Dalam dunia tata
tulis, titik (.) merupakan salah satu jenis tanda baca yang berfungsi untuk
menghakhiri sebuah kalimat berita. Secara suprasegmental tanda baca ini
kemudian dimaknai sebagai stop atau berhenti, yang termanifestasi secara jelas
pada aspek nada, tekanan, sendi, atau intonasi. Itulah sebabnya cerita-cerita, ngobrol
informal sampai pada diskusi formal dan serius akan berlangsung lancar karena
kita memiliki kemampuan dalam memahami kode-kode bunyi suara ini. Jadilah
komunikasi yang sedang dibangun terpahami dengan baik. Lalu, apakah titik dalam konteks
ini dapat menjadi representasi dari sebuah tanda “stop” atau berhenti untuk
sesuatu yang sangat mengganggu relasi kehidupan sosial bermasyarakat? Mungkinkah
titik juga menjadi semacam “awasan” atau peringatan untuk berhenti melakukan
hal-hal yang dianggap melanggar norma kehidupan sosial bermasayarakat? Yang pasti bahwa sebagai anggota masyarakat
kita diajak untuk menjaga dan memelihara jallinan kasih untuk tegaknya
soliditas sekaligus solidaritas sosial. Setidak-tidaknya inilah benang merah
cerita pendek guratan Yosephina Leto Lapilia dalam Wajah Indonesiaku:
Antologi Cerpen Siswa SMA Flores Lembata yang diterbitkan oleh Aditya Media
Yogyakarta bekerja sama dengan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Flores, Ende, 2014.
Mungkinkah ini juga
merupakan renungan profetis? Renungan khas
sejagat restu nan ikhlas tentang serangkaian kehidupan yang coba ditebar ke tengah publik. Tentunya berangkat pada
kebeningan nurani dan kejernihan hati yang utuh dan bulat
tentang realitas di sekitar mereka. Demikian sastra menjadi media interaksi sosial masyarakat.
Menjadi cermin meneropong diri dan kelompok sosial yang lebih besar. Sastra
juga menjadi media belajar bersama tentang hidup nan kompleks. Sastra menjadi
“bahasa penghubung” tentang kehidupan material dan spiritual, di samping
menghidangkan berbagai menu pemupuk dan penggembur kehidupan masyarakat secara
universal. Renungan-renungan dimaksud telah menghadirkan sebuah
interaksi sosial dan menjadi proses saling memengaruhi di antara dua orang atau
lebih dalam bentuk relasi, komunikasi, dan kontak sosial. Karya sastra dapat
pula merupakan jalan tengah menuju keseimbangan yang dinamis antara dorongan
batin dengan dorongan masyarakat, obsesi dan persuasi.
Namun, karya
sastra sebagai teks menurut Derrida hanyalah jejak (trace), bekas
telapak kaki, di dalamnya pembaca harus menemukan manusianya yang lain. Jejak
bukanlah makna itu sendiri, jejak hanyalah mediasi antara kehadiran dan
ketidakhadiran, antara yang tertinggal dengan yang harus dicari. Pembacalah
yang harus mencarinya, bukan penulis. Di sanalah eksistensi pengarang ditemukan
sebagai subjek kreator, yakni kesadaran dan ketidaksadaran. Aspek yang tertulis
adalah kesadaran, dan aspek yang tidak tertulis adalah ketidaksadaran, ibarat
metafora gunung es, yang menjadi aspek yang jauh lebih luas, dalam dan beragam.
Dengan kata lain, unsur-unsur di luar bahasalah yang lebih kaya yang dapat
dilipatgandakan sehingga menghasilkan sebuah analisis dan pemahaman yang
komperhensif jauh melampaui karya yang dihasilkan oleh pengarang. Ini dilandasi
oleh pemikiran bahwa sastra bukan merupakan sebuah ilmu pasti yang sekali baca
langsung dipahami, namun sastra merupakan karya interpretatif yang menyajikan
sekian banyak kemungkinan penyelesaian persoalan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dan, tuangan karya interpretatif dalam Cerpen ini merupakan wujud kepedulian penulis yang adalah bagian dari anggota
masyarakat terhadap sesama dan menjadi sarana interaksi untuk membangun
masyarakat ke arah yang lebih baik.
Dengan setting Lewonara dan Lewobunga,
dua desa di Flores Timur, penulis menguak dengan terang benderang konflik tanah
yang sekian lama terjadi dan senantiasa berujung dengan nyanyian ratapan di
atas mayat. Diteteri darah bekas
kebringasan dendam kesumat dua kampung (lewo) yang bertetangga ini. Ini
adalah fakta kemanusiaan yang mengiang dan terus mengusik dengan keras penulis
untuk mengguratnya dalam Cerpen ini. Ketajaman intuisi dan imajinasi penulis
akan “darah” titisan dahulu kala dan membeku menjadi realitas faktual inilah membuat
penulis jatuh hati menyumbangkan sesuatu untuk masyarakat universal, secara
khusus sebuah “kado”, kemanusiaan yang solutif. Dalam bahasa sehari-hari yang
sangat khas dialek Lamaholot, penulis menghadirkan konflik imajinatif
antara tokoh Aku sebagai yang utama, dengan tokoh antagonis Ibu dan para tetua,
cerita ini mengalir dengan lancar, lugas, dan sangat detil.
Kilas balik (flash back) Cerpen dimulai pada 10
tahun silam semenjak kepergian ayahnya, Ibunya kini berharap agar Aku berbakti
kepada Lewonara seperti ayah dahulu dengan satu semangat, “Lanjutkan
perjuangan ayah”. Gejolak batinpun mengalir deras di antara dedikasi untuk
berbakti dan deretan tragedi kemanusiaan akibat konflik berkepanjangan ini.
Berbakti jelas menjadi tanggung jawab anak terhadap orang tua dan Lewotanah.
Tetapi, yang jelas berbakti yang baik, yang positif demi kemaslahatan
masyarakat, seturut pesan ayahnya, “Jangan teruskan ini!” Demi kemaslahatan
inilah, solusi perdamaian di pengujung Cerpen ini pun ditawarkan untuk
dimufakati. Nada optimisme seturut ide dasar kebersamaan pun lahir. Bersama
kita maju (Bisa). Untuk generasi masa depan. Dan, pertemuan Aku dan tetua boleh
jadi menjadi model permufakatan tersebut berjalan dalam keikhlasan hati dan
kebeningan nurani. Mufakat menghilangkan dendam, menjauhkan dengki menjadi
satu-satunya solusi.
“Di bawah sinar
rembulan malam kami berembuk. Bagaikan koloni semut, bertukar pikiran secara
demokrasi, membongkar sejarah di balik peristiwa. Saksi Lewonara dan Lewobunga
menyatu. Bicara dari hati ke hati. Malam yang penuh idealis melahirkan mufakat.
Bersatu dan berdamai.
......
Lembaran sejarah
kelam membuka wawasan kawula muda, “Jangan teruskan ini!”
Kemudian, apakah titik menjadi sesuatu yang positif dalam
tataran membangun kehidupan bersama? Hemat saya, Ia. Titik mengajak kita menuju
ke sana. Sembari mengikuti teriakan, “Jangan teruskan ini!”, kita diajak menuju lorong terang nur cahaya.
Titik merupakan sebuah tindak direktif bagi kita semua, penghuni nusa ini,
terutama di tempat konflik, sebuah nusa yang kita cintai bersama. Benang merah soluisi kemanusiaan ini bahwa karya
sastra, apapun bentuknya, tidak sekadar menampilkan keindahan kata-kata,
melainkan menjadi sebuah perayaan kemanusiaan. Salam perdamaian! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar