Bhinneka Tunggal Ika merupakan
simbol kemajemukan atau keragaman bangsa Indonesia yang kita cintai ini.
Kemajemukan ini perlu diapresiasi sebagai kekayaan dalam memperkuat persatuan
dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita bangun
bersama ini. Fakta kemajemukan Bhinneka Tunggal Ika, semboyan
bangsa yang terwaris sejak Kerajaan Majapahit pada abad XV dalam Sutasoma,
diakui sebagai Adicita
(ideology) perekat bangsa Indonesia yang multietnik. Menurut kami, simbol-simbol
kebangsaan ini juga adalah sebuah estetika keindahan dalam kehidupan berbangsa
dan bertanah air.
Disadari atau
tidak, bangsa dengan aneka kekayaannya, termasuk soal budaya harus dimanfaatkan
sebagai sumber daya, energi, dan modal sosial-kultural pembangunan bangsa. Tidak
sekadar ergon,
sebuah hasil perbuatan, melainkan juga sebagai energia, kekuatan, tenaga, yang aktif dan dinamis. Dalam konteks ini, kebhinekaan
menjadi energia
histories, motivasi yang telah menghantar manusia bangsa ini mengalami proses peradaban
yang lebih modern. Oleh karena
itu, sebagai masyarakat yang multietnik
dan multilingual, anggota masyarakatnya mesti hadir sebagai “rawi”
sekaligus “ragi”. Sebagai “rawi” penggembur ladang Indonesia yang luas dan
lapang. Merawi peradaban budaya dengan lurus dan ikhlas. Sebagai “ragi” merekat
relasi-relasi kemanusiaan secara adil, berimbang, serasi, dan merata antaretnik
dan guyub kultur.
Proses penguatan ini perlu direkat kuat-kuat pada masa yang akandatang ketika kecenderungan diperhadapkan
pada krisis-krisis dan tantangan-tantangan terhadap bangsa, sesama, dan alam raya. Proses peradaban ini perlu
diusahakan terus-menerus sehingga secara kolektivitas anggota-anggota
masyarakat perajut kebudayaan semakin manusiawi dalam struktur masyarakat dan negara
untuk saling menghormati, harkat dan martabat sebagai manusia yang bernilai dan
berguna bagi dirinya dan orang lain. Sebuah rentang dan ruang waktu peradaban yang humanis untuk teguh berdiri dan berjalan di atas
nilai-nilai kemanusiaan yang majemuk. Toynbee melukiskan rentang dan ruang peradaban ini sebagai rise and fall (Sutrisno, 2005:61). Ruang dan rentang jatuh-bangun manusia
sebagai pewaris kebudayaan yang terus berusaha
menentukan peradaban atas kebudayaannya sendiri secara baik.
Sebagai anggota masyarakat budaya kita
bertanggung jawab membangun pribadi keinsanan individu, dan memupuk kehalusan
adab dan budi agar menjadi masyarakat yang berperadaban dan berperilaku luhur
sebagai anggota komunitas. Agar nilai-nilai kristalisasi bangsa ini dapat
berfaedah demi menempah hati yang keras menjadi halus, tidak sopan menjadi
sopan, tidak menghargai menjadi menghargai, buruk menjadi baik, lembut dan
penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Memiliki perasaan,
kepekaan dan sensitivitas kemanusiaan yang tinggi, sehingga terhindar dari
tindakan-tindakan yang destruktif, sempit, kerdil dan picik. Mari mempertebal rasa kebangsaan, dan
menghindari erosi kebangsaan melalui jalan budaya.
Bangsa Indonesia yang satu hanya bisa menatap masa depan yang cerah dan
beradab kalau ia dengan rendah hati berdamai dengan kekelaman masa lampau
sambil berdoa kepada Tuhan Sumber Kehidupan. Manusia Indonesia
perlu mengembangkan humanitas diri pada setiap individu
(Endraswara, 2017:1). Humanitas yang dimaksudakan di sini berkenaan dengan
sesuatu yang inheren, melekat pada setiap individu. Ibarat cinta, manusia
Indonesia secara terus-menerus merawat dan memupuk cinta akan bangsa tercinta
ini. Jalan pendidikan menjadi salah satu jalan yang paling relevan untuk
pembibitan dan internalisasi nilai-nilai kehidupan bagi generasi masa depan.
Ini berarti untuk merawat persatuan dan kesatuan negara ini setiap warga mulai
dari pejabat sampai rakyat kecil atau akar rumput wajib saling mendengarkan,
menghindarkan diri dari kebohongan lewat media sosial, lalu saling mengampuni
setelah bertobat dari dosa dan kesalahan yang dilakukan. Tindakan
ini dilakukan bukan saja oleh mereka yang masih hidup, bahkan mereka yang sudah
matipun turut terlibat di dalamnya.
Ini berarti, fakta
perbedaan yang ada dalam ruang besar bangsa Indonesia, jangan dijadikan sebagai
penghalang dan penghambat dalam upaya mencapai kesejahteraan dan kemaslahatan
seluruh masyarakat Indonesia. Jika, generasi muda, mahasiswa, dan kaum milenial
betul-betul meresapi dan menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan yang
termaktum dalam pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara (Sekretariat
Jenderal MPR RI: 2012), maka perbedaan-perbedaan yang ada menjadi pilar
penyanggah dalam merayakan keragaman entitas yang ada dalam bangsa yang
sama-sama kita cintai ini. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar