Halaman

Senin, 06 November 2017

Quo Vadis Pendidikan Kita?


Jargon “pendidikan untuk semua”, melalui program sekolah gratis yang mewarnai pemberitaan media lokal dan nasional  belakangan ini, menjadi satu wacana yang bakal menghadirkan rona dan harapan baru bagi gelora pendidikan Indonesia. Ketika Indonesia masih menjadi wilayah  jajahan dan eksploitasi kaum kolonialisme pada masa pra-kemerdekaan, pendidikan menjadi sebuah wacana pemikiran dasar untuk melahirkan kemerdekaan bagi Nusantara. Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya, sejak saat itu pendidikan ditegaskan menjadi sebuah ‘cagar kehidupan bangsa’ yang harus dilesatarikan.
Pada era selanjutnya, pendidikan tetap menjadi bagian dari program-program nasional. Seiring tumbuh dan berkembangnya globalisasi, tuntutan perbaikan taraf kehidupan bangsa melalui pendidikan menjadi agenda yang sangat mendesak. Pemerintah bahkan mencanangkan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun bagi rakyat Indonesia. Era berganti, kepemimpinan baru mengambil estafet, pendidikan pun tetap menjadi pekerjaan rumah yang cukup rumit. Terlebih setelah perekonomian Indonesia terpuruk tegal krisis moneter, cinta, cita-cita, dan harapan kolektif rakyat untuk memeratakan akses pendidikan demi peningkatan taraf kemakmuran bangsa menjadi semakin “jauh panggang dari api”. Betapa tidak, untuk makan saja susah, apalagi untuk menyekolahkan anak. Semenjak itu juga, Indonesia kembali menata program-program perbaikan di berbagai bidang. Bidang pendidikan termasuk di dalamnya, terseok-seok, namun tentu saja perbaikan sektor ekonomi yang menjadi prioritas karena sekali lagi: pendidikan juga butuh ongkos.
Aspek pendidikan negeri ini sedang sekarat, ibarat makan si buah malakama. Tertatih-tatih, bersaing dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, apalagi kalau dikontraskan dengan Asia pada umumnya. Kejayaan masa lalu sirna selamanya. Kenyataannya, pendidikan dibiarkan masuk dalam killing ground, arena pembantaian, dan dilepas bertarung dengan sektor-sektor lain dalam menentukan prioritas program maupun anggaran. Tanpa dukungan dan kemauan politik (political will) yang memadai, sektor pendidikan pun menjadi berdarah-darah (bleeding), dan borok luka itu masih dan akan terus menganga sampai kapanpun. (Saiful Anam, Sekolah Dasar: Pergulatan Mengejar Ketertinggalan. 2006). Bolehlah kita berkaca pada Korea Selatan. Negara ini memberikan prioritas untuk majukan pendidikan. Pengadaan sandang, pangan dan papan perlu tapi pembangunan pendidikan jangan sampai dianaktirikan. Kemajuan sebuah negara sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan sumber daya manusianya. Contoh lain, konon khabarnya, Malaysia yang pada tahun 1970-an, masih mengimpor tenaga pengajar dari Indonesia. Kini, pendidikan di Malaysia jauh di atas Indonesia. Mengapa? Pemerintahnya memberikan perhatian yang sangat serius. Tidak seperti di Indonesia, pendidikan kurang diperhatikan
Oleh karena itu, dibawah payung  UNESCO, negara-negara berkembang menyepakati tiga pilar pokok, stidak-tidaknya untuk dapat keluar dari belitan dunia pabrik manusia ini. Demikian dikemukakan Drs. Hamid Muhammad,M.Sc.,Ph.D. , Direktur Jenderal Pendidikan Non Formal Informal Departemen Pendidikan Nasional, di kampus Universitas Negeri Malang, Kamis, 19 November 2009, ketika tampil memberikan kuliah umum dengan tajuk “Kebijakan dan Program Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal”. Tiga hal itu adalah: Pertama, setiap warga negara memiliki hak dasar untuk memperoleh pendidikan. Hak ini tercermin dalam kemampuan untuk membaca, menulis, dan berhitung dasar. Program keberaksaraan yang digalakkan ini diharapkan untuk menjadikan semua penduduk melek aksara agar mampu menjalani kehidupan ini dengan lebih baik, minimal pada Millennium Development Goals tahun 2015, Angka Partisipasi Kasar (APK) mampu mencapai 75%. Hamid, yang juga out put Universitas Negeri Malang, tahun 1982 itu, membeberkan sejumlah data kuantitatif tentang betapa parahnya dunia pendidikan Indonesia. Berdasarkan data, ada sekitar 870 juta penduduk dunia yang buta aksara. Dari jumlah ini, 9,7 juta ada di  Indonesia dan amat mencengangkan kalau 60% adalah perempuan, yang rata-rata berumur di atas 15 tahun, yang tersebar di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, NTB, Bali, Papua, Lampung, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, dan NTT. Secara nasional angka siswa drop out dan tidak melanjutkan sekolah tahun 2007/2008 sangat memprihatinkan, yakni:  SD/MI sebanyak 1.280.570 (37,61%), SMTP/MTs sebanyak 956.368 (28,09%, dan SMA/SMK sebanyak 1.167.582 (34,30%). Kondisi inilah yang  menambah jumlah pengangguran terbuka tahun 2008 yang mencapai sekitar 9,427 juta jiwa, dan sekitar 60% berada di Pulau Jawa.
Kedua, muatan pendidikan difokuskan pada guru. Penyakit terbesar yang menggerogoti persoalan guru di negeri ini adalah sistem rekruitmen yang tidak cerdas. Oleh karena itu, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) benar-benar melalui proses penyiapan calon guru secara maksimal, karena besar kemungkinan sistem rekruitemn dirubah, maka di sana ada peran LPTK untuk menentukan calon-calon guru yang berkualitas untuk diangkat menjadi guru. Realitasnya bahwa ada banyak out put atau keluaran LPTK yang memiliki keunggulan dan kompetensi yang bagus, tetapi karena sistem rekruitmen kita yang amburadul, mengakibatkan calon-calon berkualitas dan kompeten ini terpaksa ‘disingkirkan’ oleh sistem yang demikian. Sebaliknya, menerima atau mengangkat calon-calon yang tidak memiliki kreativitas dan inovasi dalam mengkonstruk pembelajaran di kelas. Dari survei-survei yang dilaksanakan, ada sebuah lanskap yang sangat kontras dengan harapan dan cita-cita mendongkrak mutu di negeri ini. Hasil survei menjumpai kenyataan kontras itu, bahwa banyak  guru tampil sebagai sosok yang berwajah letih, bukan hanya karena gajinya kecil, tetapi juga karena koyaknya figur yang diagungkan. Guru seperti kaki yang menapaki banyak lorong dan lumpur yang membaluti kaki, guru terkadang menjadi ‘rawa’ yang menenggelamkan kakinya sendiri (E. Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah.2005).
Ketiga, keselarasan antara pendidikan dengan dunia kerja. Desain kurikulum di LPTK dikemas untuk bergayut dengan lapangan kerja. Yang kita harapkan bahwa out put tidak hanya cakap dan memiliki kecerdasan kognitif, melainkan menanamkan dalam dirinya pola untuk berusaha sendiri atau menciptakan lapangan kerja sendiri. Sehingga angka pengangguran terbuka yang  mencapai  9.427.500 orang di tahun 2008 dapat ditekan. Dari total pengangguran di atas, kalau dipilah berdasarkan tingkat pendidikan, maka akan terlihat sebagai berikut. Yang tidak/belum pernah sekolah 0,85%, sekolah dasar 23,51%, SMTA Umum 23,38%, Diploma 5,51%, Tidak atau belum tamat SD 4,76%, SLTP 22,98%, SMTA Kejuruan 12,36%, dan Universitas 6,64% (Data BPS Pusat, Februari 2008).  Memang, tak dipungkiri kalau banyak lulusan kita kurang relevan dengan kebutuhan tenaga yang diperlukan, sehingga hasilnya kurang efektif dan bahkan memperbesar angka pengangguran intelektual. Permasalahan masih ditambah lagi dengan minimnya fasilitas pendidikan yang memadai. Setiap tahun, angkatan kerja baru sekitar 1,9 juta, sedangkan daya serap tenaga kerja pada semua sektor dunia usaha dan industri hanya sekitar 480 ribu orang. Out put diharapkan dapat mengalami pembentukan kematangan kepribadian dan kematangan ilmu. Kematangan kepribadian mencerminkan bahwa lulusan tidak memiliki wawasan parsial, tetapi memperoleh wawasan yang utuh, komperhensif, dan luas. Kematangan ilmu mengisyaratkan bahwa out put lembaga formal kita mampu menjadikan dirinya sebagai insan masa depan yang cerdas dan kompetitif, terlebih mampu menciptakan lapangan kerja sendiri.
Persoalan-persoalan di atas sangat menghentak setiap kita, apalagi negeri ini telah merdeka selama 64 tahun silam. Sekali lagi ini potret nasional. Pertanyaan tersisa atas peroblematika pendidikan nasional di atas adalah bagaimana dengan kondisi pendidikan kita di daerah? Jawabannya, tentu kita semua tahu, tetapi yang paling tahu adalah para elite-elite di daerah yang mengetahui secara persis program dan keberpihakan merencanakan dan mem-ploting anggaran untuk pembangunan sektor vital ini. Pertanyaan ini, mudah-mudahan menjadi bagian dari introspeksi kerja kita dalam mengusung amanat membebaskan masyarakat dari belenggu pendidikan. Paling kurang mereka dapat memperoleh hak untuk mengalami pendidikan agar tidak terkungkung dan tergilas  terus oleh idle curiosity (instink binatang) tetapi bangkit berdiri sebagai mahkluk yang merdeka dan tampil sebagai creative curiocity, mahkluk yang memiliki ciri atau identitas sebagai orang terdidik. Menjadi seorang manusia yang merdeka sebagai buah dari proses pendidikan yang demokratis, manusia diharapkan juga untuk matang secara etis. Manusia yang demokratis dan etis inilah sangat diyakinkan akan tampil sebagai persona yang berintegritas, unggul untuk berbakti pada bangsa, negara, dan masyarakat. (*)



[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, Kamis, 10 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar