Halaman

Rabu, 08 November 2017

Suap Lagi...





Adalah Akil Mochtar. Manusia berbadan tegap. Besar. Pria gemuk ini membuat geger seluruh rakyat Indonesia. Dia tertangkap basah (tangkap tangan) setelah kepergok sedang menerima suap dalam sengketa Pilkada Gunung Mas dan Kasus suap Pilkada Banten dengan total suap sebesar Rp 4 Milyar. Menjadi berita besar karena Akil yang adalah Ketua Mahkamah Konstitusi digelandang KPK bersama  5 tersangka suap lainnya, yakni Chairun Nusa (politisi Senayan Fraksi Partai Golkar), Hambit Bintih (Bupati Gunung Mas: incumbent), Cornelis Nalau (pengusaha), Susi Tur Andayani (pengacara), dan Tubagus Chaery Wardana alias Wawan (suami Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany.
Sontak negeri ini menjadi hiruk pikuk. Decak kagum terheran-heran menyaksikan ulah Akil, Ketua Mahkamah Konstitusi yang adalah simbol supremasi hukum dalam sistem ketatanegaraan kita karena memiliki empat kewenangan mutlak berdasarkan amanat UU Nomor 24 Tahun 2003, Pasal 10 Ayat (1), yakni menguji UUD terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu dan putusannya pun bersifat final dan mengikat. Penggerebekan yang memalukan tersebut membuat semua rakyat negeri ini menahan napas dan menuntut Akil dihukum seberat-beratnya. Bahkan, mantan Ketua MK yang kini menjabat Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie pun menyerukan dan mendesak KPK menuntut Akil dengan hukuman mati. Bagai gayung bersambut, Ketua KPK, Abraham Samad juga sepakat dengan Jimly Asshiddiqie agar Akil dihukum mati. Orang di Sumba Barat Daya pun ikut kegirangan menyaksikan penangkapan ini, pasal kemelut hasil Pilkada SBD yang diputus MK di luar dugaan rakyat SBD. Rakyat SBD pun curiga, jangan-jangan Akil Mochtar ikut bermain api. Lagi-lagi soal suap. Soal korupsi yang melibatkan orang-orang dari institusi penegakan hukum.

Korupsi Semakin Parah

Mahfud MD menyebut korupsi di negeri ini semakin “parah”. Bahkan, Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja menyebut korupsi sebagian orang (kalangan elite birokrasi) telah menjadi “pilihan hidup”. Artinya, korupsi  semakin permisif dan telah menjadi semacam budaya baru (new culture) dalam perjalanan bangsa ini. Hal ini menunjukkan bahwa sang koruptor tidak memiliki rasa malu. Orang-orang di kampung saya menyebut tukang-tukang korupsi ini sudah kehilangan urat kemaluannya. Ulah mereka nama baik negeri ini semakin terpuruk. Negeri ini sudah ambruk. Jatuh ke titik paling nadir. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Hampir tidak ada orang-orang yang dapat menjadi contoh atau panutan. Lembaga, semisal Mahkamah Konstitusi yang dikomandani oleh Akil yang cara kerja pengambilan keputusan bersifat  kolektif kolegial pun dibadai cedera dan “disuap” dengan uang miliyaran rupiah. Digembos oleh oknum-oknum yang berkepentingan pragmatis. Orang-orang berduit, kaya raya dengan hasil korupsi uang rakyat. Kasihan negeri yang gemah santun dikotor-motori oleh orang-orang yang egois, hedonis, materialistis, rapuh semangat kebangsaannya juga tak memiliki empati dengan masyarakat di luar sana yang hari-hari mengeluh soal harga pasar yang kian meroket dan tak berpihak. Mereka kais pagi makan pagi. Tidak seperti “bos-bos” besar yang memiliki gaji puluhan juta rupiah. Belum lagi layanan fasilitas yang mewah dan memadai. Inilah gambaran orang-orang besar. Mulai dari pimpinan daerah (kasus penangkapan Akil karena suap Pilkada) seketika mengalami perubahan identitas kultural saat menempati jabatan baru. Berubah gaya hidup, gaya bicara, gaya berjalan, gaya bersosialisasi, dan macam-macam gaya lain. Jadilah benar, ingatan Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang hipokritis alias munafik, berpura-pura, lain di muka lain di belakang: manusia plinplan, menajam dari belakang.
Berkaca pada kasus-kasus korupsi yang banyak melibatkan orang-orang yang memiliki kuasa dan wewenang, hemat saya kepada mereka juga perlu diberikan perihal pendidikan karakter untuk: (1) menanamkan nilai secara kognitif sehingga memungkinkannya membedakan baik dan buruk, perintah/larangan, seperti tentang kebesaran Tuhan, kejujuran, berbohong atau tidak, (2) pendalaman penghayatan secara afektif untuk membentuk sikap dasar, seperti takwa, jujur, disiplin, nasionalis, toleransi, dan (3) pembentukan tekad konatif, yakni keinginan kuat untuk menghayati dan mengamalkan nilai-nilai sebagai hasil penanaman dua tujuan di atas. Menurut Syahnakri (Kompas, 17 Juli 2013) bahwa karakter dan pengaplikasian nilai-nilai luhur bangsa, seperti toleransi, nasionalisme, patriotisme telah tergerus dengan dominannya individualisme, materialisme, hedonisme, dan fanatisme sempit. Menurutnya, berdasarkan data Economist Intelligence Unit (2010) tentang indeks demokrasi lokal, Indonesia terpuruk pada urutan ke 60, di bawah Timor Leste (42) dan Papua Niugini (59), dari 167 negara demokrasi di dunia. Rendahnya peringkat ini disebabkan oleh rendahnya variabel demokrasi, seperti kualitas penyelenggaraan pemilu, apresiasi terhadap pluralitas–terutama kelompok minoritas, tingginya angka korupsi, serta kejahatan dan kekerasan.

Menjadi Ens Rationalis

Bagaimana mungkin kita mengajarkan nilai-nilai luhur bangsa ini kepada generasi formal sementara para pejabat menampilkan perbuatan tak terpuji? Dan, seakan tak pernah malu dengan perbuatannya. Hemat saya, mereka juga diberikan lagi perihal pendidikan karakter, untuk mampu menjadi lagi manusia yang dalam bahasa budayawan Mudji Sutrisno disebut sebagai manusia yang ens rationalis, manusia yang mampu menimbang tindakannya, keputusannya dan memilih pilihan terbaik menurut nuraninya baik untuk dirinya maupun sesamanya. (*)












Opini ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 12 Oktober 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar