sikka TA 2003, juga dugaan korupsi Rp 720 juta di Bagian Umum Setda Sikka yang juga belum memberikan titik terang penyelesaiannya. Masih banyak lagi yang dikredokan. Kredo keresahan yang traumatis yang sangat dirasakan oleh masyarakat kita.
Ketika bencana nasional (baca: busung lapar dan kurang gizi, dalam bahasa eufemistis birokrasi, kejadian luar biasa) yang adalah bencana mutakhir bangsa ini terkuak, sepertinya membangunkan wakil rakyat kita, juga penguasa bangsa ini dari tidur yang panjang. Terlena dan asik. Pokoknya kalau soal rakyat kecil kita pasti sering terlambat untuk mengantisipasi, apalagi menuntaskannya secara serius. Ketika harga-harga komoditas rakyat turun yang berimplikasi pada kenaikan harga-harga sembako di pasar, sesungguhnya sedang mencerminkan “ketikadakberpihakan” wakil rakyat kepada rakyatnya. Di manakah fungsi pengawasan legislatif terhadap kondisi-kondisi tersebut? Dari perspektif lain, kapan rakyat boleh mandiri seirama derap otonoini daerah yang gencar dilaksanakan, sementara di sisi lain ada begitu banyak aspek yang memang kita belum bisa. Ataukah persoalan-persoalan seperti di atas, hanya bisa diselesaikan lewat asik omong (mudah–mudahan  bukan omong kosong), serta membuat statemen yang membingungkan, tanpa berpikir praktis kondisional, bagaimana mendayagunakan rakyat agar dapat keluar dari kemelut bangsa yang memang sudah tidak pasti kapan berakhirnya. Tentunya program-program yang memandirikan rakyat untuk tidak bengantung kepada pihak atau orang lain perlu dirancang dan dikemas dalam nuansa kerakyatan agar tidak sekadar menjadi simbol arogansi, kaum elite. Atas kondisi serupa dalam nada satiris, Saman berujar, “Ketika produksi negara kosong, para pemimpin asik omong, tapi harga-harga terus menanjak, sebab percaya diatasi dengan mufakat, rakyat masih diam saja”. Pada alur yang identik, arsitek Oscar Niemeyer berpesan bahwa masalah-masalah sosial mustahil dipecahkan di atas meja gambar. Hemat penulis, jangan terlalu menjejali rakyat dengan pernyataan yang membingungkan karena rakyat tidak bodoh lagi dalam menerima informasi.
Begitulah, sebuah atmosfer di nusa yang kaya dengan bunga ini. Sebuah suasana yang kurang bersahabat. Ibarat awan hitam pekat menggelayut ramah di awan-awan Nusa Bunga, seakan tak hendak pamit dari kehidupan kita. Terhadap berbagai persoalan di atas, sebuah pertanyaan sederhana patut dilemparkan untuk direfleksikan. Di mana wakil rakyat kita saat rakyat terus didera dengan persoalan-persoalan yang nyaris tak habis dari peredaran kehidupan mereka?
Beragam problem kemasyarakatan ini, lalu apakah masyarakat harus hiruk pikuk dan pontang-panting mengadu kepada yang mewakili? Atau apakah yang merasa mewakili rakyatnya itu harus terlibat aktif mengenali, mengindentifikasi, serta mencari solusi penyelesaiannya. Kalau ini yang dilakukan oleh yang merasa mewakili rakyat, maka jabatan “wakil rakyat” akan sangat bemakna dan berguna dalam kehidupan masyarakat. Bukan berguna karena mendapat “tas” (fasilitas) dan (prioritas) lumayan baik yang nota bene juga didatangkan dengan uang rakyat. Wakil rakyat sungguh mendapat tempat di hati rakyat, ketika persoalan-persoalan kompleks dan rumit masyarakat sungguh mendapat perhatian dan prioritas dari yang mewakili rakyat. (*)


[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 18 Juni 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar