Kredo kemiskinan telah menjadi aphoria
klasik dan krusial sensitif yang senantiasa aktual di seantero jagat, tak
terkecuali di Republik tercinta ini. Fenomena ini, bahkan telah semakin menguat
dan bergeser menjadi semacam budaya (culture)
baru dalam tapak perjalanan panjang peradaban bangsa-bangsa di dunia. Lagi-lagi kemiskinan tidak lekas
tuntas, karena masih menjadi persoalan rumit dan pelik masyarakat global dari
waktu ke waktu. Berbagai gagasan coba dikemas dan dituangkan - diartikulasikan
lewat mimbar-mimbar diskusi, menjadi head
line halaman-halaman koran, juga terobosan-terobosan spektakuler coba
dirancang-bangun untuk diaktualisasikan, namun apa mau dikata, masyarakat dunia
dan komunitas bangsa ini masih saja berkutat terus berputar-putar dalam
lingkaran kemiskinan.
Keluhan dan keprihatinan terus
digalang, dan bagai gayung bersambut, semua elemen masyarakat bangun dan
bangkit bersuara dalam sebuah koor attac
and release bernada unitas: “perangi kemiskinan”. Namun, realitas empiris
terus saja menghadirkan fenomena pahit dan menggetarkan setiap detak jantung
peziarah bumi ini. Bahwa perihal kemiskinan barangkali menjadi langganan
tetap manusia dan tak pernah akan beranjak dari keseharian kita, sampai kapan
pun. Atau, mungkin ini “cambuk”, dalam dendang balada Ebiet G.Ade, “hanya cambuk kecil agar kita sadar”.
Mungkin juga Nietzsche benar, bagaimana
dia menggambarkan penaklukan kondisi manusia saat ini, atau menganjurkan sebuah
gagasan semi-ilmiah tentang ‘kepulangan abadi’, yang sesungguhnya menjadi
sebuah pendaratan hipotesis yang hendak menggarisbawahi bahwa semua peristiwa
yang telah terjadi akan terjadi lagi (Nietzsche, vi: 2002). Inikah aphoria? Dalam desah napas kegamangan
hiruk pikuk pergulatan demikian, kita harus berani beranjak dan berjuang
bersama Si Jenius Chairil Anwar, “hidup
adalah perjuangan”. Deretan metaforis ini hendaknya membuat kita ber-metonomia, sembari menggagas-ulang kiat,
menggenggamnya erat dalam medan pengembaraan untuk pencarian kedalaman makna
hidup.
Sastrawan: Kelompok Futuris
Ketika banyak sastrawan mengangkat dan menggurat tajuk
kemiskinan dalam cipta sastranya, Gerson Poyk pun, misalnya tak ketinggalan. Petualangan
imajinasi Gerson Poyk, kelahiran Namodale, Rote – Timor, mendamparkan dia
menulis cerpen Si Keong, yang menorehkan tentang seorang anak gelandangan
tanpa orang tua dan sanak saudara. Si Keong, sebuah rekaman mimesis kegelisahan yang menyiratkan
dengan jelas manusia miskin menderita, melarat, tersingkir, terasing, dan
teralienasi. Dalam sastra kita menemukan manusia yang demikian nestapa, tanpa
hati kita terharu, tergugah. Bila hati kita tergetar berarti kita menemukan
setengah dari jalan penyembuhan.
Asumsi bahwa sastra untuk sastra,
terbantahkan ketika semua jenis cipta sastra telah mampu menembus dan melampaui
sekat-sekat kehidupan universal. Sastra telah mampu merobohkan ke-ego-an eksistensiya dan mengkonstruk
relasi dengan dunia luar. Sebuah perubahan paradigma penciptaan, yang berkutat
pada sastra untuk sastra, digeser ke sebuah medan penciptaan yang lebih luas
dan membumi, yakni sastra untuk masyarakat. Artinya, cipta sastra tidak
mengedepankan struktur saja, tetapi mencoba untuk mengungkap secara total
realitas kehidupan masyarakat. Salah satu medan pengungkapan yang tak luput
dari olah pikir dan olah
rasa sastrawan adalah
persoalan kemiskinan, yang merenggut sekian banyak nyawa, saat peziarahan
mereka belum sampai ke tapal batas kehidupan ini. Sesungguhnya, cipta sastra
demikian, telah menawarkan alternatif penanggulangan persoalan sosial yang
ruwet tersebut. Dengan demikian, sastra dapat menjadi inspirasi bagi
program-program yang dapat menghilangkan penderitaan manusia menurut kemampuan
terbatas.
Sastra, dalam hal ini cerita pendek,
senantiasa menyampaikan asa masa depan. Harapan sastrawan itu juga merupakan
suara masa depan sehingga seorang sastrawan dapat dikelompokkan sebagai kaum futuris. Kaum yang punya kontribusi
dalam menyuarakan pambaruan pembangunan. Walaupun penyampaiannya secara
verbalistik lewat pemadatan kata-kata tak bernyawa, tetapi patutlah diakui
bahwa cipta sastra, barangkali lebih transparansi mengungkap realitas sosial
kemasyarakatan yang tengah terjadi, juga situasi kondisi bangsa yang akan
datang. Pada alur berpikir yang sama, Saryono (2006:197), menyebutkan
sastrawan sebagai kelompok masyarakat
madani yang ikut mencoba menegakkan dan memberdayakan masyarakat madani
bersama dengan kelompok-kelompok lain. Mendukung konstruk ini dengan
menghidangkan permenungan-permenungan kemanusiaan dan citra-citra keberadaban
yang dapat menjadi ragi-ragi penggembur dan pemerkaya rohani pembaca – terutama
masyarakat meskipun juga pejabat. Renungan-renungan ikhlas tentang sebuah
kehidupan coba ditebar ke tengah publik. Tentunya berangkat pada kebeningan nurani
juga kejernihan hati yang utuh dan bulat tentang realitas di sekitarnya.
Sastra sebagai karya universal
interpretatif tumbuh dan hidup berbarengan dengan peradaban manusia. Oleh
karena itu, eksistensi sastra bersifat dinamis yang sesungguhnya adalah
kristalisasi dari pengalaman hidup manusia. Pengalaman tentang alam, tentang
ketidakadilan, penderitaan, serta model-model kehidupan sebagai hasil
permenungan konkrit pengarang atas kehidupan universal manusia itu sendiri. Ini
artinya, sastra memiliki hubungan kedekatan dengan manusia yang secara
fungsional disebut sebagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan
sesama di lingkungannya. Permenungan imajiner tersebut kemudian dibingkai dalam
bahasa yang menawan dan sarat dengan makna kehidupan.
Betapa sangatlah gampang menjumpai
kesenjangan (gap) dalam masyarakat.
Kehidupan sosial masyarakat yang tanpa disadari telah diciptakan kelas-kelas
sosial. Ada kelompok miskin, kelompok kaya, bahkan ada kelompok millioner yang
berkelas konglomerat. Kelompok miskin merupakan kelompok kebanyakan, yang
bekerja bagaikan kais pagi, makan pagi. Ya…, sekedar untuk tetap survive. Kelompok kedua dan ketiga
merupakan kelompok elite sosial, yang
bergelimang kemewahan, harta dan kekayaan. Justru pada titik ini, penguasa
(negara) perlu menyatakan keberpihakan untuk membela mereka yang lemah dan tak
bisa ini. Tetapi mengapa populasi rakyat miskin bertambah banyak? Mungkin benar
celetuk Rabindranath Tagore, bahwa betapa Tuhan belum jera dengan manusia
(dalam Goenawan Muhamad, 2001).
Kelompok kedua dan ketiga, mesti
mengambil bagian dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Memberikan ruang kepada
tenaga-tenaga kerja dalam sektor informal agar kemiskinan dan dampaknya
terhadap pengangguran dapat ditekan. Akan tetapi yang kita dapati bahwa masalah itu menjelma menjadi debat panjang
tentang peran pasar dan peran negara dalam ekonomi, dan pilihan antara
liberalisasi pasar sebagaimana diusulkan oleh Washington Consensus pada 1994
dan peran kebijakan publik dalam ekonomi. Sementara itu kalau kemiskinan belum
menurun, lapangan kerja tetap sulit, dan harga barang terus naik, apakah hal
ini harus dilihat sebagai kegagalan pasar atau kegagalan pemerintah? (Kleden,
2009). Bukankah ini
indikasi kalau tidak disebut sebagai kebangkrutan moral dari perilaku
dehumanisasi kaum elite di tengah kesangsaraan rakyat. Atau, strategi khas
“orang besar” yang coba didesain untuk hidup lebih enak-enak, di tengah bergulirnya
isu tuntutan persamaan hak agar semua warga negara menjadi sama-sama enak?
Sampai
di sini benar kata Marx, bahwa kekuatan pendorong utama kapitalisme terdapat
dalam eksploitasi dan alienasi tenaga kerja. Sumber utama dari keuntungan baru
dan nilai tambahnya adalah bahwa majikan membayar buruh-buruhnya untuk
kapasitas kerja mereka menurut nilai pasar, namun nilai komoditi yang
dihasilkan oleh para buruh itu melampaui nilai pasar. Para majikan berhak
memiliki nilai keluaran (out put) yang baru karena mereka memiliki
alat-alat produksi (kapital) yang produktif. Dengan menghasilkan keluaran
sebagai modal bagi majikan, para buruh terus-menerus mereproduksikan kondisi
kapitalisme melalui pekerjaan mereka.
Hedonisme Global dan Sikap Instant Kita
Ketika globalisasi menerpa dunia
sejagat, yang ditandai dengan akselerasi arus informasi dan teknologi pada
berbagai ranah kehidupan yang begitu pesat, dunia ini terasa sempit dan kecil.
Percepatan arus informsi dan teknologi demikian, seakan menjadi “titian kilat”
antarnegara, bahkan antarpersona sekalipun. Tanpa tedeng aling-aling, di tengah episentrum globalisasi kita terjebak
dalam sikap hedonisme global.
Masyarakat kita sedang kehilangan identitas, kesepian filterisasi. Masyarakat
lupa bahwa, kehadiran globalisasi modern justru menjadikan kita semakin meng-globalkan kembali apa yang sudah ada
dalam komunitas kita, sehingga globalisasi tidak serta merta dipersepsi sebagai
penggantian segala sesuatu yang lama dengan yang baru. Haruslah kita akui bahwa
unsur-unsur lama maupun baru hadir secara berdampingan dalam globalisasi
dimaksud.
Dalam kiat demikian, identitas pun tidak mau mengalami
redefenisi. Jika dulu identitas dipahami sebagai suatu hakikat yang perlu
dicari dan dilegitimate secara
konvensional dengan tujuan untuk dipertahankan secara kolegial, maka kini identitas mungkin lebih dipersepsi
sebagai sebuah proses daur ulang yang tidak bertujuan memapankan sebuah
identitas, melainkan bertujuan untuk mencegah agar identitas tersebut tidak
mengalami stagnasi. Proses daur ulang identitas ini tidak hanya harus mampu
memberi ruang kepada perubahan, tetapi juga tetap menyisahkan ruang bagi
hal-hal yang telah terlebih dahulu ada.
Kembali ke pokok masalah ini. Saat
berbicara tentang kemiskinan, setiap benak kita akan menukik pada perihal
ekonomi, bahkan ada banyak pengamat yang menyebutnya sebagai perihal
“perut”. Dalam konsep demikian,
setidak-tidaknya, ulasan ini juga berkiblat pada pemahaman dasar dimaksud. Bahwa Tuhan belum jera dengan manusia, meski kemiskinan dan
kelaparan ada di mana-mana, begitupun kematian dan kemalangan sangat rentan
menjumpai siapa saja. Sekedar sebuah euphoria
klasik bahwa negara ini sangat kaya-raya.
Bumi Nusantara selalu diidolakan, karena seakan menjadi surga di Indonesia. Negeri dengan sebutan zamrud katulistiwa. Dapat ditumbuhi apa saja. Di atas batu, laut,
di tengah hutan, apalagi tanah dataran. Kita juga bisa menggali apa saja dari
perut bumi. Bumi pertiwi ini akan memuncratkan beraneka mutiara berharga buat
penghuni surga yang bernama Indonesia. Tetapi,
kemiskinan, juga persoalan-persoalan lain masih tetap menjadi masalah aktual
dan relevan keseharian kita. Mengapa? Mungkin
kita lebih arif, bijaksana dalam mengelola sumber daya alam agar tetap lestari
demi kehidupan generasi berikut.
Bale Nagi Oa dan No
Ajakan
bale
nagi [2]
Oa dan No di Flores Timur-Lembata,
atau bhale
nua [3],
untuk sesama karib kerabat kita di Lio, atau penamaan-penamaan serupa dalam
rumpun bahasa kita masing-masing, misalnya menjadi harapan dan cita-cita
bersama menyingkap selubung kesejahteraan masa depan. Sebab, sesungguhnya masih
banyak lahan tidur di kampung-kampung yang mesti dibangunkan, disulap menjadi
tumpukan rupiah baru yang mungkin dapat membebaskan kita dari kronika kemiskinan. Mengalirnya arus
urbanisasi bahwa di kota sangat menjanjikan, perlu tinjau ulang dengan
menggalakkan program transmigrasi, dengan hipotesis bahwa di desa lebih
menjanjikan kecerahan masa depan. Diperlukan komitmen dan kerja sama yang
sinergis dan relevan antara semua pemangku kepentingan untuk menggapai
cita-cita besar ini. Dari level pengambil kebijakan sampai pelaksana
operasional di lapangan, dari kota hingga desa, sama-sama bahu-membahu menggapai
masa depan yang lebih baik.
Akhirnya, sekali lagi, refeleksi
filosofis dalam kuplet lagu Ebiet G.Ade, penyanyi kondang balada negeri ini
dalam lagu bertajuk “Cita-cita Kecil Si
Anak Desa” menjadi relevan untuk kita renungkan. Aku pernah punya cita-cita hidup jadi petani kecil/ Tinggal di rumah
desa dengan sawah ladang di sekelilingku/ Luas kebunku ‘kan ku tanami buah dan
sayuran/ Dan di kandang belakang rumah, ku pelihara bermacam-macam piaraan/ Memang
cita-citaku sederhana/ Sebab aku terlahir dari desa. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar