Halaman

Tampilkan postingan dengan label nusa nipa nusa naga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nusa nipa nusa naga. Tampilkan semua postingan

Rabu, 07 November 2018

Ende dari Masa ke Masa





Ende, tidak hanya sebuah nama, juga tidak sekadar sebuah tempat. Ende adalah sebuah tanda kultural tentang perjalanan panjang peradaban manusia yang mendiaminya. Evolusi fisik dan kultural berjalan sepadan dan selaras sikap hidup masyarakatnya karena dimungkinkan adanya inti sebuah “keterbukaan” dua etnik besar Ende dan Lio dalam memandang dirinya dan orang lain di luar, termasuk kepada pencipta-Nya, dan bumi semesta alam tempat mereka tinggal dan menafkahi hidupnya. 
Satu keterbukaan adalah ketika Ende menjadi destinasi atau tempat pembuangan Soekarno, 1934–1938, Sang Proklamator bangsa ini. Dari perspektif historis, Ende dikenal luas sehingga menjadi daya tarik sendiri dalam pembangunan bangsa. Secara kebetulan pula, topografi Ende yang terdapat di tengah pulau atau di antara kota-kota besar di Pulau Flores. Ke”di-antara”an inilah menjadi pemicu dalam melihat dirinya sebagai yang bersahabat. Di tengah-tengah Pulau Flores, Ende menjadi miniatur toleransi yang terajut jauh sebelum alam kemerdekaan Indonesia diraih. Ia menjadi pusar turbin ekonomi, politik, juga pusat religi. 
Dalam aspek ekonomi, Ende dikenal karena adanya sebuah jembatan besi (sekarang pelabuhan laut Ende) yang sangat memungkinkan terjadinya transaksi ekonomi antarwarga dengan warga dari luar pulau. Ende menjadi destinasi transaksi ekonomi antara pedagang Bugis, Jawa, Sabu, Arab, Bima, dan pedagang-pedagang lainnya di daerah Flores, Solor, dan Lomblen. Ende telah menampakkan dirinya sebagai model belajar hidup toleransi. Bung Karno mengalami dan merasakan sendiri sebuah relasi tanpa sekat, termasuk dengan para Pastor Belanda, yang secara aktual adalah musuh politiknya. Apalagi ketika itu, di Pulau Ende (Eru Mbinge) diketahui menjadi kota beredarnya kain Sutra India yang sangat memikat hati para pedagang. Aspek politik, misalnya Bung Karno pernah mengalami politik pembuangan (internering) di Ende tahun 1934–1938. Ende, akhirnya menjadi ruang belajar toleransi. 
Visi “keterbukaan” Ende tampak dalam berbagai pilihan fitur dan nilai-nilai tertentu, seperti nilai relasional, ekspierensial, dan nilai ekspresif. Nilai relasional menggambarkan hubungan sosial manusia dalam suatu komunitas sosial. Nilai ekspierensial manusia berisikan tentang pandangan, pengetahuan, dan keyakinan tentang sesuatu, sedangkan nilai ekspresif menggambarkan penilaian atas identitas sosial dalam kehidupan berkomunitas (Fairclough, 1989: 129–141).
Aspek sosiologi merupakan pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat atau juga ilmu tentang struktur sosial, proses sosial dan perubahannya. Aspek sosial yang digambarkan pada lirik lagu di atas menggambarkan bahwa kehidupan masyarakat di Ende sangatlah akrab antara satu dengan yang lain. Masyarakat di Ende juga hidupnya berlandaskan pada persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan inilah yang membuat orang lain yang datang ke Ende merasa hidupnya nyaman, aman, tenteram, dan damai. Hal lain yang membuat orang berbondong-bondong mendatangi Ende adalah keajaiban alam danau Kelimutu dan sarung Kelimara yang kemilau, hal ini lah yang membuat nama Ende terkenal.
Dari aspek religi, Ende telah menampakkan dirinya sebagai model belajar hidup toleransi. Bung Karno mengalami dan merasakan sendiri sebuah relasi tanpa sekat, termasuk dengan para Pastor Belanda, yang secara aktual adalah musuh politiknya. Ende dan Flores umumnya yang ketika itu jauh dari riuh rendah politik, menjadi destinasi yang sudah jinak laksana bunga, “nusa nipa nusa naga” dengan tautan dua kekuatan sekaligus, yakni kekerasan senjata dari tangan kekuasaan kolonial Belanda dengan kelembutan agama Katolik yang mengajarkan “cintailah sesamamu” yang asing atau sebangsa, berkulit putih atau hitam (Dhakidhae, 2013). Dengan demikian, Ende bagi Soekarno tidak sekadar kota nelayan, melainkan sebuah kota pelabuhan yang ramah dengan jaringan yang luas. Di Ende jugalah Soekarno telah menemukan dirinya sebagai seorang cendikiawan, ideolog, dan seniman yang komplit
Secara sosiologis, Ende sangat kaya dengan kearifan lokal. Kearifan lokal dimaknai sebagai sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang mampu memberikan komunitas tersebut daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah komunitas berada. Oleh karena itu, kearifan lokal dipandang sebagai jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal, terlebih masyarakatnya mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, dan mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau perusakan solidaritas kelompok demi keutuhan komunitas yang utuh dan terintegrasi. Demikianlah esensi kearifan rohaniah psikologis, kultural, dan emosional masyarakat yang  mestinya terus kukuh dipertahankan. (*)

Kamis, 21 Desember 2017

Soekarno–Ende: 1934–1938 Dari Nusa Naga Ke Nusantara: Sebuah Antologi



 “Pulau Bunga akan tetap melekat kuat dalam ingatanku”, kata Bung Karno mengenai Pulau Flores atau Pulau Bunga. Ungkapan nostalgik ini berbeda jauh dengan jeritan hati di awal pembuangannya di Ende. Hidup Bung Karno telah menjadi sejarah negara dan bangsa Indonesia serta tetap terpatri dalam sanubari anak cucu negara ini. Di setiap tempat yang pernah ditapakinya, BungKarno telah menoreh kenangan tersendiri. Demikian pula di sini, di Ende, sebuah kota tengah Pulau Flores. Di kota sejarah inilah Bung Karno memahat sebuah candi intelektual yang kita kenal dengan nama Pancasila. Demikianlah peribahasa lama mengingatkan kita “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. 

Politik pembuangan (internering) Soekarno [2] di Ende tahun 1934–1938 dianggap sebagai rumah pemulihan.[3] Satu pertanyaan yang tidak pernah lepas dari peristiwa pembuangan ini adalah mengapa harus Ende? Ada tiga alasan, pertama, adanya penjagaan yang cukup ketat sehingga yang ditahan tidak melarikan diri. Kedua, kesempatan kerja, dan ketiga, kepekaan masyarakat sekitar kalau sekiranya ada agitasi dari Bung Karno. Ternyata dugaan para pembesar Belanda meleset karena Ende dan Flores umumnya yang ketika itu jauh dari riuh rendah politik, menjadi destinasi yang sudah jinak laksana bunga sehingga telah melepaskan atavisme “nusa nipa nusa naga”[4] karena sudah mempertautkan dua kekuatan sekaligus, yakni kekerasan kekuasaan kolonial Belanda yang memaksakan penaklukan dengan kekerasan senjata dan kelembutan agama Katolik yang mengajarkan “cintailah sesamamu” yang asing atau sebangsa, berkulit putih atau hitam. Dengan demikian, Ende bagi Soekarno tidak sekadar kota nelayan, melainkan sebuah kota pelabuhan dengan jaringan yang luas. Di Ende jugalah Soekarno telah menemukan dirinya sebagai seorang cendikiawan, ideolog, dan seniman yang komplit. Bagi orang Ende sendiri, Soekarno adalah ata pita pu’u Jawa (orang pintar dari Jawa). Sebaliknya Soekarno sendiri memandang dirinya sebagai “seekor  burung elang yang telah dipotong sayapnya”[5].
Di Ende, Soekarno berhasil memungut gagasan-gagasan dasar dari budaya-budaya yang diamati dan dijumpainya, dan beliau “merajut”, mentransformasikannya, menjadi suatu “candi” [6] intelektual yang dikenal dengan nama Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi dasar bangunan Negara Republik Indonesia. Yang menarik bahwa beliau mengaitkan semua sila dengan konsep tradisional gotong royang. Menurut beliau, untuk membangun Indonesia, gotong royang harus menjadi alat transformasi sosial budaya. Sebab dalam gotong royong semua saling menghargai dan tolong menolong meskipun berbeda etnik, ras, kepercayaan. Inilah romantisme Bung Karno dalam membangun konsep kebangsaan Indonesia.
Selain menjadi tempat pemulihan dan transformasi merajut candi intelektual, Ende juga menjadi tempat “perjumpaan” antara masa pembuangan penjara dengan panggung merdeka. Sebab di tempat inilah, Soekarno menjalani persahabatan tanpa batas dan menemukan wajah Belanda yang lain lewat para pastor Belanda yang berkarya di Ende. Kalau dicermati, mereka adalah “musuh” politik Bung Karno. Namun, ternyata fakta menunjukkan lain, bahwa para pastor Belanda itu sangat akrab dan bersahabat.
Di tempat yang sama ini pulalah Bung Karno menampilkan kecemerlangan berpikir dan berkarya seni. Tercatat selama masa internering di Ende beliau mencipta duabelas naskah toneel, bahkan sempat dipentaskan di Rumah Pentas Imakulata Jalan Katedral Ende. Bahkan dari tempat inilah Bung Karno telah meramalkan bahwa Indonesia akan merdeka tahun 1945 melalui sebuah toneelnya yang berjudul Tahun 1945. Dua naskah terkenal adalah Dokter Syaitan dan Rahasia Kelimutu.
Sekali lagi, Indonesia merupakan sebuah bangsa yang plural, majemuk, beranekaragam suku, bahasa, agama, dan budaya. Sehingga tidaklah penting mempersoalkan mengapa Bung Karno harus di buang ke Ende. Terlepas ada kepentingan politik kaum kolonialis Belanda ketika itu, tetapi yang jelas bahwa Ende dan Flores adalah wilayah NKRI. Secara literer, Indonesia merupakan sebuah teks  yang sangat luas. Di dalam teks itulah memungkinkan semua orang untuk hidup dan membangun sebuah keselarasan antara satu orang dengan orang yang lain demi tercapainya sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan mandiri, sebagaimana yang pernah digagas dan diidamkan oleh Bung Karno dalam pidatonya 17 Agustus 1964, tentang Tahun Vivere Pericoloso yang menekankan pada “Trisakti”: berkedaulatan dalam bidang politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkpribadian dalam bidang sosial budaya. (*)

           









[1] Judul buku yang berisi lima tulisan masing-masing oleh (1) Dr. Daniel Dhakidae, (2) Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., (3) Pater John Dami Mukese,MA,SVD, (4) Dra.Maria Matildis Banda, dan (5) Dr. Pius Pampe, M.Hum. Diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., dan diterbitkan oleh CV.Brimotry Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013. Diluncurkan dan dibedah di Universitas Flores dengan pembahas Dr. Kotan Stefanus, M.H., Sabtu, 15 Maret 2014.
[2] Soekarno berarti pahlawan yang terbaik atau pahlawan sejati. Dilahirkan tanggal enam bulan enam jam setengah enam pagi tahun 1901. Tahun permulaan abad baru. Ditandai dengan meletusnya gunung Kelud di Jawa. Orang menafsirkannya sebagai pertanda yang baik, yaitu suatu “penyambutan terhadap bayi Soekarno. (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 15). Dalam kepercayaan Bali, kalau gunung Agung meletus maka itu pertanda buruk. Entahlah, mana yang benar, namuun Soekarno menerima semuanya itu sebagai bagian dari nasib hidupnya. “Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran, dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah perpaduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 15-16).
[3] Pendapat Dr. Daniel Dhakidae dalam subjudul “Dari Tempat Pembuangan menjadi Rumah Pemulihan: makna Soekarno bagi Ende, dan Ende bagi Soekarno”, dalam buku berjudul Soekarno–Ende, 1934–1938, halaman 13–79, Penerbit CV.Brimotry Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013.

[5] Ende di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Jalan raya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal yang ditebas melalui hutan. Di musim hujan lumburnya menjadi berbungkah-bungkah. Apabila matahari yang menghanguskan memancarkan dengan terik, maka bungkah-bungkah itu menjadi keras dan terjadilah lobang dan aluran baru. Ende dapat dijalani dari ujung ke ujung dalam beberapa jam saja (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 42-43).
[6] Secara historis empiris Indonesia boleh disebut sebagai negara candi. Selain karena secara kuantitas begitu banyak candi yang kita temukan (terutama di Pula Jawa dan Bali) yang merupakan hasil cipta dan karya peninggalan Hindu dan Budha, istilah ini oleh Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., dalam subjudul buku “Bung Karno: Perajut mimpi Indonesia Mandiri”, dalam buku berjudul Soekarno–Ende, 1934–1938, halaman 80–101, Penerbit CV. Brimotry Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013, lebih ditafsirkan sebagai sebuah proses permenungan, pergumulan. Proses demikian yang pada akhirnya mengerucut dan memuncak seperti candi. Badan candi sendiri dipahami sebagai proses. Puncak pergumulan Soekarno di Ende adalah Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi dasar negara Indonesia.

Rabu, 08 November 2017

Surplus Kekerasan Lokal



Flores, akhir-akhir ini ternyata tak seindah namanya. Nama yang pernah menjadi sangat harum semerbak wangi bunga dan tergambar representatif. Sebuah gambaran identitas Flores yang mengular dari barat ke timur hingga membuat Cabot terkesima dan memberinya nama Pulau Bunga. Nama ini kemudian secara resmi dipakai sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Lewat sebuah studi yang mendalam Pater Pit Orinbao (1969), menyebutkan nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang berarti Pulau Ular.  
Selain keindahannya, Flores juga dihebokan dengan sejumlah persoalan sosial kemasyarakatan, di antaranya gunung es kekerasan yang kian akut. Judul tulisan ini dilatari oleh sejumlah pengamatan di wilayah ini. Ini fenomena akut yang acap mengintai masyarakat kita. Tentu bukan membuat semacam pengabsahan bahwa masyarakat kita akrab dengan kekerasan, namun darinya kita belajar untuk mencintai, menghargai, sekaligus berusaha menjadi manusia lagi. Masyarakat yang rentan kekerasan adalah masyarakat yang betapa memandang nyawa manusia ciptaan Tuhan yang diutus untuk memuliakan namaNya yang Besar dan Agung serta sekalian alam sebagai musuh dan lawan. Pada cara pandang ini, Thomas Holbes benar bahwa manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain. Pemahaman ini serentak memaklumi kekerasan. Kekerasanpun menjadi pilihan satu-satunya untuk keluar dari sebuah persoalan. Semisal, konflik, ancam-mengancam sampai pembunuhan ibarat api dalam sekam membuat kehidupan itu sendiri menjadi tidak nyaman. Nyawa lagi-lagi menjadi sangat murah dan begitu saja lenyap di tangan orang-orang yang tidak beradab dan berperikemanusiaan.
 Sepanjang tahun ini, banyak kisah nyata yang kita dengar, bahkan kita simak dari berbagai pemberitaan di media massa kita. Setidak-tidaknya itulah wajah Flores yang sudah berubah. Harian Flores Pos, misalnya memberitakan kronologi pembunuhan korban Laurensius Wadu, mantan Kadis Perhubungan dan Informatika Kabupaten Lembata yang ditemukan tak bernyawa dalam keadaan telanjang pada Minggu, 9 Juni 2013. Sadis! Sadis memang. Lain lagi, “Tawuran kelompok pelajar dan pemuda yang mabuk ‘tuak’ di Pasar Walang Sawah Omesuri, Kedang pada Senin 1 Juli 2013. Rahmad Nutu Ramun (19) meninggal dunia dan Ahfam Muhamad (20) mengalami luka berat. Para pelaku adalah pelajar SMP/SMA/SMK yang berusia 15–21 tahun. Korban meninggal dipukul dan ditikam dengan senjata tajam (pisau)”, (Flores Pos, 3/7/2013).
Hari ulang tahun RI ke-65 di Kecamatan Wulandoni Lembata dirayakan di atas darah. Mayat Korinus Lanang Manuk dibuang di jalan raya, akibat warga dua desa, Wulandoni dan Pantai Harapan Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata saling serang pada 17 Agustus 2014, bertepatan dengan HUT ke 69 Proklamasi kemerdekaan RI. Korinus tewas ditempat dan dibuang di jalan raya depan kantor polisi (Pos Kupang, 18/8/2014).
Kisah pembunuhan sadis teraktual dalam hari-hari terakhir ini adalah datang dari Were 4 Golewa Ngada. Seorang Petronela Tay (40) dibunuh suaminya Lorensius Leba (42) dengan membelah ibu 5 anak itu dari dahi hingga dagu. “Saat kami pulang ke rumah setelah disuruh ayah menimba air di kompleks sekolah (100 meter) ibu sudah diguyur darah dengan posisi duduk dan bersandar di dinding dapur, sementara ayah sudah tidak ada di rumah” demikian kesaksian serang anak korban. Menurut Lorens, masalahnya sepele. Akibat mabuk moke putih sejeriken dan kata-kata yang membuat pelaku tersinggung, yakni menuduhnya selingkuh dengan perempuan lain (Flores Pos, 14/11/2014; Pos Kupang, 14 & 15/11/2014).
Dari kota Ende, warga lorong Ganyo, Kelurahan Kelimutu Ende, Ashari Alamsya Langga (22) tewas usai dikeroyok empat pemuda dan ditikam pada bagian punggung oleh seorang pelaku, Sabtu, 15/11/2014. Pasalnya, korban menegur salah seorang pelaku yang mengendarai sepeda motor tanpa lampu, namun tidak diterima baik, maka keduanya terlibat pertengkaran dan akhirnya berujung pembunuhan (Flores Pos, 17/11/2014). Bahkan dari Manggarai dilaporkan bahwa sepanjang 2013 terjadi 306 kasus kekerasan (FP, 27/11/2014). Tentu masih banyak kredo kekerasan lain yang luput dari pantauan media massa dan pengamatan kita. Bahkan yang paling menyedihkan, seorang siswa SMP Widya Bhakti Ruteng menikam seorang guru SMPK St. Fransiskus Ruteng dengan menggunakan pisau pada Kamis, 18 Desember 2014 (FP, 20/12/2014). Jelas bahwa kekerasan terus merambah masuk pada lingkungan-lingkungan pendidikan kita yang mestinya steril dari aneka kekerasan. Sudah terjadi mau bilang apa. Yang ada tinggal nestapa dan penyesalan. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana upaya untuk mencegah dan mengatasi kekerasan-kekerasan tersebut.
Berdasarkan pemberitaan-pemberitaan tentang kekerasan lokal, terungkap bahwa ada inkubasi melalui dendam kesumat, kekerasan lokal juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor mabuk, pembagian warisan, konflik tanah, bahkan ada yang juga berawal dari masalah yang sederhana, sepele, seperti tersinggung. Kasus-kasus kekerasan bahkan sudah menerobos pada wilayah publik akibat pelayanan dan ketidakberesan layanan pemerintah kepada publik tidak memuaskan. Kepala Kesbangpol NTT, Sisilia Sona, mengemukakan bahwa rakyat NTT, dan Flores khususnya menghadapi 3 masalah utama yang menjadi sumber konflik, yakni pertambangan, batas administrasi antardaerah, dan tanah. Ironisnya penyelesaian konflik-konflik ini belum sampai pada akar masalah (Flores Pos, 4/11/2014). Sinyalemen ini tentu menyisahkan tanya, siapakah atau lembaga manakah yang dipandang kompeten untuk menuntaskan 3 masalah utama di atas? Tujuannya agar penyelesaiannya sampai ke akar masalah. Hemat saya, institusi pemerintah perlu mengambil langkah cepat, tepat dengan menggandeng lembaga-lembaga kemasyarakatan lain dalam model kerja sama untuk langkah-langkah preventif agar penyelesaian masalah-masalah tersebut dapat tuntas tanpa merugikan salah satu pihak.
Pertama, tentang kesantunan, etiket atau etika berbahasa. Dalam kehidupan masyarakat kita telah terjadi berbagai perubahan, baik sebagai akibat tatanan kehidupan dunia yang baru, terpaan globalisasi, maupun sebagai akibat perkembangan teknologi informasi  yang berkembang begitu cepat. Perubahan tersebut juga terjadi pada soal tutur ucap. Ada fenomena ketidakmatangan emosional dan sosial, di samping etiket bertutur yang membuat orang cepat tersinggung sehingga mengakibatkan munculnya kekerasan. Apalagi, faktor eksternal lain, semisal “mabuk” karena maraknya minuman-minuman beralkohol khas Flores yang gampang dibeli dan ditenggak oleh siapa saja turut menambah daftar keprihatinan kita tentang kekerasan ini. Fenomena ini memungkinkan untuk ditanggulangi melalui pembenaman dan internalisasi sejumlah kematangan nilai yang dipandang berharga, mulai dari kulit sampai yang ke inti, dari yang instrumental (alat, sarana) sampai ke yang bernilai tujuan  (Sutrisno, 1994: 149). Nilai-nilai kemanusiaan itu merupakan representasi sifat humanis yang dengan sendirinya ditujukan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia.
Predikat manusia sebagai makhluk bermoral tidak signifikan dengan tutur, terlebih tindakannya. Manusia sedang menggeser nilai-nilai kemanusiaan ke dalam jurang yang amat dalam, akibat pesatnya sebuah kemajuan. Manusia sedang digiring dalam sebuah pabrik besar dengan mengandalkan alat sebagai lokomotifnya, tanpa mempertimbangkan dari segi nurani. Pada akhirnya, manusia sedang memahat tembok kebersamaan dan membangun sekat-sekat primordialisme. Dalam pada itu, emosionalitas menjadi pilihan utama mengambil sikap. Sehingga benar bahwa salah satu sebab merajalelanya tindakan kejahatan tanpa malu-malu adalah meluasnya ketanpabepikiran dalam bertindak, tulis Hanna Andert (dalam Sabda Nomor. 11/1999).
Kedua, masalah pertambangan. Hemat saya, masalah pertambangan sangat terkait dengan masalah tanah dan kepemilikan tanah, di samping efek samping lainnya. Praktik pertambangan yang tengah marak di masyarakat kita tanpa disadari merupakan praktik adu domba pemerintah daerah dengan rakyatnya oleh bos besar pemilik modal yang bernama investor. Hemat pemerintah, eksplorasi bahkan eksploitasi pertambangan akan serta merta menyejahterakan rakyat, malahan menuai kesengsaraan. Ternyata itikad meneyejahterakan rakyat tersebut tidak ditopang oleh pemahaman bahwa kesejahteraan mestinya dibangun melalui proses panjang, melelahkan, dan tidak harus melalui tambang. Demikian, kita diajak untuk memahami esensi pendidikan, terutama menghargai proses bukan hasil. Apa daya, tambang–mengeksplorasi dan membabat habis upaya rakyat sekian ratus tahun untuk mencapai kesejahteraan mereka. Seluruh potensi yang dimiliki, termasuk artefak dan noninsani hilang lenyap begitu saja oleh pemilik modal yang arogan atas ijin pemerintah. Dari sinilah, rakyat bangkit membela haknya, dengan berbagai macam cara, termasuk memblokir lahan tambang dengan bertelanjang dada, seperti yang terjadi di Tumbak Manggarai Timur beberapa waktu lalu. Ini dilakukan semata-mata untuk menjaga hak-hak mereka di samping menjaga kelestarian alam sebagai satu-kesatuan kosmos, tempat tinggal dan tempat penafkahan hidup.
Negara menindak rakyat tidak saja ketika negara melakukan penggusuran, pengusiran, dan kekerasan terhadap rakyatnya, tetapi juga ketika negara bersikap tak sungguh-sungguh mencerdaskan rakyatnya, sehingga rakyatnya tetap dalam kebodohan, menjadi babu di negeri orang, menjadi pelacur, pencopet, perampok, dan pelaku kejahatan lainnya. Juga ketika negara berbuat menyudutkan rakyatnya dan menyebarkan kebencian terhadap rakyatnya sendiri. Termasuk dalam hal ini, negara juga melakukan pembungkaman terhadap rakyatnya yang mencoba berani  menyatakan pandangan yang berbeda. Negara menentukan apa yang selayaknya dipikirkan rakyatnya dan yang tak perlu dipikirkan. Negara juga menyensor informasi-informasi dan menentukan mana yang boleh dibaca dan tidak boleh dibaca. Kadang-kadang negara menciptakan idiom kebijakan yang indah dan ambigu, tetapi tafsir tunggalnya adalah hak negara. Jadi, negara penindas rakyat adalah paradoks, Sudibyo (dalam Kitab Puisi Arung Diri, 2013).
Ketiga, birokrasi pemerintahan mesti melayani dengan hati dan segenap kemampuan untuk masyarakat. Ini terkait dengan upaya pelayanan pemerintah kepada rakyatnya. Di mana-mana, rakyat mengetahui bahwa menjadi pemimpin publik berarti menjadi pejabat administratif dan pejabat politik. Pejabat administratif berarti menjalankan administrasi pemerintahan secara baik, sedangkan pejabat politik, artinya memperjuangkan kesejahteraan hidup masyarakat sehari-hari secara baik dan benar. Dalam banyak hal, perlu kita akui bahwa Das Sein, apa yang terjadi, apa yang ada dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara menyangkut kemaslahatan masyarakat banyak, seperti kehidupan sosial, budaya, politik, hukum, ekonomi, bahkan demokrasi menyimpang dari Das Sollen, apa yang seharusnya terjadi, apa yang diharapkan oleh bangsa ini menurut hati nurani, sebagaimana teramanat dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam konteks ini dibutuhkan koordinasi. Hemat saya, koordinasi juga komunikasi antara semua sektor pembangunan di daerah ini tampaknya masih menjadi barang mewah. Ini upaya untuk menipiskan rasa egosektoral antara instansi yang satu dengan instansi yang lain.  
Dibutuhkan koordinasi yang selaras–seimbang dan intensif untuk akselerasi pembangunan demi tercapainya cita-cita luhur bangsa. Dengan demikian, kualitas pembangunan dan penyelesaian masalah-masalah penghambat pembangunan lebih ditentukan oleh pemanfaatan ketersediaan sumber daya manusia daerah melalui kerja sama yang produktif. Lembaga-lembaga pendidikan, sosial, gereja, dan lembaga politik di daerah perlu diberi peran dan tanggung jawab ‘lebih’ untuk meningkatkan frekuensi peran dan tanggung jawabnya terhadap kehidupan masyarakat. Tentu semua lembaga sepakat kalau model ini diinisiasi kembali oleh pemerintah. Hemat saya, keterikatan emosional psikologis Pemda dengan lembaga-lembaga di daerah atau anak-anak daerah akan lebih melekat kuat, karena mereka punya tanggung jawab yang sama untuk pembangunan daerah ini. Tentu kita punya ikhtiar untuk meminimalisir penyelesaian masalah dengan mengadopsi paradigma berpikir importir yang keliru, pragmatis dan instant. Padahal, masyarakat kita memiliki pola membangun sampai pada pola penyelesaian masalah. Karena sesungguhnya kita punya kiat, punya pendekatan, dan berbagai khasanah budi dan daya dalam semangat kearifan lokal. Itulah sebabnya, arus untuk membumikan kembali semangat dan kebijaksanaan lokalitas (local wisdom) menjadi prioritas dan pusat perhatian pembelajaran dewasa ini.
Kita sangat percaya kepada para orang tua, para guru sebagai arsitek pendidikan di lembaga formal kita, pemerintah, dan semua kita untuk memberikan peran dan tanggung jawab yang sama untuk memutus mata rantai kekerasan, agar tidak terus mencapai surplus dalam kehidupan bermasyarakat pada hari-hari ke depan. (*)






[1]  Opini ini dimuat pada HU Flores Pos, 10 Januari 2015