Halaman

Senin, 06 November 2017

Identitas Budaya




Mari Kita Sukseskan Tahun Kunjungan 2008
. Pesan ini hampir kita dapati pada spanduk-spanduk yang membentang di beberapa ruas jalan kota Ende. Spanduk dengan pesan yang sama juga dipajang di depan beberapa dinas/kantor yang sangat interest dengan tahun wisata 2008. Tidak hanya di Ende, tetapi dilakukan secara menasional. Pesan ini dapatlah dipersepsi sebagai ajakan untuk menyukseskan program nasional dengan berbagai kiat dan cara yang tentu berbeda, namun tetap pada ikhtiar yang sama yakni menyukseskan tahun kunjungan wisata 2008. Ajakan ini seperti yang diramalkan seorang Naisbit, dalam Megatrens 2000 bahwa era sekarang adalah era kesenian dan era pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian akan menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya telah mendapat simpati publik.
Adalah Butet Kertaradjasa dalam sebuah iklan di televisi swasta mengatakan bahwa bangsa Indonesia kaya akan budaya dan tradisi. Ada berbagai macam tarian daerah yang mesti dijaga dan dilestarikan. Pada epilog iklan yang disponsori oleh PT. Sidomincul, wakil Presiden Republik Mimpi itu berpesan, jangan biarkan identitas kita dirampas.
Pesan sponsor lewat Butet Kertaradjasa di atas mengganggu penulis, sekaligus menjadi inspirasi membuat tulisan sederhana ini, sehubungan dengan gencarnya promosi pariwisata 2008. Ada dua hal yang ingin disampaikan. Pertama, identitas. Belakangan ini term ini cukup merakyat. Tidak saja sekadar data diri untuk urusan dinas formal, melainkan telah dipersepsi secara makro sampai pada data kolektif suatu masayarakat. Masyarakat kemudian mulai memaknai identitas  suatu kelompok etnik atau budaya tertentu sebagai identitas yang kolektif atau identitas bersama. Tari Reog Ponorogo, Tari Folaya, Tari Pendet, Hombo Batu, Jamu Tradisional, musik Angklung, merupakan sebagian identitas kelompok masyarakat Indonesia. Semua ini sebetulnya merupakan representasi dari kekolektifan berbagai tradisi, budaya, dan kharakter sebuah bangsa Indonesia. Pemahaman yang sama ini juga berangkat dari pemahaman kesejarahan bangsa ini bahwa keanekaragaman tradisi dan budaya suku bangsa di Indonesia sesungguhnya menjadi tonggak kebudayaan nasional.
Identitas secara leksikal berarti ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang, jati diri. Pembangunan sebagian daerah di Indonesia, akhir-akhir ini mengambil titik star dari aspek budaya. Hal ini mensyaratkan paradigma pembangunan yang meletakkan aspek budaya sebagai bagian terdepan pelaksanaan pembangunan. Roh pembangunan diarahkan pada strategi dan upaya pembongkaran juga penemuan identitas, jati diri sebagai makhluk yang beradab. Justru di sinilah berbagai khasanah identitas terangkat kembali. Penulis percaya, di setiap etnik terdapat asset-asset budaya yang dapat dikelola secara lebih komperhensif. Asset-asset tersebut, seperti objek-objek wisata, tarian-tarian daerah, makanan-makanan rakyat, obat-obatan tradisional, dan lain-lain.
Keberadaan khasanah khas etnik-etnik di sekitar kita ini merupakan asset wisata nasional, juga internasional yang kalau dikemas secara arif, bijaksana dan memadai tentu menjadi magnet yang selalu menarik para wisatawan mancanegara dan domestik untuk berkunjung ke daerah ini. Pada sektor pariwisata otomatis menjadi destinasi yang menggoda. Dengan demikian, sektor lain seperti ekonomi pun akan turut terdongkrak. Bukankah ini yang kita harapkan ketika era yang menjadikan isu kesejahteraan rakyat belum mendekati titik terang?
Kedua adalah dirampas. Antropolog Struktural Claude Levi–Strauss, mengingatkan masyarakat dan segala peradaban modern yang karena angkuh dan agresif terhadap sesama, alam sekitar, dan budayanya justru telah kehilangan kaidah kemanusiaan sejati (Beding, 1998: iv). Kritik Si jenius Strauss ditujukan kepada sebuah keyakinan ideologi kemajuan peradaban modern yang menganggap diri lebih unggul dari pada segala bangsa primitif yang bodoh dan kurang berkembang. Perang di mana-mana membuktikan tingkat kebrutalan yang tak dapat bisa dihitung korban jiwa, pejabat-pejabat eksekutif dan legislatif mengadakan transaksi bisnis tingkat tinggi terus-menerus menyalahgunakan pengaruh dan kekuasaan, umat manusia tampak kecanduan, marah, produk-produk industri dan teknologi yang serba instant dan tidak ramah lingkungan menjadi sebuah awasan ketika berbagai pengalaman atau fakta pahit negeri kepulauan ini membuktikan kita telah kehilangan identitas sebagai sebuah bangsa yang kaya akan budaya.  Sebut saja, krisis ekonomi yang menimbulkan krisis ikutan cuma dapat diselesaikan dalam tataran verbal simbolik.
Kekerasan di mana-mana, demonstrasi yang berujung pada tindakan anarki, tawuran antarwarga belakangan ini menjadi indikator kuat kita kehilangan identitas tersebut. Ini artinya, dirampas tidak saja dipersepsi sebagai masuknya pihak luar untuk merampas identitas kita, tetapi juga boleh jadi dimaknai sebagai lemahnya kiat untuk menjadikan diri sebagai makhluk berbudaya sebagai bentuk kekolektifan kita sebagai sebuah  bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Derasnya era informasi ini berkecenderungan mengabaikan identitas budaya kita. Oleh karena itu, kita mungkin membutuhkan ketahanan budaya dalam mempertahankan identitas kita.
Cerita-cerita tentang realitas masa lalu, terutama tentang realitas seni budaya cukup beralasan untuk dingkat kembali. Apalagi di tahun 2008, tahun yang dibaptis pemerintah sebagai tahun kunjungan pemerintah (Visit Indonesia Yaer). Betul kata Butet Kertaradjasa, Indonesia kaya akan tradisi dan budaya. Sekian banyak ritus sebagai identitas atau jati diri masyarakat kolektif kita, seni tari, seni suara, seni sastra, tenun, seni lukis, dan sebagainya mungkin hanya tinggal nama. Di Nusa Flobamora (Flores, Sumba, Timor,Alor) masing-masing suku atau etnik memiliki khasana budaya ini.
Sebagai misal, Kataga dan Pasola, Padang Sabana di Sumba, ritus Gadjah Mada di Sabu Rote, Likurai dan lantunan Sasando di Timor, Legho-legho di Alor, Dolo-dolo, Hedung, Soleha, tradisi dan heroisme penangkapan Ikan Paus di Flotim–Lembata, Hegong di Sikka, Wandapau di Ende, Ja’i di Ngada, dan Caci di Manggarai. Dalam konteks lain, Ende, misalnya dikenal luar biasa karena di sana ada Danau Kelimutu, ada destinasi histories pembuangan Ir.Soekarno, mantan Preside Indonesia yang merenungkan Pancasila yang akhirnya menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Terawatkah identitas-identitas tersebut?
Inilah bagian dari sejarah kita. Identitas kita Flores – Lembata. Secara kasat mata semuanya ini tidak diketahui secara baik oleh generasi muda. Apalagi, setelah disinggahi budaya modern berinteraksi, akhirnya ada kecenderungan untuk lupa. Dengan demikian, identitas dan jati diri budaya kita yang tampak jelas dan menyata dalam proses peradaban masyarakat kita, tampak semakin kabur dalam realitas kekinian.
Ada beberapa solusi praktis, Pertama, kita memberikan sebuah apresiasi yang besar kepada lembaga-lembaga pendidikan formal kita lewat desain kurikulum muatan lokal telah mampu mengakomodir pembelajaran kontekstual. Desain mulok diharapkan untuk diarahkan kepada upaya menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya yerhadap nilai tradisi dan budaya, baik dalam konteks individual maupun sosial.
Kedua, Dinas-dinas terkait yang menangani sektor pembangunan ini agar membangun kolaborasi sinergis untuk tidak tumpang tindih dalam pelaksanaan di lapangan. Tidak saja sekadar membuat inventarisasi, namun komitmen untuk menjadikan identitas budaya ini sebagai sektor unggulan pembangunan.
Ketiga, otonnomi daerah tidak membuat kita ego. Kenyataan di beberapa tempat malah memperlihatkan rendahnya dukungan politis dari lembaga politik daerah, yaitu eksekutif dan legislatif terhadap pengembangan budaya. Otonomi daerah adalah proses politik yang memberikan hak prerogatif pada daerah untuk mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan pusat, termasuk pengaturan aspek-aspek budayanya. Sayangnya, otonomi daerah tidak pernah dibaca dalam konteks yang lebih luas, yaitu kacamata holistik sebagai sebuah peta kekuatan di dalam keanekaragaman budaya-budaya.
Bila keanekaragaman budaya ini dijadikan sebagai titik tolak di dalam otonomi, yang seharusnya dapat dibangun lewat otonomi, tidak hanya kebebasan daerah dalam menentukan dirinya sendiri (monologisme), akan tetapi bagaimana dapat dikembangkan sikap yang menganggap penting interaksi dan komunikasi dengan darah-daerah lainnya. Bila interaksi dan komunikasi antardaerah ini dianggap sebagai faktor utama, selanjutnya dapat dibangun garis-garis penghubung antarbudaya yang beraneka ragam tersebut. Inilah yang disebut strategi transpolitik, atau trans budaya–strategi garis penghubung antarbudaya. Orang tidak hanya harus merdeka (otonomi rumah tangga), tetapi juga bersosialisasi, berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lainnya lewat budaya sebagai identitas dan jati diri kita. (*)




[1] Artikel ini pernah Muat di Harian Umum Flores Pos, Selasa, 24 Juni 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar