Bus antarpropinsi itu
berhenti di pinggir jalan negara. Di sore hari, persis warga Desa Laramata telah berada di
rumahnya masing-masing, setelah sepanjang hari bergumul dengan tanah dan lahan.
Biasanya, kedatangan warga yang telah lama mengais nafkah beberapa tahun di
luar daerah, kepulangannya disambut gegap gempita warga. Minimal para tetangga
dan sanak family. Apalagi, jika kabar kepulangan anggota keluarga sudah
diberitakan sebelumnya melalui sambungan handphone.
Jadinya, tidak ada selfie untuk sore
itu. Tidak ada selfie. Cuma anggota
keluarga saja menyambut ketibaan Lelaki Eukaliptus.
Lelaki Eukaliptus
Silakan taruh tasmu di kamar, ucap ibunya, usai Lelaki Eukaliptus merangkul dan mencecap bau keringat perempuan enam puluhan tahun itu. Mencium tangannya. Merasakkan lagi denyut nadi kasih sayang yang dulu ia alami. Ada aliran dan getaran kerinduan yang amat dalam. Jauh di lubuk hati dua manusia beda usia: ibu dan anak. Satu-persatu, berturut-turut Lelaki Eukaliptus memberi salam, menjabat tangan beberapa anggota keluarga yang datang.
Senda gurau, cerita tentang perjalanan pulang Lelaki Eukaliptus semarak dan menghibur. Semua yang hadir setia mendengar. Penuh perhatian. Tentang, jatuh dan bangun kembali di tengah derap dan hegemoni individu. Denyut nadi kehidupan di negeri jiran Malaysia. Menjanjikan, namun keras dan kompetitif.
Rumah ini terasa dingin! Itulah getaran rasa seorang Lelaki Eukaliptus yang sepuluh tahun lalu meninggalkan rumah mengais petualangan ke bumi Ringgit Malaysia. Waktu itu, selang setahun Ame Tinus, ayah kecintaannya dipanggil pulang Sang Khalik. Saat itu pula, Lelaki Eukaliptus baru tamat sekolah menengah atas di kampung. Tak bisa ke bangku kuliah. Kendatipun dia terlahir sebagai anak laki-laki tunggal di keluarganya.
Walaupun memiliki
banyak lahan, tapi, ya… Lelaki Eukaliptus merasa sesak di rongga dadanya. Ya, itu
bukan lahan kita seorang diri. Itu merupakan milik bersama saudara-saudara
bapakmu. Dan, kabar burung yang sempat menghinggap di telinga ibu bahwa
kematian ayahmu ketika itu karena ada faktor perang dingin antarbersaudara
tentang lahan-lahan tidur tersebut. Perkataan ibunya semacam memercik titik api
di tengah ladang kering. Menyulut naluri kelelakiannya. Lelaki Eukaliptus
terhentak oleh perkataan itu. Ia mengusap wajahnya. Menarik napas dalam-dalam.
Menutupi wajahnya. Membiarkan barisan gigi bawah dan atas berkelahi gerham.
***
“Anda sebagai ketua
panitya pemilihan mesti bersikap adil. Jujur mendata semua warga dengan teliti.
Jika ada yang perlu dibantu untuk bisa menggunakan hak pilih, maka dibantu. Disampaikan
secara terbuka. Bukan sebaliknya.” Itulah suara sayup-sayup dari kejauhan
dibawa angin utara. Maklum rumah kami agak sedikit ke selatan sehingga lebih mudah menangkap suara tadi.
Suara tadi tiba-tiba
makin keras dan kedengaran lebih tajam dan ramai. Sepertinya ada kerumunan massa.
Lelaki Eukaliptus sedikit panik. Jangan-jangan suara tersebut adalah suara
protes para warga terhadapnya. Pasal kepulangannya persis di saat menjelang pemilihan
kepala desa serentak di kecamatannya. Mereka khawatir jangan-jangan saya mempertebal
suara untuk calon tertentu. Calon jagoan mereka. Lelaki Eukaliptus gugup. Jika
dugaannya benar adanya. Sedikit demi sedikit suara kerumunan massa tadi hilang.
Seketika muncul lagi. Kali ini disertai teriakan.
Protes! Protes! Protes!
Data tersebut tidak
valid. Lelaki Eukaliptus mencoba lebih tenang menyimak suara tersebut. Menyendengkan
telinga ke arah sumber suara. Bapak dan ibu mohon lebih sabar. Tenang! Mari
kita selesaikan soal data ini sesuai aturan. Jangan saling mempersalahkan,
apalagi menghujat. Jika ada kekeliruan data, mari kita sama-sama bereskan. Kita
betulkan agar menjadi lebih akurat. Suara terakhir ini teduh. Menyejukkan
warga, juga Lelaki Eukaliptus yang sedang panik. Ia gelisah kalau dialah sumber
keributan warga. Lelaki Eukaliptus mencoba menenangkan pikirannya.
***
Masih pagi buta Lelaki
Eukaliptus sudah bangun. Menyiapkan kopi dan ala kadarnya sarapan pagi untuk
dia dan ibunya. Merapikan dapur dan kamar ibunya. Maklum selama ini ibunya
sendiri menghuni rumah kecil sederhana. Di bawah pohon kersen yang kokoh dan sedang
meranggas. Kebiasaan yang sama ia lakukan saat masih makan gaji pada toke di Malaysia. Ia berkemas ingin
melihat hamparan ladang milik keluarga besar yang masih belum diolah. Tekadnya
utuh dan sempurna, mengolah lahan sebaik mungkin. Menjadi pemuda yang berguna.
Ibu, aku ingin berbicara satu hal, sapa Lelaki Eukaliptus sambil menyajikan segelas kopi Saga, kopi lokal etnik Lio yang harum wanginya. Di depan telah tersaji pula sepiring ubi kayu rebus hasil panen ibu di kebun belakang dapur. Masih hangat. Lelaki Eukaliptus memperbaiki kursinya. Mendekati telinga ibunya. Seakan berbisik. Semenjak kepergian ayahnya almahrum Ame Tinus Lelaki Eukaliptus mengganti peran ayahnya dalam keluarga. Termasuk arah dan keputusan akan masa depan keluarga mereka. Ibunya yang kini kian uzur, memaksa Lelaki Eukaliptus untuk lebih berkomitmen membawa keluarganya lebih baik.
Persis di sebelah tempat duduk Lelaki Eukaliptus, ibunya bertanya, “Ada hal apa yang ingin kamu sampaikan, Nak?” Begini Ine, sapanya. Ayah telah tiada. Saya ingin memanfaatkan lahan peninggalan ayah untuk menanaminya dengan tanaman palawija yang bermanfaat untuk kita. Aku bermimpi mengelola lahan yang oleh beberapa petani di kampung ini disebut sebagai lahan yang strategis. Jika ide ini berhasil, maka kira-kira produksi sayur-sayuran juga tanaman eukaliptus menjadi primadona konsumen. Masyarakat kota, dan tentu kita tidak mengalami kekurangan pasokan sayur untuk tiga sampai empat tahun ke depan. Dan, saya melanjutkan pembicaraan, tanaman eukaliptus akan laku terjual di pasar-pasar lokal kita. Tanaman eukaliptus oleh Lelaki Eukaliptus juga menjadi obat penawar aneka virus yang kerap kali menerpa semesta jagat raya ini.
Agak lama ibu
termenung. Saya membaca kegelisahan pada pikiran dan raut wajah seorang ibu. Lusuh
dan keriput. Ia menunduk lagi. Mengangkat kepala lagi. Menatapku dalam. Belum
menyampaikan satu kata pun. Jauh. Ada beban pikiran di raut wajahnya yang kian
keriput. Bukan tentang lahan pertanian tersebut, namun tentang kepemilikan
lahan itu. Lahan itu bukan milik kami saja, tetapi milik keluarga besar. Ini
tentu butuh waktu. Butuh energi dan pikiran untuk mendiskusikannya dengan
keluarga besar.
“Nak, engkau
satu-satunya Lelaki Eukaliptus dalam keluarga kita ini. Ibu sangat setuju
dengan ide dan rencanamu. Apa yang engkau sampaikan, itu juga yang ibu idamkan.
Tentang pemanfaatan lahan itu ibu sangat setuju.” Ibu memberi penegasan dan
seolah-olah menyetujui apa yang disampaikan terdahulu.
Rencana itu juga
menjadi rencana dan ikhtiar ayahmu. Ketika menyampaikan niat tersebut ke
saudara-saudaranya, niat itu langsung dibantah. Begitulah ayahmu, tidak ingin
mencari pusing. Kendati ayahmu sudah mencoba beberapa kali menyampaikannya,
namun saudara-saudaranya tetap tak bergeming. Ayahmu pun mati langkah dan
kehabisan kata-kata untuk membujuk mereka memanfaatkan lahan tersebut secara
produktif. Lahan itu pun tak bermanfaat hingga kini, selain sekadar sebagai
tempat memelihara ternak. Beberapa pohon kelapa, cengkih juga alpukat yang
ditanam almahrum ayahmu dibiarkan tak terawat semenjak almahrum meninggalkan
kita. Perkataan ibu persis seperti yang saya bayangkan. Inilah penghambat yang
mesti coba saya selesaikan. Tekad dan semangat muda Lelaki Eukaliptus bersemi
kembali. Menurutnya, tekad itu mesti diwujudkan, namun melalui urun rembuk
keluarga agar tidak merasa dirugikan, tukasnya dalam hati.
***
Mendung menggelayut
pekat. Rinai hujan mulai siang tak pernah berhenti. Orang-orang kampung pulang
dari kebun, basah. Menggigil. Banyak memilih berdiang di tungku api. Menghangatkan
badan, sedang di luar udara dingin merangsek sampai ke sum-sum.
Dengan tekad sempurna saya mampir ke rumah Bapak Besa. Selamat malam Bapak Besa, sapaku di malam itu. Maklum di kampung ini, jika ingin bertamu, waktu yang paling pas adalah malam hari. Pada siang hari, masyarakatnya berada di kebun. Mengolah lahan dan menjaga ternak. Di kampung, kami lebih akrab menyapa Bapak Besa sebagai Bapak Osep. Beliau adalah anak sulung dari keluarga almahrum nenek saya. Jika dia lahir di antara beberapa saudara pertama dan terakhir, maka akan dipanggil sebagai Bapak Tenga. Sedangkan, jika anak bungsu akan disapa Bapak Bonsu. Begitulah betapa indahnya sapaan kekerabatan sebagai rasa hormat paling intim di antara anggota keluarga. Almahrum ayah adalah anak bungsu sehingga disapa sebagai Bapak Bonsu.
Omong-omong seputar pekerjaan saya sewaktu di tanah rantau di malam itu terasa hangat. Menanti mama Besa menyeduh kopi. Kami bertiga, Bapa Besa, Mama Besa Thres, dan saya menyeruput kopi. Sedang saya menemaninya dengan rokok Surya yang saya bawa. Bapak Besa sudah berhenti merokok tiga tahunan ini akibat menderita sakit. Bapakmu juga semakin uzur, jadi berhenti merokok adalah pilihan terbaik, daras Mama Besa Thres, saat saya menyodorkan rokok kepada Bapak Besa.
Bapak Besa memang terbilang sangat rajin. Bekerja apa saja untuk menghidupi keluarganya. Memiliki rumah yang lumayan baik untuk ukuran orang di kampung adalah sesuatu yang luar biasa. Sayangnya, tidak ada satu anak pun yang berhasil mengenyam pendidikan. Semuanya putus di tengah jalan. Sedangkan kami, kendati saya cuma tamat SMA, namun adik perempuan bungsu tengah menyelesaikan tugas akhir skripsi di satu perguruan tinggi di kota. Sekarang sedang melakukan penelitian tentang bagaimana mengatasi hama tanaman di beberapa lahan di kampung ini. Dia mengambil jurusan pertanian lahan kering. Menurutnya, perkembangan penelitiannya di lapangan selalu dikonsultasikan dengan pembimbing melalui sambungan on line. Kuliah on line belakangan ini menjadi keharusan. Sebentar lagi menjadi sarjana. Saya ikut bangga. Tentu juga bagi mama dan keluarga. Kebahagiaan tersebut juga pasti dirasakan alamahrum ayah dari tempat peristirahatannya.
Bapak dan Mama Besa, saya ingin menyampaikan sesuatu. Saya membuka percakapan. Tentang apa, Nak Eukaliptus? Sampaikan saja, ujar Bapak Besa Osep. Begini bapak dan mama. Saya ingin membicarakan lahan kita yang di pinggir jalan itu. Jika bapak dan mama mengiyakan, maka saya akan coba mengolah dan memanfaatkannya dengan menanam beberapa tanaman eukaliptus untuk kebutuhan kita. Kedatangan saya ini untuk meminta persetujuan bapak dan mama.
Bapa Besa dan Mama Besa
Thres saling menatap. Diam seketika menghuni kamar tamu yang tadinya sedikit ada
percakapan. Mungkin saja mereka perlu membicarakannya di antara
saudara-bersaudara. Setidaknya aku telah mencoba menjadi mediator atas
lahan-lahan kosong milik keluarga besar tersebut.
Malam semakin larut,
kamar tamu terus saja hampa. Hening tanpa pesan. Kami kaget kalau waktu sudah
menunjukkan Pukul 24.00 Wita, ketika arakan pawai kemenangan jagoan kepala desa
siang tadi. Dan, aku pulang tanpa jawaban. Melewati lahan tidur keluarga besar.
Seberkas noktah mampir di kening bahwa di atas hamparan luas itu akan terwujud mimpi
Lelaki Eukaliptus. (*)
Keterangan:
Toke :
panggilan untuk majikan di Malaysia
Laramata : pinggir jalan
Ine : panggilan untuk ibu/mama
dalam bahasa Lio Flores
Cerpen Lelaki Eukaliptus dimuat
di kompas-id, 29 Mei 2024, https://www.kompas.id/baca/sastra/2024/05/29/lelaki-eukaliptus?open_from=Cerpen_Page
Tidak ada komentar:
Posting Komentar