Lembata
termasuk gugusan Kepulauan Solor, yang terletak di bagian timur Provinsi NTT.
Beberapa waktu lampau orang mengenal Lomblen atau Kawela, tetapi sejak
kapan nama Lembata dipakai untuk menggantikan Lomblen tidak jelas. Alm. Profesor Goris Keraf, Guru Besar
Linguistik menyatakan bahwa nama Lembata itu dicari nama-nama seperti Lambote,
Lambaka, Lamlere, dll. Mencari-cari nama Lembata, terdapat sebuah nama yang
mirip dengan Lembata, muncullah “Lombatte”, dalam catatan harian penjelajah dunia Laksamana Schouten,
mengenai pelayarannya di antara pulau-pulau Lembata, Solor, dan Adonara (Schouten’s Voyage + 1672 Langs
Lomblemm/Lombatte). Dr. F.C.Heinen dalam sebuah menuskrip yang diketik
berjudul “Het Rijk Van Larantuka Op het
Eiland Flores 1876”, menyebut sebuah pulau bernama Lomblen atau Kawela,
yang terletak berhadapan dengan Selat Solor (Pater Alex Beding, DIAN, Nomor 42
Edisi, 24–30 Oktober 1999).
Lembata. Kabupaten
Lembata, terbentuk seturut UU No. 32/1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU
No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Disahkan dalam rapat Paripurna DPR di Gedung
DPR, Jalan Gatot Subroto Jakarta, Kamis 16 September 1999. Lembata
terbentuk sebagai daerah otonom, tanggal 16 September 1999, setelah 45 tahun
berjuang, diawali dengan ‘Statement 7 Maret 1954’, di Hadakewa, yang
diprakarsai oleh Petrus Gute Betekeneng. Saat ini jumlah penduduk sekitar 123.141 jiwa, dengan laki-laki
sebanyak 57.909 jiwa, dan 65.232 jiwa. Dalam peta, Pulau Lembata terletak
antara 8 – 8 ---30” LS dan 123 – 15’ ----124” BT dengan luas wilayah 1.266.48
km2, yakni luas daratan 1.266.390 km2 (27.41%), dan luas lautan 3.353.895 km2
(72.59%) dengan garis pantai 492.80 km2 (BPS Lembata, 2009). Ini
artinya, laut Lembata memiliki pesona dashyat untuk dieksplorasi, tidak 1000 patung
di bawah laut juga lapangan bola kaki di kawah gunung berapi Ile Ape (FP,
10/1/2015). Kecenderungan pada laut ini
sangat masuk akal karena Lembata adalah kabupaten yang berada di antara laut:
timur dengan Selat Alor, barat dengan Selat Boleng dan Lamakera, utara dengan
Laut Flores, dan selatan dengan Laut Sawu. Boleh jadi, strategi yang dikemas
adalah menjadikan keunikan perairan Lamalera dengan ritus penangkapan ikan Paus
nan tradisional itu sebagai pilot project pariwisata air (laut), di
samping beberapa pesona laut yang menakjubkan, misalnya wisata di Pantai Bean,
air terjun Lodowawo di Atawuwur, pantai pasir putih di Mingar, dan kekhasan
lain di laut yang menjanjikan.
Lembata: sebuah Harapan
Apakah Lembata (Kawela) sudah ambruk? Seorang
teman setelah mengikuti berita dan perkembangan di Lembata melalui media massa
mengirimkan pesan singkat begini. “Teman, masa ko Lembata yang kecil ana
itu urus berkelai terus. Kalo demikian, kapan bangunnya”? Sebagai teman,
pesan ini merupakan sebuah gurauan. Ada nada tanya. Juga menandai sebuah
kekecewaan, keprihatinan, kegalauan. Yang pasti, ada simpati. Lebur dalam
nuansa empati atas kondisi (kisruh?) di Lembata. Menyimak pemberitaan dan
informasi hari-hari ini, pertanyaan di atas sangat relevan untuk menguji
segenap pemangku kepentingan di kabupaten kepulauan ini. Secara terang dan
kasat mata, kita akan menjumpai terjadinya kekisruhan-kekisruhan tersebut. Sebut
saja: kisruh antara Bupati dengan DPRD; Kisruh bupati dengan pedagang Pasar
Pada; ketidakharmonisan relasi antara Bupati dengan Wabupnya; kisruh antara
pedagang Pasar Pada dengan Satpol PP; kisruh antara pedagang Pasar Pada dengan
Pasar TPI, dan berbagai macam hal lainnya. Secara jujur kisruh-kisruh di atas
tentu sangat mengganggu. Sebuah tanya yang relevan untuk diungkapkan di sini. Dan,
tesis dasar catatan ini adalah Lembata yang kecil itu harus diurus dengan baik
dan telaten, tanpa baku hantam, seturut pesan moral Statement 7 Maret
1954 di Hadakewa Lembata. Hemat saya, keprihatinan di atas, juga dirasakan semua orang Lembata
yang berada di luar kabupaten pulau ini.
Pertama, sudah
16 tahun (1999-2015) Lembata menjadi daerah otonom, namun begitu banyak
kantor/instansi pemerintah daerah yang masih mengontrak rumah penduduk.
Bayangkan saja, sudah tiga periode kepemimpinan, ternyata belum menampakkan geliat
dan niat baik untuk membangun Lewotana Lembata. Belum lagi, keluhan masyarakat
tentang jalan-jalan kota Lewoleba yang masih belepotan dan berkubang di saat
musim hujan. Kota Lewoleba Ibukota Lembata, pintu depan kabupaten ini seakan
berubah menjadi ‘penjual debu’ di musim kemarau. Penerangan penduduk yang (akankah
senantiasa?) menggunakan lampu pelita. Sekian PLTD yang mati suri. Menyala
semalam, padam seminggu. Sungguh merisaukan warga masyarakat. Padahal hemat
saya masyarakat akan merasa bahagia dan sejahtera apabila tiga kebutuhan dasar standard
terpenuhi, yakni jalan, listrik, dan air minum. Atas masalah ini pertanyaannya
adalah sampai kapan kantor-kantor itu dibangun, jalan-jalan diperbaiki, dan
jaringan-jaringan listrik diperluas untuk memudahkan aktivitas dan membuka
akses pembangunan agar Lembata yang kecil ana ini dapat menikmati
hasil-hasil pembangunan secara lebih baik? Belum lagi, kasus-kasus manipulasi,
makan uang (korupsi) begitu permisif di seputaran Lembata. Praktik ini semakin
subur dengan berbagai cara dan rekayasa. Yang satu menyeret yang lain. Semuanya
terlibat, tercebur dalam kolam hitam merugikan orang lain.
Kedua,
pulau ini akhirnya menampakkan wajah lain menjadi pulau sirkus merebaknya
berbagai macam kekerasan, kemaksiatan. Beberapa tragedi pembunuhan sadis dengan
cara kekerasan di Lembata menunjukkan bahwa kita sedang beranjak menuju pada
pilihan ini. Parahnya lagi, kasus-kasus itu ditengarai melibatkan elite politik
di lembata. Di lain pihak, kasus-kasus kemaksiatan, kos-kosan sudah berubah
fungsi menjadi tempat-tempat mesum. Parahnya, korbannya adalah anak-anak
sekolah di kota Lewoleba. Aksi maksiat ini dipicu oleh menjamurnya tempat
hiburan malam, pergaulan bebas, sehingga mempengaruhi meningkatnya kasus
HIV/Aids dari 130 kasus di tahun 2013 menjadi 172 kasus di tahun 2014, (PK,
24/2/2015).
Peristiwa pengepungan rumah jabatan (Rujab) bupati
Lembata oleh para pedagang Pasar Pada pada Selasa, 21 April 2015 menunjukkan
“keambrukan” sekaligus kejatuhan pemimpin di Lembata. Bupati Yance Sunur yang
adalah simbol negara dilecehkan oleh rakyat yang memilih dia. “Bupati Lembata
itu plin-plan. Apakah kami bukan masyarakatnya, sehingga dia tidak mau bertemu
dan memperhatikan kami? Kau jadi bupati itu karena kami rakyat kecil ini” (FP,
21 April 2015). Itulah puncak kekesalan, kekecewaan rakyat menyaksikan
pemimpinnya yang jauh dari rakyatnya. Pemimpin yang pilih-pilih kasih, lebih
pro dengan pedagang di TPI (FP, 21 April 2015). Ulah lain, peristiwa
penyiraman air ikan kepada Satpol PP Lembata oleh pedagang di Pasar Kota
menambah runyam daftar ketidakmampuan alat dan abdi negara dalam menjalankan
tugasnya. Genaplah kalau ibu-ibu mengeluh tentang Satpol PP yang tidak memiliki
nurani. Bahkan, hanya demi kewibawaan mereka, ikan jualan yang sudah dibeli
pembeli pun dikembalikan. Terlebih, umpatan, makian, cacian, teriakan adalah
klimaks ketidakpercayaan rakyat atas sebuah kepemimpinan. Begitu permisif kita
menyaksikan sebuah “keruntuhan kewibawaan” seorang bupati dan aparatusnya di
depan rakyatnya sendiri. Wallah ma! Memprihatinkan. Benarlah kata anggota DPRD bahwa Lembata
sekarang tidak memiliki Bupati.
Ketiga, berbagai
kisah getir keprihatinan, kekecewaan, sebagai orang berbudaya kita berharap agar
kisruh Bupati dan para anggota DPRD di Lewotana mudah-mudahan segera berakhir
agar rencana-rencana kecil maupun rencana-rencana besar untuk pembangunan di
Lembata dapat terwujud dengan baik. Ada kebijaksanaan: narak–grian fekim
(sayang badan) dari penutur Lamaholot Imulolong boleh jadi menjadi nasihat bagi
dua lembagai elite politik di Lembata ini. Artinya, rakyat dan segala
persoalan, serta kebutuhan hidupnya sangat ditentukan oleh lembaga-lembaga ini.
Lalu, kalau keduanya hanya sibuk mengurus diri dan baku hantam, baku
lapor terus-terusan, kapan waktunya berpikir dan bertindak untuk kesejahteraan
dan kemaslahatan rakyat Lembata? Yang
paling aktual di hari-hari ini adalah terkatung-katungnya pembahasan APBD tahun
2016, tegal Bupati tetap pada sikap untuk tidak mau menandatangani kebijakan
umum (KU) dan prioritas plafon anggaran sementara (PPAS) tahun 2016 bersama
pimpinan DPRD Lembata dalam Sidang Paripurna yang sudah dijadwalkan
berulangkali oleh Badan Musyawarah (Banmus) DPRD (FP, 9/9/2015). Lalu,
siapakah yang sedang berseteru dengan Bupati? Rakyat Lembata yang telah
mendudukkan dia di kursi nomor satu Kabupaten Lembata? Ataukah, rakyat Lembata
yang direpresentasi oleh satu saja kumpulan rakyat yang mendiami gedung DPRD
Lembata. Secara teoretis, betul bahwa DPRD adalah representasi rakyat, namun
dalam begitu banyak hal ternyata menampakkan bahwa DPRD tidak mencerminkan diri
sebagai representasi rakyatnya. Sehingga, masih ada begitu banyak rakyat
Lembata yang hidup susah di kampung-kampung yang butuh kesejahteraan. Dan, APBD
adalah salah satu jalan menuju kesejahteraan itu. Sangat tidak beralasan ketika
Bupati memilih sikap untuk tidak menandatangani KU dan PPAS. Untuk rakyat yang
telah memilih, Bapak Bupati mesti legowo, datang bertemu dengan DPRD demi
kumpulan masyarakat Lembata yang lebih banyak.
Hemat saya, sederhana saja. Ruang komunikasi perlu
dibangun secara lebih intensif dan serius untuk hal-hal yang lebih bermartabat.
Bukan saling lapor-melapor. Dengan demikian, masing-masing pihak perlu
menyingkirkan keegoan pribadi, kesenangan semata dalam memuaskan napsu serakah
instan dan pragmatis. Masyarakat Lembata sangat butuh keseriusan pemimpin yang
tidak gemar bermimpi, melainkan pemimpin yang sehari-hari bersama rakyat:
menangkap kerinduan-kerindua rakyat, merumusakan dengan cermat masalah itu, dan
mencari jalan keluarnya. Bukan terus menumpuk masalah di atas bahu-bahu rakyat
yang kian susah. Mari berkaca pada kethulusan para fundator 7 Maret 1954.
Mereka adalah pejuang-pejuang ikhlas tanpa celah yang bersedia mengorbankan
tenaga, waktu, biaya, dan pikirannya untuk sebuah Lembata kecil. Mungkinkah
para pemimpin dan pemangku kepentingan di Lembata sekarang bisa sedikit saja
berjuang agar Lembata yang diidam-idamkan oleh para pendahulu itu bisa
terwujud? Minimal keluar dari
keresahan-keresahan yang terus melilit kehidupan rakyat.
Akhirnya, Lembata melejit dan terkenal secara luas karena
di sana ada wisata bahari tradisi penangkapan ikan paus
secara tradisional. Persepsi kebanyakan orang tentang Lembata dikarenakan wisata
bahari ini. Namun, ternyata juga
keramahan, kesantunan masyarakatnya melalui kekhasan-kekhasan dan sejumlah
keanekaan budaya yang mengagumkan dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi orang luar
untuk menuju ke Lembata. Atau, kita sudah lupakan? (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar