Demonstrasi demokrasi menyosong
pemilihan legislatif (pileg) 2009 tampak makin gencar. Kesan ini terungkap
ketika mengamati sejumlah persiapan para calon legislatif. Fenomena demokrasi
kebangsaan ini mencuat di pengujung setiap kali akan degelarnya pesta rakyat
lima tahunan yang lebih akrab disebut sebagai pemilu itu. Selain lewat media
massa cetak dan elektronik, kita juga amati langsung kondisi di beberapa daerah
di Flores-Lembata tentang persiapan dan ingar bingar persiapan caleg pada
Pemilu 2009.
Perbincangan-perbincangan aktual
seputar pesta ini sering sekali kita dengar. Mulai sekelas warung kopi (warkop)
sampai ruang-ruang full AC yang
diasesori dengan fasilitas yang aduhai. Semua itu bertujuan baik, ingin
mendapatkan calon yang betul-betul representan dan mewakili rakyat
Pengalaman-pengalaman ini membersitkan dua hal yang sangat menggelitik dan
mengganggu hela nafas penulis untuk menguraikannya dalam tulisan alakadar ini.
Dua hal yang dimaksud adalah gaya dan substansi.
Gaya. Aspek ini sangat tampak kasat
mata dalam aktivitas keseharian kita belakangan ini. Pernak-pernik pileg yang
mencoraki nuansa demokrasi terasa semakin panas. Di tengah jalan, di
persimpangan jalan, pada sudut kota, di atas pohon, pada tiang-tiang listrik, tembok-tembok
toko, dan sebagainya gampang sekali kita jumpai stiker, spanduk, baliho, dan
bendera-bandera partai. Ini warna demokrasi, tetapi pada sisi lain sangat
mengganggu pemandangan kota. Para caleg sekadar memasang dengan dalih
“sosialisasi diri", tetapi tidak mempertimbangkan estetika dan keindahan
kota. Ini fakta. Ini gaya demokrasi. Bahkan baliho, stiker yang dipajang dengan
latar tokoh parpol yang mengusungnya. Ada yang berbusana daerah, ada yang
tampil dengan setting publik/massa
sambil memegang mik untuk berkampanye. Bahkan tidak tanggung-tanggung ada caleg
yang dengan gaya kepala ke bawah dan kaki ke atas (TV One, 26/2/ 2009). Luar biasa, sebuah tanda bahwa pileg 2009
banyak menampilkan gaya. Setelah itu lupa lagi. Realitas ini telah menyiratkan
berragam kesanggupan dan kekuatan. Kesanggupan mengeksplorsi diri, terutama
tentang kekuatan yang dimiliki. Betapa kuat rasa percaya diri untuk terlibat
dalam kompetisi terakhbar ini.
Para caleg yang gampang kita amati
sekarang ini lewat stiker, spanduk,dan lain-lain, menyertakah sejumlah kata
atau kalimat sebagai wujud penegasan tambahan atas eksistensi dan prinsip dasar
mereka kalau terpilih nanti. Kata atau kalimat tersebut merupakan amanah
perjuangan mereka. Gaya pengungkapan sangat bervariasi. Performansi kebahasaan
yang tersurat pun sangat bervariasi sesuai selera yang dianggap pas atau cocok
sebagai titik klimaks sebuah hasil dari permenungan yang barangkali panjang.
Bagi kita (pembaca) pasti telah melakukan analisis untuk mengkaji bentuk-bentuk
atau wujud bahasa yang tampil tersebut.
Sejumlah tanda akan coba kita
konkretisasi dari sekian bentuk bahasa yang sangat abstrak tersebut. Hal ini
diakui karena kata itu atau wacana yang
kita baca, sesungguhnya sedang
menujukkan suatu hasil negosiasi antara
caleg sebagai penulis dan pemilih (kita) sebagai pembaca. Kita barangkali tidak
sekadar sebagai penerima teks tetapi juga sedang melakukan transaksi dengan
penulis teks (caleg). Pada posisi demikian, akan sangat membantu kita untuk
menilai siapa atau figur mana yang tepat untuk dicontreng pada 9 April nanti.
Penilaian demikian juga, sangat membantu kita untuk tidak terjebak pada
penilaian (pilihan) yang tidak substansif. Akhirnya, saya memilih dia karena
masih punya hubungan keluarga atau karena figur yang bersangkutan tampilan
fisiknya cantik, ganteng, masih punya hubungan keturunan, memiliki garis
idealogis yang sama, latar belakang organisasi yang sama, Meskipun kita akui
bahwa proses penerimaan atau penolakan pemilih masih dipengaruhi oleh kultur kita,
yang berakibat relasi atau hubungan yang kita bangun itu lebih bersifat
emosional ketimbang rasional. Kita harapkan, mudah-mudahan kita, memberikan
pilihan yang komperhensif, mulai dari kapabilitas pribadi, wawasan, dan
pengalaman pribadi.
Mencermati sekian banyak teks atau
wacana yang ditawarkan para caleg, ada salah satu hal mendasar yang perlu
disoroti, yakni politik bahasa yang ditawarkan masih sangat
abstrak dan akhirnya menjadi pretensi buruk tetap tidak jelasnya program
politik yang diusung.
Format Bahasa
Format bahasa yang digunakan belum,
beranjak dari format pemilu 2004. Kondisi ini terbaca lewat iklan-iklan
politik, juga stiker dan baliho, yang bertebaran yang dipajang sekitar kita.
Dan, asumsi penulis ketika kampanye terbuka tiba format bahasa yang sama akan
tetap diusung. Dengan demikian, akan memperkuat dugaan banyak orang bahwa visi
atau misi atau apapun namanya secara eksplisit akan tetap mengambang secara
substansi, bahkan jauh dari pemahaman rakyat. Kita akan tetap digiring dan
terus berkutat pada lambang-lambang dan simbol-simbol bahasa yang abstrak. Ada
semacam feodalisme bahasa, ketika para elite
(caleg) tidak berangkat dari apa yang disebut 'akar rumput'. Tidak beranjak
dari realitas. Teks/wacana yang diangkat selalu saja diintervensi dari atas.
Oleh karena itu, ada pengalaman yang membuktikan bahwa, ketika ada
pernyataan-pernyataan elite politik tentang sesuatu hal sesungguhnya sedang
meninggalkan kesan bahwa belum tentu yang dibicarakan itu dipahami secara baik.
Bahasa yang tersurat lewat teks atau wacana semestinya menyiratkan simbol atau
makna substansi tentang apa yang akan disampaikan. Yang kita harapkan adalah
bahasa rakyat. Bahasa sederhana. Bahasa yang tidak multitafsir, ambigu.
Demikian akan semakin membuat caleg-caleg kita untuk lebih progresif tetapi
tidak janji, dan tidak retoris.
Ada benang merah yang perlu ditarik
di sini yakni jadikanlah pemilu legislatif 9 April mendatang menjadi sebuah
partisipasi politik bukan mobilisasi politik yang dihantui dengan iming-iming
atau janji-janji politik. Kita. (pemilih) perlu lebih cermat, cerdas untuk
menghindari godaan-godaan eksternal yang sengaja dilancarkan oleh orang-orang
atau kelompok-kelompok tertentu. Pilihlah caleg yang visioner, bermoral dan
teguh memegang amanah. Menjadi pemilih yang baik, tentu sebelum memilih perlu
mempertimbangkan dan tahu betul caleg dan partai mana yang mampu "mengakomodir
aspirasi kita, kelak. Pemilu berkualitas apabila pemilih juga berkualitas. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar