Halaman

Tampilkan postingan dengan label proses. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label proses. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 November 2017

Mengurai Benang Kusut Pendidikan



Narasi tentang dunia pendidikan kita ibarat mengurai benang kusut, yang berbelit dan sulit terurai. Kendatipun melalui suatu proses yang cukup teliti dan menyakinkan, tetapi hasilnya “tetap kusut”. Output tahunan pun anjlok, kemampuan bidang terbaca bahwa anak-anak sekolah kita akhir-akhir ini terlibat perkelahian, tawuran, peredaran narkoba dari aksi-aksi krinimal serupa. Belum lagi dengan persoalan-persoalan non teknis yang sangat mempengaruhi proses pendidikan. Guru dibebani dengan aturan dari kewajiban yang sangat variatif, dengan sistem birokrasi yang sangat berbelit. Pada akhirnya, benang pendidikan tetap kusut dari berbelit. Akibatnya, mutu pendidikan kita dari tahun ke tahun disinyalir dari dikeluhkan masih tetap rendah.
Terlepas dari polemik tentang mutu pendidikan tersebut, kita tentu saja menaruh keprihatinan yang amat sangat mendalam atas sebuah proses panjang, tetapi masih belum apa-apa. Permenungan ini akan coba mengangkat fenomena rendahnya mutu pendidikan kita yang dari tahun ke tahun tetap menjadi benang merah pengangkatan kualitas pendidikan kita.
Mutu merupakan (ukuran) akan baik-buruk suatu benda, kadar, taraf, atau derajat (tentang kepandaian, kecerdasan, dari kecakapan). Di sini mutu terimplisit upaya untuk mengaktualisasikan pendidikan, mutu mungkin tepat menyangkut taraf atau derajat tentang kepandaian, kecerdasan, dari kecakapan. Dalam hal ini, mutu mencakup ranah kognitif, afektif dari psikomotorik atau keahlian. Ketika tidak ada ketidaksesuaian dari ketidakcocokan antara teori dari praktik di lapangan, maka akan menggejala kosa kata baru untuk mengungkapkan konteks tersebut, yakni mutu. Bagaimana kita menjamah yang terimplisit dalam setiap individu (peserta didik) yang pada dasamya punya potensi itu, tentu saja tidak gampang. Hal ini butuh suatu proses. Dari, dalam proses dimaksud juga ada upaya dari strategi untuk mencapai tujuan.
Sampai tahap ini, pertanyaan berikut akan dilemparkan kepada publik untuk direnungkan. “Siapakah yang bertanggung jawab untuk menjamin agar peserta didik (output) kita dapat bermutu?”
Dalam konteks pendidikan, kita mengenal beberapa komponen penting yang terlibat langsung proses tersebut. Ada keluarga (orang tua), sekolah (guru) dari masyarakat..Orang tua mendidik karena secara kodrati mereka harus mendidik. Baik buruknya anak di sekolah sebagian besar mer pakan tanggunjawab orang tua dari secara tidak langsung keluarga telah terlibat aktif dalam pembentukan nilai, sikap,kebiasaan dari keterampilan untuk menunjang keberhasilan sekolah. Dengan demikian asumsi bahwa.tugas .orang tua selesai ketika anaknya telah diantar ke sèkolah adalah suatu kekeliruan dari sudah saatnya ditinggalkan. Sementara, sekolah merupakan penyedia sarana dari fasilitas formal pengembangan pengetahuan anak. Guru bukan menjadi satu-satunya. Guru hanya salah satu sosok yang mengemban tugas mendidik. Konsekuensinya, guru hanya bertemu dengan anak (siswa) kurang lebih 6-7 jam dalam sehari. Selebihnya anak akan berada bersama orang tua dari masyarakat.
Secara formal, kita juga sepakat bahwa berbicara petihal mutu pendidikan berarti kita cendenung berbicara ten- tang mstitusi formal (sekolah). Sekolah sebagai penghasil’ (keluaran) setelah melewati suatu proses penempahan dengan berbagai ilmu yang tentu saja telah mengantisipasi sehingga seimbang dengan pasar kerja. Guru sebagai instrumental imput telah siap menjalan roda lembaga pendidikan. Dengan demikian, untuk mengukur keberhasilan anak, orang lebih melihat kepada lembaganya (penting hasil). Atau mutu dari tidak bermutunya output akan ditentukan oleh lembaga penghasil. Walaupun kalau kita cermati realitas di masyarakat, sesungguhnya argumen di atas masih membutuhkan telaahan lanjutan, sehingga kita tidak saling mengklaim atau menuding. Tentu saja demi keharmonisan relasi antara lembaga-lembaga pendidikan.
Sebagai instrumen imput, sebelum mengajar guru harus betul-betul menyiapkan materi yang akan disajikan. Dia harus berusaha mengantar siawa menyelaini materi. Efektivitas dari efisiensi pengajaran sungguh menjadi acuan demi menjawab mutu pendidikan. Sehingga, guru lebih berusaha menggunakan pendekatañ komunikatif untuk merangsang terdapatnya daya nalar anak, serta menjunjung tinggi kretivitas menuju optimalisasi potensi anak sebagai subjek didik. Atau proses pelahiran generasi baru tidak gagap menghadapi realitas.
Hemat penulis, gema pengangkatan sumber daya manusia menjadi pilar utama program pembangunan hendaknya tetap menjadi prionitas. Penyediaan prasarana dari sarana pendidikan tetap disinkronkan dengan ketersediaan sumber daya yang ada untuk menghindari pemubaziran fasilitas-fasilitas dimaksud. Sebagai contoh, penanibahan pembangunan gedung sekolah bukanlah tujuan akhir, tetapi untuk mengoptimalkan fasilitas yang ada baik pengangkatan pengadaan mqa kursi, buku-buku pengajaran (perpustakaan), pemerataan tenaga guru1 senta perhatian akan kesejahteraan guru. Hal-hal ini tampaknya kecil, namun merupakan pengganjal pengguliran sistem pendidikan yang sedang berjalan.
Sejalan dengan upaya human resources khususnya pengangkatan di bidang pendidikan, ada bebenapa fenomen penting yang harus digaris bawahi.
Pertama, kalau kita beracu dari ikhlas, make kita sepakat untuk tidak merumuskan dari membuat kurikulum secara terpusat dari terinci. Jadi, yang ada hanya tujuan-tujuan pokok atau sasaran utama yang dipaparkan dalam kurikulum tersebut. Kondisi sentralistik pendidikan akan cenderung mengarahkan pembelajaran kepada belajar “tentang” bukan ‘bagaimana”. Apalagi realitas di Indonesia, para guru menghadapi kelas-kelas besar. Tentang hal ini Ronald L. Teraham mengatakan bahwa esensi belajar dalam mempelajari bagaimana cara belajar. Implementasi sistem sentralistik yang demikian akan semakin memperarah dan memperbesar penerapan strategi nasional (para perumus kebijakan) dengan taktik local operasional di lapangan. Disini kita yakin dan percaya bahwa dalam kemajemukan, ada wilayah-wilayah tertentang pemilik keunikan yang spesifik.
Berangkat dari pensepsi ini kita mulai melangkah. Sehingga menasionalkan dari menyenagamkan kurikulum sangat ketat merupakan strategi untuk mematikan kreativitas dari movasi anak didik. Lebih dari itu adalah upaya konyol terhadap pengembangan pendidikan kita. Ketika kondisi yang sama kita tetap terapkan, maka satu desain yang berbeda terstruktur sedang dikonstruksi ke arah upaya priniordialisme pendidikan yang melanggar amanat GBHN.
Kedua, proses penerimaan tenaga pendidik perlu format tanpa mengabaikan instrumen-instrumen yang telah ada. Tenaga guru yang direkrut harus memenuhi kriteria yang objektif. Ketiga, pemerataan penempatan tenaga guru sampai ke daerah pedalaman untuk mencegah penumpukan tenaga guru di kota. Keempat, fenomena cab pendidikan yang terjadi di seputar kantor Diñas Pendidikan yang menusak citra lembaga pendidikan dari integritas anak didik. Kondisi ini semakin marak .ketika berlangsungnya penerimanaan siswa/murid baru. Mentalitas dan gampang baik orang tua menyuap pans pendidik yang turut menambah kusutnya benang pendidikan. Kelima, memberikan kesempatan kepada tenaga pendidik untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang profesional sebagai upsya penyegaran pembelajaran dari penggunaan fasilitas pengajaran. Di samping itu, untuk meningkatkan kemampuan dari tugas manajerial lainnya. Keenam, suatu perjuangan akan sia-sia,jika kesejahteraan para guru tidak diperhatikan. Bagaimana mungkin keberhasilan bisa diraih kalau kesejahteraan guru diabaikan? Lembaga pendidikan adalah lokomotif dasar bagi pembangunan. Maka, perjuangan untuk mengangkat mutu pendidikan merupakan tanggung jawab bersama yaitu orang tua, masyarakat, para pendidik dari pemerintah.*






[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 25 Juli 2003

Pendidikan Nilai untuk Generasi Muda




Menyimak beberapa kasus belakangan seperti yang diberitakan lewat berbagai surat khabar antara lain, pemerkosaan anak di bawah umur, perkelahian antargeng, tawuran antarpelajar, pembunuhan secara sadis orang yang tak bersalah, dan sebagainya, menggugat nurani kita untuk bertanya: di manakah nilai seorang manusia itu? Sambil terhadap kenyataan dalam nuansa demikian, siapakah yang patut bertanggungjawab? Orang tua, guru atau lingkungan (masyarakat)?
Pertanyaan di atas sebetulnya merupakan aphoria klasik yang didengungkan dari zaman ke zaman. Namun, mengapa tak pernah hilang terbawa angin zaman adalah tantangan berat buat komponen-komponen terkait untuk menjawabnya. Kalau ditilik secara cermat, memang terdapat celah dalam lmgkaran tersebut yang memungkinkan untuk saling tarik-menarik dan melempar kesalahan antarkomponen pendidikan. Tentunya argumen yang dikedepankan tidak terlepas dari tempat terjadinya suatu peristiwa. Dalam arti, apakah kejadian itu berlangsung di keluarga, sekolah atau masyarakat.
Tulisan sederhana ini lebih menukik pada bagaimana sebuah pendidikan nilai, yakni sesuatu yang diyakini, dipegang sebagai sesuatu yang berharga untuk acuan hidup itu dikemas dan dipaketkan kepada kaum muda. Tentu saja harus dilakukan oleh institusi-institusi di atas.
Terdapat asumsi yang keliru yang berkembang di kalangan masyarakat bahwa tugas mendidik sepenuhnya adalah tanggung jawab guru. Tugas itu selesai ketika mereka (orang tua) telah menghantar putra-putri mereka masuk ke lembaga pendidikan formal. Gejala ini termanifestasi lewat berbagai tindak kejahatan yang disinyalir dilakukan oleh generasi muda. Terhadap klaim-klaim yang disinyalir tersebut, bukan berarti keluarga dituduh sebagai biang kehancuran, tetapi hendaknya menjadi feed back yang tepat untuk melihat keberhasilan pendidikan nilai yang ditanam dalam keluarga. Sejauh mana pendidikan nilai itu telah memberikan sesuatu bagi kehidupan dan perkembangan kaum muda. Keluarga merupakan basis pendidikan nilai bagi generasi muda, sehingga keluarga sedapatnya memberikan nilai-nilai atau ajaran yang dapat dianut dan diteladani oleh anak-anak. Keluarga harus mampu memberikan rasa aman dan bahagia kepada anak. Berlaku yang demokratis sangat diharapkan agar dapat menciptakan suasana yang akrab dan menyejukkan.
Sebaliknya, anak (generasi muda) akan merasa tertekan kalau mereka dipaksakan menelan terlalu banyak ajaran atau nilai yang baik. Permasalahannya bahwa, ketika mereka belum punya waktu mengunyah ajaran sebelumnya, sudah diberikan hal yang baru, sehingga generasi itu merasa jengkel dan acuh tak acuh. Akibatnya, nilai dan ajaran yang ditelan tak satupun yang dicerna dan dilaksanakan. Tanpa pemberian waktu dan ruang yang cukup untuk meresapi nilai dan ajaran kepada anak akan berdampak pada hal-hal yang tidak baik. Akan terjadi kepura-puraan, apatis dan sering memprotes. Dengan demikian, tanpa disadari bahwa keluarga cenderung menghargai “hasil” dari pada sebuah “proses”. Mungkin tokoh cerita Sysiphus dalam The Myth Of Sysiphus karya Albert Camus, dapat menjadi landasan untuk memberikan penghargaan kepada dua kondisi di atas.
Bagaimana seorang, Sysiphus dihukum oleh para dewa untuk menggulingkan batu karang besar ke atas puncak bukit. Akhirnya, Sysiphus sendiri sadar bahwa pekerjaan yang sedang dilakonnya adalah sia-sia, tetapi ada satu hal bahwa kesetiaannya akan pekerjaan tersebut menunjukkan ia menghargai proses bukan hasil.
Dunia pendidikan juga tampak sebagai sebuah benang kusut yang sangat mempengaruhi orang muda. Kurikulum yang bersifat sentralistik, tidak mempertimbangkan kondisi sosiokultural suatu wilayah merupakan kendala yang perlu mendapat perhatian secara serius. Fenomena yang menganggap pendidikan adalah sebuah proses transfer pengetahuan, merupakan bentuk pemahaman yang keliru. Akibatnya, anak hanya dijejali dengan aspek-aspek kognitif semata. Tujuannya, agar anak dapat mengetahui sebanyak-banyaknya ilmu atau pengetahuan, tanpa memperhitungkan nilai-nilai kehidupan. Demikianlah, tanpa disadari bahwa lembaga pendidikan sedang mencetak generasi muda yang kaya ilmu tetapi buta hati. Menghasilkan generasi yang gagap menghadapi realitas. Akan cenderung brutal terhadap sesuatu karena mudah terpengaruh tanpa pertimbangan yang matang.
Meletakkan pendidikan nilai pada aspek kognitif  yang berujung pada momen pemberian angka dalam rapor siswa. Pendidikan nilai hanya diukur dengan angka, sehingga siswa sekedar berusaha untuk memenuhi atau mengejar target naik kelas dan tidak boleh mendapat angka merah. Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan nilai telah hilang arah dari sasaran, karena cenderung kepada angka-angka matematis, ketimbang waktu dan ruang yang cukup untuk membathinkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran sebagai motivasi hidup.
Belum cukup di sana lingkungan yang kurang bersahabat turut memperparah pengendapan nilai yang sedang dikunyah generasi muda. Menjamurnya tempat-tempat hiburan, penayangan berbagai adegan kejam lagi panas lewat televisi dan laser disc, merupakan contoh kasus yang tak pelak lagi di dengar.
Terhadap realitas yang kian mengkhawatirkan generasi muda ini tentunya langkah-langkah bijak perlu ditempuh untuk meminimalisir segala kerusuhan dan tindak kejahatan yang diduga telah tumpulnya pendikan nilai bagi generasi tersebut.
Beberapa hal sebagai pembinaan ini, antara lain: pertama, perlu melakukan otokritik akan kekurangan-kekurangan yang ada dalam lembaga-lembaga di atas dan berusaha menjalin mitra dalam menentukan suatu model pendidikan nilai yang lebih baik dan relevan dengan perkembangan yang akan datang. Kedua, memberikan waktu dan ruang yang cukup bagi generasi muda untuk membathinkan nilai-nilai dan ajaran yang telah diberikan. Tanpa harus memaksa untuk lebih cepat mengaktualisasikan nilai dan ajaran tersebut karena hal ini butuh suatu proses yang panjang. Ketiga, membiarkan generasi muda untuk belajar sendiri nilai-nilai sambil membimbing agar generasi ini tidak berlaku pura-pura dalam bertindak. Keempat, mengaktifkan kembali tradisi lisan kita, yaitu “mendongeng”. Khususnya kepada anak usia sekolah, karena kita tahu bahwa kesusastraan lisan atau suci-rohaniah ini dapat menumbuhkan dan mengembangkan budi pekerti untuk dapat membedakan yang baik dari yang jahat.
Dengan demikian, adalah suatu komitmen bersama untuk menjadikan bangsa ini bebas dari segala kerusuhan dan kekecauan. Tentunya, generasi muda menjadi prioritas. Sebab mereka adalah pemegang estafet masa depan bangsa. Kalau pendidikan nilai tidak mendapat skala pnoritas dalam pendidikan ke depan, maka bukan tidak mungkin cita-cita di atas tetap menjadi sebuah utopia belaka.*




[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 14 Desember 2000