Halaman

Selasa, 07 Maret 2023

Bertahan Hidup dengan Cerita



Jika Anda mendapatkan sebuah cerita, jagalah sebaik-baiknya. Belajarlah untuk menyampaikan kepada orang yang membutuhkannya. Untuk dapat bertahan hidup kadangkala seseorang lebih membutuhkan cerita daripada makanan (Bary Lopes).

Pembelajaran dengan bercerita bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Jauh sebelum orang mengenal bahasa tulis, cerita telah digunakan dalam proses pembelajaran. Data mengenai hal ini paling tidak dapat kita temukan dalam pengajaran yang dilakukan nenek moyang kita. Seluruh karya dan perjalanannya dilakukan dengan bercerita.

Jika diamati secara serius, tradisi bercerita ini perlahan mulai ditinggalkan, seiring ditemukannya buku serta berkembangnya teknologi informasi yang semakin pesat. Namun demikian, tidak serta merta orang senang membaca buku, termasuk buku cerita. Cerita yang kaya akan nilai telah banyak ditinggalkan orang sehingga merekapun kehilangan nilai-nilai universal dalam hidupnya. Kita percaya melalui pembelajaran di kelas berbagai cerita akan disebarkan ke tengah publik untuk mendapatkan pesannya. Karena itulah berceritalah. Bercerita membangkitkan daya nalar siapa saja, terlebih bagi para siswa generasi masa depan untuk menghadapi kehidupannya kelak.

Cerita merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia. Hampir setiap daerah memiliki cerita yang disebut cerita rakyat. Pada awalnya cerita tersebut berkembang dari mulut ke mulut. Karena itu sering kali cerita rakyat tidak diketahui kapan dan siapa orang yang pertama kali memperkenalkan cerita tersebut. Secara pasti setiap cerita mengandung maksud dan nilai yang akan disampaikan bagi para pendengarnya. Karena cerita disampaikan secara lisan, maka nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut dapat menjadi milik semua orang, terinternalisasi dalam diri pendengarnya. Dengan demikian, pendengar tidak hanya dapat menceritakan cerita tersebut kepada generasi berikutnya, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi bagian dan referensi hidupnya.

Kesepakatan World Economic Forum tahun 2015 tentang enam literasi dasar  menjadi tanggung jawab penuh semua elemen masyarakat, baik itu orang tua, masyarakat umum, maupun lembaga-lembaga pendidikan di negara ini. Enam literasi dasar yang disepakati tersebut, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan. Penggiatan literasi telah mendapat tempat yang proporsional sebagai sebuah gerakan bersama yakni Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang diluncurkan pemerintah melalui Permendiknas Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Roh Permendiknas ini menjadi instrumen pengayuh tanpa henti yang dapat dilakukan oleh semua elemen di atas dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya budaya literasi di sekolah dan masyarakat umum.

Jika di satu pihak, cerita atau bercerita (berbicara) menjadi penting sebagai transfer pesan lisan kepada orang lain, maka pada saat yang sama aspek atau aktivitas lain yang juga memiliki urgensi yang sama yaitu menulis. Karena berbicara dan menulis adalah dua kegiatan yang sama-sama bersifat produktif. Mahasiswa sebagai generasi dan pemimpin masa depan harus bisa menjadi penulis sekaligus pencerita yang baik. Karena itu, sangat diyakini bahwa akan terjadi keseimbangan antara keterampilan menulis dan keterampilan berbicara (bercerita). Keseimbangan demikianlah menjadi alat yang sangat bijak bagi mahasiswa dalam mentransfer pesan, bahkan melakukan pendampingan di masyarakat dalam membantu pemerintah menyukseskan gerakan-gerakan literasi yang disebutkan di atas. (*)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar