Halaman

Sabtu, 09 Mei 2020

Pelintas Paradigma Eco-Agricultural, Dr. Willybrordus Lanamana, S.E.,M.MA.


Guru:  Panggilan Batin

“Guru”, kata, dan profesi termulia dalam lantunan “laudatio” himne Guru di Indonesia. Kata, profesi, dan  simfoni laudatio terhadap “spiritualitas” seorang guru itulah yang barangkali mendorong Pak Willy memantapkan opsi “panggilan” hidupnya sebagai guru. Panggilan untuk menjadi seorang pendidik, sebetulnya sudah lama sekali menggema di dalam batin Pak Willy. Semenjak usia belia, secara rutin Pak Willy terus mengasah kemampuan profesionalitasnya melalui aktivitas membaca, menulis dan berbicara. Dosen senior di Fakultas Pertanian yang selalu tampil elegan ini mulai bergabung di Universitas Flores sejak tahun 1998.
Jejak perjalanan akademis Pak Willy dimulai dari studi kesarjanaannya di Universitas Katolik Wijaya Karya Malang, dengan spesifikasi studi ilmu Manajemen, yang diselesaikan tahun 1994. Selanjutnya, tahun 2005 Pak Willy menyelesaikan studi Pascasarjana (S-2) di Universitas Udayana Denpasar, bidang keilmuan Manajemen Agribisnis. Menyadari tuntutan akan profesionalitas, maka Pak Willy memutuskan untuk melanjutkan studi pada jenjang doktoral dengan konsentrasi studi Manajemen Agribisnis dan berhasil menggondol gelar Doktor pada bulan Juli 2016. Disertasi yang dipertahankan dan telah mengantar Pak Willy untuk menduduki “kursi” Doktor berjudul, “Efisiensi Usaha Tani Padi Ladang dan Keterkaitannya dengan Usaha Konservasi Tanah pada Status Penguasaan Lahan yang Berbeda di Tanah Hak Ulayat”. Disertasi yang kental dengan “jiwa” dunia pertanian di Kabupaten Ende ini, dipromotori oleh Prof. Dr. Ir. Nohfil Hanavy, M.Si, Prof. Dr. Ir. Kliwon Hidayat, M.Si., dan Prof.Dr.Ir. Muslich Mustadjab, M.Sc.

Pertanian dalam Prisma Eco-Agricultural


         Pengelolaan model pertanian tradisional lahan kering disertai dengan berbagai legitimasi mitologis dan kultus atasnya, merupakan bagian dari identitas kultural masyarakat petani etnis Lio. Kenyataan ini menyedot atensi Dr. Willy untuk melakukan riset. Sejauh observasi awal, teridentifikasi bahwa ada empat jenis status penguasaan lahan ulayat pada masyarakat Kabupaten Ende, yaitu: 1) gadai, 2) bagi hasil, 3) sewa, dan, 4) pemilik hak garap. Dari sisi “hukum” tak tertulis, penguasaan lahan ulayat ini tidak menuai permasalahan. Namun, jika dipandang dari perspektif ekonomi pertanian justru sistem tersebut menjadi problematis.
Menurut riset Dr. Willy, sistem penguasaan lahan ulayat yang dipraktikan tersebut pada satu sisi menjadi faktor penghambat produktivitas dan konservasi. Selanjutnya, temuan penting dari riset ini menerangkan bahwa 1) penggarap belum mengembangkan rasa “memiliki”/sense of belonging terhadap lahan yang digarapnya, 2) pembagian hasil pada sistem bagi hasil tidak selalu adil. Pada sebagian kasus, pembagian lebih menguntungkan penggarap. Pada kasus yang lain, pembagian hasil lebih menguntungkan pemilik, dan 3) kemiringan lahan pertanian mencapai 40% sehingga unsur-unsur hara tanah mudah tergerus.
                Lebih dari itu, Dr. Willy menegaskan bahwa upaya peningkatan produktivitas lahan pertanian dan produksi pertanian dalam wilayah Kabupaten Ende tidak mungkin dilakukan secara parsial (hanya mengandalkan paradigma ekonomi pertanian) semata. Jadi, kajiannya mesti bercorak interdisipliner. Problem produktivitas lahan dan produksi pertanian dalam konteks pengelolaan tanah ulayat ditelaah dengan memanfaatkan perspektif ilmu antropologi, sosiologi, dan agronomi. Paradigma interdisipliner dibutuhkan sebab persoalan pertanian di Kabupaten Ende tidak hanya menyangkut lahan kering saja melainkan berhimpitan langsung dengan persoalan-persoalan kultural.

Dimensi Manusia dalam Pertanian

Secara eksplisit, target riset Dr. Willy adalah mendorong peningkatan produktivitas lahan dan produksi padi ladang dalam kaitannya dengan konservasi. Target riset seperti ini, sepintas sangat ambigu. Peningkatan produktivitas lahan dan produksi padi ladang, “berkiblat” pada logika hukum ekonomi. “Mengeluarkan biaya seminim mungkin dengan “target” hasil maksimal”.  Sementara itu, “hukum” konservasi alam persis sebaliknya. “Mengeluarkan biaya lebih untuk keberlanjutan ekosistem dalam jangka panjang”. Menariknya, modal kultural yang dikembangkan secara turun-temurun oleh generasi pendahulu di Kabupaten Ende memungkinkan terjadinya situasi peningkatan produktivitas lahan dan produksi serta konservasi. 
       Jika dibandingkan dengan kebiasaan petani di pulau Jawa situasinya agak berlainan. Para penggarap lahan di Jawa dibayar dengan sistem upah harian. Sementara itu, petani (penggarap) di Kabupaten Ende bergotong-royong bergantian menggarap lahan. Implikasi logisnya biaya atau pengeluaran untuk upah penggarap bisa ditekan dan digunakan untuk biaya konservasi. Jadi, solidaritas tradisional yang merupakan ekpresi dari local genius ini merupakan modal perekat yang menata alur peningkatan produktivitas lahan dan produksi pertanian serta konservasi agar berjalan secara sinergis.
Menurut Dr. Willy, agenda swasembada pangan tidak cukup hanya melibatkan pakar bidang pertanian, atau peningkatan input pertanian karena persoalan dunia pertanian lahan kering bercorak multiparadigmatis. Secara spesifik dalam wilayah Kabupaten Ende, persoalan di bidang pertanian bersinggungan erat dengan persoalan sosio-kultural.
Hasil riset Dr. Willy juga menegaskan bahwa cukup banyak program pertanian yang tidak optimal dijalankan. Program peningkatan hanya terkonsentrasi pada bibit, dan keterampilan saja. Sementara itu, dimensi manusianya justru terabaikan. Saat ini teori terbaru ekonomi produksi sudah menggunakan analisis fungsi produksi frontier di mana dalam setiap wilayah pertanian yang menjadi pusat perhatian adalah individu petaninya. Jika ada individu petani yang menghasilkan panen 1 ton (nilai tertinggi) dan ada yang menghasilkan panen 100 kg (nilai terendah), maka yang diperhatikan adalah bagaimana menstimulasi petani yang produktivitas lahan dan produksinya rendah agar bisa menyusul target nilai produksi tertinggi. Tampak jelas bahwa strategi untuk memacu petani mau tak mau menggunakan pendekatan kultural, terlebih lagi karena tanah yang dikelola adalah tanah ulayat.

Sekelumit Ekspektasi


Dr. Willy termasuk salah satu dosen senior yang juga mengikuti perkembangan Universitas Flores dari dekat. Agar institusi pendidikan ini semakin bermutu dan terpercaya, maka menurut Dr. Willy setiap civitas akademika mesti profesional dalam keilmuannya masing-masing. Bidang penelitian dan pengabdian masyarakat oleh dosen di Uniflor perlu ditingkatkan lagi. Akar masalahnya terletak pada minimnya alokasi waktu bagi para dosen untuk membaca jurnal-jurnal ilmiah berskala internasional. Padahal, jurnal-jurnal ilmiah itu merupakan salah satu referensi mengenai kebaruan ilmu pengetahuan. Atmosfer akademik yang ideal melalui pertukaran gagasan keilmuan perlu dibudayakan di lingkungan kampus. Selanjutnya, bagi para dosen yang belum menempuh studi S-3, diharapkan segera menempuh studi S-3 agar selalu memperoleh informasi tentang kebaruan dalam ilmu pengetahuan sesuai bidang ilmu yang dipelajarinya. (Alex Bala Gawen & Marianus Ola Kenoba)*


Feature ini telah dimuat pada Harian Umum Flores Pos, 22 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar