Halaman

Rabu, 08 November 2017

Mengembangkan Supervisi Pengajaran Berwawasan Spiritual





Millenium ketiga sebagai the new age telah meletakkan nilai-nilai etis dan spiritual pada berbagai ranah aktivitas kehidupan manusia. Nilai-nilai etis-spiritual dimaksud tidak hanya teraplikasi dalam aspek sosial dan keagamaan, melainkan dalam aspek pendidikan yang dipersepsikan sebagai noble industry (industri mulia). Aspek pendidikanlah dianggap menjadi institusi yang paling bertanggung jawab terhadap penerusan dan penciptaan kualitas sumber daya manusia. Pernyataan ini menandaskan bahwa pendidikan  harus memandang manusia secara utuh dan terintegrasi dalam rangka membebaskan manusia dari belenggu-belenggu yang menghalangi emansipasi kemanusiaan menuju martabatnya yang paling luhur. Ketika pendidikan menjauhkan dimensi spiritualitas dan  berorientasi  pada dunia  material, maka dapat dipastikan akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu sendiri.

Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan

Berbagai pihak menyadari bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pribadi dan organisasi bukanlah semata-mata dipengaruhi oleh kemampuan dalam menguasai bidang pengetahuan (knowledge) maupun keterampilan teknis (skill) tertentu, melainkan sangat ditentukan oleh formula sikap (attitude) yang ditampilkan dalam merespons berbagai pekerjaan, pola hubungan dengan orang lain, serta kesadaran tinggi terhadap nilai kerja itu sendiri. Itulah sebabnya peran wawasan spiritual berfungsi memberikan sentuhan penting bagi penanaman nilai-nilai kerja agar mampu mendorong munculnya motivasi dan produktivitas kerja yang tinggi dan berkualitas. Dengan demikian, pekerjaan dilakukan secara ikhlas tanpa pamrih, penuh kesadaran, bertanggung jawab, bersemangat, dan bersungguh-sungguh karena merasa dinilai oleh Allah Sang Maha Melihat, suci bersih dari penyimpangan, penyelewengan, dan kebohongan, penuh prestasi, terobsesi untuk selalu menampilkan yang terbaik, serta menjadi teladan bagi sesama yang lain. Berbagai sikap inilah harus terus dibina lebih lanjut dalam keseharian kerja oleh para pekerja berwawasan spiritual. Pernyataan ini disampaikan Dr.Natsir B.Koten,M.Pd., di depan para guru besar Program Studi Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang, Rabu, 23 Maret 2011, ketika tampil mempertahankan disertasinya yang berjudul, “supervisi pengajaran berwawasan spiritual di sekolah dasar”.
Di tangan promotor Prof.Dr. Soenhadji,MA, Prof.Dr.Salladin, dan Prof.Dr.Ibrahim Bafadal,M.Pd., Natsir Koten yang adalah dosen FKIP Universitas Flores Ende, berpendapat bahwa supervisi pengajaran berwawasan spiritual mensyaratkan seorang supervisor mengembangkan kemampuannya untuk mengelola kecerdasan spiritualnya dalam usaha pemberian bantuan yang bercorak pelayanan dan bimbingan profesional, dengan berpegang teguh pada nilai-nilai religius, atau berkaitan dengan aspek nilai, atau berkenaan dengan etika sosial keagamaan. Menyitir Goleman (2000) yang merekomendasikan dua peran penting kecerdasan spiritual, yaitu: (1) kecerdasan spiritual dipercaya mampu mengantarkan manusia pada ketenangan dan kesadaran diri yang tinggi saat melakukan serangkaian aktivitas; dan (2) kecerdasan spiritual diyakini mampu mengantarkan manusia pada penemuan hakikat diri yang sejati, Natsir Koten percaya bahwa para guru di bawah pengawasan kepala sekolah hendaknya menjadikan  supervisi berwawasan spiritual sebagai media untuk membantu memperbaiki dan meningkatkan kualitas guru serta kualitas peradaban.  Kondisi ini berangkat pada keprihatinan bahwa pendidikan yang ada sekarang telah mengalami pendangkalan makna yang telah berorientasi dari "menjadi" (being) menuju "memiliki" sesuatu (having). Kalau pendidikan itu berorientasi kepada kepemilikan (having), maka persoalan etika dan kepribadian menjadi kurang diperhatikan. Padahal, semestinya orientasi pendidikan adalah "being", yaitu agar anak didik dapat menjadi dirinya sendiri sesuai dengan dasar-dasar kepribadiannya dimana setiap manusia diciptakan dalam keunikan.
Sebagai upaya membantu guru dalam memperbaiki proses belajar-mengajar, maka pembinaan guru melalui supervisi dilaksanakan berdasarkan program, teknik, dan pola pendekatan yang tepat. Dengan program yang terencana, teknik yang baik, dan pola pendekatan yang tepat diharapkan kemampuan profesional guru dapat ditingkatkan. Untuk itulah peningkatan mutu pendidikan dasar harus didukung oleh kehadiran guru yang berkualitas, berdedikasi tinggi dan berdisiplin. Tentunya diperlukan kepala sekolah yang memiliki kemampuan manajerial yang memadai sehingga mampu menciptakan iklim kerja yang menggairahkan agar para guru termotivasi untuk maju dan berkembang, memiliki kemampuan mengelola kecerdasan intektual, emosional, sosial, dan kemampuan spiritualnya. Kepala sekolah harus melaksanakan fungsinya sebagai pimpinan sekolah dalam meningkatkan dan memperbaiki proses belajar-mengajar dengan melakukan supervisi. Supervisi bukan lagi inspeksi yang dilakukan oleh orang yang merasa serba tahu (superior) kepada orang yang dianggap belum tahu sama sekali (inferior), tetapi supervisi dalam bentuk pembinaan. Sebagaimana ditegaskan oleh pemerintah bahwa supervisi pendidikan di sekolah dasar lebih diarahkan untuk membina dan memperbaiki serta meningkatkan kemampuan guru sekolah dasar dalam rangka peningkatan proses belajar-mengajar.

Fungsi dan Peranan Agama

Mengingat fungsi dan peranan agama dalam kehidupan manusia sangatlah penting, maka Natsir Koten, yang mengambil lokus penelitiannya pada tiga sekolah di Kabupaten Ende, yakni SDK St.Ursula Ende, SDK Ende 2, dan SDN Ende 1, menyimpulkan bahwa pendekatan spiritual keagamaan menjadi salah satu alternatif untuk digunakan dalam supervisi pengajaran. Natsir yakin bahwa supervisi pengajaran model wawasan spiritual merupakan reaksi supervisor (kepala sekolah) berdasarkan kemampuannya mengelola kecerdasannya sehingga terampil memotivasi setiap personil sekolah untuk terlibat secara aktif dalam mewujudkan tujuan sekolah. Supervisi pengajaran tersebut berkaitan erat dengan aspek nilai, yaitu berkenaan dengan semua sifat kebaikan seperti: berpikir fitrah (jernih), bijaksana menjalankan tugas, dan silaturahmi/toleransi terhadap orang lain. (*)


[1] Artikel ini pernah dimuat dalam Muat di HU 29 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar