Halaman

Kamis, 30 Maret 2023

Parameter Mengukur Kualitas Penutur Berbahasa Indonesia


 

Kemampuan Berbahasa Kita

Terdapat berbagai faktor, mengapa penggunaan bahasa Indonesia pebelajar belum memuaskan, walaupun agak ironis ketika usia bahasa Indonesia yang berembrio dari dialek Melayu ini telah lama diakui dan dimerdekakan sebagai bahasa negara. Selain faktor geografi dialek, juga geopolitik, serta kemajemukan etnik, agama, budaya, lingkungan sosiokultural, dan keanekaan bahasa daerah, faktor internal pebelajar bahasa juga menjadi hambatan mengapa bahasa negara ini belum berkembang baik dalam perihal penggunaannya, sekalipun pada kalangan elite cendikiawan dan kaum terpelajar. Koentjaraningrat (Chaer,2010:8–10) mengemukakan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara kemampuan berbahasa seseorang dengan sikap mental para penuturnya. Buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kelompok elite dan golongan intelektual dipengaruhi oleh sifat-sifat negatif yang melekat (inheren) pada sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat itu adalah (1) suka meremehkan mutu, (2) mental menerabas, (3) tuna harga diri, (4) tidak disiplin, (5) enggan bertanggung jawab, dan (6) suka latah atau ikut-ikutan.

Suka meremehkan mutu, tampak pada perilaku bahasa yang pokoknya mengerti. Sikap ini menyebabkan bahasa yang digunakan asal jadi. Orang lebih menggunakan bahasa untuk bisa dimengerti dengan alasan soal benar dan salah dalam berbahasa menjadi urusan guru bahasa bahasa Indonesia atau penyuluh bahasa Indonesia. Adanya sikap pragmatisme kontekstual.

Mental menerabas, tercermin dalam perilaku berbahasa yang memiliki ikhtiar untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tanpa disertai dengan keinginan untuk belajar. Mereka berpendapat bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa kita yang ada secara alami, yang akan bisa dikuasai tanpa belajar. Adanya klaim atau anggapan bahwa setiap penutur yang lahir di Indonesia pandai berbahasa Indonesia. Klaim ini bukan terjadi bagi masyarakat penutur tradisional, melainkan juga mengidap pada kategori kelompok masyarakat intelektualis. Bahkan, untuk kelompok ini, karena kecendikiaannya sehingga begitu gampang melakukan kesalahan.

Tuna harga diri, berarti tidak mau menghargai milik sendiri, tetapi sangat menghargai milik orang lain, orang asing atau budaya asing. Karena lebih menghargai bahasa asing, maka coba lihat saja di pintu-pintu masuk bertuliskan in bukan “masuk”, dan pintu keluar bertuliskan exit bukan “keluar”, keset-keset di depan kantor bertuliskan welcome bukan “selamat datang”, pada daun pintu yang dapat dibuka dua arah bertuliskan push dan pull, bukannya “dorong” dan “tarik”, dll. Adanya sikap memandang rendah bahasa Indonesia. Secara tidak langsung, sikap ini justru mengabaikan penghormatan dan apresiasi kita terhadap kebudayaan kita sendiri. Dapatlah kita pahami bahwa bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang merupakan kristalisasi bening dari khazanah budaya bangsa yang oleh keikhlasan dan ikhtiar para pemuda waktu itu telah menyepakati untuk dijadikan sebagai bahasa bangsa.

Tidak disiplin, tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas mengikuti kaidah tata bahasa. Patutlah kita amini bahwa kelupaan menggunakan bahasa Indonesia secara baik, diakibatkan juga oleh dinamika kebudayaan yang semakin pesat dan dahsyat. Kondisi demikian telah menembus tembok ketahanan diri yang telah kita bangun berabad-abad. Dinamika pesat ini telah turut mempengaruhi perubahan mental dan perilaku penutur bahasa, termasuk mental dan perilaku berbahasa.

Suka latah atau ikut-ikutan, tercermin dalam perilaku berbahasa yang selalu mengikuti saja ucapan orang lain, yang biasanya pejabat atau toko masayarakat yang mungkin secara semantik atau gramatikal tidak benar. kalau boleh kita jujur, peran kelompok elite kita untuk meramu dan mengemas regulasi yang berkorelasi dengan peningkatan kualitas berbahasa hampir tidak ditemukan. Misalnya, untuk urusan naik pangkat, menempati jabatan-jabatan politk, struktural, maupun fungsional, minimal harus bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selama ini, kalaupun ada itu hanya sebatas untuk urusan bisnis komersial belaka.

Secara sosiologis kemasyarakatan ada fakta yang sangat berpengaruh. Pertama, tingkat pendidikan rakyat rendah. Fakta ini begitu kuat dirasakan di tengah peredaran dan galaunya mekanisme pembangunan yang digalakkan pemerintah. Terlebih proses pembangunan di daerha-daerah pedesaan yang memiliki keterbatasan sumber daya manusia. Pada proses ini, pemerintah menggunakan istilah-istilah pembangunan dan politik yang formal, bahkan sangat susah diterjemahkan rakyat. Saluran komunikasi demikian akan buntu (stag) dan tak bermakna. Akhirnya, rakyat tetap tak tercerdaskan: pembangunan bangsa pun gagal dan gagal terus.

Kedua, kekurangpahaman dan kesadaran untuk berkomunikasi lisan dan tulis secara baik. Urusan ini hanya diserahkan kepada guru bahasa Indonesia. Jadi, kebanyakan hanya menjadi penonton. Tidak terlibat secara aktif dalam proses pembiasaan untuk menjadikan diri lebih baik dalam berbahasa. Kita pun diharap menyadari prinsip language arts and skill. Prinsip arts, mereferensi pada sesuatu yang original, kreatif, dan personal. Ini artinya, berbahasa merupakan kemampuan yang melekat secara imanensial dalam diri kita. Semuanya butuh kreativitas kita untuk mengembangkannya. Prinsip skill mereferensi pada sesuatu yang bersifat eksak, mekanis, dan impersonal. Ini artinya, membutuhkan keterampilan yang memadai untuk mendayagunakan kemampuan berbahasa, terutama pada aspek eksplorasi kecakapan berbahasa yang kita miliki.

Faktor-faktor yang disebutkan di atas disebabkan pula oleh kepesatan teknologi dan informasi melalui kepesatan media-media berbasis online. Penutur atau pengguna bahasa memiliki kepiawaian dan kemahiran dalam berbahasa multimedia, ketimbang kecakapan dan kemahiran dalam berbahasa tulis. Atas kondisi demikian, pengguna bahasa perlu diberikan pemahaman yang lebih mumpuni tentang bagaimana menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di media-media sosial. Kebenaran informasi yang disajikan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar sekalipun melalui media online menjadi jaminan bahwa informasi yang disampaikan adalah baik dan benar, di samping menjadi tanda bahwa penutur bahasa Indonesia memiliki sikap loyal terhada bahasa kenegaraan kita.

Meningkatkan Kemahiran Berbicara

Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara  berarti mengatakan sesuatu atau mengucapkan atau mengatakan dengan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan. Berbicara menjadi aktivitas rutin manusia yang tak pernah tergantikan sepanjang hari. Misalnya, memberikan informasi, memberi motivasi, mempersuasi, dll. Oleh karena itu, Berbicara merupakan salah satu kemampuan yang inheren (melekat) pada manusia. Kemahiran berbicara memungkinkan seseorang untuk dapat terampil dalam berkomunikasi lisan dan tulis, seperti terampil berpidato, berargumentasi, berdiskusi, dan bernegosiasi (Hendrikus,1991:14). Dengan demikian, retorika merupakan kesenian untuk berbicara baik (ars bene dicendi) yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne). Kesenian berbicara baik berarti kemampuan untuk berbicara atau berpidato secara singkat, jelas, padat, dan mengesankan, bukan sebaliknya.

Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengingkapan yang tepat dan daya pembuktian dan penilaian yang tepat. Jadi, retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian, dan kesanggupan berbicara. Kesanggupan dan keterampilan untuk menguasai seni berbicara dapat dicapai dengan mencontohi para retor terkenal (imitatio), dengan mempelajari dan menggunakan hukum-hukum retorika (doctrina), dan melakukan latihan yang teratur (exercitium). Dituntut pula penguasaan bahan (res) dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa (verba).

Ilmu Retorika berhubungan dengan dialektika dan elocutio. Dialektika adalah metode untuk mencari kebenaran lewat diskusi dan debat. Dengan dialektika, orang mampu menyelami suatu masalah (intellectio), mengemukakan argumentasi (inventio), dan menyusun jalan pikiran secara logis (dispositio). Elocutio adalah kelancaran berbicara. Elocutio menjadi prasyarat kepandaian berbicara.

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan, informasi, ide, gagasan, pendapat, penjelasan, data, berita, dari individu atau pihak tertentu ke individu atau pihak yang lain dengan suatu maksud tertentu. Pesan atau ide yang disampaikan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Pada titik ini, bahasa berfungsi sebagai enigma, bahkan suatu keajaiban. Bahasa telah memungkinkan orang untuk berkumpul dan menjadi bersama sebagai gambaran atau perwujudan kondisi eksistensial terjadinya struktur dialogis wacana apapun dan menjelma sebagai suati cara masuk untuk mengatasi kesendirian fundamental setiap manusia (Ricoeur,2003:43). Sebagai alat komunikasi, bahasa menjadi media atau saluran perumusan dan penyampaian maksud. Media melahirkan dan mengekspresikan perasaan dalam memungkinkan adanya kerja sama antara individu maupun kelompok (Keraf,2004:8). Dengan demikian, setiap orang, terutama peserta didik perlu meningkatkan frekuensi latihan berbicara secara berkelanjutan dan dilaksanakan secara efektif agar potensi dan kemahiran berbahasa tulis terus ditingkatkan. Jika demikian, maka komunikasi yang tercipta semakin memberikan peluang untuk meningkatkan kerja sama yang komunikatif dengan publik atau masyarakat luas.

Membangun Ruang Kesadaran Baru

Dalam sentra usia bahasa Negara yang kesekian ini, hendaknya menjadi momentum bersejarah. Momentum untuk berhenti sejenak dan merefleksi, sejauh mana rasa kebangsaan yang mengendap dan mengental pada kita. Mungkinkah ada ruang harapan tersisa (meminjam istilah Romo Mudji Sutrisno: sanctuary), untuk sebuah proses pembatinan dalam upaya tapak undur agar lebih menghayati bahasa Indonesia sebagai identitas tak terbantahkan dalam alur jatuh bangun dan maju mundurnya peradaban bangsa ini? Indonesia sangat beruntung karena masalah bahasa sudah tertangani secara lebih baik, jauh sebelum Proklamasi dan Sumpah Pemuda. Tahun 1926, Soekarno melalui ide nasionalismenya telah mempropagandakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa dan bahasa perjuangan (Bung Karno dan Pancasila,Tim Nusa Indah Ende, 2006:27).

Atas keberhasilan yang demikian, masih ada sejumlah celah yang harus ditutup agar bahasa Indonesia pada masa depan bisa lebih baik. Di antaranya memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sudah lewat, terutama imperealisme bahasa, politik bahasa tetap mempertimbangkan keragaman   bahasa. Untuk itu, politik bahasa yang perlu dikembangkan adalah politik bahasa yang egaliter dalam menghormati keragaman-keragaman dimaksud. Ini membuktikan bahwa fungsi bahasa tetap menjadi cerminan dan refleksi realitas yang senantiasa dipertahankan sebagai agregasi dan artikulasi kepentingan publik.

Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa, menurut Pateda, dapat mewujud dalam dua kenyataan, yakni bahasa Indonesia menampakkan diri sebagai identitas fonik, dan Merah Putih serta Garuda Pancasila sebagai wujud fisik. Ketika mendengar bunyi, oh…kakiku”, serta merta kita mengatakan, pembicara itu adalah orang Indonesia, tidak melihat bahwa apakah dia orang Jawa, Sumatera, Flores. Sebaliknya, ketika melihat sebuah gedung yang di sekitarnya berkibar bendera Merah Putih, dan di depan pintunya ada gambar Burung Garuda, maka kita dapat memastikan bahwa gedung tersebut adalah gedung perwakilan Republik Indonesia.

Dengan sebuah kesadaran bahwa bahasa Indonesia yang merupakan identitas bangsa juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan bangsa, yang mau atau tidak mau juga mempersoalkan tentang bahasa. Kesadaran dimaksud beirmplikasi pada kesadaran tentang identitas bangsa. Tentang identitas, Emil Salim (1990) menegaskan bahawa upaya mempertahankan identitas merupakan prioritas yang harus diperjuangkan mati-matian dengan ciri utama menjaga keseimbangan antara aspek material maupun spiritual.

Penutup

Mengacu pada berbagai peristiwa akhir-akhir ini, seperti kenakalan remaja, premanisme penyalahgunaan kuasa dan wewenang, sesungguhnya menyiratkan adanya krisis jati diri atau identitas yang substansif. Persoalan ini ketika ditautkan dengan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, maka pengajaran kebangsaan tetap menjadi aktual dan relevan untuk tetap menjadi pertimbangan prioritas untuk diberikan pada lembaga-lembaga formal kita, karena perihal jiwa kebangsaan hanya diikutkan pada mata pelajaran-mata pelajaran lain. Usaha mempertahankana bahasa Indonesia sebagai sebuah identitas bangsa wajib diupayakan dalam mengisi tahapan pembangunan, termasuk memajukan pendidikan bangsa ini dengan menggunakannya sebagai sarana pembangunan kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, kita berangkat dengan sebuah cita-cita bahwa bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa dapat membentuk insan Indonesia cerdas kompetitif di atas fundasi peradaban bahasa kita sendiri. (*)

Daftar Pustaka

Chaer,Abdul.2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Hendrikus, Dori Wuwur. 1991. Retorika: Termapil Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi. Yogyakarta: Kanisius.

Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Ende: Nusa Indah.

Ricoeur, Paul. 2003. Filsafat Wacana, Membedah Makna dalam Anatomi Bahasa. Terjemahan oleh Musnur Hery. 2003. Yogyakarta: IRCiSoD.

Sugono, Dendy. 2004. Berbahasa Indonesia Dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara.

Tim Nusa Indah Ende. 2006. Bung Karno dan Pancasila. Ende: Nusa Indah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar