Halaman

Rabu, 08 November 2017

Lembata (sebuah catatan dan harapan)



Lembata termasuk gugusan Kepulauan Solor, yang terletak di bagian timur Provinsi NTT. Beberapa waktu lampau orang mengenal Lomblen atau Kawela, tetapi sejak kapan nama Lembata dipakai untuk menggantikan Lomblen tidak jelas. Alm. Profesor Goris Keraf, Guru Besar Linguistik menyatakan bahwa nama Lembata itu dicari nama-nama seperti Lambote, Lambaka, Lamlere, dll. Mencari-cari nama Lembata, terdapat sebuah nama yang mirip dengan Lembata, muncullah “Lombatte”, dalam catatan harian penjelajah dunia Laksamana Schouten, mengenai pelayarannya di antara pulau-pulau Lembata, Solor, dan Adonara (Schouten’s Voyage + 1672 Langs Lomblemm/Lombatte). Dr. F.C.Heinen dalam sebuah menuskrip yang diketik berjudul “Het Rijk Van Larantuka Op het Eiland Flores 1876”, menyebut sebuah pulau bernama Lomblen atau Kawela, yang terletak berhadapan dengan Selat Solor (Pater Alex Beding, DIAN, Nomor 42 Edisi, 24–30 Oktober 1999).
Lembata. Kabupaten Lembata, terbentuk seturut UU No. 32/1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.  Disahkan dalam rapat Paripurna DPR di Gedung DPR, Jalan Gatot Subroto Jakarta, Kamis 16 September 1999. Lembata terbentuk sebagai daerah otonom, tanggal 16 September 1999, setelah 45 tahun berjuang, diawali dengan ‘Statement 7 Maret 1954’, di Hadakewa, yang diprakarsai oleh Petrus Gute Betekeneng. Saat ini jumlah penduduk sekitar 123.141 jiwa, dengan laki-laki sebanyak 57.909 jiwa, dan 65.232 jiwa. Dalam peta, Pulau Lembata terletak antara 8 – 8 ---30” LS dan 123 – 15’ ----124” BT dengan luas wilayah 1.266.48 km2, yakni luas daratan 1.266.390 km2 (27.41%), dan luas lautan 3.353.895 km2 (72.59%) dengan garis pantai 492.80 km2 (BPS Lembata, 2009). Ini artinya, laut Lembata memiliki pesona dashyat untuk dieksplorasi, tidak 1000 patung di bawah laut juga lapangan bola kaki di kawah gunung berapi Ile Ape (FP, 10/1/2015).  Kecenderungan pada laut ini sangat masuk akal karena Lembata adalah kabupaten yang berada di antara laut: timur dengan Selat Alor, barat dengan Selat Boleng dan Lamakera, utara dengan Laut Flores, dan selatan dengan Laut Sawu. Boleh jadi, strategi yang dikemas adalah menjadikan keunikan perairan Lamalera dengan ritus penangkapan ikan Paus nan tradisional itu sebagai pilot project pariwisata air (laut), di samping beberapa pesona laut yang menakjubkan, misalnya wisata di Pantai Bean, air terjun Lodowawo di Atawuwur, pantai pasir putih di Mingar, dan kekhasan lain di laut yang menjanjikan.

Lembata: sebuah Harapan
Apakah Lembata (Kawela) sudah ambruk? Seorang teman setelah mengikuti berita dan perkembangan di Lembata melalui media massa mengirimkan pesan singkat begini. “Teman, masa ko Lembata yang kecil ana itu urus berkelai terus. Kalo demikian, kapan bangunnya”? Sebagai teman, pesan ini merupakan sebuah gurauan. Ada nada tanya. Juga menandai sebuah kekecewaan, keprihatinan, kegalauan. Yang pasti, ada simpati. Lebur dalam nuansa empati atas kondisi (kisruh?) di Lembata. Menyimak pemberitaan dan informasi hari-hari ini, pertanyaan di atas sangat relevan untuk menguji segenap pemangku kepentingan di kabupaten kepulauan ini. Secara terang dan kasat mata, kita akan menjumpai terjadinya kekisruhan-kekisruhan tersebut. Sebut saja: kisruh antara Bupati dengan DPRD; Kisruh bupati dengan pedagang Pasar Pada; ketidakharmonisan relasi antara Bupati dengan Wabupnya; kisruh antara pedagang Pasar Pada dengan Satpol PP; kisruh antara pedagang Pasar Pada dengan Pasar TPI, dan berbagai macam hal lainnya. Secara jujur kisruh-kisruh di atas tentu sangat mengganggu. Sebuah tanya yang relevan untuk diungkapkan di sini. Dan, tesis dasar catatan ini adalah Lembata yang kecil itu harus diurus dengan baik dan telaten, tanpa baku hantam, seturut pesan moral Statement 7 Maret 1954 di Hadakewa Lembata. Hemat saya, keprihatinan  di atas, juga dirasakan semua orang Lembata yang berada di luar kabupaten pulau ini.
Pertama, sudah 16 tahun (1999-2015) Lembata menjadi daerah otonom, namun begitu banyak kantor/instansi pemerintah daerah yang masih mengontrak rumah penduduk. Bayangkan saja, sudah tiga periode kepemimpinan, ternyata belum menampakkan geliat dan niat baik untuk membangun Lewotana Lembata. Belum lagi, keluhan masyarakat tentang jalan-jalan kota Lewoleba yang masih belepotan dan berkubang di saat musim hujan. Kota Lewoleba Ibukota Lembata, pintu depan kabupaten ini seakan berubah menjadi ‘penjual debu’ di musim kemarau. Penerangan penduduk yang (akankah senantiasa?) menggunakan lampu pelita. Sekian PLTD yang mati suri. Menyala semalam, padam seminggu. Sungguh merisaukan warga masyarakat. Padahal hemat saya masyarakat akan merasa bahagia dan sejahtera apabila tiga kebutuhan dasar standard terpenuhi, yakni jalan, listrik, dan air minum. Atas masalah ini pertanyaannya adalah sampai kapan kantor-kantor itu dibangun, jalan-jalan diperbaiki, dan jaringan-jaringan listrik diperluas untuk memudahkan aktivitas dan membuka akses pembangunan agar Lembata yang kecil ana ini dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara lebih baik? Belum lagi, kasus-kasus manipulasi, makan uang (korupsi) begitu permisif di seputaran Lembata. Praktik ini semakin subur dengan berbagai cara dan rekayasa. Yang satu menyeret yang lain. Semuanya terlibat, tercebur dalam kolam hitam merugikan orang lain.
Kedua, pulau ini akhirnya menampakkan wajah lain menjadi pulau sirkus merebaknya berbagai macam kekerasan, kemaksiatan. Beberapa tragedi pembunuhan sadis dengan cara kekerasan di Lembata menunjukkan bahwa kita sedang beranjak menuju pada pilihan ini. Parahnya lagi, kasus-kasus itu ditengarai melibatkan elite politik di lembata. Di lain pihak, kasus-kasus kemaksiatan, kos-kosan sudah berubah fungsi menjadi tempat-tempat mesum. Parahnya, korbannya adalah anak-anak sekolah di kota Lewoleba. Aksi maksiat ini dipicu oleh menjamurnya tempat hiburan malam, pergaulan bebas, sehingga mempengaruhi meningkatnya kasus HIV/Aids dari 130 kasus di tahun 2013 menjadi 172 kasus di tahun 2014, (PK, 24/2/2015). 
Peristiwa pengepungan rumah jabatan (Rujab) bupati Lembata oleh para pedagang Pasar Pada pada Selasa, 21 April 2015 menunjukkan “keambrukan” sekaligus kejatuhan pemimpin di Lembata. Bupati Yance Sunur yang adalah simbol negara dilecehkan oleh rakyat yang memilih dia. “Bupati Lembata itu plin-plan. Apakah kami bukan masyarakatnya, sehingga dia tidak mau bertemu dan memperhatikan kami? Kau jadi bupati itu karena kami rakyat kecil ini” (FP, 21 April 2015). Itulah puncak kekesalan, kekecewaan rakyat menyaksikan pemimpinnya yang jauh dari rakyatnya. Pemimpin yang pilih-pilih kasih, lebih pro dengan pedagang di TPI (FP, 21 April 2015). Ulah lain, peristiwa penyiraman air ikan kepada Satpol PP Lembata oleh pedagang di Pasar Kota menambah runyam daftar ketidakmampuan alat dan abdi negara dalam menjalankan tugasnya. Genaplah kalau ibu-ibu mengeluh tentang Satpol PP yang tidak memiliki nurani. Bahkan, hanya demi kewibawaan mereka, ikan jualan yang sudah dibeli pembeli pun dikembalikan. Terlebih, umpatan, makian, cacian, teriakan adalah klimaks ketidakpercayaan rakyat atas sebuah kepemimpinan. Begitu permisif kita menyaksikan sebuah “keruntuhan kewibawaan” seorang bupati dan aparatusnya di depan rakyatnya sendiri. Wallah ma! Memprihatinkan.  Benarlah kata anggota DPRD bahwa Lembata sekarang tidak memiliki Bupati.
Ketiga, berbagai kisah getir keprihatinan, kekecewaan, sebagai orang berbudaya kita berharap agar kisruh Bupati dan para anggota DPRD di Lewotana mudah-mudahan segera berakhir agar rencana-rencana kecil maupun rencana-rencana besar untuk pembangunan di Lembata dapat terwujud dengan baik. Ada kebijaksanaan: narak–grian fekim (sayang badan) dari penutur Lamaholot Imulolong boleh jadi menjadi nasihat bagi dua lembagai elite politik di Lembata ini. Artinya, rakyat dan segala persoalan, serta kebutuhan hidupnya sangat ditentukan oleh lembaga-lembaga ini. Lalu, kalau keduanya hanya sibuk mengurus diri dan baku hantam, baku lapor terus-terusan, kapan waktunya berpikir dan bertindak untuk kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat Lembata?  Yang paling aktual di hari-hari ini adalah terkatung-katungnya pembahasan APBD tahun 2016, tegal Bupati tetap pada sikap untuk tidak mau menandatangani kebijakan umum (KU) dan prioritas plafon anggaran sementara (PPAS) tahun 2016 bersama pimpinan DPRD Lembata dalam Sidang Paripurna yang sudah dijadwalkan berulangkali oleh Badan Musyawarah (Banmus) DPRD (FP, 9/9/2015). Lalu, siapakah yang sedang berseteru dengan Bupati? Rakyat Lembata yang telah mendudukkan dia di kursi nomor satu Kabupaten Lembata? Ataukah, rakyat Lembata yang direpresentasi oleh satu saja kumpulan rakyat yang mendiami gedung DPRD Lembata. Secara teoretis, betul bahwa DPRD adalah representasi rakyat, namun dalam begitu banyak hal ternyata menampakkan bahwa DPRD tidak mencerminkan diri sebagai representasi rakyatnya. Sehingga, masih ada begitu banyak rakyat Lembata yang hidup susah di kampung-kampung yang butuh kesejahteraan. Dan, APBD adalah salah satu jalan menuju kesejahteraan itu. Sangat tidak beralasan ketika Bupati memilih sikap untuk tidak menandatangani KU dan PPAS. Untuk rakyat yang telah memilih, Bapak Bupati mesti legowo, datang bertemu dengan DPRD demi kumpulan masyarakat Lembata yang lebih banyak.
Hemat saya, sederhana saja. Ruang komunikasi perlu dibangun secara lebih intensif dan serius untuk hal-hal yang lebih bermartabat. Bukan saling lapor-melapor. Dengan demikian, masing-masing pihak perlu menyingkirkan keegoan pribadi, kesenangan semata dalam memuaskan napsu serakah instan dan pragmatis. Masyarakat Lembata sangat butuh keseriusan pemimpin yang tidak gemar bermimpi, melainkan pemimpin yang sehari-hari bersama rakyat: menangkap kerinduan-kerindua rakyat, merumusakan dengan cermat masalah itu, dan mencari jalan keluarnya. Bukan terus menumpuk masalah di atas bahu-bahu rakyat yang kian susah. Mari berkaca pada kethulusan para fundator 7 Maret 1954. Mereka adalah pejuang-pejuang ikhlas tanpa celah yang bersedia mengorbankan tenaga, waktu, biaya, dan pikirannya untuk sebuah Lembata kecil. Mungkinkah para pemimpin dan pemangku kepentingan di Lembata sekarang bisa sedikit saja berjuang agar Lembata yang diidam-idamkan oleh para pendahulu itu bisa terwujud?  Minimal keluar dari keresahan-keresahan yang terus melilit kehidupan rakyat.
Akhirnya, Lembata melejit dan terkenal secara luas karena di sana ada wisata bahari tradisi penangkapan ikan paus secara tradisional. Persepsi kebanyakan orang tentang Lembata dikarenakan wisata bahari ini. Namun, ternyata juga keramahan, kesantunan masyarakatnya melalui kekhasan-kekhasan dan sejumlah keanekaan budaya yang mengagumkan dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi orang luar untuk menuju ke Lembata. Atau, kita sudah lupakan? (*)




Opini ini dimuat di HU Flores Pos, 21 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar