Ritus politik lima tahun sekali itu
sudah setahun berlalu dari kehidupan keseharian kita. Pagelaran rakyat di bawah
judul pemilihan umum dalam sapaan khas rakyat yang lugas, pendek dari akrab di telinga,
pemilu telah menghasilkan wakil-wakil rakyat di perlemen. Dari DPR pusat sampai
DPRD kabupaten/kota. Latar belakang wakil rakyat kita ini pun bervariasi. Ada
penyanyi dangdut, ada pensiunan PNS, ada dosen, ada kontraktor, ada tukang
kotbah agama, ada artis, pedagang, dan masih banyak profesi lainnya. Mereka ini
dianggap orang-orang terhormat yang telah menjadi wakil rakyat dalam Pemilu
2004 yang dianggap paling demokratis dalam sejarah demokrasi Indonesia.
Elite Politik
Menjejaki kembali tahapan pemilihan
umum yang sudah dilewati, tanpa disadari bahwa kita (baca: rakyat biasa) telah
dijadikan alat bagi kepentingan elite politik (penguasa). Kita ingat waktu
kampanye. Keterlibatan kita ketika kempanye dan dalam pemilu itu sendiri
hanyalah demi memperkuat sebuah status
quo atau kemapanan penguasa. Dengan lain perkataan, kita telah digiring ke
dalam sebuah objek zaman orang-orang yang menamakan diri sebagai wakil rakyat,
dengan upaya untuk memperoleh suara terbanyak dalam memuluskan langkah mereka
melenggang ke gedung rakyat.
Indikatornya cukup jelas. Hampir
tidak ada kebenaran antara apa yang dikampanyekan dari realitas yang ada
sekarang. Kitapun boleh mengkredokan kembali ucapan Aristoteles, si tukang batu dari negeri dewa-dewi itu, mereka yang
berpikir benar dan mampu mengungkapkannya secara benar pula, belum tentu dengan
sendirinya akan bertindak benar. Itulah kenyataan. Antara apa yang diucapkan
dalam retorika kampanye dan apa yang nyata sekarang memanglah tidak sejalan.
Tentu juga masih segar dalam benak
kita. Suara-suara lantang menggema, memekikkan telinga, diikuti ugal-ugalan
simpatisan partai, para juru kampanye yang nota bene adalah elite politik
meneriakkan perubahan struktur masyarakat (sistem) ke arah yang lebih baik.
Tuntutan akan perbaikan dan pembenahan pemerintahan yang bersih bebas dari segala
bentuk korupsi, kolusi, nepotisme dan persekongkolan, pengangkatan mutu pendidikan
dan kesehatan, serta penyalahgunaan kekuasaan menjadi isu sentral dan
menggairahkan. Di samping tuntutan akan penghormatan, penghargaan atas HAM,
kebebasan pers dan mengeluarkan pendapat, demokratisasi dan penghapusan
monopoli di segala aspek kehidupan demi
kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan golongan hanya janji-janji manis
dan permainan di siang bolong yang tidak pasti kenyataannya.
Masih saja kita saksikan
berlangsungnya demokarsi mahasiswa yang tidak lain menuntut keadilan,
kendatipun kadang mereka harus berhadapan dengan situasi represif pihak
keamanan karena dianggap mengganggu stabilitas keamanan. Masih terdengarnya
ratap jerit kaum kawula (wong cilik)
yang tak tega menyaksikan tanah dan rumahnya digusur demi sebuah pembangunan.
Untuk apa sebuah pembangunan itu kalau dipaksakan. Juga harapan sekian banyak
pekerja (buruh) pasal upah mereka tidak dibayar sesuai dengan upah mininium
regional (UMR). Pada sisi pandang lain, masih ada jerit tangis para pencari
keadilan yang sering didera ketidakadilan para penegak hukum. Dalam derap
langkah hukum kita yang cenderung “gemulai”, awasan Mansur Samin, sastrawan
kelahiran Batangtoru, Sumatera Utara, dalam Pidato
Seorang Demonstran telah menjadi nyata. Pada tataran tersebut, sastra
justru lahir untuk mengungkap realitas kehidupan yang dianggap tidak sejalan
dengan situasi zaman. Sastra menjadi penting ketika mempunyai kecenderungan
untuk mengangkat harkat dari martabat manusia dalam gejala yang selalu berubah.
Sastra merupakan istrumen penting kontrol sosial. Dan di sini, teriakan kritis
seorang demonstran ala Samin puluhan tahun lalu itu masih sangat nelevan dan aktual
untuk kita sekarang. Dalam konteks bahwa penerapan hukum di Indonesia, bahkan
konteks-konteks lokal pun masih berjalan di tempat. Dalih klasik dari mubazir,
masih dalam pulbaket (pengumpulan bahan dan keterangan) dan barang bukti,
menjadi senjata paten menyembunyikan penanganan kasus-kasus di sekitar kita. Apalagi kasus yang menimpa
pejabat-pejabat negara. Ya, tentunya menunggu izin presiden yang kadang
terkatung-katung hingga bentahun-tahun.
Samin mengekspresikannya ‘mereka telah menembak teman
kita, ketika mendobrak, sekarang jelas bagi saudara, sampai mana kebenaran
hukum di Indonesia”. Sebuah tanda tanya besar. Realitas keseharian kita akan
aktualisasi hukum Indonesia yang sarat dengan pasal dan ayat, betapa tidak
optimal diterapkan. Nyaris ini sudah diterjemahkan, ketika lembaga penegak
hukum pun berinterprestasi berbeda atas pasal dan ayat yang sama. Sekali lagi
suram, bahkan menjadi semakin kelam. Lalu, di mana wakil rakyat kita?
Di Flores Timur, misalnya ada aksi
mogok pegawai kontrak di RSUD Larantuka karena ada dugaan korupsi dana KLB yang
dilakukan kepala RSUD Larantuka dr. Dasliyati Paluan (FP 6/4/2005). Lain lagi di Ende. Janji penegakan itu cuma omong kosong
doang hingga masa MPK (gabungan 7 unsur masyarakat) mempertanyaakan penegakkan
kasus-kasus, seperti kupon putih, kayu ilegal dan CPNSD 2003 (FP, 8/4/2005). Dan
lebih parah lagi, ketika hebonya pendobelan penggunaan SPPD dalam satu kali
perjalanan, yang dipraktikkan oleh wakil rakyat di Kabupaten Tiwu Telu ini. Sampai di sini sebuah
fenomena paradoksal justru dipraktikkan oleh figur-figur pilihan Pemilu 2004.
Dengan praktik demikian, di manakah keberpihakan wakil rakyat kita, di tengah hingar
bingar dan gegap gempitanya upaya pemberantasan KKN di Republik ini? Signal praktik
korupsi terjadi juga di gedung dewan ada benamya. Ketika akhir-akhir ini, di
mana-mana banyak anggota, bahkan mantan anggota dewan diduga mengkorupsi uang
rakyat. Lagi-lagi M. Samin, mensinyalkan rona ini dalam bahasa ‘ketika kesukaran tambah menjadi, para
menteri sibuk keluar negeri, tapi korupsi makin meraja, sebab percaya keadaan
berubah, rakyat diam saja. Bukankah ini indikasi kalau tidak disebut
sebagai kebangkrutan moral dari perilaku dehumanisasi kaum elite di tengah
kesangsaraan rakyat. Atau strategi khas “orang besar” yang coba didesain untuk
hidup lebih enak-enak, di tengah bergulirnya isu tuntutan persamaan hak agar
semua warga negara menjadi sama-sama enak?
Dari Lembata dikabarken akibat gagal
panen rakyat di Kecamatan Ile Ape kelaparan, (FP, 21/3/2005). Kondisi ini
kemudian menimbulkan pro dan kontra penghuni rumah rakyat Peten Ina dalam menentukan sikap. Akibatnya, terjadi voting tentang
haruskah rakyat yang memilih mereka dari yang sudah lapar tersebut patut
diberikan bantuan pangan atau tidak. Oleh dewan, ini terjadi hanya karena
ketidakakuratan data dari pihak eksekutif.
Bencana Korupsi
Di Sikka ada dugaan penyimpangan
pada proyek pengadaan dua unit mobil tangki di dinas Kimpraswil Sikka TA 2003, juga dugaan korupsi
Rp 720 juta di Bagian Umum Setda Sikka yang juga belum memberikan titik terang
penyelesaiannya. Masih banyak lagi yang dikredokan. Kredo keresahan yang traumatis
yang sangat dirasakan oleh masyarakat kita.
Ketika bencana nasional (baca: busung lapar dan kurang gizi, dalam bahasa
eufemistis birokrasi, kejadian luar biasa) yang adalah bencana mutakhir
bangsa ini terkuak, sepertinya membangunkan wakil rakyat kita, juga penguasa
bangsa ini dari tidur yang panjang. Terlena dan asik. Pokoknya kalau soal
rakyat kecil kita pasti sering terlambat untuk mengantisipasi, apalagi menuntaskannya
secara serius. Ketika harga-harga komoditas rakyat turun yang berimplikasi pada
kenaikan harga-harga sembako di pasar, sesungguhnya sedang mencerminkan
“ketikadakberpihakan” wakil rakyat kepada rakyatnya. Di manakah fungsi
pengawasan legislatif terhadap kondisi-kondisi tersebut? Dari perspektif lain,
kapan rakyat boleh mandiri seirama derap otonoini daerah yang gencar
dilaksanakan, sementara di sisi lain ada begitu banyak aspek yang memang kita
belum bisa. Ataukah persoalan-persoalan seperti di atas, hanya bisa
diselesaikan lewat asik omong (mudah–mudahan
bukan omong kosong), serta membuat statemen yang membingungkan, tanpa
berpikir praktis kondisional, bagaimana mendayagunakan rakyat agar dapat keluar
dari kemelut bangsa yang memang sudah tidak pasti kapan berakhirnya. Tentunya
program-program yang memandirikan rakyat untuk tidak bengantung kepada pihak
atau orang lain perlu dirancang dan dikemas dalam nuansa kerakyatan agar tidak
sekadar menjadi simbol arogansi, kaum elite. Atas kondisi serupa dalam nada
satiris, Saman berujar, “Ketika produksi
negara kosong, para pemimpin asik omong, tapi harga-harga terus menanjak, sebab
percaya diatasi dengan mufakat, rakyat masih diam saja”. Pada alur yang
identik, arsitek Oscar Niemeyer berpesan bahwa masalah-masalah sosial mustahil
dipecahkan di atas meja gambar. Hemat penulis, jangan terlalu menjejali rakyat
dengan pernyataan yang membingungkan karena rakyat tidak bodoh lagi dalam
menerima informasi.
Begitulah, sebuah atmosfer di nusa
yang kaya dengan bunga ini. Sebuah suasana yang kurang bersahabat. Ibarat awan
hitam pekat menggelayut ramah di awan-awan Nusa Bunga, seakan tak hendak pamit
dari kehidupan kita. Terhadap berbagai persoalan di atas, sebuah pertanyaan
sederhana patut dilemparkan untuk direfleksikan. Di mana wakil rakyat kita saat
rakyat terus didera dengan persoalan-persoalan yang nyaris tak habis dari
peredaran kehidupan mereka?
Beragam problem kemasyarakatan ini,
lalu apakah masyarakat harus hiruk pikuk dan pontang-panting mengadu kepada
yang mewakili? Atau apakah yang merasa mewakili rakyatnya itu harus terlibat
aktif mengenali, mengindentifikasi, serta mencari solusi penyelesaiannya. Kalau
ini yang dilakukan oleh yang merasa mewakili rakyat, maka jabatan “wakil
rakyat” akan sangat bemakna dan berguna dalam kehidupan masyarakat. Bukan
berguna karena mendapat “tas”
(fasilitas) dan (prioritas) lumayan baik yang nota bene juga didatangkan dengan
uang rakyat. Wakil rakyat sungguh mendapat tempat di hati rakyat, ketika
persoalan-persoalan kompleks dan rumit masyarakat sungguh mendapat perhatian
dan prioritas dari yang mewakili rakyat. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar