“Guru”, kata, dan profesi termulia dalam lantunan
“laudatio” himne Guru di Indonesia.
Kata, profesi, dan simfoni laudatio terhadap “spiritualitas”
seorang guru itulah yang barangkali mendorong Pak Willy memantapkan opsi
“panggilan” hidupnya sebagai guru. Panggilan untuk menjadi seorang pendidik,
sebetulnya sudah lama sekali menggema di dalam batin Pak Willy. Semenjak usia belia,
secara rutin Pak Willy terus mengasah kemampuan profesionalitasnya melalui
aktivitas membaca, menulis dan berbicara. Dosen senior di Fakultas Pertanian yang selalu tampil elegan ini
mulai bergabung di Universitas Flores sejak tahun 1998.
Jejak
perjalanan akademis Pak Willy dimulai dari studi kesarjanaannya di Universitas
Katolik Wijaya Karya Malang, dengan spesifikasi studi ilmu Manajemen, yang
diselesaikan tahun 1994. Selanjutnya, tahun 2005 Pak Willy menyelesaikan studi
Pascasarjana (S-2)
di Universitas Udayana Denpasar, bidang keilmuan Manajemen Agribisnis.
Menyadari tuntutan akan profesionalitas, maka Pak Willy memutuskan untuk
melanjutkan studi pada jenjang doktoral dengan konsentrasi studi Manajemen
Agribisnis dan berhasil menggondol gelar Doktor pada bulan Juli 2016. Disertasi
yang dipertahankan dan telah mengantar Pak Willy untuk menduduki “kursi” Doktor
berjudul,
“Efisiensi Usaha Tani Padi Ladang dan Keterkaitannya dengan Usaha Konservasi
Tanah pada Status Penguasaan Lahan yang Berbeda di Tanah Hak Ulayat”. Disertasi
yang kental dengan “jiwa” dunia pertanian di Kabupaten Ende ini, dipromotori
oleh Prof. Dr. Ir. Nohfil Hanavy, M.Si, Prof. Dr. Ir. Kliwon Hidayat, M.Si.,
dan Prof.Dr.Ir. Muslich Mustadjab, M.Sc.
Pertanian dalam Prisma Eco-Agricultural
Pengelolaan model pertanian tradisional lahan
kering disertai dengan berbagai legitimasi mitologis dan kultus atasnya,
merupakan bagian dari identitas kultural masyarakat petani etnis Lio. Kenyataan
ini menyedot atensi Dr. Willy untuk melakukan riset. Sejauh observasi awal,
teridentifikasi bahwa ada empat jenis status penguasaan lahan ulayat pada
masyarakat Kabupaten Ende,
yaitu: 1) gadai,
2) bagi hasil, 3) sewa,
dan, 4) pemilik hak garap. Dari sisi
“hukum” tak tertulis, penguasaan lahan ulayat ini tidak menuai permasalahan.
Namun, jika dipandang dari perspektif ekonomi pertanian justru sistem tersebut
menjadi problematis.
Menurut
riset Dr. Willy, sistem penguasaan lahan ulayat yang dipraktikan tersebut pada
satu sisi menjadi faktor penghambat produktivitas dan konservasi. Selanjutnya,
temuan penting dari riset ini menerangkan bahwa 1) penggarap belum mengembangkan rasa
“memiliki”/sense of belonging terhadap
lahan yang digarapnya,
2) pembagian hasil pada
sistem bagi hasil tidak selalu adil. Pada sebagian kasus, pembagian lebih
menguntungkan penggarap. Pada kasus yang lain, pembagian hasil lebih
menguntungkan pemilik, dan 3)
kemiringan lahan pertanian mencapai 40%
sehingga unsur-unsur hara tanah mudah tergerus.
Lebih dari itu, Dr. Willy
menegaskan bahwa upaya peningkatan produktivitas lahan pertanian dan produksi
pertanian dalam wilayah Kabupaten Ende tidak mungkin dilakukan secara parsial
(hanya mengandalkan paradigma ekonomi pertanian) semata. Jadi, kajiannya mesti
bercorak interdisipliner. Problem produktivitas lahan dan produksi pertanian
dalam konteks pengelolaan tanah ulayat ditelaah dengan memanfaatkan perspektif
ilmu antropologi, sosiologi, dan agronomi. Paradigma interdisipliner dibutuhkan
sebab persoalan pertanian di Kabupaten Ende tidak hanya menyangkut lahan kering
saja melainkan berhimpitan langsung dengan persoalan-persoalan kultural.
Dimensi Manusia dalam Pertanian
Secara
eksplisit, target riset Dr. Willy adalah mendorong peningkatan produktivitas
lahan dan produksi padi ladang dalam kaitannya dengan konservasi. Target riset
seperti ini, sepintas sangat ambigu. Peningkatan produktivitas lahan dan
produksi padi ladang, “berkiblat” pada logika hukum ekonomi. “Mengeluarkan
biaya seminim mungkin dengan “target” hasil maksimal”. Sementara itu, “hukum” konservasi alam persis
sebaliknya. “Mengeluarkan biaya lebih untuk keberlanjutan ekosistem dalam
jangka panjang”. Menariknya, modal kultural yang dikembangkan secara
turun-temurun oleh generasi pendahulu di Kabupaten Ende memungkinkan terjadinya
situasi peningkatan produktivitas lahan dan produksi serta konservasi.
Jika dibandingkan dengan
kebiasaan petani di pulau Jawa situasinya agak berlainan. Para penggarap lahan
di Jawa dibayar dengan sistem upah harian. Sementara itu, petani (penggarap) di
Kabupaten Ende bergotong-royong bergantian menggarap lahan. Implikasi logisnya
biaya atau pengeluaran untuk upah penggarap bisa ditekan dan digunakan untuk
biaya konservasi. Jadi, solidaritas tradisional yang merupakan ekpresi dari local genius ini merupakan modal perekat
yang menata alur peningkatan produktivitas lahan dan produksi pertanian serta
konservasi agar berjalan secara sinergis.
Menurut
Dr. Willy, agenda swasembada pangan tidak cukup hanya melibatkan pakar bidang
pertanian, atau peningkatan input
pertanian karena persoalan dunia pertanian lahan kering bercorak
multiparadigmatis. Secara spesifik dalam wilayah Kabupaten Ende, persoalan di
bidang pertanian bersinggungan erat dengan persoalan sosio-kultural.
Hasil
riset Dr. Willy juga menegaskan bahwa cukup banyak program pertanian yang tidak
optimal dijalankan. Program peningkatan hanya terkonsentrasi pada bibit, dan
keterampilan saja. Sementara itu, dimensi manusianya justru terabaikan. Saat
ini teori terbaru ekonomi produksi sudah menggunakan analisis fungsi produksi frontier di mana dalam setiap wilayah
pertanian yang menjadi pusat perhatian adalah individu petaninya. Jika ada
individu petani yang menghasilkan panen 1 ton (nilai tertinggi) dan ada yang
menghasilkan panen 100 kg (nilai terendah), maka yang diperhatikan adalah bagaimana
menstimulasi petani yang produktivitas
lahan dan produksinya rendah agar bisa menyusul target nilai produksi
tertinggi. Tampak jelas bahwa strategi untuk memacu petani mau tak mau
menggunakan pendekatan kultural, terlebih lagi karena tanah yang dikelola
adalah tanah ulayat.
Sekelumit Ekspektasi
Dr.
Willy termasuk salah satu dosen senior yang juga mengikuti perkembangan
Universitas Flores dari dekat. Agar institusi pendidikan ini semakin bermutu
dan terpercaya, maka menurut Dr. Willy setiap civitas akademika mesti
profesional dalam keilmuannya masing-masing. Bidang penelitian dan pengabdian
masyarakat oleh dosen di Uniflor perlu ditingkatkan lagi. Akar masalahnya
terletak pada minimnya alokasi waktu bagi para dosen untuk membaca
jurnal-jurnal ilmiah berskala internasional. Padahal, jurnal-jurnal ilmiah itu
merupakan salah satu referensi mengenai kebaruan ilmu pengetahuan. Atmosfer
akademik yang ideal melalui pertukaran gagasan keilmuan perlu dibudayakan di
lingkungan kampus. Selanjutnya, bagi para dosen yang belum menempuh studi S-3,
diharapkan segera menempuh studi S-3 agar selalu memperoleh informasi tentang
kebaruan dalam ilmu pengetahuan sesuai bidang ilmu yang dipelajarinya. (Alex Bala Gawen & Marianus Ola Kenoba)*
Feature
ini telah dimuat pada Harian
Umum Flores Pos, 22 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar