Jika Anda mendapatkan sebuah cerita, jagalah sebaik-baiknya. Belajarlah untuk menyampaikan kepada orang yang membutuhkannya. Untuk dapat bertahan hidup kadangkala seseorang lebih membutuhkan cerita daripada makanan (Bary Lopes).
Pembelajaran dengan bercerita bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Jauh sebelum
orang mengenal bahasa tulis, cerita telah digunakan dalam proses pembelajaran.
Data mengenai hal ini paling tidak dapat kita temukan dalam pengajaran yang
dilakukan nenek moyang kita. Seluruh karya dan perjalanannya dilakukan dengan
bercerita.
Jika diamati secara serius, tradisi bercerita ini perlahan mulai ditinggalkan, seiring ditemukannya buku serta
berkembangnya teknologi informasi yang semakin pesat. Namun demikian, tidak serta merta orang senang membaca buku, termasuk buku
cerita. Cerita yang kaya akan nilai telah banyak ditinggalkan orang sehingga
merekapun kehilangan nilai-nilai universal dalam hidupnya. Kita percaya melalui pembelajaran di kelas berbagai cerita akan disebarkan
ke
tengah publik untuk mendapatkan pesannya. Karena
itulah berceritalah. Bercerita membangkitkan daya nalar siapa saja,
terlebih bagi para siswa generasi masa depan untuk menghadapi kehidupannya kelak.
Cerita merupakan bagian tidak
terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia. Hampir setiap daerah memiliki
cerita yang disebut cerita rakyat. Pada awalnya cerita tersebut berkembang dari
mulut ke mulut. Karena itu sering kali cerita
rakyat tidak diketahui kapan dan siapa orang yang pertama kali memperkenalkan
cerita tersebut. Secara pasti setiap cerita mengandung maksud dan nilai yang
akan disampaikan bagi para pendengarnya. Karena
cerita disampaikan secara lisan, maka
nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut dapat menjadi milik semua orang, terinternalisasi dalam diri
pendengarnya. Dengan demikian, pendengar tidak hanya dapat menceritakan cerita
tersebut kepada generasi berikutnya, tetapi
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi bagian dan referensi hidupnya.
Kesepakatan
World Economic Forum tahun 2015 tentang
enam literasi dasar menjadi tanggung
jawab penuh semua elemen masyarakat, baik itu orang tua, masyarakat umum,
maupun lembaga-lembaga pendidikan di negara ini. Enam literasi dasar yang
disepakati tersebut, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi
sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan
kewargaan. Penggiatan literasi telah mendapat tempat yang
proporsional sebagai sebuah gerakan bersama yakni Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang diluncurkan pemerintah melalui Permendiknas Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Roh
Permendiknas ini menjadi instrumen pengayuh tanpa henti yang
dapat dilakukan oleh semua elemen di atas dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya budaya literasi di sekolah dan masyarakat umum.
Jika di satu pihak, cerita atau bercerita (berbicara) menjadi penting sebagai transfer pesan lisan kepada orang lain, maka pada saat yang sama aspek atau aktivitas lain yang juga memiliki urgensi yang sama yaitu menulis. Karena berbicara dan menulis adalah dua kegiatan yang sama-sama bersifat produktif. Mahasiswa sebagai generasi dan pemimpin masa depan harus bisa menjadi penulis sekaligus pencerita yang baik. Karena itu, sangat diyakini bahwa akan terjadi keseimbangan antara keterampilan menulis dan keterampilan berbicara (bercerita). Keseimbangan demikianlah menjadi alat yang sangat bijak bagi mahasiswa dalam mentransfer pesan, bahkan melakukan pendampingan di masyarakat dalam membantu pemerintah menyukseskan gerakan-gerakan literasi yang disebutkan di atas. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar