Halaman

Rabu, 25 Oktober 2017

Merantau







“Tidak ada lagi pekerjaan yang bisa aku andalkan,
selain menjadi pemecah batu”

Kutipan di atas saya ambil dari cerpen Wanita Pemecah Batu karya Marlin Lering yang dimuat dalam Harian Umum Pos Kupang, Minggu, 24 Januari 2016. Kutipan ini menyiratkan tentang bagaimana kesetiaan seorang wanita pemecah batu sampai akhir hidupnya, yakni saat Tuhan memanggil dia dari kehidupannya. Kematiannya bersama Kletus, anak semata wayang adalah bukti cinta seorang mama, wanita pemecah batu terhadap anaknya.
Marlin Lering menceriterakan suasana kehidupan di sebuah kampung yang para penghuni perempuannya bekerja sebagai pemecah batu. Dari penggunaan nama tokoh, misalnya Ine dan Kletus dapat saya pastikan bahwa latar penceritaan ini terjadi, berakar, dan bergerak di kampung-kampung kita di Flores dan Lembata. Dikisahkan tidak ada pilihan pekerjaan lain bagi perempuan di kampung itu, kecuali menjadi pemecah batu. Tokoh Aku sebagai tokoh utama cerpen ini mencoba berusaha dengan membuka kios, namun usaha kiospun tak bertahan lama, karena masyarakat di kampung itu bukanlah masyarakat yang konsumtif seperti masyarakat di perkotaan. Mereka bisa bertahan hanya dengan ubi-ubian dan pangan lokal lainnya, sehingga  barang-barang kios terpaksa dikonsumsi sendiri. Jalan satu-satunya untuk menyambung hidup adalah menjadi wanita pemecah batu. Demi merubah nasib keluarga, sang Suami memutuskan untuk mereguk keberuntungan di tanah rantau, negeri jiran Malaysia dengan ongkosnya menjual sawah hasil peninggalan almahrum ayah istrinya. Sedari awal istri tetap pada pendirian untuk tidak memenuhi permintaan suami untuk menjual sawah peninggalan ayahnya. Lama-kelamaan hatinya luluh juga oleh bujukan suaminya yang berpendirian keras dan harus dituruti. Tepat setahun kelahiran Kletus anak semata wayang, sang Suami berangkat. Berdasarkan cerita ini, tercatat hanya sekali Suami mengirimkan uang, setelah itu kabarpun tak terdengar hingga ketika di suatu pagi berkabut, penghuni kampung digemparkan dengan kepergian dua orang penghuninya, seorang malaikat kecil yang menantikan kepulangan ayahnya dan juga seorang perempuan pemecah batu.
Tulisan ini mengisahkan tentang “merantau yang telah menjadi semacam kebiasaan masyarakat di Pulau Flores dan masyarakat Nusa Tenggara Timur pada umumnya. Orang Lamaholot menyebutnya melarat. Persis dalam bahasa Indonesia berarti miskin sengsara. Marantau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:1169) didefinisikan sebagai (1) berlayar untuk mencari penghidupan di sepanjang rantau (dari satu sungai ke sungai lain); (2) pergi ke pantai (pesisir);  (3) pergi ke negeri lain untuk mencari penghidupan, ilmu, dan sebagainya). Merantau dapat pula dipersepsi sebagai proses mengembara, berlayar, berkeliling untuk mencari dan mendapatkan sesuatu yang lain, yang memenuhi harapan, keinginan, dan cita-cita.
Mulanya, merantau menjadi pilihan pekerjaan untuk membantu mengatasi berbagai kesulitan hidup, terutama kesulitan ekonomi keluarga. Secara ekonomis, hasil merantau dapat digunakan membiayai pendidikan anak, membangun rumah, untuk urusan perkawinan bagi yang masih bujang, membantu sanak keluarga, serta kebutuhan lain yang mendesak. Namun, merantau juga memberi efek negatif bagi perkembangan kehidupan keluarga, secara khusus bagi istri dan anak-anak. Beban psikologis terus menumpuk di satu pihak, dan kerasnya usaha mempertahankan hidup di pihak lain telah memaksa sosok wanita dan anak-anak yang ditinggalkan untuk setia bertahan menghadapi tantangan itu. Banyak cerita, bahkan fakta keberhasilan yang telah ditorehkan segelintir perantau di negeri orang yang patut diapresiasi dan ditiru. Tak sedikitpun cerita, bahkan fakta miris yang tersaji ke tengah masyarakat tentang kegagalan perantau yang tak perlu ditiru. Fakta miris ini sekadar untuk saling mengingatkan di antara anggota masyarakat sebelum memutuskan untuk merantau. Apalagi di zaman ini.
Misi merantau Suami untuk membantu mengatasi kebutuhan-kebutuhan istri dan Kletus di kampung halaman tidak sebagaimana yang dijanjikan Suami sebelum merantau. Malaysia sebagai tujuan pertama dan diidolakan menjadi tempat peruntungan nasib Suami, malah menjadi tempat untuk hidup enak-enak, bahkan sampai lupa diri, dan tanpa sedikitpun membawa berkat bagi mereka. Sang Suami tidak bertanggung jawab atas hidup istri dan anaknya. Mungkin dia telah mengalami situasi senang di tanah jiran Malaysia dan melupakan istri dan anaknya. Suasana batin inilah juga menjadi sesuatu yang nyata yang dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari kita. Banyak suami yang setelah merantau dan lupa dengan keluarganya di kampung halaman.
Sosok seorang ibu dalam konteks tulisan ini adalah figur atas ketokohan seorang ibu (mama) sebagai bangunan sikap perasaan untuk tetap sabar, kuat, memaknai, bahkan mengalami kerasnya hidup. Menjadi wanita pemecah batu yang dilukiskan dalam cerpen ini juga adalah realitas pekerjaan yang gampang kita temui dalam kehidupan nyata. Malaysia yang diidolakan menjadi surga duit ternyata tidak sebagaimana adanya. “Sementara suamiku sudah setahun ini, memilih untuk merantau ke negeri jiran Malaysia, negeri yang katanya mampu membayar gaji karyawannya dua kali lipat, dibandingkan dengan Indonesia”. Malaysia bisa berubah menjadi sebuah konflik, “Setelah setahun ia merantau, hanya sekali ia mengirimkan uang, setelah itu, kabarpun tak terdengar”.*

Opini ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, Sabtu, 2 September 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar