Oreng tidak lain adalah nyanyian rakyat. Salah satu genre atau bentuk folklore
yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan. Kata-kata dan lagu tersebut merupakan dwitunggal yang tak
terpisahkan, demikian pakar folklore
Danandjaja (2002). Dalam tradisi etnik Lamaholot oreng dapat dinyanyikan pada berbagai
peristiwa: ritual kelahiran
anak, pesta
perkawinan adat, ritual-ritual keagamaan, bahkan pada peristiwa kematian sekalipun. Dalam peristiwa
kematian, oreng menjadi ratapan ekspresi dan ungkapan pamit kepada yang
meninggal. Dengan begitu, oreng mengejahwanta menjadi getaran sukma
sebagai tanda cinta akan hidup yang dikenang bersama, sembari berucap “selamat
jalan” kepada dia yang hendak melewati jalan baru berjumpah dengan Wujud
Tertingg, Tuhan Pencipta Langit dan Bumi (Lera Wulan Tana Ekan). Sebuah
perjumpaan yang baru dengan Dia, Pencipta sumber segala berkat, kerahiman, dan
kemurahan.
Oreng khazanah tutur etnik Lamaholot, menjadi
bagian kemajemukan bangsa, mencerminkan integralisme yang diikat oleh rasa “ada
bersama” dalam satu-kesatuan integral sebagai perwujudan rasa kebangsaan berbangsa
dan bernegara. Inilah buah warisan historisitas keyakinan
generasi primitif Lamaholot yang lesatari
sekalian mengimplementasikan keyakinan tradisional akan langit tempat menyembah dan bumi tempat berpijak dalam semangat
keagamaan di atas rahim yang sama, yakni lewotana (kampung halaman).
Keyakinan kemanusiawian demikianlah menandai ketakberdayaan manusia di hadapan Tuhan Sang Mahakasih. Manusia
etnik Lamaholot tak lain adalah butir-butir debu yang tak berdaya, dan memiliki
ketergantungan yang besar kepada Dia yang
menafasi hidup dan kehidupan mereka. Dia adalah alpha dan omega,
tempat manusia Lamaholot mengharap kasih, mendaras doa, dan melambungkan kidung
pujian.
Ada amanat komunikatif religiositas, karena oreng yang
termeterai melalui bahasa daerah dipandang dan dihayati sebagai sarana
komunikasi, simbol kehadiran dan kehidupan dengan Sang Pencipta. Komunikasi
merupakan fungsi utama bahasa, yang tampil melalui kata sebagai kekuatan transaksi verbal untuk menempatkan dan
mempertemukan dua pribadi.
Semangat religiositas juga dibangun dalam sebuah relasi yang erat dengan manusia yang lain dan alam. Alam merupakan
tempat manusia untuk berkreasi, berfilsafat, bereligi, beretika, serta
meneladani ciptaan Tuhan lewat estetika atau keindahan (Saryono, 2006:35).
Dengan dunia estetika itulah manusia
mengalami pengalaman unio mystica, persekutuan, persatuan dengan Tuhan
lewat keindahan. Dalam konteks ini, mendaraskan
oreng berarti mendaraskan keindahan kata atau mengkelindan kata.
Mendaraskan ratapan bahasa “perpisahan”
antara orang hidup dengan yang meninggal, saat hendak diusung ke tempat
persemayaman yang terakhir oleh oreng alap adalah bukti kesetiaan tentang
ada bersama itu. Bahwa kematian tidak dipersepsi sebagai kehidupan manusiawi
yang terakhir, melainkan kematian dalam cara pandang biblis Kristiani berarti
pergi ke Rumah Bapa.
Oleh karena itu, hidup ini adalah keindahan. Estetika,
yang bukan diteori, namun dihayati, sebagaimana estetika oreng. Guratan
sukma dari kedalaman batin nan nestapa, serta kepenuhan harapan akan memenuhi
“jalan lurus” kepulangannya menghadap Sang Pencipta di Rumah Bapa.
Dalam kekuatan kata tersebut, oreng merepresentasikan
sebuah nama untuk menggambarkan, sekaligus memberitahu orang lain tentang
eksistensi masyarakat etnik Lamaholot, bahwa ada sesuatu yang terdapat dalam
deretan kata-kata oreng. Dengan agak personifikasif,
diyakini bahwa kata yang membentuk oreng sangat mempengaruhi individu
dan masyarakat secara luas. Runutan kata-kata yang berkelindan dalam pilihan kata seorang
tukang oreng (oreng alap) menonjolkan daya persuasi. Jadilah kata merupakan wadah, media, sekaligus titian dalam merangkai,
memformulasikan dan mengkonstruksi
ide dan gagasan secara lebih hidup dan bermakna. Kata adalah sebuah anugerah,
dan oleh karena itu, kata juga hidup dan memiliki jiwa.
Dari sisi sosiologis, oreng menjelmakan diri
sebagai karya seni dan memiliki keindahan bertutur yang simetris dengan
keindahan pluralitas, yaitu pada kemampuannya untuk tak pernah tuntas
menyampaikan makna. Oreng
tampil menjadi sense
of art, yang sejatinya adalah keterbukaan pada kehadiran
mosaik-mosaik keperbedaan. Ketika mengapresiasi oreng sebagai keindahan
karya seni, di sanalah ada persuasi bagi masyarakat pewarisnya untuk
mentransendensi dan menyadari eksistensi mereka sebagai komunitas kolegial. Sebuah keindahan total dalam pesona
merayakan rasa keterbukaan pada oreng sebagai khazanah dan kekayaan bangsa. Rasa akan pluralitas dibangun
berdekatan dengan rasa akan seni. Ketika
keduanya berpadu, berintegral, ‘bersesama’,
maka
di sanalah ada rayaan yang meriah dalam kehidupan: kehidupan kebangsaan. Rayaan
keberagaman, kepaduan, karena pada bahasa daerah sebagai media pengungkapannya, ada
kuasa implikatif yang bening dan jujur dari pesona khas identitas luhur
masyarakat etnik Lamaholot.
Akhirnya, padanya
kita belajar. Belajar untuk mengarifi hidup. Belajar untuk mengenal dan
menguasai diri. Belajar tentang prestasi
unggul masyarakat lisan tradisonal. Barangkali juga kita belajar tentang tanda. Lebih dari itu, oreng
dan tradisi lisan lain yang menyebar di seantero Nusantara, terutama Flores dan
Lembata menjadi sebuah awasan
bagi segala peradaban modern karena sikap angkuh dan agresif terhadap sesama,
alam sekitar, dan budaya-budaya lain justru telah kehilangan kaidah kemanusiaan
sejati, tulis Levi–strauss, yang dikutip Tifaona (dalam Beding, 1988: xvi).
Jawaban yang paling tepat untuk melukiskan eksistensi kemajemukan kesenian dan
kebudayaan, pluralisme kesejarahan, serta kepurbakalaan yang variatif adalah
menapakunduri, menggali dan berusaha melestarikan semua yang lama demi keteguhan kebudayaan modern. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar