Millenium ketiga
sebagai the new age telah meletakkan nilai-nilai
etis dan spiritual pada
berbagai ranah aktivitas kehidupan manusia.
Nilai-nilai etis-spiritual dimaksud tidak hanya teraplikasi dalam aspek sosial dan
keagamaan, melainkan dalam aspek
pendidikan yang
dipersepsikan sebagai noble industry (industri mulia). Aspek pendidikanlah dianggap menjadi institusi yang paling bertanggung
jawab terhadap penerusan
dan penciptaan kualitas sumber daya manusia. Pernyataan ini menandaskan bahwa pendidikan harus memandang manusia secara utuh dan
terintegrasi dalam rangka membebaskan manusia dari belenggu-belenggu yang
menghalangi emansipasi kemanusiaan menuju martabatnya yang paling luhur. Ketika pendidikan menjauhkan dimensi
spiritualitas dan berorientasi
pada
dunia material, maka dapat dipastikan akan menjatuhkan
martabat kemanusiaan itu sendiri.
Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan
Berbagai
pihak menyadari bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pribadi dan organisasi
bukanlah semata-mata dipengaruhi oleh kemampuan dalam menguasai bidang
pengetahuan (knowledge) maupun
keterampilan teknis (skill) tertentu, melainkan sangat
ditentukan oleh formula sikap (attitude)
yang ditampilkan dalam merespons berbagai pekerjaan, pola hubungan dengan orang
lain, serta kesadaran tinggi terhadap nilai kerja itu sendiri. Itulah sebabnya
peran wawasan spiritual berfungsi memberikan sentuhan penting bagi penanaman
nilai-nilai kerja agar mampu
mendorong munculnya motivasi dan produktivitas kerja yang tinggi dan berkualitas. Dengan
demikian, pekerjaan dilakukan secara ikhlas tanpa pamrih, penuh kesadaran,
bertanggung jawab, bersemangat, dan bersungguh-sungguh karena merasa dinilai
oleh Allah Sang Maha Melihat, suci bersih dari penyimpangan, penyelewengan, dan
kebohongan, penuh prestasi, terobsesi untuk selalu menampilkan yang terbaik,
serta menjadi teladan
bagi sesama yang lain. Berbagai sikap inilah harus terus dibina lebih
lanjut dalam keseharian kerja oleh para pekerja berwawasan spiritual. Pernyataan ini disampaikan
Dr.Natsir B.Koten,M.Pd., di depan para guru besar Program Studi Manajemen
Pendidikan Universitas Negeri Malang, Rabu, 23 Maret 2011, ketika
tampil mempertahankan
disertasinya yang berjudul, “supervisi pengajaran berwawasan spiritual di sekolah dasar”.
Di
tangan promotor Prof.Dr.
Soenhadji,MA,
Prof.Dr.Salladin, dan
Prof.Dr.Ibrahim Bafadal,M.Pd., Natsir Koten yang adalah dosen FKIP Universitas
Flores Ende, berpendapat bahwa supervisi
pengajaran berwawasan spiritual mensyaratkan seorang supervisor mengembangkan kemampuannya
untuk mengelola kecerdasan spiritualnya dalam usaha pemberian bantuan yang
bercorak pelayanan dan bimbingan profesional, dengan berpegang teguh pada
nilai-nilai religius, atau berkaitan dengan aspek nilai, atau berkenaan dengan
etika sosial keagamaan. Menyitir
Goleman (2000) yang
merekomendasikan dua peran penting kecerdasan spiritual, yaitu: (1)
kecerdasan spiritual dipercaya mampu mengantarkan manusia pada ketenangan dan
kesadaran diri yang tinggi saat melakukan serangkaian aktivitas; dan (2)
kecerdasan spiritual diyakini mampu mengantarkan manusia pada penemuan hakikat
diri yang sejati,
Natsir Koten percaya bahwa para guru di bawah pengawasan kepala sekolah
hendaknya menjadikan supervisi
berwawasan spiritual sebagai media untuk membantu memperbaiki dan meningkatkan
kualitas guru serta kualitas peradaban.
Kondisi
ini berangkat pada keprihatinan bahwa pendidikan yang ada sekarang
telah mengalami pendangkalan makna yang telah berorientasi dari
"menjadi" (being) menuju
"memiliki" sesuatu (having). Kalau pendidikan
itu berorientasi kepada kepemilikan (having), maka persoalan etika dan
kepribadian menjadi kurang diperhatikan. Padahal, semestinya orientasi pendidikan
adalah "being", yaitu agar anak didik dapat menjadi dirinya
sendiri sesuai dengan dasar-dasar kepribadiannya dimana setiap manusia
diciptakan dalam keunikan.
Sebagai
upaya membantu guru dalam memperbaiki proses belajar-mengajar, maka pembinaan
guru melalui supervisi dilaksanakan berdasarkan program, teknik, dan pola
pendekatan yang tepat. Dengan program yang terencana, teknik yang baik, dan
pola pendekatan yang tepat diharapkan kemampuan profesional guru dapat
ditingkatkan. Untuk
itulah peningkatan mutu pendidikan dasar harus didukung oleh
kehadiran guru yang berkualitas, berdedikasi tinggi dan berdisiplin. Tentunya
diperlukan kepala sekolah yang memiliki kemampuan manajerial yang memadai
sehingga mampu menciptakan iklim kerja yang menggairahkan agar para guru
termotivasi untuk maju dan berkembang, memiliki kemampuan mengelola kecerdasan
intektual, emosional, sosial, dan kemampuan spiritualnya. Kepala sekolah harus
melaksanakan fungsinya sebagai pimpinan sekolah dalam meningkatkan dan
memperbaiki proses belajar-mengajar dengan melakukan supervisi. Supervisi bukan
lagi inspeksi yang dilakukan oleh orang yang merasa serba tahu (superior) kepada orang yang dianggap
belum tahu sama sekali (inferior),
tetapi supervisi dalam bentuk pembinaan. Sebagaimana ditegaskan oleh pemerintah
bahwa supervisi pendidikan di sekolah dasar lebih diarahkan untuk membina dan
memperbaiki serta meningkatkan kemampuan guru sekolah dasar dalam rangka
peningkatan proses belajar-mengajar.
Fungsi dan Peranan Agama
Mengingat
fungsi dan peranan agama dalam kehidupan manusia sangatlah penting, maka Natsir
Koten, yang mengambil lokus penelitiannya pada tiga sekolah di Kabupaten Ende,
yakni SDK St.Ursula Ende, SDK Ende 2, dan SDN Ende 1, menyimpulkan bahwa pendekatan
spiritual keagamaan menjadi salah satu alternatif untuk digunakan dalam
supervisi pengajaran. Natsir yakin bahwa supervisi pengajaran model wawasan
spiritual merupakan reaksi supervisor (kepala sekolah) berdasarkan kemampuannya
mengelola kecerdasannya sehingga terampil memotivasi setiap personil sekolah
untuk terlibat secara aktif dalam mewujudkan tujuan sekolah. Supervisi
pengajaran tersebut berkaitan
erat dengan
aspek nilai, yaitu berkenaan dengan semua sifat kebaikan seperti: berpikir fitrah
(jernih), bijaksana menjalankan tugas, dan silaturahmi/toleransi terhadap orang
lain. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar