Halaman

Tampilkan postingan dengan label kehidupan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kehidupan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 September 2024

Kematian memang Manusiawi, tetapi Menyakitkan

Di saat aku harus menjawab serenteetan pertanyaan dari anak-anak dan anggota keluarga tentang mengapa Almahrumah istri dan mama dari anak-anak tercinta Mama Yulita Apolonia Sero Ringgi meninggal? Istri tercinta sakit apa? Sejak kapan dia sakit? Mengapa tidak dirawat baik-baik? Di mana dia pernah dirawat? Mengapa tidak mencari bantuan luar? Mengapa tidak memberitakan anggota keluarga yang lain untuk ikut mencari jalan keluar atas sakit yang diderita Almahrumah? Dan, berbagai pertanyaan lain yang tanpa henti dilontarkan kepada saya, Suami yang merawat dan tahu persis penyakit yang diderita Almahrumah tersayang. Belum selesai menjawab satu pertanyaan, pertanyaan berikut sudah dilontarkan. Begitu dan seterusnya. Di situlah aku kalah. Tuhan aku kalah yang pertama.

Kira-kira jam 03.00 sore, di ruang Nifas RS Umum Ende. Minggu, 04 Agustus 2024. Situasi campur aduk, padu padan antara sedih dan marah. Rindu dan sayang, mengapa Tuhan memanggil begitu cepat istri tersayang dan mama dari anak-anak yang masih kami sangat cintai dan kami butuhkan dalam kehidupan rumah tangga. Tuhan mengapa bukan orang-orang tua yang Engkau renggut yang sudah berhari-hari bahkan berminggu dan berbulan berbaring lesu dan nyaris tak berdaya lagi di atas tempat tidur ruang-ruang rumah sakit? Atau mereka yang bergelimpangan nyaris pula napasnya tinggal sebentar lepas, tetapi masih bisa bernapas panjang saat menerima bantuan medis? Dan, atau mereka yang hidupnya karut marut menjadikan orang lain sebagai korban guna-guna? Setelah diagnosa terakhir dokter lakukan, dia memanggil saya dan memberitahuakan bahwa istri tercinta telah "pergi" untuk selamanya. Ia pergi menghadap Sang Khalik Penguasa Alam Semesta dan jagat raya. Saya cuma menangisi kepergiannya. Kaku kering, ibarat pohon kersen di depan ruang Nifas yang kokoh tak tergoyahkan dibadai angin. Saya sadar bahwa hidup itu sementara. Kapan saja pemilikNya akan memanggil kita pulang.

Sebagai Suami yang mendampingi Almahrumah sampai titik napas penghabisan, saya memberanikan diri untuk mengangkat handphone dan menelpon anak sulung kami yang sedang berada di Jakarta. Paling tidak saya musti melakukannya dengan konsekuensi apapun. Begitu kontak tersambung, anak sulun langsung menyambar diujung handphone, bapa tidak jaga mama, ucapnya tegas. Ya, begitulah anak sulung yang sudah gadis, sudah paham tentang hukum dan doktrin saling mengasihi dan mencintai antara suami dan isti, dan anak-anak. Di situlah, aku kalah yang kedua. Tuhan, aku kalah yang kedua.

Mengingat kembali kisah-kasih semasa hidup. Terutama, cinta suami dan istri itu semakin kuat ketika salah satu di antaranya mengalami sakit. Saat istri tersayang mulai keluar masuk rumah sakit. Dimulai sekitar Maret 2021. Ke belakang sakit terus membuat badannya tidak sekokoh dulu. Tiga sampai empat tahun terakhir ini terus jatuh. Pernah sehat kembali kira-kira sepanjang tahun 2023. Tahun penerimaan komunio suci putra kami, 12 November 2023. Sehat, badannya pulih. Gemuk dan bertenaga. Namun, sayang kepulihan itu tidak berlangsung lama. Sepertinya, dia hendak menghibur kami, terutama saya dan anak-anak. Awal tahun 2024 kami mulai dengan semangat dan gembira. Ada susah dan sedih yang kerap hadir. Dimulai April 2024, penyakit Almahrumah kambuh lagi. Keluar masuk rumah sakit silih berganti. Waktu sakit kami berdua saling sharing sampai pada semacam melakukan penolakan dan protes terhadap Tuhan pemberi hidup. Tuhan, mengapa hanya istri dan mama dari anak-anak ini mengalami sakit seperti ini? Hampir-hampir tanpa ada waktu senggang sedikitpun untuk bisa sembuh dan bercengekerama leluasa dengan kami? Namun, kamipun berefleksi tentang kehidupan dan kematian. Refeleksi tersebut menghantar kami berdua tiba pada pernyataan Tuhan, kami kalah ketiga. Tuhan kami kalah yang ketiga.

Jumat, 31 Agustus 2018

Tradisi Lisan: Wujud Tenunan Kehidupan Manusia





                                         
Bahasa adalah suatu rekayasa teknologi untuk mengemas pengetahuan yang tertangkap manah (mind) untuk menghimpun, menyebarkan, dan mewariskan pengetahuan. Bahasa juga menjadi wadah penyimpan informasi, dan ia berkembang secara simbiosis dengan budaya dan keberlangsungan kehidupan. Perlu dikemukakan di sini bahwa fungsi utama bahasa manusia bukanlah untuk komunikasi saja, melainkan untuk simbolisasi (Piaget, 1963). Simbol adalah representasi kulltural dan ekologis dari realitas; jadi selalu sesuai dengan konteks orang, waktu, dan tempat, dalam hubungannya dengan manah (mind), pikiran, cara berpikir dan bertindak.
Sebagai pewaris dan pengguna bahasa, manusia juga dikenal sebagai makhluk naratif, yang suka berkisah, berceritera, dengan menggunakan bahasa. Bahasa adalah pencapaian tertinggi evolusi kesadaran manusia. Karena bahasa pada dasarnya adalah lambang untuk merepresentasikan apa pun, maka manusia menggunakan bahasa untuk berpikir, berkisah, bercakap, berceritera, umumnya secara verbal, memakai kata-kata tentang apa pun yang dipikirkannya, dialaminya (optik, auditoris, taktil, olfaktoris, kecap), dan dirasakannya. Manusia juga berceritera secara visual dalam coretan, dan lukisan–yang kemudian berkembang menjadi tulisan, dan secara kinesik dalam gerak–tari, misalnya. Manusia juga bernarasi mengenai apa yang dibayangkannya sendiri, bahkan tentang apa yang tidak ada karena ia menggunakan lambang yang abstrak yang dapat mengacu apa pun. Manusia bercakap-cakap secara lisan. Percakapan membuat seseorang menjadi manusiawi, menjadi sosial dengan menyentuh orang lain dengan kata-kata. Tetapi dalam perkembangannya manusia juga menulis, dan tulisan tersebut membuatnya menjadi beradab (Gusdorf, 1965: 3–10).
Selain bahasa, juga terdapat sastra yang dapat berbentuk lisan dan tulisan. Orang berceritera secara lisan sehari-hari, dan ketika ditekankan pada nilai keindahan berceritera, lahirlah sastra. Bahasa tulisan mulai dikenal manusia kira-kira 35.000 tahun yang lalu dalam bentuk coretan dan lukisan di gua-gua (Corballis, 1991: 45). Coretan dan lukisan itu mungkin digunakan untuk membuat catatan atau meninggalkan pesan kepada orang lain; dan bagi peneliti masa kini coretan atau lukisan itu dapat digunakan untuk merekonstruksi kesadaran manusia akan dirinya, sejarahnya, dan lingkungannya (Ong, 1982: 15). Bahasa dan sastra adalah warisan sosial, kultural, dan spiritual yang khas dan tak tergantikan.
Tradisi Lisan adalah roh kehidupan manusia. Semua pengalaman hidup manusia dipatri dalam tradisi lisan mulai dari pangkuan ibu, ayah, nenek, kakek, maupun pengasuh yang lain. Seorang anak mengenal dunia melalui tradisi lisan. Sebagai pengamatdan peneliti bahasa saya selalu terbawa oleh dahsyatnya memori manusia sebagaimana dicatat di dalam bahasanya. Melalui memori kita mengingat masa lampau: semua yang kita alami dan pelajari tentang dunia; dan dengan memori kita membuat proyeksi ke masa depan. Dalam sejarah perkembangan makhluk manusia kita mengalami tiga tahap penting dalam kehidupan. Pertama, kita berevolusi karena adanya dan mengikuti DNA (deoxyribonuclieic acid), suatu ensiklopedia yang memuat informasi lengkap tentang wujud fisik genetis manusia; kedua, munculnya sistem saraf dalam otak manusia, terutama neo-korteks, yang menyimpan memori manusia sejak lahir sampai wafatnya; dan ketiga, munculnya bahasa, yang menjadi alat untuk mencatat seluruh pengetahuan manusia dan alat untuk mengkomunikasikannya dengan manusia lain dan mewariskan pengetahuan itu kepada keturunannya (Periksa Midner, Vesna. 2008. The Cognitive Neuroscience of Human Communication).
Ketiga hal di atas telah menjadi perhatian para ahli genetika, ahli neurologi, dan ahli bahasa. Dan, kita semua dibuat tertegun dengan pengetahuan itu karena di situ ditunjukkan betapa Maha Besarnya, betapa Maha Kasihnya Tuhan yang telah menciptakan manusia, yang sungguh-sungguh berbeda dengan makhluk lain, termasuk kerabat paling dekat kita secara evolusi, yaitu primata atau kera–yang menurut penelitian ahli genetika, 98 persen sama dengan kita secara fisik. Kita bersyukur bahwa ada perbedaan sekitar dua persen. Perbedaan antara “langit dan bumi”, dua persen itu adalah bahasa dan budaya.
Yang saya sebutkan di atas adalah pengantar bagi kuliah umum yang akan diberikan oleh Ibu Profesor Doktor Pudentia. Kami sangat berbangga dengan karya dan nama Anda di bidang pengkajian tentang tradisi lisan dan kami siap belajar dari pengalaman Anda, dan di masa yang akan datang bekerja sama untuk mengembangkan studi tentang tradisi lisan di Universitas Flores ini. Kami sadari betapa pentingnya tradisi lisan karena ia mengkaji dan berhubungan langsung dengan serat, fabric, yang merupakan dasar untuk membangun wujud “tenunan” text, kehidupan manusia. Kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalmnya atas kesediaan Ibu mengunjungi Universitas Flores dan memberikan kuliah umum untuk menambah wawasan kami tentang tradisi lisan. (*)



[1]  Disari dari Naskah Pidato Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A.,Rektor Universitas Flores, Ende yang Disampaikan pada Acara Pelantikan Pengurus Asosiasi Tradisi Lisan Flores Ende, pada Selasa, 22 Maret 2016, di Auditorium H.J.Gadi Djou, Jl. Sam Ratulangi Ende, Artikel ini telah dimuat pada HU Flores Pos, 2 April 2016.