Halaman

Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Maret 2023

Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo karya W.S. Rendra

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi

bulan berkhianat gosok-gosokan tubuhnya di pucuk-pucuk para

mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok yang diburu

surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang.

Segenap warga desa mengepung hutan itu

dalam satu pusaran pulang-balik Atmo Karpo

mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang

berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.                    

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya

penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.

 __ Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!

Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa.

Majulah Joko Pandan! Di mana ia?

Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa

 Anak panah empat arah dan musuh tiga silang

Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh silang.

 __Joko Pandan! Di mana ia!

Hanya padanya seorang kukandung dosa.

 

Bedah perutnya tapi masih setan ia

menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala.

 __Joko Pandan! Di mana ia!

Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Panndan

segala menyibak bagi derapnya kuda hitam

ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.

Pada langkah pertama keduanya sama baja

pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo

panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.

Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka

pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah

 Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang

Ia telah membunuh bapanya

 W.S Rendra, Ballada Orang-orang Tercinta, Jakarta: Pustaka Jaya

 

Skenarionya:

1.        Jelaskan sedikit saja tentang puisi!

2.        Temukan kata-kata konotatif dalam puisi tersebut! (kata-kata yang bertanda kuning).

3.        Buatlah gambaran umum tentang puisi tersebut!

4.        Masalah apa yang ditampilkan penyair dalam puisi tersebut!

5.        Apa sikap penyair terhadap masalah? (bermacam-macam: persuasi, simpati, sinis, prihatin, acuh, mengajak, mempengaruhi, nasihat, petunjuk, dll, tergantung warna puisinya).

6.        Bagaimanakah sikap penyair terhadap pembaca?

7.        Buatkan kesimpulannya!

8.        Bacakan puisi di depan kelas dengan gaya masing-masing!


Pengantar:

Puisi merupakan sebuah cipta sastra yang universal interpretatif. Ia adalah pergumulan indidual akan sebuah realitas. Sebuah rekaman mimesis akan segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat. Tentang kemiskinan, ketidakadilan, dll. Salah satu cara pembaca menginternalisasikan atau membathinkan sebuah puisi adalah dengan mengindahkannya, menikmatinya, kemudian menghargainya.

 Soal-soal diskusi kelompok.

1.        Gambaran umum puisi Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo

Puisi Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo, mengisahkan sebuah dunia Atmo Karpo, keserakahan dan dunia kekerasan yang mesti dijalaninya. Dunia keserakahan tentang hal-hal duniawi. Dunia kekerasan penuh dendam, benci, dan permusuhan, baik dengan orang-orang di kampungnya, orang-orang dekat, termasuk dengan anaknya. Atmo Karpo gagah perkasa dengan dunia kekerasannya memasuki kampung, meskipun akhirnya binasa juga justru di tangan anaknya sendiri. Bahwa ternyata kekuasaan acapkali membuat kita kalap dan lupa akan kasih sayang kepada sesama, mungkin juga terhadap anak.

2.        Masalah apa yang ditampilkan penyair dalam puisi.

Misalnya:

a.       Apakah kita menginginkan sifat serakah dalam hidup ini?

b.      Bagimanakah perasaan kita ketika mengamati, menyaksikan sebagaian sesame kita hidup dalam kemiskinan, kemelaratan, sedangkan yang lain bergelimangan harta?

c.       Dll.

3.        Apa sikap penyair terhadap masalah? (bermacam-macam: persuasi, simpati, sinis, prihatin, acuh, mengajak, mempengaruhi, nasihat, petunjuk, dll). Sikap penyair di sini adalah marah dengan ketakberpihakan pemerintah dengan rakyatnya.

 

4.        Sikap penyair terhadap pembaca

Sikap penyair terhadap pembaca pada puisi ini adalah membiarkan pembaca mencoba dan berusaha untuk menafsirkan pesan secara sendiri-sendiri. Hal ini ditandai dengan penyair menggunakan kata-kata simbolik dalam puisi tersebut. Pembaca dapat menghubungkannya dengan situasi sosial yang berada di sekitar kehidupan mereka.

5.        Kesimpulannya

Pengarang puisi hendak membangunkan kesadaran, nurani, rasa, juga budi  kita untuk saling menghargai kehidupan ini. Misalnya, menjadi pemimpin yang memahami rakyatnya, mahasiswa yang mengetahui tugasnya, orang tua yang melindungi anaknya, anak yang menghormati orang tuanya,dll. Dengan demikian, hargailah hidup, karena hidup ini bersifat sementara dengan perbuatan-perbuatan bajik, dan bernilai untuk orang lain.

 

Lab. drama fakultas sastra universitas negeri malang

13 oktober 2010

                                 @lexander bala gawen

 

 

Kamis, 27 Oktober 2022

Membaca Tanda-Tanda karya Taufik Ismail

 


Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas

dari tangan

dan meluncur lewat sela-sela jari kita

 Ada sesuatu yang mulanya

tak begitu jelas

tapi kini kita mulai merasakannya

 Kita saksikan udara

abu-abu warnanya

Kita saksikan air danau

yang semakin surut jadinya

Burung-burung kecil

tak lagi berkicau pagi hari

 

Hutan                         kehilangan ranting

Ranting           kehilangan daun

Daun               kehilangan dahan

Dahan                         kehilangan hutan

 

Kita saksikan zat asam

didesak asam arang

dan karbon dioksid itu

menggilas paru-paru

 Kita saksikan

Gunung          membawa abu

Abu                 membawa batu

Batu                membawa lindu

Lindu              membawa longsor

Longsor           membawa air

Air                   membawa banjir

Banjir

air

mata

 Kita telah saksikan seribu tanda-tanda

Bisakah kita membaca tanda-tanda?

 

Allah

Kami telah membaca gempa

Kami telah disapu banjir

Kami telah dihalau api dan hama

Kami telah dihujani abu dan batu

 

Allah

Ampuni dosa-dosa kami

 

Beri kami kearifan membaca tanda-tanda

 Karena ada sesuatu yang rasanya

mulai lepas dari tangan

akan meluncur lewat sela-sela jari


Karena ada sesuatu yang mulanya

tak begitu jelas

tapi kini kami

mulai

merindukannya

 

 Beberapa catatan apresiasi:

Ø  Puisi ini sebetulnya menggambarkan sebuah keprihatinan alam dan para pelakunya. Dengan demikian, ada kobaran harapan, kecintaan, serta upaya untuk melestarikan alam yang adalah sumber segala hidup di bumi dan dunia.

Ø  Kita bisa begitu gampang menyaksikan polusi dan sampah berserakan di mana-mana. Inilah keserakahan manusia terhadap alam.

Ø  Mungkinkah masih tumbuh sikap dan perilaku untuk memelihara alam yang indah, agar tetap awet dan lestari.

Ø  Puisi  ini juga menggambarkan adanya perubahan pola perilaku, pikiran, dan sikap terhadap alam. Perubahan-perubahan dimaksud memprlihatkan kerusakan alam di mana-mana.  Aktivitas pertambangan, penebangan, anomali cuaca, adalah contoh nyata betapa kita mulai resah dengan perubahan pola perilaku dan gaya hidup modern.

Ø  Puisi ini juga menggambarkan latar belakang kehidupan seorang Taufik Ismail yang adalah seorang sarjan kehewanan, namun memiliki keberpihakan yang amat sangat tinggi, dalam, dan sempurna akan proses pelestarian hutan.

   Tugas:

Carilah informasi latar belakang kehidupan Taufik Ismail sehingga dia menciptakan puisi ini. Bandingkan dengan puisi ”Kupu-kupu Dalam Buku”, karya Taufik Ismail.

Jumat, 11 Februari 2022

Puisi Memandangmu & Di Pantai Ende

Memandangmu (1)


memandangmu tak berkedip

dari puncak bukit Wongge

hamparan laut Sawu

palung menangkar ikan dan biota laut

tempat mengail nafkah para petualang bahari


akan kuceriterakan kepada anak-anakku di ruang kelas

saat diskusi tentang dunia bahari

yang luas tak bertepi

juga tentang engkau nelayan 

yang setia melempar pukat dan sauh


akan kujawab pertanyaan siswa dengan kejujuran

tentang dedikasi, semangat, dan kerja keras

darimu yang tanpa patah asa

mengarungi ombak biru pagi malam

demi asupan protein generasi bangsa.


setelah itu aku pulang

menceriterakan kepada istri dan anak

tentang keringat yang menetes pekat

luruh pelan dari petambak garam 

yang hasilnya dinikmati di atas meja makan

tapi hidupnya pas-pasan


itu semua dari laut sayang

demi kesehatan bangsa


dan akan kuajarkan tentang makna kesabaran dan ketabahan 

juga tentang kesuksesan yang tidak datang sendiri.

pun tentang keramahan menjaga ekosistem bahari

kepada semua mereka yang mencintai laut

agar masa depan anak bangsa lestari.

(*)



Di Pantai Ende


di pantai Ende

ikan-ikan berkeriapan


ada seorang nelayan datang bercerita

tentang musim melaut

yang selalu membuat jala terkoyak

penuh rezeki melimpah


di suatu pagi ketika pulang melaut

di musim tenggara

seorang lagi bercerita

tentang kail dan umpan

yang tak pernah bersarang semalam suntuk


keduanya bersua

melukis kisah di pasir pantai Ende

memeterai terima kasih di atas riak arus selatan

bahwa rahmat Tuhan selalu disyukuri (*)


____________________

Puisi Memandangmu dan Di Pantai Ende dimuat dalam Antologi Puisi Maritim: Tarian Laut, yang diterbitkan oleh Penerbit Kanisius Yogyakarta (2022)









Jumat, 09 Oktober 2020

Merawat Ziarah dengan Puisi


                              Setengah
tutur kataku tanpa makna,

Namun kuucapkan jua, agar setengahnya lagi

Mencapai dirimu

[Khalil Gibran, Pasir dan Buih, Pustaka Jaya, 1988: 17]

 

 Ansel Langowujo (AL) adalah seorang frater calon imam. Menurut dugaan banyak orang, tulisan-tulisannya akan berkutat pada hal-hal yang bersifat religius sakral. Seruan-seruan profetis dalam nada khotbah dan petunjuk praktis kepada kehidupan komunitas beragama (Katolik) akan pentingnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai spiritual keagamaan dalam kehidupan berumat. Dalam konteks demikian, agaklah mengejutkan ketika disodorkan tulisan berupa kumpulan puisi untuk dicerna. Apakah ini seruan untuk merenangi hidup lebih jauh, lebih dalam lagi menemui makna dan hakikat hidup itu sendiri? Hemat saya, ada gumpalan asa terang yang sedang “disuarakan” AL dalam berbagai nada dan ritme pada baris bingkai dan perspektif biblis kontekstual.  Lontaran bahkan “tuduhan“ empiris akan praksis kehidupan umat menjelma dalam seruan profetis atas praktik liturgis atau kehidupan berumat yang ketika “senang” lupa Tuhan, dan “susah” ingat Tuhan, sebagaimana tersurat dalam “Kudeta Tuhan” berikut ini:

Saat saya susah

saya berdoa

“Bapa kami yang ada di surga (Bapa ada di surga).”

 

Saat bahagia dan senang

Saya berdoa

Bapa

Kami yang ada di surga (Lalu Bapa ada di mana?).”

Inilah sebentuk karya kontekstual yang lain. Awasan bahkan ingatan di tengah pergumulan hidup umat yang kian ditantang untuk selalu berada pada jalan Tuhan. Pada kecenderungan hedonisme instan dan pragmatisme duniawi. Dibutuhkan nasihat. Mungkin juga sindiran ala “sastra” dalam deret kata karya profetis spiritual untuk saling mengingatkan, saling meneguhkan dalam cara yang berbeda. Luapan ekspresi kerinduan AL akan dirinya dengan Dia asal-mula hidup.Tampak sebuah kerinduan itu. Ia pun menaut kerinduan dengan orang-orang tercintanya dan terlebih kerinduan unio mistika yang bulat, total, utuh untuk berjumpah dengan Dia yang didambakan dalam ziarah panggilannya. Sedang terpekur kesendirian laksana kuku kaki yang tak hendak tercerabut dari tunasnya, AL pun melakar Rindu yang teramat kuat:

Seperti itu rinduku padamu

Setelah rinduku hampir kaku di kuku kaki waktu

Datang Kau serupa aku

Matamu adalah biji mataku

Hidungmu adalah napas jiwaku

Hatimu adalah jantung hidupku

Mu-Mu adalahku-ku

Ku-ku adalah Mu-Mu

 Kerinduan tersebut sampai ke demarkasi ziarahnya agar kelak dibangun “tugu rindu” sebagai tanda ekspresi kerinduan yang amat sangat, bahwa AL telah dan akan melampaui ziarah panggilan sampai ke tapal batas.

 Puisi adalah kelahiran

AL selalu menukil kisah ziarah kehidupan manusia dalam konteks yang baru. Baru dipahaminya sebagai kelahiran. Maka, ia pun memulai antologi ini dalam konteks dan ruang kelahiran. Kelahiran baginya merupakan titik mulai, juga titik berangkat yang pada akhirnya menemui ajal pada titik batas pada nuansa lazuardi. Di sana pun ada kelahiran kembali. Di tengah-tengah ada ruang dan waktu yang tidak kosong, selalu saja diisi dengan suasana dan situasi baru. Baginya itulah rentetan hidup yang diberi nama lintasan kelahiran. Rentang keberadaan itulah senantiasa dihayati sebagai kelahiran. Berawal dari ketidaksempurnaan sebagai manusia, manusia selalu ditantang menuju pada yang sempurna.  Namun, proses itu tetap tidak menggapai yang sempurna. Berada di antara satu titik persimpangan antara sempurna dan tidak sempurna. Antara pasti dan tidak pasti. Matematis dan nonmatematis. Dalam cermin pikir demikian, AL menulis dalam “Manusia ½ Puisi” di bawah ini.

Hari ini lahir

………………..

 Baris puisi di atas membuat pengandaian bahwa kelahiran selalu ada setiap saat. Terjadi dari waktu ke waktu. Demikian pun puisi adalah kelahiran kembali. Secara eksistensial, manusia adalah makhluk yang ego individualistik yang dilahirkan seorang diri. Terlempar ke dalam komunitas sosial dalam memperteguh sisi sosialitasnya sebagai makhluk sosial. Dan, karena itu manusia pun kadang lupa akan dirinya di antara yang lain. Sering lebih “melihat” orang lain dari dirinya. Cenderung bertanya “mengapa” tentang dirinya dibandingkan “bagaimana” dengan dirinya. Ada dua sisi yang berbeda dari satu manusia yang sama. Eksistensi manusia ½ yang butuh waktu untuk utuh, penuh, dan sempurna. Dibutuhkan kelahiran kembali dari saat ke saat demi membuat hidup pribadi dan sosial semakin lebih berimbang. Kelahiran selalu membuat sesuatu menjadi baru. Semua orang menjadi merasa bahagia dan yakin tentang hidup baru, kendati berujung duka ketika ajal menjemput.

Hidup pun cenderung dianggap sebagai “kami atau saya”, sebagai kelompok orang, bukan kita atau sekalian sebagai komunitas. Dikotomi cara pandang atas lintasan kehidupan yang plural adalah fakta bahwa para penghuni bumi diajak untuk saling memahami. Merawat ziarah kehidupan dengan menebar damai di antara orang. Merawat kehidupan demikian tentu tidak sebatas mengucap atau mengeja kebaikan, melafal kedamaian dalam tutur ritual kegamaan, namun harus melampaui verbalisme kata-kata. Kehidupan riil tentang kebaikan dilalui dengan mendamaikan diri dan sesama, menjadi jawaban yang terus-menerus diinvestasi sebagai bekal hidup akhirat. Dalam konteks itulah, AL mengguratnya dalam “Demonstrasi di Depan Surga”.

Jangan bibirkan damai

Jangan bilang damai

Apalagi teriakkan damai

Tetapi masuklah dalam kamarmu

Tutuplah pintu

dan damaikanlah dunia seperti engkau mendamaikan dirimu sendiri

 Kampung Matahari: sebuah perjumpaan realitas

Kampung Matahari AL adalah sebuah perjumpaan kontekstual akan realitas hidup yang sebenarnya. Sebuah tawaran di tengah lintasan gelimang berbagai fenomena kehidupan umat mengenai kita: relasi kita dengan Tuhan, relasi kita dengan diri, dan relasi kita dengan kita, serta relasi kita dengan lingkungan. Relasi demikian menghadirkan berbagai kesan dalam semua titik perjumpaan. Dan, semuanya itu meninggalkan “tanya”, sebagaimana eksistensi hidup itu sendiri adalah tanya. Tanya kepada diri, sesama, bahkan kepada Tuhan Pencipta dan Pemelihara hidup. Kredo pertanyaan yang tidak berujung.

Atas kontestasi hidup yang bertemu pada satu pusaran perjumpaan tersebut, tanya (?) adalah respons solutif. AL pun tampil dalam beragam tanya atas berbagai versi konteks. AL mewakili berbagai kelompok ziarah hidup untuk bertanya. Berbagai pertanyaan pun mengusik tajam. Mengapa kehidupan kita terus dipenuhi fundamentalisme, radikalisme, terorisme, sadisme, kekerasan, ketimpangan kemakmuran, dan berbagai bentuk penindasan yang tampak menafikan peran ilmu pengetahuan dan teknologi? Mengapa paranormal, peramal, ahli nujum, penghipnotis, dukun, “dunia lelembut”, iming-iming sulapan, dan sejenisnya makin hari justru makin marak, naik daun, popular menguasai hidup sekalian kita, sampai-sampai mengalahkan agamawan juga ilmuwan? Mengapa kehidupan kita makin saling curiga, saling membenci,  saling berpandangan negatif, saling tidak memercayai, saling tuduh, saling menohok kawan seiring yang adalah mencerminkan hati dan jiwa kita?

Mengapa egosentrisme, egoisme, narsisme, hedonisme, premanisme, erotisme, tipu-muslihat, amoralitas kian hari kian mengendalikan hidup kita dan membuat kita pusing? Mengapa stress, stroke, disorientasi, kehampaan hidup makin meroket, sehingga makin laris pula para ahli terapi jiwa atau pemandu rohani, bahkan penyembuh badan menawarkan jasa dan budi baik untuk mengatasinya? Mengapa gosip, rumor, kasak-kusuk, omong kosong dan berita burung semakin naik daun mewarnai hidup kita, di samping tayangan infotainment alias gosip gombal dan kabar angin selalu menempati rating tertinggi media massa elektronik yang semuanya menggambarkan tidak berfungsinya hati nurani atau jiwa kita?

Jawaban atas pertanyaan di atas adalah menjadi diri sendiri, menjadi bangsa sendiri. Jawaban kedua mengingatkan kita sebagai bangsa pada dasar negara Pancasila. Secara aksiologis, seluruh nilai dan penjiwaannya akan luntur dan kita pun akan kehilangan jati diri, kehilangan kemandirian sehingga mudah diombang-ambingkan oleh paradigma asing yang kini mendasari tata kehidupan global (Djawanai, 2014: 258 –261). Dan, oleh karena itu, masyarakat Indonesia mendambakan “penularan” kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila telah teruji dan telah menjadi “obat penawar” atas berbagai persoalan bangsa. Nilai-nilai Pancasila seperti saling menghormati, musyawarah, gotong royong, solidaritas, kerukunan dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari semakin dipinggirkan. Jadi, Pancasila dan seluruh nilainya dapat dikembalikan dan menjadi dasar pembenihan, penanaman, dan pengembangan berbagai nilai pembelajaran formal untuk kehidupan masa depan para peserta didik di kehidupan masyarakat.

Jawaban pertama mengajak kita sendiri menjadi diri sendiri. Kita pun diajak untuk lebur dalam arena lapang berbagai ziarah hidup, namun tetap teguh pada jati diri, prinsip dan ajaran “kampung asal”. Ajaran-ajaran adiluhung dari budaya lokal yang dipandang penting untuk menjaga dan mengatur perilaku, tindak tanduk selama berziarah. Demikian maka, tidak ada di antara kita yang saling curiga, prasangka, karena kita semua: sama-sama mengenal diri kita, dan sedang ke mana kita berziarah. Untuk itulah, AL mengajak kita untuk selalu mengalami “natal” dalam setiap hari hidup kita.

 


 



[1] Prolog dalam Kumpulan Puisi “Kampung Matahari” karya Ansel Langowuyo (2017) yang diterbitkan oleh Penerbit Carol Maumere, ISBN 978-979-1407-61-4