Pemerolehan bahasa secara universal, sebagaimana juga terjadi pada berbagai bahasa di dunia, sangat erat hubungannya dengan faktor-faktor budaya. Segala ciptaan pengetahuan seseorang dapat juga dimiliki oleh orang lain dan dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya. Pergeseran dan pemertahanan bahasa adalah dua gejala kebahasaan yang saling terkait. Kedua gejala kebahasaan ini juga tidak bisa terlepas dari gejala persaingan bahasa. Bahasa dikatakan mengalami pergeseran ketika masyarakat mulai meninggalkan bahasa tradisionalnya (bahasa daerah atau bahasa ibu). Akibat lanjut dari pergeseran bahasa adalah terpinggirkannya suatau bahasa dan termuliakannya bahasa yang lain.
Apabila bahasa yang terpinggirakan itu benar-benar ditinggalkan para penuturnya, bahasa itu dianggap bahasa yang terancam punah. Pemertahanan bahasa perlu dilakukan agar bahasa daerah yang terancam punah tersebut hidup dan dituturkan kembali oleh masyarakat pemakainya. Bahasa sangat erat hubungannya dengan komunikasi. Masyarakat Indonesia yang pada umumnya adalah masyarakat pemakai dua bahasa (bahasa ibu (daerah) dan bahasa indonesia), mempunyai kemungkinan besar dapat menciptakan konflik kebahasaan.
Setiap insan tentunya
memiliki budaya yang merupakan warisan leluhur yang selalu melekat dan tetap dijaga hingga saat ini. Budaya
mengajarkan kita untuk patuh dan
taat dapat dijadikan sebagai pola hidup
pada tradisi yang telah diwariskan. Budaya yang telah diwariskan akan
bertumbuh, dan berkembang dalam jiwa dan
sanubari setiap insan di bumi pertiwi ini.
Selain itu, dapat memberikan
energi untuk menanamkan nilai dan etos kerja sebagai pilihan perdana dan
keutamaan dalam konsep hidup.
Kelayakan hidup sebagai
manusia demi nilai, dan demi harga diri sebagai manusia, patut ditulis kembali
dengan berbasiskan data warisan masa lalu yang tersimpan dalam kemasan
bahasa-bahasa lokal. Ini tugas kita semua, tanpa kecuali. Hidup yang sedang
kita jalani ini sesungguhnya sesuatu yang nyata, sarat makna, dan nilai. Jadi,
khazanah budaya, nilai, dan falsafah kita sekaligus yang menjadi idiologi etnik
dan komunitas patut digali dan ditulis kembali dengan bahasa (lokal) baru, dan
ditanamkan kembali pula kepada kaum muda melalui berbagai bentuk pengajaran,
kendati transformasi sosial budaya telah menawarkan wujud kerja yang sudah
berubah.
Mahasiswa sebagai
intelektual muda wajib memiliki, memahami, dan menguasai, pengetahuan tentang budayanya. Itu bukan
berarti kita abai untuk menguasai pengetahuan orang lain atau dunia luar.
Namun, kita perlu memiliki basis juga landasan tentang identitas kita secara
lebih utuh. Jika demikian, maka masing-masing berusaha untuk merawat tradisi budayanya, termasuk bahasa
daerahnya dengan baik agar tidak tergerus oleh arus perkembangan zaman dan teknologi
yang kian pesat.
Budaya dan ekologi atau
lingkungan merupakan satu kesatuan ekosisitem yang tidak dapat dipisahkan karena bertautan dengan
prinsip-prinsip relasi pada jenjang yang lebih tinggi dan lebih luhur lagi. Menjaga
dan merawat keharmonisan hidup dengan Tuhan Allah yang kita sembah, sesama
manusia, dengan lingkungan alam tempat kita berpijak, serta berdamai dengan alam adalah guru natural, bahkan juga dengan
segala sesuatu yang tidak kasat indera, adalah keniscayaan yang paling dalam.
Banyak prinsip kehidupan yang terkandung dalam budaya dan dalam kemasan
bahasa-bahasa lokal yang perlu digali dan dikaji. Sebab, bahasa daerah telah
mengajarkan banyak hal, antara lain tentang moral, etika, logika,
kesetiakawanan, solidaritas, yang musti dijaga dan diwariskan terus-menerus
keppeada generasi yang akan dating. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar