Tujuh puluh tujuh tahun yang lalu.
Ketika itu, Batavia (sekarang Jakarta) masih bergolak. Kaum kolonialisme
Belanda masih bercokol. Dengan peluru dan teror bom menjadi sangat akrab
mewamai kehidupan ibukota dari daerah-daerah di bumi Pertiwi ini. Para pemuda
yang tergabung dalam kelompok-kelompok kepemudaan, seperti Jong Jawa, Jong
Sumatera, Jong Celebes, dari Jong Ambon berkumpul dari angkat bicara bersama.
Sebuah peristiwa bersejarah bangsa ini diukur saat itu. Tepatnya, 28 Oktober
1928 momentum Sumpah Pemuda diikrarkan. Pernyataan para pemuda untuk mengakui
satu nusa, satu bangsa, dari menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa
Indonesia. Ikhrar yang ketiga bukan mengaku berbahasa satu bahasa Indonesia,
melainkan menjunjung tinggi bahasa
persatuan bahasa Indonesia.
Ikhrar ini justru mengandung makna
yang sangat dalam. Sebuah komitmen moral yang tinggi akan kemajemukan sebuah
bangsa Indonesia. Demikian eratnya keberadaan bahasa Indonesia dengan tanah air
Indonesia dari bangsa Indonesia, maka sikap menghormati bangsa Indonesia dari
negara Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sikap yang sama, yatu menghormati
bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia telah memamkan
peran penting dalam pencerdasan kehidupan bangsa yang ditandai dengan
penerbitan bacaan rakyat (ketika itu bahasa Melayu) sekitar tahun 1920-an.
Kondisi ini telah memberikan inspirasi kepada para pejuang. Bahasa Indonesia
akhirnya mampu menyatukan berbagai lapisan masyarakat yang berbeda latar
belakang sosial, budaya, agama, dari baliasa daerah ke dalam satu kesatuan
bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
menjadi momentum bersejarah. Momen pernyataan sikap politik pejuang Indonesia.
Sebuah pengakuan terhadap satu tanah air dari bangsa, serta sikap menjunjung
tiuggi bahasa persatuan, ba hasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia menjadi
sangat penting pada setiap kesempatan. Hal ini dirasakan perlu, maka diadakan
kongres bahasa Indonesia Pertama di Jakarta tahun 1938 untuk membahas upaya
pengembangan bahasa Indonesia.
Ziarah sejarah ini pun mencapai
puncak pads tanggal 17 Agustus 1945, ketika teks Prokiamasi ditulis dari
dibacakan dalam bahasa Indonesia. Sehari setelah itu, bahasa Indonesia diangkat
sebagai bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD 1945 Pasal 36). Selain
landasan politis-yuridis tersebut, secara filosofis bahasa Indonesia telah
menjadi lainbing jati diri bangsa yang telah mampu memberikan ciri khas
keindonesiaan yang tentunya berbeda dengan bangsa.bangsa lain. Pada tataran
akademis pun, bahasa Indonesia telah mampu mengemban fungsmya sebagai sarana
berpikir, berekspresi dari berkomunikasi, baik dalam bidang politik, ekonomi,
hukuxn, maupun dalam ranah ilmu pengetahuan dari teknologi.
Sebagaimana dirumuskan dalam PĆ³litik
Bahasa Nasional (Pusat Bahasa, 2003),
dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai
(1) lambang kebanggaan nasional, (2) laimbang identitas nasional, (3) alat
pemersatu berbagai kelompok etnik yang berbeda latar belakang sosial budaya
dari bahasanya, serta (4) alat perhubungan antarbudaya serta antar daerah.
Mencermati dinamika kebahasaan
dewasa ini, peristiwa ulang tahun Sumpah Pemuda merupakan sebuah momentum untuk
berhenti dalam mengadakan refleksi kronologis tentang perubahan bahasa secara
sosio-kultural, termasuk di didalamnya adalah sosio-politik. Dinamika ini
seiring gerakan euforia reformasi
yang terkadang “kebablasan”, ketika kita serta merta menakarnya dari aspek
semangat demokrasi, termasuk di didalamnya selain hal kebebasan berekspresi
dari berkreasi.
Kondisi ini begitu nyata pada dunia
remaja kita. Suatu generasi yang adalah penutur terbanyak bangsa ini. Ditopang
oleh akselerasi arus informasi global yang sering menafikan nilai-nilai
keindonesiaan kita. Generasi muda kita, akhirnya menjadi generasi yang
berobsesi gampang, instan, cepat dari
serba praktis. Fakta instan, cepat dan gampang ini dapat diamati dalam
penggunaan bahasa yang ramai singkatan, akronim, prokem, gaul dari slank.
Misalnya, Bete, BWT (bay the way), H2C,
curhat, bonyok, telmi, 267bisnis, an3dis, dari lain-lain. Judul-judul
sinetron pun telah mengalami pergesaran bahasa, yang beberapa contohnya dapat
disebutkan di sini. Gadisku Jutak, Pacarku Bloon, Saya Suka Kamu Punya “F’, J
dari J. Bahasa-bahasa gaul ini klan merebak bahkan menasional.
Pada perspektif yang berbeda, ada
kecenderungan media elektronik (audio-visual) untuk menggunakan bahasa asing,
seperti virgin, ghost scholl, me versus
high school, three in one, dst. Juga ada realisasi penggunaan bahasa campur
aduk antara bahasa Indonesia dari bahasa asing, seperti cinta silver, so what gitu lho, dst. Dalam
dunia komedi atau lawakan, bahasatelah dipelintir dan diplesetkan sebagai bahan
leluconan. Bupati (buka paha tinggi-tinggi), sekwilda (sekitar wilayah dada).
Mau jadi apakah seperti ini? Kita percaya bahwa fenomena demikian sungguh
memperkaya bahasa nasional, tetapi pada sisi pandang lain telah merusak
pertumbuhan bahasa kita.
Merebaknya arus komunikasi dari teknologi
telah membawa dampak perubahan yang cukup signifikan. Dalam bahasa, domain
audio-visual, misalnya para pakar psokologi komunikasi, mengindikasikan bahwa
pengaruh pesan visual terhadap komunikasi mencapai 83%, sedangkan pengaruh
pesan audio hanya 11%, dari indra lain seperti rabaan dari aroma hanya 6%.
Sebab itulah bahasa audio-visual akan sangat membatu dibandingkan bahasa visual
saja. Sebuah gambar ciuman di surat khabar, tabloid atau majalah dengan
tampilan erotis pengarubnya tidak sehebat ketika gambar yang sama disaksikan di
film, televisi dengan gambar bergerak dintermezo suara yang mendesah-desah,
dicampuri ilustrasi musim yang membuai, angin yang mendesis, tentunya akan
menampilkan kesan yang amat sangat berbeda dibandingkan dengan gambar yang ada
pada bulletin Tanpa bahasa Inggris, bahasa Indonesia akan tetap
kerdil karena tidak mendapat pasokan kosa kata. Tetapi,
ketika bahasa Inggris mendominasi acara-acara tertentu, maka kita sedang
kehilangan jati diri, Tulis Putu Wijaya, dalam konteks ini, bahasa Inggris
telah diperalat untuk menjadikan mimpi lebih bermimpi lagi, sehingga telah
bergeser fungsi tidak sekadar sebagai perangkat komunikasi tetapi sebagai alat
untuk mengatrol gengsi. Kalau benar seperti yang dikatakan novelis di atas,
maka bangsa ini telah mengalami krisis identitas, sebuah indikator kita memang
lebih senang menjadi orang lain dari diri kita sendiri. Rita lebih cenderung
memilih ungkapan asing yang secara psikologis mungkin dianggap lebih bergengsi.
Ketika itu, kita sedang terjebak dalam sikap penerabas. Dalam cara pandang
berbeda, Sutan Takdir Alisjhabana (1971) mengatakan kondisi ini sebagai budaya
gemampang, menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja. Sebuah fenomena
umum, yang tidak hanya terjadi pada bahasa, tetapi juga pada cara berpakaian,
cara berpenampilan, cara berpikir, berpendapat, bahkan cara dalam mengarifi
kehidupan ini.
Sesungguhnya ada erosi kebangsaan
yang berpengaruh pada bahasa, sehingga bahasa Indonesia (dulu bahasa Melayu)
yang mula-mula menjadi bahasa penyelamat begitu banyak bahasa daerah (kurang
lebmh 500 etnis dari kurang lebih 728 bahasa daerah) dalam Negara Kesatuan ini,
tiba-tiba terkoyak. Justru bahasa Indonesia merupakan sebuah bahasa pasar,
bahasa minoritas yang telah menghindari perhelatan alot sebelum diangkat
menjadi bahasa formal nasional karena keminoritasannya. Dengan demikian, yang
patut direnungkan yakni masalah loyalitas dari apresiasi atau penghargaan kita
kepada bahasa Indonesia. Kita tidak mesti mengorbankan bahasa Indonesia hanya
demi gengsi dan harga diri, melainkan bagaimana kita mampu menggunakannya
secara proporsional.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar