Halaman

Tampilkan postingan dengan label cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 April 2024

Sekali Lagi tentang Literasi

Literasi semacam menjadi kata kunci dalam proses pembelajaran di kelas. Literasi hadir semula bertujuan untuk mengentaskan rendahnya membaca dan menulis di kalangan siswa. Tujuan itu pun telah tercapai dengan aneka program ikutan, baik yang disiapkan oleh lembaga formal (sekolah), maupun lembaga-lembaga atau komunitas-komunitas belajar yang memiliki kepedulian dan tanggung jawab agar para siswa bisa mampu membaca dan menulis dengan baik.

Setakat Sudah

Hampir setakat atau dekade ini berakhir program literasi dengan tujuan mulia telah tercapai dengan sangat meyakinkan. Namun, masih ada keluhan parsial tentang sejauh mana keberhasilan program Literasi yang telah dicanangkan dan dilaksanakan tersebut. Sampai di sini keluhan tersebut benar adanya. Kita mengakui bahwa secara parsial pula, keberhasilan program literasi patut dipertanyakan. Entah itu karena faktor penghambat apa, tetapi kita pun patut mengamini bahwa banyak faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan pelaksanaan program literasi tersebut. Misalnya, faktor demografi dan topografi yang sangat sulit memungkinkan pihak sekolah atau guru dan siswa mengakses informasi dan infrastruktur bahan bacaan. Faktor guru pun musti terus disoroti, baik soal sumber daya manusianya, faktor kesediaan atau kerelaan bekerja di luar jam sekolah, faktor ketersediaan sarana dan prasarana, faktor sumber dana uang untuk membelanjakan buku, dan faktor eksternal lainnya yang sangat mengganggu pelaksanaan program literasi.

Hemat saya, salah satu faktor yang patut direnungkan adalah ketercapaiaan literasi tidak sekadar siswa bisa membaca dan menulis, melainkan lebih dalam dari itu. Misalnya, siswa musti tau apa yang sedang dia baca dan dia tulis. Oleh karena itu, secara normatif pembelajaran di kelas yang didahului dengan membaca lima belas menit, patut pula diikuti dengan kegiatan menceriterakan kembali apa yang siswa baca, menulis kembali dalam versi berbeda tentang apa yang dia baca, dan mempraktikkan apa yang dia baca. 

Jika kita berangkat dari evaluasi dengan menggunakan perspektif ini, maka kita akan mendapat posisi pelaksanaan program literasi sekaligus menemukan posisi literasi siswa kita. Ini semacam pula menjadi otokritik bagi guru untuk mendaur ulang program literasi di sekolah. (*)

Selasa, 07 Maret 2023

Bertahan Hidup dengan Cerita



Jika Anda mendapatkan sebuah cerita, jagalah sebaik-baiknya. Belajarlah untuk menyampaikan kepada orang yang membutuhkannya. Untuk dapat bertahan hidup kadangkala seseorang lebih membutuhkan cerita daripada makanan (Bary Lopes).

Pembelajaran dengan bercerita bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Jauh sebelum orang mengenal bahasa tulis, cerita telah digunakan dalam proses pembelajaran. Data mengenai hal ini paling tidak dapat kita temukan dalam pengajaran yang dilakukan nenek moyang kita. Seluruh karya dan perjalanannya dilakukan dengan bercerita.

Jika diamati secara serius, tradisi bercerita ini perlahan mulai ditinggalkan, seiring ditemukannya buku serta berkembangnya teknologi informasi yang semakin pesat. Namun demikian, tidak serta merta orang senang membaca buku, termasuk buku cerita. Cerita yang kaya akan nilai telah banyak ditinggalkan orang sehingga merekapun kehilangan nilai-nilai universal dalam hidupnya. Kita percaya melalui pembelajaran di kelas berbagai cerita akan disebarkan ke tengah publik untuk mendapatkan pesannya. Karena itulah berceritalah. Bercerita membangkitkan daya nalar siapa saja, terlebih bagi para siswa generasi masa depan untuk menghadapi kehidupannya kelak.

Cerita merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia. Hampir setiap daerah memiliki cerita yang disebut cerita rakyat. Pada awalnya cerita tersebut berkembang dari mulut ke mulut. Karena itu sering kali cerita rakyat tidak diketahui kapan dan siapa orang yang pertama kali memperkenalkan cerita tersebut. Secara pasti setiap cerita mengandung maksud dan nilai yang akan disampaikan bagi para pendengarnya. Karena cerita disampaikan secara lisan, maka nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut dapat menjadi milik semua orang, terinternalisasi dalam diri pendengarnya. Dengan demikian, pendengar tidak hanya dapat menceritakan cerita tersebut kepada generasi berikutnya, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi bagian dan referensi hidupnya.

Kesepakatan World Economic Forum tahun 2015 tentang enam literasi dasar  menjadi tanggung jawab penuh semua elemen masyarakat, baik itu orang tua, masyarakat umum, maupun lembaga-lembaga pendidikan di negara ini. Enam literasi dasar yang disepakati tersebut, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan. Penggiatan literasi telah mendapat tempat yang proporsional sebagai sebuah gerakan bersama yakni Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang diluncurkan pemerintah melalui Permendiknas Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Roh Permendiknas ini menjadi instrumen pengayuh tanpa henti yang dapat dilakukan oleh semua elemen di atas dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya budaya literasi di sekolah dan masyarakat umum.

Jika di satu pihak, cerita atau bercerita (berbicara) menjadi penting sebagai transfer pesan lisan kepada orang lain, maka pada saat yang sama aspek atau aktivitas lain yang juga memiliki urgensi yang sama yaitu menulis. Karena berbicara dan menulis adalah dua kegiatan yang sama-sama bersifat produktif. Mahasiswa sebagai generasi dan pemimpin masa depan harus bisa menjadi penulis sekaligus pencerita yang baik. Karena itu, sangat diyakini bahwa akan terjadi keseimbangan antara keterampilan menulis dan keterampilan berbicara (bercerita). Keseimbangan demikianlah menjadi alat yang sangat bijak bagi mahasiswa dalam mentransfer pesan, bahkan melakukan pendampingan di masyarakat dalam membantu pemerintah menyukseskan gerakan-gerakan literasi yang disebutkan di atas. (*)




Jumat, 02 September 2022

Manusia sebagai Makhluk Naratif


Manusia itu makhluk naratif. Makhluk pencerita: pembuat dan pewaris cerita. Warisan adiluhung yang tak terwariskan secara baik. Justru kita ada hari ini karena ada cerita hari kemarin. Demikian Prof. Stephanus Djawanai,M.A., suatu ketika dalam omong-omong di ruang kerjanya. Dan, hari kemarin di akhir Agustus 2018, cerita kala itu terngiang kembali ketika mendengar berita kepulangan keharibaan Sang Khalik, Prof. Steph, pakar linguistik Indonesia asal Bajawa Flores yang rendah hati itu.

Kekuatan cerita terletak pada bagaimana kita menenunnya ke dalam rangkaian bahasa sehari-hari agar mudah diingat dan diwarisi.


Bahasa Adalah Rentetan Cerita

Menurutnya, bahasa itu sendiri adalah sebuah rentetan cerita atau tutur yang merupakan pencapaian tertinggi evolusi kesadaran manusia yang digunakan dalam berpikir, berkisah, bercakap tentang dirinya juga tentang apapun di sekitarnya. Bercerita akan melahirkan nilai keindahan spiritual bagi peradaban manusia.

Profesor yang sangat concern dengan budaya, terutama pada upaya membangun pendidikan seturut ekologi manah (mind). Manah menjadi penting agar para lulusan atau generasi kita dapat mengatur pola pikir, pola pikir menguasai perasaan, perasaan menentukan sikap hidup, sikap hidup memandu perilaku, perilaku membangun watak kepribadian dan watak kepribadian menentukan jalan hidup demi membangun bangsa.

Cerita tentang hidupmu dan orang-orang di sekitarmu pun telah sampai di tapal batas. Tuhan telah memanggilmu pulang sebagai "Pencerita" bersama barisan para Kudus di Surga.

Selamat jalan Prof. Steph. Amal ibadahmu mendapat tempat yang layak di Sisi Tuhan. (*)