Halaman

Senin, 06 November 2017

"Si Keong": Antara Cipta Sastra dan Desain Program Penanggulangan Kemiskinan





            Kredo kemiskinan telah menjadi aphoria klasik dan krusial sensitif yang senantiasa aktual di seantero jagat, tak terkecuali di Republik tercinta ini. Fenomena ini, bahkan telah semakin menguat dan bergeser menjadi semacam budaya (culture) baru dalam tapak perjalanan panjang peradaban bangsa-bangsa di dunia. Lagi-lagi kemiskinan tidak lekas tuntas, karena masih menjadi persoalan rumit dan pelik masyarakat global dari waktu ke waktu. Berbagai gagasan coba dikemas dan dituangkan - diartikulasikan lewat mimbar-mimbar diskusi, menjadi head line halaman-halaman koran, juga terobosan-terobosan spektakuler coba dirancang-bangun untuk diaktualisasikan, namun apa mau dikata, masyarakat dunia dan komunitas bangsa ini masih saja berkutat terus berputar-putar dalam lingkaran kemiskinan.
Keluhan dan keprihatinan terus digalang, dan bagai gayung bersambut, semua elemen masyarakat bangun dan bangkit bersuara dalam sebuah koor attac and release bernada unitas:  “perangi kemiskinan”. Namun, realitas empiris terus saja menghadirkan fenomena pahit dan menggetarkan setiap detak jantung peziarah bumi ini. Bahwa perihal kemiskinan barangkali menjadi langganan tetap manusia dan tak pernah akan beranjak dari keseharian kita, sampai kapan pun. Atau, mungkin ini “cambuk”, dalam dendang balada Ebiet G.Ade, hanya cambuk kecil agar kita sadar. 
Mungkin juga Nietzsche benar, bagaimana dia menggambarkan penaklukan kondisi manusia saat ini, atau menganjurkan sebuah gagasan semi-ilmiah tentang ‘kepulangan abadi’, yang sesungguhnya menjadi sebuah pendaratan hipotesis yang hendak menggarisbawahi bahwa semua peristiwa yang telah terjadi akan terjadi lagi (Nietzsche, vi: 2002). Inikah aphoria? Dalam desah napas kegamangan hiruk pikuk pergulatan demikian, kita harus berani beranjak dan berjuang bersama Si Jenius Chairil Anwar, hidup adalah perjuangan”. Deretan metaforis ini hendaknya membuat kita ber-metonomia, sembari menggagas-ulang kiat, menggenggamnya erat dalam medan pengembaraan untuk pencarian kedalaman makna hidup.

Sastrawan: Kelompok Futuris
Ketika banyak sastrawan mengangkat dan menggurat tajuk kemiskinan dalam cipta sastranya, Gerson Poyk pun, misalnya tak ketinggalan. Petualangan imajinasi Gerson Poyk, kelahiran Namodale, Rote – Timor, mendamparkan dia menulis cerpen Si Keong, yang menorehkan tentang seorang anak gelandangan tanpa orang tua dan sanak saudara. Si Keong, sebuah rekaman mimesis kegelisahan yang menyiratkan dengan jelas manusia miskin menderita, melarat, tersingkir, terasing, dan teralienasi. Dalam sastra kita menemukan manusia yang demikian nestapa, tanpa hati kita terharu, tergugah. Bila hati kita tergetar berarti kita menemukan setengah dari jalan penyembuhan.
Asumsi bahwa sastra untuk sastra, terbantahkan ketika semua jenis cipta sastra telah mampu menembus dan melampaui sekat-sekat kehidupan universal. Sastra telah mampu merobohkan ke-ego-an eksistensiya dan mengkonstruk relasi dengan dunia luar. Sebuah perubahan paradigma penciptaan, yang berkutat pada sastra untuk sastra, digeser ke sebuah medan penciptaan yang lebih luas dan membumi, yakni sastra untuk masyarakat. Artinya, cipta sastra tidak mengedepankan struktur saja, tetapi mencoba untuk mengungkap secara total realitas kehidupan masyarakat. Salah satu medan pengungkapan yang tak luput dari olah pikir dan olah rasa sastrawan adalah persoalan kemiskinan, yang merenggut sekian banyak nyawa, saat peziarahan mereka belum sampai ke tapal batas kehidupan ini. Sesungguhnya, cipta sastra demikian, telah menawarkan alternatif penanggulangan persoalan sosial yang ruwet tersebut. Dengan demikian, sastra dapat menjadi inspirasi bagi program-program yang dapat menghilangkan penderitaan manusia menurut kemampuan terbatas.
Sastra, dalam hal ini cerita pendek, senantiasa menyampaikan asa masa depan. Harapan sastrawan itu juga merupakan suara masa depan sehingga seorang sastrawan dapat dikelompokkan sebagai kaum futuris. Kaum yang punya kontribusi dalam menyuarakan pambaruan pembangunan. Walaupun penyampaiannya secara verbalistik lewat pemadatan kata-kata tak bernyawa, tetapi patutlah diakui bahwa cipta sastra, barangkali lebih transparansi mengungkap realitas sosial kemasyarakatan yang tengah terjadi, juga situasi kondisi bangsa yang akan datang. Pada alur berpikir yang sama, Saryono (2006:197), menyebutkan sastrawan sebagai kelompok masyarakat madani yang ikut mencoba menegakkan dan memberdayakan masyarakat madani bersama dengan kelompok-kelompok lain. Mendukung konstruk ini dengan menghidangkan permenungan-permenungan kemanusiaan dan citra-citra keberadaban yang dapat menjadi ragi-ragi penggembur dan pemerkaya rohani pembaca – terutama masyarakat meskipun juga pejabat. Renungan-renungan ikhlas tentang sebuah kehidupan coba ditebar ke tengah publik. Tentunya berangkat pada kebeningan nurani juga kejernihan hati yang utuh dan bulat tentang realitas di sekitarnya.
Sastra sebagai karya universal interpretatif tumbuh dan hidup berbarengan dengan peradaban manusia. Oleh karena itu, eksistensi sastra bersifat dinamis yang sesungguhnya adalah kristalisasi dari pengalaman hidup manusia. Pengalaman tentang alam, tentang ketidakadilan, penderitaan, serta model-model kehidupan sebagai hasil permenungan konkrit pengarang atas kehidupan universal manusia itu sendiri. Ini artinya, sastra memiliki hubungan kedekatan dengan manusia yang secara fungsional disebut sebagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan sesama di lingkungannya. Permenungan imajiner tersebut kemudian dibingkai dalam bahasa yang menawan dan sarat dengan makna kehidupan.
Betapa sangatlah gampang menjumpai kesenjangan (gap) dalam masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat yang tanpa disadari telah diciptakan kelas-kelas sosial. Ada kelompok miskin, kelompok kaya, bahkan ada kelompok millioner yang berkelas konglomerat. Kelompok miskin merupakan kelompok kebanyakan, yang bekerja bagaikan kais pagi, makan pagi. Ya…, sekedar untuk tetap survive. Kelompok kedua dan ketiga merupakan kelompok elite sosial, yang bergelimang kemewahan, harta dan kekayaan. Justru pada titik ini, penguasa (negara) perlu menyatakan keberpihakan untuk membela mereka yang lemah dan tak bisa ini. Tetapi mengapa populasi rakyat miskin bertambah banyak? Mungkin benar celetuk Rabindranath Tagore, bahwa betapa Tuhan belum jera dengan manusia (dalam Goenawan Muhamad, 2001).
Kelompok kedua dan ketiga, mesti mengambil bagian dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Memberikan ruang kepada tenaga-tenaga kerja dalam sektor informal agar kemiskinan dan dampaknya terhadap pengangguran dapat ditekan. Akan tetapi yang kita dapati bahwa masalah itu menjelma menjadi debat panjang tentang peran pasar dan peran negara dalam ekonomi, dan pilihan antara liberalisasi pasar sebagaimana diusulkan oleh Washington Consensus pada 1994 dan peran kebijakan publik dalam ekonomi. Sementara itu kalau kemiskinan belum menurun, lapangan kerja tetap sulit, dan harga barang terus naik, apakah hal ini harus dilihat sebagai kegagalan pasar atau kegagalan pemerintah? (Kleden, 2009). Bukankah ini indikasi kalau tidak disebut sebagai kebangkrutan moral dari perilaku dehumanisasi kaum elite di tengah kesangsaraan rakyat. Atau, strategi khas “orang besar” yang coba didesain untuk hidup lebih enak-enak, di tengah bergulirnya isu tuntutan persamaan hak agar semua warga negara menjadi sama-sama enak?
Sampai di sini benar kata Marx, bahwa kekuatan pendorong utama kapitalisme terdapat dalam eksploitasi dan alienasi tenaga kerja. Sumber utama dari keuntungan baru dan nilai tambahnya adalah bahwa majikan membayar buruh-buruhnya untuk kapasitas kerja mereka menurut nilai pasar, namun nilai komoditi yang dihasilkan oleh para buruh itu melampaui nilai pasar. Para majikan berhak memiliki nilai keluaran (out put) yang baru karena mereka memiliki alat-alat produksi (kapital) yang produktif. Dengan menghasilkan keluaran sebagai modal bagi majikan, para buruh terus-menerus mereproduksikan kondisi kapitalisme melalui pekerjaan mereka.

Hedonisme Global dan Sikap Instant Kita

Ketika globalisasi menerpa dunia sejagat, yang ditandai dengan akselerasi arus informasi dan teknologi pada berbagai ranah kehidupan yang begitu pesat, dunia ini terasa sempit dan kecil. Percepatan arus informsi dan teknologi demikian, seakan menjadi “titian kilat” antarnegara, bahkan antarpersona sekalipun. Tanpa tedeng aling-aling, di tengah episentrum globalisasi kita terjebak dalam sikap hedonisme global. Masyarakat kita sedang kehilangan identitas, kesepian filterisasi. Masyarakat lupa bahwa, kehadiran globalisasi modern justru menjadikan kita semakin meng-globalkan kembali apa yang sudah ada dalam komunitas kita, sehingga globalisasi tidak serta merta dipersepsi sebagai penggantian segala sesuatu yang lama dengan yang baru. Haruslah kita akui bahwa unsur-unsur lama maupun baru hadir secara berdampingan dalam globalisasi dimaksud.
Dalam kiat demikian, identitas pun tidak mau mengalami redefenisi. Jika dulu identitas dipahami sebagai suatu hakikat yang perlu dicari dan dilegitimate secara konvensional dengan tujuan untuk dipertahankan secara kolegial, maka kini identitas mungkin lebih dipersepsi sebagai sebuah proses daur ulang yang tidak bertujuan memapankan sebuah identitas, melainkan bertujuan untuk mencegah agar identitas tersebut tidak mengalami stagnasi. Proses daur ulang identitas ini tidak hanya harus mampu memberi ruang kepada perubahan, tetapi juga tetap menyisahkan ruang bagi hal-hal yang telah terlebih dahulu ada.
Kembali ke pokok masalah ini. Saat berbicara tentang kemiskinan, setiap benak kita akan menukik pada perihal ekonomi, bahkan ada banyak pengamat yang menyebutnya sebagai perihal “perut”.  Dalam konsep demikian, setidak-tidaknya, ulasan ini juga berkiblat pada pemahaman dasar dimaksud. Bahwa Tuhan belum jera dengan manusia, meski kemiskinan dan kelaparan ada di mana-mana, begitupun kematian dan kemalangan sangat rentan menjumpai siapa saja. Sekedar sebuah euphoria klasik bahwa negara ini sangat kaya-raya. Bumi Nusantara selalu diidolakan, karena seakan menjadi surga di Indonesia. Negeri dengan sebutan zamrud katulistiwa. Dapat ditumbuhi apa saja. Di atas batu, laut, di tengah hutan, apalagi tanah dataran. Kita juga bisa menggali apa saja dari perut bumi. Bumi pertiwi ini akan memuncratkan beraneka mutiara berharga buat penghuni surga yang bernama Indonesia. Tetapi, kemiskinan, juga persoalan-persoalan lain masih tetap menjadi masalah aktual dan relevan keseharian kita. Mengapa? Mungkin kita lebih arif, bijaksana dalam mengelola sumber daya alam agar tetap lestari demi kehidupan generasi berikut.

Bale Nagi Oa dan No

            Ajakan bale nagi [2] Oa dan No di Flores Timur-Lembata, atau bhale nua [3], untuk sesama karib kerabat kita di Lio, atau penamaan-penamaan serupa dalam rumpun bahasa kita masing-masing, misalnya menjadi harapan dan cita-cita bersama menyingkap selubung kesejahteraan masa depan. Sebab, sesungguhnya masih banyak lahan tidur di kampung-kampung yang mesti dibangunkan, disulap menjadi tumpukan rupiah baru yang mungkin dapat membebaskan kita dari kronika kemiskinan. Mengalirnya arus urbanisasi bahwa di kota sangat menjanjikan, perlu tinjau ulang dengan menggalakkan program transmigrasi, dengan hipotesis bahwa di desa lebih menjanjikan kecerahan masa depan. Diperlukan komitmen dan kerja sama yang sinergis dan relevan antara semua pemangku kepentingan untuk menggapai cita-cita besar ini. Dari level pengambil kebijakan sampai pelaksana operasional di lapangan, dari kota hingga desa, sama-sama bahu-membahu menggapai masa depan yang lebih baik.
Akhirnya, sekali lagi, refeleksi filosofis dalam kuplet lagu Ebiet G.Ade, penyanyi kondang balada negeri ini dalam lagu bertajuk “Cita-cita Kecil Si Anak Desa” menjadi relevan untuk  kita renungkan. Aku pernah punya cita-cita hidup jadi petani kecil/ Tinggal di rumah desa dengan sawah ladang di sekelilingku/ Luas kebunku ‘kan ku tanami buah dan sayuran/ Dan di kandang belakang rumah, ku pelihara bermacam-macam piaraan/ Memang cita-citaku sederhana/ Sebab aku terlahir dari desa. (*)


[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 27 April 2010

[2]  bale nagi:   bahasa Lamaholot dialek Larantuka-Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, yang   berarti pulang kampung.

[3] Walo nua: bahasa Lio, yang berarti pulang kampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar