Halaman

Senin, 06 November 2017

Gaya dan Substansi





Demonstrasi demokrasi menyosong pemilihan legislatif (pileg) 2009 tampak makin gencar. Kesan ini terungkap ketika mengamati sejumlah persiapan para calon legislatif. Fenomena demokrasi kebangsaan ini mencuat di pengujung setiap kali akan degelarnya pesta rakyat lima tahunan yang lebih akrab disebut sebagai pemilu itu. Selain lewat media massa cetak dan elektronik, kita juga amati langsung kondisi di beberapa daerah di Flores-Lembata tentang persiapan dan ingar bingar persiapan caleg pada Pemilu 2009.
Perbincangan-perbincangan aktual seputar pesta ini sering sekali kita dengar. Mulai sekelas warung kopi (warkop) sampai ruang-ruang full AC yang diasesori dengan fasilitas yang aduhai. Semua itu bertujuan baik, ingin mendapatkan calon yang betul-betul representan dan mewakili rakyat Pengalaman-pengalaman ini membersitkan dua hal yang sangat menggelitik dan mengganggu hela nafas penulis untuk menguraikannya dalam tulisan alakadar ini. Dua hal yang dimaksud adalah gaya dan substansi.
Gaya. Aspek ini sangat tampak kasat mata dalam aktivitas keseharian kita belakangan ini. Pernak-pernik pileg yang mencoraki nuansa demokrasi terasa semakin panas. Di tengah jalan, di persimpangan jalan, pada sudut kota, di atas pohon, pada tiang-tiang listrik, tembok-tembok toko, dan sebagainya gampang sekali kita jumpai stiker, spanduk, baliho, dan bendera-bandera partai. Ini warna demokrasi, tetapi pada sisi lain sangat mengganggu pemandangan kota. Para caleg sekadar memasang dengan dalih “sosialisasi diri", tetapi tidak mempertimbangkan estetika dan keindahan kota. Ini fakta. Ini gaya demokrasi. Bahkan baliho, stiker yang dipajang dengan latar tokoh parpol yang mengusungnya. Ada yang berbusana daerah, ada yang tampil dengan setting publik/massa sambil memegang mik untuk berkampanye. Bahkan tidak tanggung-tanggung ada caleg yang dengan gaya kepala ke bawah dan kaki ke atas (TV One, 26/2/ 2009). Luar biasa, sebuah tanda bahwa pileg 2009 banyak menampilkan gaya. Setelah itu lupa lagi. Realitas ini telah menyiratkan berragam kesanggupan dan kekuatan. Kesanggupan mengeksplorsi diri, terutama tentang kekuatan yang dimiliki. Betapa kuat rasa percaya diri untuk terlibat dalam kompetisi terakhbar ini.
Para caleg yang gampang kita amati sekarang ini lewat stiker, spanduk,dan lain-lain, menyertakah sejumlah kata atau kalimat sebagai wujud penegasan tambahan atas eksistensi dan prinsip dasar mereka kalau terpilih nanti. Kata atau kalimat tersebut merupakan amanah perjuangan mereka. Gaya pengungkapan sangat bervariasi. Performansi kebahasaan yang tersurat pun sangat bervariasi sesuai selera yang dianggap pas atau cocok sebagai titik klimaks sebuah hasil dari permenungan yang barangkali panjang. Bagi kita (pembaca) pasti telah melakukan analisis untuk mengkaji bentuk-bentuk atau wujud bahasa yang tampil tersebut.
Sejumlah tanda akan coba kita konkretisasi dari sekian bentuk bahasa yang sangat abstrak tersebut. Hal ini diakui karena kata itu  atau wacana yang kita baca, sesungguhnya  sedang menujukkan suatu  hasil negosiasi antara caleg sebagai penulis dan pemilih (kita) sebagai pembaca. Kita barangkali tidak sekadar sebagai penerima teks tetapi juga sedang melakukan transaksi dengan penulis teks (caleg). Pada posisi demikian, akan sangat membantu kita untuk menilai siapa atau figur mana yang tepat untuk dicontreng pada 9 April nanti. Penilaian demikian juga, sangat membantu kita untuk tidak terjebak pada penilaian (pilihan) yang tidak substansif. Akhirnya, saya memilih dia karena masih punya hubungan keluarga atau karena figur yang bersangkutan tampilan fisiknya cantik, ganteng, masih punya hubungan keturunan, memiliki garis idealogis yang sama, latar belakang organisasi yang sama, Meskipun kita akui bahwa proses penerimaan atau penolakan pemilih masih dipengaruhi oleh kultur kita, yang berakibat relasi atau hubungan yang kita bangun itu lebih bersifat emosional ketimbang rasional. Kita harapkan, mudah-mudahan kita, memberikan pilihan yang komperhensif, mulai dari kapabilitas pribadi, wawasan, dan pengalaman pribadi.
Mencermati sekian banyak teks atau wacana yang ditawarkan para caleg, ada salah satu hal mendasar yang perlu disoroti, yakni politik bahasa yang ditawarkan masih  sangat  abstrak dan akhirnya menjadi pretensi buruk tetap tidak jelasnya program politik yang diusung.

Format Bahasa

Format bahasa yang digunakan belum, beranjak dari format pemilu 2004. Kondisi ini terbaca lewat iklan-iklan politik, juga stiker dan baliho, yang bertebaran yang dipajang sekitar kita. Dan, asumsi penulis ketika kampanye terbuka tiba format bahasa yang sama akan tetap diusung. Dengan demikian, akan memperkuat dugaan banyak orang bahwa visi atau misi atau apapun namanya secara eksplisit akan tetap mengambang secara substansi, bahkan jauh dari pemahaman rakyat. Kita akan tetap digiring dan terus berkutat pada lambang-lambang dan simbol-simbol bahasa yang abstrak. Ada semacam feodalisme bahasa, ketika para elite (caleg) tidak berangkat dari apa yang disebut 'akar rumput'. Tidak beranjak dari realitas. Teks/wacana yang diangkat selalu saja diintervensi dari atas. Oleh karena itu, ada pengalaman yang membuktikan bahwa, ketika ada pernyataan-pernyataan elite politik tentang sesuatu hal sesungguhnya sedang meninggalkan kesan bahwa belum tentu yang dibicarakan itu dipahami secara baik. Bahasa yang tersurat lewat teks atau wacana semestinya menyiratkan simbol atau makna substansi tentang apa yang akan disampaikan. Yang kita harapkan adalah bahasa rakyat. Bahasa sederhana. Bahasa yang tidak multitafsir, ambigu. Demikian akan semakin membuat caleg-caleg kita untuk lebih progresif tetapi tidak janji, dan tidak retoris.
Ada benang merah yang perlu ditarik di sini yakni jadikanlah pemilu legislatif 9 April mendatang menjadi sebuah partisipasi politik bukan mobilisasi politik yang dihantui dengan iming-iming atau janji-janji politik. Kita. (pemilih) perlu lebih cermat, cerdas untuk menghindari godaan-godaan eksternal yang sengaja dilancarkan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu. Pilihlah caleg yang visioner, bermoral dan teguh memegang amanah. Menjadi pemilih yang baik, tentu sebelum memilih perlu mempertimbangkan dan tahu betul caleg dan partai mana yang mampu "mengakomodir aspirasi kita, kelak. Pemilu berkualitas apabila pemilih juga berkualitas. *


[1] Tulisan ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 17 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar