Halaman

Rabu, 08 November 2017

Titik: Jangan Teruskan Itu! (Solusi kemanusiaan dari Cerpen Titik karya Yosephina Leto Lapilia)




Dalam dunia tata tulis, titik (.) merupakan salah satu jenis tanda baca yang berfungsi untuk menghakhiri sebuah kalimat berita. Secara suprasegmental tanda baca ini kemudian dimaknai sebagai stop atau berhenti, yang termanifestasi secara jelas pada aspek nada, tekanan, sendi, atau intonasi. Itulah sebabnya cerita-cerita, ngobrol informal sampai pada diskusi formal dan serius akan berlangsung lancar karena kita memiliki kemampuan dalam memahami kode-kode bunyi suara ini. Jadilah komunikasi yang sedang dibangun terpahami dengan baik. Lalu, apakah titik dalam konteks ini dapat menjadi representasi dari sebuah tanda “stop” atau berhenti untuk sesuatu yang sangat mengganggu relasi kehidupan sosial bermasyarakat? Mungkinkah titik juga menjadi semacam “awasan” atau peringatan untuk berhenti melakukan hal-hal yang dianggap melanggar norma kehidupan sosial bermasayarakat?  Yang pasti bahwa sebagai anggota masyarakat kita diajak untuk menjaga dan memelihara jallinan kasih untuk tegaknya soliditas sekaligus solidaritas sosial. Setidak-tidaknya inilah benang merah cerita pendek guratan Yosephina Leto Lapilia dalam Wajah Indonesiaku: Antologi Cerpen Siswa SMA Flores Lembata yang diterbitkan oleh Aditya Media Yogyakarta bekerja sama dengan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende, 2014.
Mungkinkah ini juga merupakan renungan profetis? Renungan khas sejagat restu nan ikhlas tentang serangkaian kehidupan yang coba ditebar ke tengah publik. Tentunya berangkat pada kebeningan nurani dan kejernihan hati yang utuh dan bulat tentang realitas di sekitar mereka. Demikian sastra menjadi media interaksi sosial masyarakat. Menjadi cermin meneropong diri dan kelompok sosial yang lebih besar. Sastra juga menjadi media belajar bersama tentang hidup nan kompleks. Sastra menjadi “bahasa penghubung” tentang kehidupan material dan spiritual, di samping menghidangkan berbagai menu pemupuk dan penggembur kehidupan masyarakat secara universal. Renungan-renungan dimaksud telah menghadirkan sebuah interaksi sosial dan menjadi proses saling memengaruhi di antara dua orang atau lebih dalam bentuk relasi, komunikasi, dan kontak sosial. Karya sastra dapat pula merupakan jalan tengah menuju keseimbangan yang dinamis antara dorongan batin dengan dorongan masyarakat, obsesi dan persuasi.
Namun, karya sastra sebagai teks menurut Derrida hanyalah jejak (trace), bekas telapak kaki, di dalamnya pembaca harus menemukan manusianya yang lain. Jejak bukanlah makna itu sendiri, jejak hanyalah mediasi antara kehadiran dan ketidakhadiran, antara yang tertinggal dengan yang harus dicari. Pembacalah yang harus mencarinya, bukan penulis. Di sanalah eksistensi pengarang ditemukan sebagai subjek kreator, yakni kesadaran dan ketidaksadaran. Aspek yang tertulis adalah kesadaran, dan aspek yang tidak tertulis adalah ketidaksadaran, ibarat metafora gunung es, yang menjadi aspek yang jauh lebih luas, dalam dan beragam. Dengan kata lain, unsur-unsur di luar bahasalah yang lebih kaya yang dapat dilipatgandakan sehingga menghasilkan sebuah analisis dan pemahaman yang komperhensif jauh melampaui karya yang dihasilkan oleh pengarang. Ini dilandasi oleh pemikiran bahwa sastra bukan merupakan sebuah ilmu pasti yang sekali baca langsung dipahami, namun sastra merupakan karya interpretatif yang menyajikan sekian banyak kemungkinan penyelesaian persoalan dalam kehidupan bermasyarakat. Dan, tuangan karya interpretatif dalam Cerpen ini merupakan wujud kepedulian penulis yang adalah bagian dari anggota masyarakat terhadap sesama dan menjadi sarana interaksi untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik.
Dengan setting Lewonara dan Lewobunga, dua desa di Flores Timur, penulis menguak dengan terang benderang konflik tanah yang sekian lama terjadi dan senantiasa berujung dengan nyanyian ratapan di atas mayat.  Diteteri darah bekas kebringasan dendam kesumat dua kampung (lewo) yang bertetangga ini. Ini adalah fakta kemanusiaan yang mengiang dan terus mengusik dengan keras penulis untuk mengguratnya dalam Cerpen ini. Ketajaman intuisi dan imajinasi penulis akan “darah” titisan dahulu kala dan membeku menjadi realitas faktual inilah membuat penulis jatuh hati menyumbangkan sesuatu untuk masyarakat universal, secara khusus sebuah “kado”, kemanusiaan yang solutif. Dalam bahasa sehari-hari yang sangat khas dialek Lamaholot, penulis menghadirkan konflik imajinatif antara tokoh Aku sebagai yang utama, dengan tokoh antagonis Ibu dan para tetua, cerita ini mengalir dengan lancar, lugas, dan sangat detil.
Kilas balik (flash back) Cerpen dimulai pada 10 tahun silam semenjak kepergian ayahnya, Ibunya kini berharap agar Aku berbakti kepada Lewonara seperti ayah dahulu dengan satu semangat, “Lanjutkan perjuangan ayah”. Gejolak batinpun mengalir deras di antara dedikasi untuk berbakti dan deretan tragedi kemanusiaan akibat konflik berkepanjangan ini. Berbakti jelas menjadi tanggung jawab anak terhadap orang tua dan Lewotanah. Tetapi, yang jelas berbakti yang baik, yang positif demi kemaslahatan masyarakat, seturut pesan ayahnya, Jangan teruskan ini!Demi kemaslahatan inilah, solusi perdamaian di pengujung Cerpen ini pun ditawarkan untuk dimufakati. Nada optimisme seturut ide dasar kebersamaan pun lahir. Bersama kita maju (Bisa). Untuk generasi masa depan. Dan, pertemuan Aku dan tetua boleh jadi menjadi model permufakatan tersebut berjalan dalam keikhlasan hati dan kebeningan nurani. Mufakat menghilangkan dendam, menjauhkan dengki menjadi satu-satunya solusi.
“Di bawah sinar rembulan malam kami berembuk. Bagaikan koloni semut, bertukar pikiran secara demokrasi, membongkar sejarah di balik peristiwa. Saksi Lewonara dan Lewobunga menyatu. Bicara dari hati ke hati. Malam yang penuh idealis melahirkan mufakat. Bersatu dan berdamai.
......
Lembaran sejarah kelam membuka wawasan kawula muda, “Jangan teruskan ini!

Kemudian, apakah titik menjadi sesuatu yang positif dalam tataran membangun kehidupan bersama? Hemat saya, Ia. Titik mengajak kita menuju ke sana. Sembari mengikuti teriakan, Jangan teruskan ini!”, kita diajak menuju lorong terang nur cahaya. Titik merupakan sebuah tindak direktif bagi kita semua, penghuni nusa ini, terutama di tempat konflik, sebuah nusa yang kita cintai bersama.  Benang merah soluisi kemanusiaan ini bahwa karya sastra, apapun bentuknya, tidak sekadar menampilkan keindahan kata-kata, melainkan menjadi sebuah perayaan kemanusiaan. Salam perdamaian! (*)





Opini ini dimuat di HU Flores Pos, 5 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar