Halaman

Kamis, 09 Maret 2023

Trend Pembelajaran: Dari Behaviorisme ke Konstruktivisme

 
Tren atau gaya mutakhir (KBBI, 2003) mempersyaratkan bahwa guru sebagai instrumental input, bahkan sutradara kelas harus ‘selalu’ mengorkestrasi kelas mengikuti gaya mutakhir pembelajaran. Syarat ini merupakan prioritas agar dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pembelajaran di kelas guru lebih siap dan matang dalam hal merancang persiapan, pemilihan bahan, metode, maupun parameter evaluasi untuk mengukur derajat keberhasilan (ketuntasan: KTSP) siswa dalam belajar. Untuk itu, demi sepadannya pemberian tunjangan yang cukup memadai di atas, adapun tuntutan yang diberikan kepada guru, yakni dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, sebagaimana diamanatkan Pasal 20. 
Sharing dan transaksi informasi pembelajaran ini akan saya gunakan sebaik mungkin untuk membagikan kepada Bapak/Ibu, sedikit tentang tren pembelajaran itu. Tren pembelajaran yang saya sharingkan pada kesempatan ini berkecenderungan pada tren pembelajaran kontekstual
1.        `Kecenderungan Pemikiran Tentang Belajar
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut.

1)        Proses Belajar

o    Belajar tidak sekedar menghafal, namun mengkonstruksi pengetahuan.

o    Anak belajar dari mengalami, bukan diberi begitu saja oleh guru.
o    Pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman tentang sesuatu persoalan (subject matter).
o    Pengetahuan tidak dapat dipisahkan menjadi fakta-fakta, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan, sehingga siswa dibiasakan memecahkan masalah.
o    Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Untuk itu, strategi belajar yang salah dan terus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, dan cara seseorang berperilaku.

2)        Transfer Belajar

o    Anak belajar dari mengalami, sendiri bukan pemberian orang lain.

o    Keterampilan dan pengetahuan diperluas dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit (sedikit-sedikit jadi bukit).
o    Penting bagi siswa tahu, untuk apa dia belajar, dan bagaimana dia menggunakan pengetahuan dan keterampilan tersebut.

3)        Siswa sebagai Pembelajar

o    Seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru. Jadi, Strategi belajar sangat penting.

o    Peran guru (orang dewasa) mengubungkan antara yang baru dengan yang sudah diketahui, sehingga tugas guru adalah memfasilitasi, agar informasi baru bermakna, guru sebagai sutradara.

4)        Pentingnya Lingkungan Belajar

o    Belajar efektif dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa: dari guru akting ke siswa akting.

o    Umpan balik penting bagi siswa, yang berasal dari penilaian yang benar.
o    Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok.
 2.        Kecenderungan Belajar yang Konstruktivistik
Menurut Zahorik (dalam Nurhadi,2009: 7) mengemukakan lima elemen belajar yang konstrutivistik. Lima elemen ini hendaknya diperhatikan dalam praktik pembelajaran kontekstual.
(1)     Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge ).
(2)     Pemerolehan pengetahuan baru dengan cara mempelajari secara saksama keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya (acquiring knowledge).
(3) Pemahaman pengetahuan dengan cara menyusun hipotesis, melakukan sharing agar mendapat tanggapan (validasi), dan revisi konsep dan dikembangkan (understanding knowledge ).
(4)     Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).
(5) Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut (reflecting knowledge).

3.        Kecenderungan Dengan Pembelajaran Kontekstual

Pertama, Konstruktivisme (constructivism)

Siswa dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi, bukan menerima pengetahuan. Pandangan konstruktivis, “strategi” memperoleh lebih diutamakan, dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan; (2) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka dalam belajar.

Kedua, Menemukan (Inquiry)

Inquiry merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang akan diajarkannya. Siklus inkuiri adalah:  (1) observasi (observation); (2) bertanya (questioning; (3) mengajukan dugaan (hiphotesis; (4) pengumpulan data (data gathering); dan penyimpulan (conclusion).

(1)     Merumuskan masalah.
Merumuskan masalah dapat dilakukan melalui mengamati atau melakukan observasi dengan: (a) membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi; dan (b) mengamati dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumber atau objek yang diamati
(2)     Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya.
Bertujuan untuk mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audiens dengan cara: (a) bertanya jawab dengan teman; (b) memunculkan ide-ide baru; (c) melakukan refleksi; dan (d) menempelkan karya di dinding kelas, majalah sekolah, dsb.
Ketiga, Bertanya (questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari bertanya. Bertanya (questioning) merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Kegiatan bertanya dipandang sebagai kegiatan untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Questioning dapat diterapkan di kelas antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dsb.

 Keempat, Masyarakat Belajar (Learning Community)

Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Dua orang anak dapat membentuk learning community. Hasil belajar dapat diperoleh melalui sharing, antara teman, antarkelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Di mana saja: di ruang ini, di kelas ini, di sekolah ini, di sekitar ini, atau orang-orang yang ada di luar sana, semuanya adalah anggota masyarakat belajar.

Masyarakat-belajar bisa terjadi apabila ada komunikasi dua arah. Seorang guru yang mengajari siswanya, bukan contoh masyarakat belajar, karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yakni informasi hanya datang dari guru ke siswa. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat pembelajaran saling belajar. Saling belajar terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, melainkan semua pihak saling mendengarkan.

Kelima, Pemodelan (Modelling)

Modelling maksudnya dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model ini bisa berupa cara mengoperasikan komputer, cara menendang bola, cara malafalkan bahasa Inggris, cara menulis karya ilmiah, dan sebagainya. Secara sederhana, ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci. Perlu diingat bahwa dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara melafalkan suatu kata. Di sini, siswa dikatakan sebagai model, namun, model juga bisa didatangkan dari luar.

Keenam, Refleksi (Reflection)

Reflection merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.

Ketujuh, Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)

Assessment adalah proses pengumpulan berbagai  data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Data yang demikian disebut data autentik.

Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah satunya. Itulah hakikat penilaian yang sebenarnya. Namun, perlu dibedakan bahwa, penilaian (assessment) merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi tentang pencapaian dan kemajuan belajar siswa, baik perseorangan maupun. Penilaian (evaluasi) merupakan kegiatan yang dirancang untuk mengukur keefektifan suatu sistem pendidikan nasional (PBK, 2002: 3). (*)







Langkah-langkah kegiatan menemukan (inquiry) sebagai berikut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar