“Bagi saya, studi ke jenjang doktoral
bukan hanya sekadar persoalan tuntutan profesi sebagai dosen di Universitas
Flores (Uniflor), namun menjadi penting karena seorang kandidat doktor dituntut
untuk belajar lebih spesifik tentang sesuatu yang ditekuni, serta dapat
menemukan hal-hal baru, terutama teori maupun metode baru dalam membedah suatu
kajian yang belum pernah dilakukan oleh orang lain atau peneliti
sebelumnya.”
Pernyataan
tersebut diungkapkan oleh Dr. Veronika Genua, S.Pd., M.Hum., salah seorang
dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Uniflor. Verni yang lahir di Besei Lembata, 12 Pebruari 1971, dan
kini Lektor di Uniflor, telah menempuh Promosi Doktor, tanggal 17 Januari 2018
dengan hasil yang sangat memuaskan dan lulus dengan predikat Pujian/Istimewa.
Ia dipromotori oleh Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum., dengan Kopromotor I dan
II Prof. Dr. Aron Meko Mbete, dan Prof. Dr. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A.
Sedangkan, tim penguji terdiri dari Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A, Prof. Dr. I
Ketut Darma Laksana, M.A., Prof. Dr. I Wayan Rasna, M.Pd., Dr. Ana Agung Putu Putra,
M.Hum., dan Dr. I Made
Netra, M.Hum.
Torehan prestasi ini tentu tidak lepas
dari kerja kerasnya selama menempuh pendidikan Pascasarjana (S-3) Ilmu
Linguistik di Universitas Udayana (2014–2018). Ia mengaku banyak kendala yang
dihadapi, termasuk mengalami kekurangan biaya walaupun sudah mendapat beasiswa
dan hibah karena terlalu banyak urusan kampus yang membutuhkan biaya sehingga
selalu saja berkekurangan. Tetapi semua itu dijalani dengan penuh senyuman dan
berpasrah pada Tuhan sebagai sumber kekuatan juga para leluhur yang selalu
mendampingi. Selain itu, ia juga mengalami kendala dalam upaya untuk menemukan
promotor karena berbagai urusan Tri Darma Perguruan Tinggi, tetapi dengan
kesabaran ia selalu berusaha untuk mencari dan menghubungi agar dapat
berkontribusi tentang kesulitan dalam menganalisis tulisan.
Sebelumnya, Verni mengenyam pendidikan
Sarjana (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) pada FKIP, Uniflor (1990–1995)
dengan judul Skripsi “Tinjauan Kontaminasi pada Karangan Narasi Siswa SMAK
Frateran Ndao Ende Tahun Ajaran 1994/1995” dan dibimbing oleh Drs. Pius Pampe,
M.Hum., (Almh) dan Drs.Yoakim Jekson Kebol, M.Hum. Ziarah akademispun ia
lanjutkan ke jenjang Pascasarjana (S-2) Program Studi Ilmu Linguistik,
Universitas Udayana (2005-2007) dan tesis berjudul “Teks Sodha dalam Ritual Joka Ju pada
Masyarakat Lio Ende Flores”, dibimbing oleh Prof. Dr. Aron Meko Mbete, dan
Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum.
Ketertarikannya pada ilmu bahasa
(linguistik) dan alam semesta membuatnya menulis Disertasi dengan judul, “Ekoleksikon
Nijo pada Guyub Tutur Lio Flores”. Kajian
ini membedah tentang hubungan bahasa dan lingkungan alam suatu masyarakat. Dalam
konteks ini, disertasi ini membedah guyub tutur Lio Flores terhadap struktur
bahasa, makna, nilai dan ideologi yang terkandung dalam nijo yang juga
merupakan pola dan falsafah hidup masyarakatnya. Selain itu, istri dari Petrus
Duu, S.Ag., dan ibu dari Ignasius Azevedo Wanwol ini mengatakan bahwa
tulisannya bertujuan untuk melihat dinamika pengetahuan, pemahanman dan
penggunaan bahasa daerah antargenerasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini terjadi
karena sebagian besar pengguna bahasa daerah dalam ranah tertentu beralih ke bahasa
Indonesia.
Kajian Ekolinguistik
Secara umum, penelitian dalam Disertasi
anak pasangan Nikolaus Nago (Alm.) dan Maria Lema (Almh.) ini, berusaha untuk
mengungkap fenomena kebahasaan, secara khusus ekoleksikon nijo, pengobatan tradisional pada guyub tutur Lio Flores dalam
kajian ekolinguistik. Kajian
tersebut memiliki relevansi dengan linguistik dalam mengkaji hubungan
antara bahasa dan lingkungan alam karena memiliki interaksi, interelasi, dan
interdependensi dengan guyub tutur setempat. Kehidupan guyub tutur bergantung
pada lingkungan alam karena merupakan sumber penghidupan yang selalu dijaga dan
dilestarikan antargenerasi.
Ekoleksikon
nijo merupakan doa dan pengobatan
secara tradisional yang merupakan warisan budaya leluhur, sudah menyatu dengan
kehidupan guyub tutur Lio Flores. Setiap kata/frasa yang diucapkan memiliki
kekuatan atau energi penyembuhan dari suatu penyakit yang dilakukan oleh ata bhisa ‘dukun’. Ekoleksikon nijo memiliki berbagai bentuk yang unik
dan beragam untuk dikaji dari perspektif ekolinguistik. Salah satu kendala yang
ditemuinya saat penelitian berkaitan dengan ata
bhisa adalah sumber tidak dapat memberi informasi yang sesuai. Hal tersebut
karena ia harus berhadapan dengan para ata
bhisa untuk mendapatkan teks yang berhubungan dengan pengobatan tradisional
karena bahan atau sumber yang diinginkan berhubungan dengan data serta
transkripsi yang tidak dipahami secara mendalam serta data yang secara pribadi
yang tidak dapat dibagikan kepada orang lain karena menjadi milik perorangan
yang bersifat sangat pribadi.
Bentuk
dan struktur nijo sangat berbeda
dengan bahasa sehari-hari, seperti kalimat 'demi
take miulake ‘yang tertahan singkapkanlah’. Dinamika pengetahuan kebahasaan
antargenerasi secara khusus generasi muda dan dewasa mulai bergeser, terutama
pengetahuan sumber daya lingkungan melalui khazanah bahasa lokal dan
pengetahuan kearifan tradisi setempat. Khazanah
ekoleksikon nijo terdapat berbagai
kategori yakni, nomina, verba, adjektiva dan numeralia dalam pengobatan secara
tradisional. Bentuk dan struktur lingual nijo
tradisional berupa bentuk fonologi, yakni segmental dan suprasegmental,
morfologi, dan semantik. Dinamika pengetahuan dan pemahaman antargenerasi
tentang ekoleksikon nijo sangat
bervariasi dan karena itu generasi muda kurang memahaminya. Hal ini disebabkan
tidak dikomunikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, terdapat
ideologi keyakinan untuk penyembuhan suatu penyakit, serta makna dan nilai yang
terkandung seperti nilai kepasrahan, kapatuhan dan keharmonisan.
Verni
mengakui, setelah meraih gelar Doktor, ia akan terus melakukan penelitian baik
yang berhubungan dengan bidang keahlian maupun lintas bidang untuk berkontribusi
atas berbagai kekayaan kearifan yang hampir punah karena belum tersentuh kajian
akademik. Selain penelitian, ia juga akan melakukan pengabdian kepada
masyarakat tentang pemanfaatan lingkungan alam sebagai sumber kehidupan dan
kekayaan masyarakat.
Di
akhir wawancara bersama Tim Suara Uniflor,
Verni bercerita tentang salah satu kegiatan yang dilakukannya di Denpasar, yang
merupakan bagian dari promosi Kabupaten Ende. Selama kuliah di Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Udayana, ia dipercayakan sebagai koordinator untuk
mengadakan pentas tarian gawi dan ja’i pada HUT Fakultas Ilmu Budaya
dengan melibatkan mahasiswa S-1 dan S-2, dan teman-teman S-3 dari NTT. Sangat
susah berlatih karena sebagian berasal dari luar Pulau Flores. Namun setelah
berlatih secara berulang-ulang serta modifikasi untuk tarian gawi, pada
akhirnya semua berjalan dengan baik, lancar, dan pada saat pentas semua penari
mengenakan pakaian daerah Ende lengkap (lawo,
lambu, luka lesu). (*)
Feature ini telah dimuat pada Harian Umum Flores Pos, 16 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar