Mari Kita Sukseskan Tahun
Kunjungan 2008. Pesan ini hampir kita dapati pada
spanduk-spanduk yang membentang di beberapa ruas jalan kota Ende. Spanduk
dengan pesan yang sama juga dipajang di depan beberapa dinas/kantor yang sangat
interest dengan tahun wisata 2008.
Tidak hanya di Ende, tetapi dilakukan secara menasional. Pesan ini dapatlah
dipersepsi sebagai ajakan untuk menyukseskan program nasional dengan berbagai
kiat dan cara yang tentu berbeda, namun tetap pada ikhtiar yang sama yakni
menyukseskan tahun kunjungan wisata 2008. Ajakan ini seperti yang diramalkan
seorang Naisbit, dalam Megatrens 2000
bahwa era sekarang adalah era kesenian dan era pariwisata. Orang akan
membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni.
Peristiwa-peristiwa kesenian akan menjadi perhatian utama dibandingkan
peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya telah mendapat simpati publik.
Adalah
Butet Kertaradjasa dalam sebuah iklan di televisi swasta mengatakan bahwa
bangsa Indonesia kaya akan budaya dan tradisi. Ada berbagai macam tarian daerah
yang mesti dijaga dan dilestarikan. Pada epilog iklan yang disponsori oleh PT. Sidomincul, wakil Presiden Republik
Mimpi itu berpesan, jangan biarkan identitas kita dirampas.
Pesan
sponsor lewat Butet Kertaradjasa di atas mengganggu penulis, sekaligus menjadi
inspirasi membuat tulisan sederhana ini, sehubungan dengan gencarnya promosi
pariwisata 2008. Ada dua hal yang ingin disampaikan. Pertama, identitas.
Belakangan ini term ini cukup merakyat. Tidak saja sekadar data diri untuk
urusan dinas formal, melainkan telah dipersepsi secara makro sampai pada data
kolektif suatu masayarakat. Masyarakat kemudian mulai memaknai identitas suatu kelompok etnik atau budaya tertentu
sebagai identitas yang kolektif atau identitas bersama. Tari Reog Ponorogo, Tari Folaya, Tari Pendet, Hombo Batu, Jamu
Tradisional, musik Angklung, merupakan sebagian identitas kelompok
masyarakat Indonesia. Semua ini sebetulnya merupakan representasi dari
kekolektifan berbagai tradisi, budaya, dan kharakter sebuah bangsa Indonesia.
Pemahaman yang sama ini juga berangkat dari pemahaman kesejarahan bangsa ini
bahwa keanekaragaman tradisi dan budaya suku bangsa di Indonesia sesungguhnya
menjadi tonggak kebudayaan nasional.
Identitas
secara leksikal berarti ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang, jati diri.
Pembangunan sebagian daerah di Indonesia, akhir-akhir ini mengambil titik star
dari aspek budaya. Hal ini mensyaratkan paradigma pembangunan yang meletakkan
aspek budaya sebagai bagian terdepan pelaksanaan pembangunan. Roh pembangunan
diarahkan pada strategi dan upaya pembongkaran juga penemuan identitas, jati
diri sebagai makhluk yang beradab. Justru di sinilah berbagai khasanah identitas
terangkat kembali. Penulis percaya, di setiap etnik terdapat asset-asset budaya
yang dapat dikelola secara lebih komperhensif. Asset-asset tersebut, seperti
objek-objek wisata, tarian-tarian daerah, makanan-makanan rakyat, obat-obatan
tradisional, dan lain-lain.
Keberadaan
khasanah khas etnik-etnik di sekitar kita ini merupakan asset wisata nasional,
juga internasional yang kalau dikemas secara arif, bijaksana dan memadai tentu
menjadi magnet yang selalu menarik para wisatawan mancanegara dan domestik
untuk berkunjung ke daerah ini. Pada sektor pariwisata otomatis menjadi
destinasi yang menggoda. Dengan demikian, sektor lain seperti ekonomi pun akan
turut terdongkrak. Bukankah ini yang kita harapkan ketika era yang menjadikan
isu kesejahteraan rakyat belum mendekati titik terang?
Kedua
adalah dirampas. Antropolog Struktural Claude Levi–Strauss, mengingatkan
masyarakat dan segala peradaban modern yang karena angkuh dan agresif terhadap
sesama, alam sekitar, dan budayanya justru telah kehilangan kaidah kemanusiaan
sejati (Beding, 1998: iv). Kritik Si jenius Strauss ditujukan kepada sebuah
keyakinan ideologi kemajuan peradaban modern yang menganggap diri lebih unggul
dari pada segala bangsa primitif yang bodoh dan kurang berkembang. Perang di
mana-mana membuktikan tingkat kebrutalan yang tak dapat bisa dihitung korban
jiwa, pejabat-pejabat eksekutif dan legislatif mengadakan transaksi bisnis
tingkat tinggi terus-menerus menyalahgunakan pengaruh dan kekuasaan, umat
manusia tampak kecanduan, marah, produk-produk industri dan teknologi yang
serba instant dan tidak ramah
lingkungan menjadi sebuah awasan ketika berbagai pengalaman atau fakta pahit
negeri kepulauan ini membuktikan kita telah kehilangan identitas sebagai sebuah
bangsa yang kaya akan budaya. Sebut
saja, krisis ekonomi yang menimbulkan krisis ikutan cuma dapat diselesaikan
dalam tataran verbal simbolik.
Kekerasan
di mana-mana, demonstrasi yang berujung pada tindakan anarki, tawuran
antarwarga belakangan ini menjadi indikator kuat kita kehilangan identitas
tersebut. Ini artinya, dirampas tidak saja dipersepsi sebagai masuknya pihak
luar untuk merampas identitas kita, tetapi juga boleh jadi dimaknai sebagai
lemahnya kiat untuk menjadikan diri sebagai makhluk berbudaya sebagai bentuk
kekolektifan kita sebagai sebuah bangsa
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Derasnya era informasi ini
berkecenderungan mengabaikan identitas budaya kita. Oleh karena itu, kita
mungkin membutuhkan ketahanan budaya dalam mempertahankan identitas kita.
Cerita-cerita
tentang realitas masa lalu, terutama tentang realitas seni budaya cukup
beralasan untuk dingkat kembali. Apalagi di tahun 2008, tahun yang dibaptis
pemerintah sebagai tahun kunjungan pemerintah (Visit Indonesia Yaer). Betul kata Butet Kertaradjasa, Indonesia
kaya akan tradisi dan budaya. Sekian banyak ritus sebagai identitas atau jati
diri masyarakat kolektif kita, seni tari, seni suara, seni sastra, tenun, seni
lukis, dan sebagainya mungkin hanya tinggal nama. Di Nusa Flobamora (Flores,
Sumba, Timor,Alor) masing-masing suku atau etnik memiliki khasana budaya ini.
Sebagai
misal, Kataga dan Pasola, Padang Sabana
di Sumba, ritus Gadjah Mada di Sabu
Rote, Likurai dan lantunan Sasando di
Timor, Legho-legho di Alor, Dolo-dolo, Hedung, Soleha, tradisi dan
heroisme penangkapan Ikan Paus di
Flotim–Lembata, Hegong di Sikka, Wandapau di Ende, Ja’i di Ngada, dan Caci di
Manggarai. Dalam konteks lain, Ende, misalnya dikenal luar biasa karena di sana
ada Danau Kelimutu, ada destinasi histories pembuangan Ir.Soekarno, mantan
Preside Indonesia yang merenungkan Pancasila yang akhirnya menjadi dasar Negara
Republik Indonesia. Terawatkah identitas-identitas tersebut?
Inilah
bagian dari sejarah kita. Identitas kita Flores – Lembata. Secara kasat mata
semuanya ini tidak diketahui secara baik oleh generasi muda. Apalagi, setelah
disinggahi budaya modern berinteraksi, akhirnya ada kecenderungan untuk lupa.
Dengan demikian, identitas dan jati diri budaya kita yang tampak jelas dan
menyata dalam proses peradaban masyarakat kita, tampak semakin kabur dalam
realitas kekinian.
Ada
beberapa solusi praktis, Pertama, kita memberikan sebuah
apresiasi yang besar kepada lembaga-lembaga pendidikan formal kita lewat desain
kurikulum muatan lokal telah mampu mengakomodir pembelajaran kontekstual.
Desain mulok diharapkan untuk diarahkan kepada upaya menanam, menumbuhkan, dan
mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa
hormatnya yerhadap nilai tradisi dan budaya, baik dalam konteks individual
maupun sosial.
Kedua,
Dinas-dinas terkait yang menangani sektor pembangunan ini agar membangun
kolaborasi sinergis untuk tidak tumpang tindih dalam pelaksanaan di lapangan.
Tidak saja sekadar membuat inventarisasi, namun komitmen untuk menjadikan
identitas budaya ini sebagai sektor unggulan pembangunan.
Ketiga,
otonnomi daerah tidak membuat kita ego. Kenyataan di beberapa tempat malah
memperlihatkan rendahnya dukungan politis dari lembaga politik daerah, yaitu
eksekutif dan legislatif terhadap pengembangan budaya. Otonomi daerah adalah
proses politik yang memberikan hak prerogatif pada daerah untuk mengatur
dirinya sendiri tanpa campur tangan pusat, termasuk pengaturan aspek-aspek
budayanya. Sayangnya, otonomi daerah tidak pernah dibaca dalam konteks yang
lebih luas, yaitu kacamata holistik
sebagai sebuah peta kekuatan di dalam keanekaragaman budaya-budaya.
Bila
keanekaragaman budaya ini dijadikan sebagai titik tolak di dalam otonomi, yang
seharusnya dapat dibangun lewat otonomi, tidak hanya kebebasan daerah dalam
menentukan dirinya sendiri (monologisme),
akan tetapi bagaimana dapat dikembangkan sikap yang menganggap penting
interaksi dan komunikasi dengan darah-daerah lainnya. Bila interaksi dan
komunikasi antardaerah ini dianggap sebagai faktor utama, selanjutnya dapat
dibangun garis-garis penghubung antarbudaya yang beraneka ragam tersebut.
Inilah yang disebut strategi transpolitik, atau trans budaya–strategi garis
penghubung antarbudaya. Orang tidak hanya harus merdeka (otonomi rumah tangga), tetapi juga
bersosialisasi, berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lainnya lewat budaya
sebagai identitas dan jati diri kita. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar