Halaman

Selasa, 14 November 2017

Oreng: Getaran Sukma dari Lamaholot




Oreng tidak lain adalah nyanyian rakyat. Salah satu genre atau bentuk folklore yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan. Kata-kata dan lagu tersebut merupakan dwitunggal yang tak terpisahkan, demikian pakar folklore Danandjaja (2002).  Dalam tradisi etnik Lamaholot oreng dapat dinyanyikan pada berbagai peristiwa: ritual kelahiran anak, pesta perkawinan adat, ritual-ritual keagamaan, bahkan pada peristiwa kematian sekalipun. Dalam peristiwa kematian, oreng menjadi ratapan ekspresi dan ungkapan pamit kepada yang meninggal. Dengan begitu, oreng mengejahwanta menjadi getaran sukma sebagai tanda cinta akan hidup yang dikenang bersama, sembari berucap “selamat jalan” kepada dia yang hendak melewati jalan baru berjumpah dengan Wujud Tertingg, Tuhan Pencipta Langit dan Bumi (Lera Wulan Tana Ekan). Sebuah perjumpaan yang baru dengan Dia, Pencipta sumber segala berkat, kerahiman, dan kemurahan.
Oreng khazanah tutur etnik Lamaholot, menjadi bagian kemajemukan bangsa, mencerminkan integralisme yang diikat oleh rasa “ada bersama” dalam satu-kesatuan integral sebagai perwujudan rasa kebangsaan berbangsa dan bernegara. Inilah buah warisan historisitas keyakinan generasi primitif Lamaholot yang lesatari sekalian mengimplementasikan keyakinan tradisional akan langit tempat menyembah dan bumi tempat berpijak dalam semangat keagamaan di atas rahim yang sama, yakni lewotana (kampung halaman).
Keyakinan kemanusiawian demikianlah menandai ketakberdayaan manusia di hadapan Tuhan Sang Mahakasih. Manusia etnik Lamaholot tak lain adalah butir-butir debu yang tak berdaya, dan memiliki ketergantungan yang besar kepada Dia yang menafasi hidup dan kehidupan mereka. Dia adalah alpha dan omega, tempat manusia Lamaholot mengharap kasih, mendaras doa, dan melambungkan kidung pujian.
Ada amanat komunikatif religiositas, karena oreng yang termeterai melalui bahasa daerah dipandang dan dihayati sebagai sarana komunikasi, simbol kehadiran dan kehidupan dengan Sang Pencipta. Komunikasi merupakan fungsi utama bahasa, yang tampil melalui kata sebagai kekuatan transaksi verbal untuk menempatkan dan mempertemukan dua pribadi. Semangat religiositas juga dibangun dalam sebuah relasi yang erat dengan manusia yang lain dan alam. Alam merupakan tempat manusia untuk berkreasi, berfilsafat, bereligi, beretika, serta meneladani ciptaan Tuhan lewat estetika atau keindahan (Saryono, 2006:35).
Dengan dunia estetika itulah manusia mengalami pengalaman unio mystica, persekutuan, persatuan dengan Tuhan lewat keindahan. Dalam konteks ini, mendaraskan oreng berarti mendaraskan keindahan kata atau mengkelindan kata. Mendaraskan ratapan  bahasa “perpisahan” antara orang hidup dengan yang meninggal, saat hendak diusung ke tempat persemayaman yang terakhir oleh oreng alap adalah bukti kesetiaan tentang ada bersama itu. Bahwa kematian tidak dipersepsi sebagai kehidupan manusiawi yang terakhir, melainkan kematian dalam cara pandang biblis Kristiani berarti pergi ke Rumah Bapa.
Oleh karena itu, hidup ini adalah keindahan. Estetika, yang bukan diteori, namun dihayati, sebagaimana estetika oreng. Guratan sukma dari kedalaman batin nan nestapa, serta kepenuhan harapan akan memenuhi “jalan lurus” kepulangannya menghadap Sang Pencipta di Rumah Bapa.
Dalam kekuatan kata tersebut, oreng merepresentasikan sebuah nama untuk menggambarkan, sekaligus memberitahu orang lain tentang eksistensi masyarakat etnik Lamaholot, bahwa ada sesuatu yang terdapat dalam deretan kata-kata oreng. Dengan agak personifikasif, diyakini bahwa kata yang membentuk oreng sangat mempengaruhi individu dan masyarakat secara luas. Runutan kata-kata yang berkelindan dalam pilihan kata seorang tukang oreng (oreng alap) menonjolkan daya persuasi. Jadilah kata merupakan wadah, media, sekaligus titian dalam merangkai, memformulasikan dan mengkonstruksi ide dan gagasan secara lebih hidup dan bermakna. Kata adalah sebuah anugerah, dan oleh karena itu, kata juga hidup dan memiliki  jiwa.
Dari sisi sosiologis, oreng menjelmakan diri sebagai karya seni dan memiliki keindahan bertutur yang simetris dengan keindahan pluralitas, yaitu pada kemampuannya untuk tak pernah tuntas menyampaikan makna. Oreng tampil menjadi sense of art, yang sejatinya adalah keterbukaan pada kehadiran mosaik-mosaik keperbedaan. Ketika mengapresiasi oreng sebagai keindahan karya seni, di sanalah ada persuasi bagi masyarakat pewarisnya untuk mentransendensi dan menyadari eksistensi mereka sebagai komunitas kolegial. Sebuah keindahan total dalam pesona merayakan rasa keterbukaan pada oreng sebagai khazanah dan kekayaan bangsa. Rasa akan pluralitas dibangun berdekatan dengan rasa akan seni. Ketika keduanya berpadu, berintegral, ‘bersesama’, maka di sanalah ada rayaan yang meriah dalam kehidupan: kehidupan kebangsaan. Rayaan keberagaman, kepaduan, karena pada bahasa daerah sebagai media pengungkapannya, ada kuasa implikatif yang bening dan jujur dari pesona khas identitas luhur masyarakat etnik Lamaholot.
Akhirnya, padanya kita belajar. Belajar untuk mengarifi hidup. Belajar untuk mengenal dan menguasai diri. Belajar tentang prestasi unggul masyarakat lisan tradisonal. Barangkali juga kita belajar tentang tanda. Lebih dari itu, oreng dan tradisi lisan lain yang menyebar di seantero Nusantara, terutama Flores dan Lembata menjadi sebuah awasan bagi segala peradaban modern karena sikap angkuh dan agresif terhadap sesama, alam sekitar, dan budaya-budaya lain justru telah kehilangan kaidah kemanusiaan sejati, tulis Levi–strauss, yang dikutip Tifaona (dalam Beding, 1988: xvi). Jawaban yang paling tepat untuk melukiskan eksistensi kemajemukan kesenian dan kebudayaan, pluralisme kesejarahan, serta kepurbakalaan yang variatif adalah menapakunduri, menggali dan berusaha melestarikan semua yang lama demi keteguhan kebudayaan modern. (*)



[1] Artikel ini dimuat dalam HU Flores Pos, 10 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar