“Tidak ada
lagi pekerjaan yang bisa aku andalkan,
selain
menjadi pemecah batu”
Kutipan di atas saya ambil dari cerpen Wanita Pemecah Batu
karya Marlin Lering yang dimuat dalam Harian Umum Pos Kupang, Minggu, 24 Januari 2016. Kutipan
ini menyiratkan tentang bagaimana kesetiaan seorang wanita pemecah batu sampai
akhir hidupnya, yakni saat Tuhan memanggil dia dari kehidupannya. Kematiannya bersama
Kletus, anak semata wayang adalah bukti cinta seorang mama, wanita pemecah batu
terhadap anaknya.
Marlin Lering menceriterakan
suasana kehidupan di sebuah kampung yang para penghuni perempuannya bekerja
sebagai pemecah batu. Dari penggunaan nama tokoh, misalnya Ine dan Kletus dapat
saya pastikan bahwa latar penceritaan ini terjadi, berakar, dan bergerak di
kampung-kampung kita di Flores dan Lembata. Dikisahkan tidak ada pilihan
pekerjaan lain bagi perempuan di kampung itu, kecuali menjadi pemecah batu. Tokoh
Aku sebagai tokoh utama cerpen ini mencoba berusaha dengan membuka kios, namun usaha
kiospun tak bertahan lama, karena masyarakat di kampung itu bukanlah masyarakat
yang konsumtif seperti masyarakat di perkotaan. Mereka bisa bertahan hanya
dengan ubi-ubian dan pangan lokal lainnya, sehingga barang-barang kios terpaksa dikonsumsi
sendiri. Jalan satu-satunya untuk menyambung hidup adalah menjadi wanita
pemecah batu. Demi merubah nasib keluarga, sang Suami memutuskan untuk mereguk
keberuntungan di tanah rantau, negeri jiran Malaysia dengan ongkosnya menjual
sawah hasil peninggalan almahrum ayah istrinya. Sedari awal istri tetap pada
pendirian untuk tidak memenuhi permintaan suami untuk menjual sawah peninggalan
ayahnya. Lama-kelamaan hatinya luluh juga oleh bujukan suaminya yang
berpendirian keras dan harus dituruti. Tepat setahun kelahiran Kletus anak
semata wayang, sang Suami berangkat. Berdasarkan cerita ini, tercatat hanya
sekali Suami mengirimkan uang, setelah itu kabarpun tak terdengar hingga ketika
di suatu pagi berkabut, penghuni kampung digemparkan dengan kepergian dua orang
penghuninya, seorang malaikat kecil yang menantikan kepulangan ayahnya dan juga
seorang perempuan pemecah batu.
Tulisan ini
mengisahkan tentang “merantau” yang telah
menjadi semacam kebiasaan masyarakat di Pulau Flores dan masyarakat Nusa
Tenggara Timur pada umumnya. Orang Lamaholot
menyebutnya melarat. Persis dalam bahasa Indonesia berarti miskin
sengsara. Marantau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:1169)
didefinisikan sebagai (1) berlayar untuk mencari penghidupan di sepanjang
rantau (dari satu sungai ke sungai lain); (2) pergi ke pantai (pesisir); (3) pergi ke negeri lain untuk mencari
penghidupan, ilmu, dan sebagainya). Merantau dapat pula dipersepsi sebagai
proses mengembara, berlayar, berkeliling untuk mencari dan mendapatkan sesuatu
yang lain, yang memenuhi harapan, keinginan, dan cita-cita.
Mulanya,
merantau menjadi pilihan pekerjaan untuk membantu mengatasi berbagai kesulitan
hidup, terutama kesulitan ekonomi keluarga. Secara ekonomis, hasil merantau
dapat digunakan membiayai pendidikan anak, membangun rumah, untuk urusan
perkawinan bagi yang masih bujang, membantu sanak keluarga, serta kebutuhan
lain yang mendesak. Namun, merantau juga
memberi efek negatif bagi
perkembangan kehidupan keluarga, secara khusus bagi istri dan anak-anak. Beban
psikologis terus menumpuk di satu pihak, dan kerasnya usaha mempertahankan
hidup di pihak lain telah memaksa sosok wanita dan anak-anak yang ditinggalkan
untuk setia bertahan menghadapi tantangan itu. Banyak cerita, bahkan fakta keberhasilan yang telah ditorehkan segelintir
perantau di negeri orang yang patut diapresiasi dan ditiru. Tak sedikitpun
cerita, bahkan fakta miris yang tersaji ke tengah masyarakat tentang kegagalan
perantau yang tak perlu ditiru. Fakta miris ini sekadar untuk saling
mengingatkan di antara anggota masyarakat sebelum memutuskan untuk merantau. Apalagi
di zaman ini.
Misi merantau Suami untuk membantu mengatasi kebutuhan-kebutuhan istri
dan Kletus di kampung halaman tidak sebagaimana yang dijanjikan Suami sebelum
merantau. Malaysia sebagai tujuan pertama dan diidolakan menjadi tempat
peruntungan nasib Suami, malah menjadi tempat untuk hidup enak-enak, bahkan
sampai lupa diri, dan tanpa sedikitpun membawa berkat bagi mereka. Sang Suami tidak bertanggung jawab atas hidup istri dan
anaknya. Mungkin dia telah mengalami situasi senang di tanah jiran Malaysia dan
melupakan istri dan anaknya. Suasana batin inilah juga menjadi sesuatu yang
nyata yang dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari kita. Banyak suami
yang setelah merantau dan lupa dengan keluarganya di kampung halaman.
Sosok seorang ibu dalam konteks tulisan ini adalah figur
atas ketokohan seorang ibu (mama) sebagai bangunan sikap perasaan untuk tetap
sabar, kuat, memaknai, bahkan mengalami kerasnya hidup. Menjadi wanita pemecah
batu yang dilukiskan dalam cerpen ini juga adalah realitas pekerjaan yang
gampang kita temui dalam kehidupan nyata. Malaysia yang diidolakan menjadi
surga duit ternyata tidak sebagaimana adanya. “Sementara suamiku sudah setahun
ini, memilih untuk merantau ke negeri jiran Malaysia, negeri yang katanya mampu
membayar gaji karyawannya dua kali lipat, dibandingkan dengan Indonesia”.
Malaysia bisa berubah menjadi sebuah konflik, “Setelah setahun ia merantau,
hanya sekali ia mengirimkan uang, setelah itu, kabarpun tak terdengar”.*
Opini ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, Sabtu, 2 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar