Halaman

Jumat, 10 Maret 2023

Bhinneka Tunggal Ika: Estetika Keindahan Berbangsa

 


Bhinneka Tunggal Ika merupakan simbol kemajemukan atau keragaman bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Kemajemukan ini perlu diapresiasi sebagai kekayaan dalam memperkuat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita bangun bersama ini. Fakta kemajemukan Bhinneka Tunggal Ika, semboyan bangsa yang terwaris sejak Kerajaan Majapahit pada abad XV dalam Sutasoma, diakui sebagai Adicita (ideology) perekat bangsa Indonesia yang multietnik. Menurut kami, simbol-simbol kebangsaan ini juga adalah sebuah estetika keindahan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.

Disadari atau tidak, bangsa dengan aneka kekayaannya, termasuk soal budaya harus dimanfaatkan sebagai sumber daya, energi, dan modal sosial-kultural pembangunan bangsa. Tidak sekadar ergon, sebuah hasil perbuatan, melainkan juga sebagai energia, kekuatan, tenaga, yang aktif dan dinamis. Dalam konteks ini, kebhinekaan menjadi energia histories, motivasi yang telah menghantar manusia bangsa ini mengalami proses peradaban yang lebih modern. Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang multietnik dan multilingual, anggota masyarakatnya mesti hadir sebagai “rawi” sekaligus “ragi”. Sebagai “rawi” penggembur ladang Indonesia yang luas dan lapang. Merawi peradaban budaya dengan lurus dan ikhlas. Sebagai “ragi” merekat relasi-relasi kemanusiaan secara adil, berimbang, serasi, dan merata antaretnik dan guyub kultur.

Proses penguatan ini perlu direkat kuat-kuat pada masa yang akandatang ketika kecenderungan diperhadapkan pada krisis-krisis dan tantangan-tantangan terhadap bangsa, sesama, dan alam raya. Proses peradaban ini perlu diusahakan terus-menerus sehingga secara kolektivitas anggota-anggota masyarakat perajut kebudayaan semakin manusiawi dalam struktur masyarakat dan negara untuk saling menghormati, harkat dan martabat sebagai manusia yang bernilai dan berguna bagi dirinya dan orang lain. Sebuah rentang dan ruang waktu peradaban yang humanis untuk teguh berdiri dan berjalan di atas nilai-nilai kemanusiaan yang majemuk. Toynbee melukiskan rentang dan ruang peradaban ini sebagai rise and fall (Sutrisno, 2005:61). Ruang dan rentang jatuh-bangun manusia sebagai pewaris kebudayaan yang terus berusaha menentukan peradaban atas kebudayaannya sendiri secara baik.

Sebagai anggota masyarakat budaya kita bertanggung jawab membangun pribadi keinsanan individu, dan memupuk kehalusan adab dan budi agar menjadi masyarakat yang berperadaban dan berperilaku luhur sebagai anggota komunitas. Agar nilai-nilai kristalisasi bangsa ini dapat berfaedah demi menempah hati yang keras menjadi halus, tidak sopan menjadi sopan, tidak menghargai menjadi menghargai, buruk menjadi baik, lembut dan penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Memiliki perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaan yang tinggi, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit, kerdil dan picik. Mari mempertebal rasa kebangsaan, dan menghindari erosi kebangsaan melalui jalan budaya.

Bangsa Indonesia yang satu hanya bisa menatap masa depan yang cerah dan beradab kalau ia dengan rendah hati berdamai dengan kekelaman masa lampau sambil berdoa kepada Tuhan Sumber Kehidupan. Manusia Indonesia perlu mengembangkan humanitas diri pada setiap individu (Endraswara, 2017:1). Humanitas yang dimaksudakan di sini berkenaan dengan sesuatu yang inheren, melekat pada setiap individu. Ibarat cinta, manusia Indonesia secara terus-menerus merawat dan memupuk cinta akan bangsa tercinta ini. Jalan pendidikan menjadi salah satu jalan yang paling relevan untuk pembibitan dan internalisasi nilai-nilai kehidupan bagi generasi masa depan. Ini berarti untuk merawat persatuan dan kesatuan negara ini setiap warga mulai dari pejabat sampai rakyat kecil atau akar rumput wajib saling mendengarkan, menghindarkan diri dari kebohongan lewat media sosial, lalu saling mengampuni setelah bertobat dari dosa dan kesalahan yang dilakukan. Tindakan ini dilakukan bukan saja oleh mereka yang masih hidup, bahkan mereka yang sudah matipun turut terlibat di dalamnya.

Ini berarti, fakta perbedaan yang ada dalam ruang besar bangsa Indonesia, jangan dijadikan sebagai penghalang dan penghambat dalam upaya mencapai kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh masyarakat Indonesia. Jika, generasi muda, mahasiswa, dan kaum milenial betul-betul meresapi dan menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan yang termaktum dalam pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara (Sekretariat Jenderal MPR RI: 2012), maka perbedaan-perbedaan yang ada menjadi pilar penyanggah dalam merayakan keragaman entitas yang ada dalam bangsa yang sama-sama kita cintai ini. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar