Halaman

Senin, 06 November 2017

Menjunjung Tinggi Bahasa Indonesia




Tujuh puluh tujuh tahun yang lalu. Ketika itu, Batavia (sekarang Jakarta) masih bergolak. Kaum kolonialisme Belanda masih bercokol. Dengan peluru dan teror bom menjadi sangat akrab mewamai kehidupan ibukota dari daerah-daerah di bumi Pertiwi ini. Para pemuda yang tergabung dalam kelompok-kelompok kepemudaan, seperti Jong Jawa, Jong Sumatera, Jong Celebes, dari Jong Ambon berkumpul dari angkat bicara bersama. Sebuah peristiwa bersejarah bangsa ini diukur saat itu. Tepatnya, 28 Oktober 1928 momentum Sumpah Pemuda diikrarkan. Pernyataan para pemuda untuk mengakui satu nusa, satu bangsa, dari menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Ikhrar yang ketiga bukan mengaku berbahasa satu bahasa Indonesia, melainkan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Ikhrar ini justru mengandung makna yang sangat dalam. Sebuah komitmen moral yang tinggi akan kemajemukan sebuah bangsa Indonesia. Demikian eratnya keberadaan bahasa Indonesia dengan tanah air Indonesia dari bangsa Indonesia, maka sikap menghormati bangsa Indonesia dari negara Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sikap yang sama, yatu menghormati bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia telah memamkan peran penting dalam pencerdasan kehidupan bangsa yang ditandai dengan penerbitan bacaan rakyat (ketika itu bahasa Melayu) sekitar tahun 1920-an. Kondisi ini telah memberikan inspirasi kepada para pejuang. Bahasa Indonesia akhirnya mampu menyatukan berbagai lapisan masyarakat yang berbeda latar belakang sosial, budaya, agama, dari baliasa daerah ke dalam satu kesatuan bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi momentum bersejarah. Momen pernyataan sikap politik pejuang Indonesia. Sebuah pengakuan terhadap satu tanah air dari bangsa, serta sikap menjunjung tiuggi bahasa persatuan, ba hasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia menjadi sangat penting pada setiap kesempatan. Hal ini dirasakan perlu, maka diadakan kongres bahasa Indonesia Pertama di Jakarta tahun 1938 untuk membahas upaya pengembangan bahasa Indonesia.
Ziarah sejarah ini pun mencapai puncak pads tanggal 17 Agustus 1945, ketika teks Prokiamasi ditulis dari dibacakan dalam bahasa Indonesia. Sehari setelah itu, bahasa Indonesia diangkat sebagai bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD 1945 Pasal 36). Selain landasan politis-yuridis tersebut, secara filosofis bahasa Indonesia telah menjadi lainbing jati diri bangsa yang telah mampu memberikan ciri khas keindonesiaan yang tentunya berbeda dengan bangsa.bangsa lain. Pada tataran akademis pun, bahasa Indonesia telah mampu mengemban fungsmya sebagai sarana berpikir, berekspresi dari berkomunikasi, baik dalam bidang politik, ekonomi, hukuxn, maupun dalam ranah ilmu pengetahuan dari teknologi.
Sebagaimana dirumuskan dalam PĆ³litik Bahasa Nasional (Pusat Bahasa, 2003), dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) laimbang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai kelompok etnik yang berbeda latar belakang sosial budaya dari bahasanya, serta (4) alat perhubungan antarbudaya serta antar daerah.
Mencermati dinamika kebahasaan dewasa ini, peristiwa ulang tahun Sumpah Pemuda merupakan sebuah momentum untuk berhenti dalam mengadakan refleksi kronologis tentang perubahan bahasa secara sosio-kultural, termasuk di didalamnya adalah sosio-politik. Dinamika ini seiring gerakan euforia reformasi yang terkadang “kebablasan”, ketika kita serta merta menakarnya dari aspek semangat demokrasi, termasuk di didalamnya selain hal kebebasan berekspresi dari berkreasi.
Kondisi ini begitu nyata pada dunia remaja kita. Suatu generasi yang adalah penutur terbanyak bangsa ini. Ditopang oleh akselerasi arus informasi global yang sering menafikan nilai-nilai keindonesiaan kita. Generasi muda kita, akhirnya menjadi generasi yang berobsesi gampang, instan, cepat dari serba praktis. Fakta instan, cepat dan gampang ini dapat diamati dalam penggunaan bahasa yang ramai singkatan, akronim, prokem, gaul dari slank. Misalnya, Bete, BWT (bay the way), H2C, curhat, bonyok, telmi, 267bisnis, an3dis, dari lain-lain. Judul-judul sinetron pun telah mengalami pergesaran bahasa, yang beberapa contohnya dapat disebutkan di sini. Gadisku Jutak, Pacarku Bloon, Saya Suka Kamu Punya “F’, J dari J. Bahasa-bahasa gaul ini klan merebak bahkan menasional.
Pada perspektif yang berbeda, ada kecenderungan media elektronik (audio-visual) untuk menggunakan bahasa asing, seperti virgin, ghost scholl, me versus high school, three in one, dst. Juga ada realisasi penggunaan bahasa campur aduk antara bahasa Indonesia dari bahasa asing, seperti cinta silver, so what gitu lho, dst. Dalam dunia komedi atau lawakan, bahasatelah dipelintir dan diplesetkan sebagai bahan leluconan. Bupati (buka paha tinggi-tinggi), sekwilda (sekitar wilayah dada). Mau jadi apakah seperti ini? Kita percaya bahwa fenomena demikian sungguh memperkaya bahasa nasional, tetapi pada sisi pandang lain telah merusak pertumbuhan bahasa kita.
Merebaknya arus komunikasi dari teknologi telah membawa dampak perubahan yang cukup signifikan. Dalam bahasa, domain audio-visual, misalnya para pakar psokologi komunikasi, mengindikasikan bahwa pengaruh pesan visual terhadap komunikasi mencapai 83%, sedangkan pengaruh pesan audio hanya 11%, dari indra lain seperti rabaan dari aroma hanya 6%. Sebab itulah bahasa audio-visual akan sangat membatu dibandingkan bahasa visual saja. Sebuah gambar ciuman di surat khabar, tabloid atau majalah dengan tampilan erotis pengarubnya tidak sehebat ketika gambar yang sama disaksikan di film, televisi dengan gambar bergerak dintermezo suara yang mendesah-desah, dicampuri ilustrasi musim yang membuai, angin yang mendesis, tentunya akan menampilkan kesan yang amat sangat berbeda dibandingkan dengan gambar yang ada pada bulletin Tanpa bahasa Inggris, bahasa Indonesia akan tetap
kerdil karena tidak mendapat pasokan kosa kata. Tetapi, ketika bahasa Inggris mendominasi acara-acara tertentu, maka kita sedang kehilangan jati diri, Tulis Putu Wijaya, dalam konteks ini, bahasa Inggris telah diperalat untuk menjadikan mimpi lebih bermimpi lagi, sehingga telah bergeser fungsi tidak sekadar sebagai perangkat komunikasi tetapi sebagai alat untuk mengatrol gengsi. Kalau benar seperti yang dikatakan novelis di atas, maka bangsa ini telah mengalami krisis identitas, sebuah indikator kita memang lebih senang menjadi orang lain dari diri kita sendiri. Rita lebih cenderung memilih ungkapan asing yang secara psikologis mungkin dianggap lebih bergengsi. Ketika itu, kita sedang terjebak dalam sikap penerabas. Dalam cara pandang berbeda, Sutan Takdir Alisjhabana (1971) mengatakan kondisi ini sebagai budaya gemampang, menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja. Sebuah fenomena umum, yang tidak hanya terjadi pada bahasa, tetapi juga pada cara berpakaian, cara berpenampilan, cara berpikir, berpendapat, bahkan cara dalam mengarifi kehidupan ini.
Sesungguhnya ada erosi kebangsaan yang berpengaruh pada bahasa, sehingga bahasa Indonesia (dulu bahasa Melayu) yang mula-mula menjadi bahasa penyelamat begitu banyak bahasa daerah (kurang lebmh 500 etnis dari kurang lebih 728 bahasa daerah) dalam Negara Kesatuan ini, tiba-tiba terkoyak. Justru bahasa Indonesia merupakan sebuah bahasa pasar, bahasa minoritas yang telah menghindari perhelatan alot sebelum diangkat menjadi bahasa formal nasional karena keminoritasannya. Dengan demikian, yang patut direnungkan yakni masalah loyalitas dari apresiasi atau penghargaan kita kepada bahasa Indonesia. Kita tidak mesti mengorbankan bahasa Indonesia hanya demi gengsi dan harga diri, melainkan bagaimana kita mampu menggunakannya secara proporsional.*





[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 27 Oktober 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar