Adalah Akil Mochtar. Manusia berbadan tegap. Besar. Pria
gemuk ini membuat geger seluruh rakyat Indonesia. Dia tertangkap basah (tangkap
tangan) setelah kepergok sedang menerima suap dalam sengketa Pilkada Gunung Mas
dan Kasus suap Pilkada Banten dengan total suap sebesar Rp 4 Milyar. Menjadi
berita besar karena Akil yang adalah Ketua Mahkamah Konstitusi digelandang KPK
bersama 5 tersangka suap lainnya, yakni
Chairun Nusa (politisi Senayan Fraksi Partai Golkar), Hambit Bintih (Bupati
Gunung Mas: incumbent), Cornelis Nalau (pengusaha), Susi Tur Andayani
(pengacara), dan Tubagus Chaery Wardana alias Wawan (suami Walikota Tangerang
Selatan Airin Rachmi Diany.
Sontak negeri ini menjadi hiruk pikuk. Decak kagum
terheran-heran menyaksikan ulah Akil, Ketua Mahkamah Konstitusi yang adalah
simbol supremasi hukum dalam sistem ketatanegaraan kita karena memiliki empat
kewenangan mutlak berdasarkan amanat UU Nomor 24 Tahun 2003, Pasal 10 Ayat (1),
yakni menguji UUD terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antarlembaga
negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu dan putusannya pun
bersifat final dan mengikat. Penggerebekan yang memalukan tersebut membuat
semua rakyat negeri ini menahan napas dan menuntut Akil dihukum
seberat-beratnya. Bahkan, mantan Ketua MK yang kini menjabat Ketua Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie pun menyerukan dan
mendesak KPK menuntut Akil dengan hukuman mati. Bagai gayung bersambut, Ketua
KPK, Abraham Samad juga sepakat dengan Jimly Asshiddiqie agar Akil dihukum
mati. Orang di Sumba Barat Daya pun ikut kegirangan menyaksikan penangkapan
ini, pasal kemelut hasil Pilkada SBD yang diputus MK di luar dugaan rakyat SBD. Rakyat
SBD pun curiga, jangan-jangan Akil Mochtar ikut bermain api. Lagi-lagi soal
suap. Soal korupsi yang melibatkan orang-orang dari institusi penegakan hukum.
Korupsi Semakin Parah
Mahfud MD menyebut
korupsi di negeri ini semakin “parah”. Bahkan, Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu
Praja menyebut korupsi sebagian orang (kalangan elite birokrasi) telah menjadi
“pilihan hidup”. Artinya, korupsi
semakin permisif dan telah menjadi semacam budaya baru (new culture)
dalam perjalanan bangsa ini. Hal ini menunjukkan bahwa sang koruptor tidak
memiliki rasa malu. Orang-orang di kampung saya menyebut tukang-tukang korupsi
ini sudah kehilangan urat kemaluannya. Ulah mereka nama baik negeri ini semakin
terpuruk. Negeri ini sudah ambruk. Jatuh ke titik paling nadir. Sudah jatuh
tertimpa tangga pula. Hampir tidak ada orang-orang yang dapat menjadi contoh
atau panutan. Lembaga, semisal Mahkamah Konstitusi yang dikomandani oleh Akil
yang cara kerja pengambilan keputusan bersifat
kolektif kolegial pun dibadai cedera dan “disuap” dengan uang miliyaran
rupiah. Digembos oleh oknum-oknum yang berkepentingan pragmatis. Orang-orang
berduit, kaya raya dengan hasil korupsi uang rakyat. Kasihan negeri yang gemah
santun dikotor-motori oleh orang-orang yang egois, hedonis, materialistis, rapuh
semangat kebangsaannya juga tak memiliki empati dengan masyarakat di luar sana
yang hari-hari mengeluh soal harga pasar yang kian meroket dan tak berpihak.
Mereka kais pagi makan pagi. Tidak seperti “bos-bos” besar yang memiliki gaji
puluhan juta rupiah. Belum lagi layanan fasilitas yang mewah dan memadai. Inilah
gambaran orang-orang besar. Mulai dari pimpinan daerah (kasus penangkapan Akil
karena suap Pilkada) seketika mengalami perubahan identitas kultural saat
menempati jabatan baru. Berubah gaya hidup, gaya bicara, gaya berjalan, gaya
bersosialisasi, dan macam-macam gaya lain. Jadilah benar, ingatan Mochtar
Lubis bahwa manusia
Indonesia adalah manusia yang hipokritis alias munafik, berpura-pura, lain di
muka lain di belakang: manusia plinplan, menajam dari belakang.
Berkaca pada kasus-kasus korupsi yang banyak melibatkan
orang-orang yang memiliki kuasa dan wewenang, hemat saya kepada mereka juga
perlu diberikan perihal pendidikan karakter untuk: (1) menanamkan nilai secara
kognitif sehingga memungkinkannya membedakan baik dan buruk, perintah/larangan,
seperti tentang kebesaran Tuhan, kejujuran, berbohong atau tidak, (2) pendalaman
penghayatan secara afektif untuk membentuk sikap dasar, seperti takwa, jujur,
disiplin, nasionalis, toleransi, dan (3) pembentukan tekad konatif, yakni
keinginan kuat untuk menghayati dan mengamalkan nilai-nilai sebagai hasil
penanaman dua tujuan di atas. Menurut Syahnakri (Kompas, 17 Juli 2013) bahwa
karakter dan pengaplikasian nilai-nilai luhur bangsa, seperti toleransi,
nasionalisme, patriotisme telah tergerus dengan dominannya individualisme,
materialisme, hedonisme, dan fanatisme sempit. Menurutnya, berdasarkan data Economist
Intelligence Unit (2010) tentang indeks demokrasi lokal, Indonesia terpuruk
pada urutan ke 60, di bawah Timor Leste (42) dan Papua Niugini (59), dari 167
negara demokrasi di dunia. Rendahnya peringkat ini disebabkan oleh rendahnya
variabel demokrasi, seperti kualitas penyelenggaraan pemilu, apresiasi terhadap
pluralitas–terutama kelompok minoritas, tingginya angka korupsi, serta
kejahatan dan kekerasan.
Menjadi Ens Rationalis
Bagaimana mungkin kita mengajarkan nilai-nilai luhur
bangsa ini kepada generasi formal sementara para pejabat menampilkan perbuatan
tak terpuji? Dan, seakan tak pernah malu dengan perbuatannya. Hemat saya,
mereka juga diberikan lagi perihal pendidikan karakter, untuk mampu menjadi lagi
manusia yang dalam bahasa budayawan Mudji Sutrisno disebut sebagai manusia yang
ens rationalis, manusia yang mampu menimbang tindakannya, keputusannya
dan memilih pilihan terbaik menurut nuraninya baik untuk dirinya maupun
sesamanya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar