Halaman

Kamis, 16 Maret 2023

Pancasila sebagai Rumah Kebangsaan

 


Nasionalisme Indonesia yang dibangun dalam Rumah Pancasila dengan lima tiang utama perlu dijaga, dirawat. Melestarikan nilai-nilai luhur yang tercantum di dalamnya agar tidak keropos dimakan rayap kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sampai hari ini, fakta korupsi adalah fakta yang telah ikut menggerus nilai-nilai edukatif kebangsaan yang telah dipraktikkan dan bahkan diwariskan pendahulu bangsa untuk generasi muda bangsa ini. Sayangnya, godaan pragmatisme dan kesombongan egoisme orang perorang menjadikan bangsa ini menjadi “buah bibir” warga bangsa sendiri, maupun dunia luar akan praktik-praktik tidak terpuji itu. Lantas, apakah bangsa ini menyerah dan terus membiarkan kesombongan orang-orang yang tipis nurani dan hatinya itu untuk terus menggerus bangsa ini melalui perbuatan-perbuatan terkutuk tersebut? Tentu, semua elemen bangsa secara spontan dan tegas menjawab tidak.

Untuk itu, salah satu upaya yang dapat diterapkan adalah meresapi dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam dasar Negara kita, yaitu Pancasila. Nilai-nilai demikian adalah kristalisasi dan serapan nilai-nilai yang ada dalam keragaman hidup berbangsa Indonesia. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi wajib “merapal” nilai-nilai tersebut untuk menjadi acuan dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupannya sehari-hari. Jika demikian, maka lembaga-lembaga pendidikan terus dibenah, diperkuat, diawasi dalam rancang bangun kurikulum dan penerapannya.  Arah dan mekanisme pembelajaran, secara khusus Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila terus diupayakan menjadi pembelajaran kebangsaan yang berfungsi sebagai wadah menanam dan menebalkan semangat patriotism dan cintah tanah air.

Pancasila sebagai Rumah Kebangsaan

Ketika dibuang ke Ende tahun 1934–1938 Soekarno berhasil memungut gagasan-gagasan dasar dari budaya-budaya yang diamati dan dijumpainya, dan beliau “merajut”, mentransformasikannya, menjadi suatu “candi intelektual yang dikenal dengan nama Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi dasar bangunan Negara Republik Indonesia (Djawanai, 2013: 99). Yang menarik bahwa beliau mengaitkan semua sila dengan konsep tradisional gotong royang. Menurut beliau, untuk membangun Indonesia, gotong royang harus menjadi alat transformasi sosial budaya. Sebab dalam gotong royong semua saling menghargai dan tolong menolong meskipun berbeda etnik, ras, kepercayaan. Inilah romantisme Bung Karno dalam membangun konsep kebangsaan Indonesia.

Jika kita runut, cita-cita dan bangunan kebangsaan Indonesia telah diikhrarkanoleh para pemuda dalam momentum historis Sumpah Pemuda. Sejak saat itulah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang pluralisttik menjadi harga mati. Bukan homogenitas. Meskipun konsepnya atau butir-butir ikhrar diawali dengan kata ‘Kami’, namun makna semantis dalam pernyataan atau sumpah tersebut adalah kekitaan kolektif. Karena para pemuda yang datang dari berbagai pelosok nusantara berasal dari beragam etnis, budaya, dan agama. Dengan kata lain, Sumpah Pemuda hendak menandaskan tentang hakikat menjunjung dan merawat bangsa dalam semangat bersama-sama. Tanpa dilandasi kebersamaan cita-cita memajukan bangsa tidak dapat tercapai dengan baik.

Telah adanya konsensus dan semangat kesediaan untuk saling menerima dalam keperbedaan identitas masing-masing. Persatuan Indonesia itu begitu kuat karena dengan menjadi Indonesia orang Jawa tak perlu takut kehilangan budaya Jawanya, orang Batak tak perlu takut kehilangan kebiasaan Bataknya, orang Flores akan menjadi luas pandangannya. Gambaran Sumpah Pemuda sebetulnya mencerminkan kekitaan kolektif berbangsa. Kekolektifan berbangsa tersebut semakin dimurnikan dan tampak secara jelas dalam sila-sila Pancasila, khususnya Persatuan Indonesia. Pancasila dengan jelas menyatakan bahwa Indonesia milik kita semua tanpa membeda-bedakaan mana yang mayoritas dan minoritas. Oleh sebab itu semboyan Biineka Tunggal Ika dan toleransi agama yang sudah diwariskan harus terus digembur di tengah keragaman Indonesia. Dengan demikian, tugas bersama semua elemen ke depan adalah mengurangi konflik berdarah yang terjadi di berbagai tempat di nusantara.

Soekarno di Ende, menggagas sebuah rumah Indonesia. Paling kurang ada kiat untuk upaya reaktualisasi nilai-nilai perjuangan Soekarno di Ende yang perlu digelorakan dari waktu ke waktu demi menghindari efek amnesia sejarah generasi masa depan kita. Terutama, bagaimana memandang keragaman Indonesia sebagai anugerah terindah yang patut dihidupi dari waktu ke waktu.

Dengan demikian, adalah suatu komitmen bersama untuk menjadikan bangsa ini bebas dari segala kekerasan. Tentunya, generasi muda menjadi prioritas. Sebab mereka adalah pemegang estafet masa depan bangsa. Kalau pendidikan nilai dan proses internalisasi tidak mendapat skala prioritas dalam pembangunan ke depan, maka bukan tidak mungkin kita akan menghadapi badai beruntun yang tanpa disadari akan menggoyahkan bangsa ini.

Uraian yang disajikan di atas menggambarkan kondisi faktual Indonesia dalam perspektif Bhinneka Tunggal Ika sebagai simbol kebangsaan Indonesia yang plural, dan Pancasila sebagai “candi intelektual” yang menjadi dasar dan idiologi negara. Indonesia masih menjadi sebuah cita-cita yang belum selesai. Perlu diupayakan terus-menerus dari berbagai aspek kehidupan untuk mencapai cita-cita bersama adil dan makmur.Jika ini sebuah teks, maka Indonesia juga merupakan sebuah teks yang sangat luas. Di dalam teks itulah memungkinkan semua orang untuk hidup dan membangun keselarasan antara satu orang dengan orang yang lain demi tercapainya sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan mandiri, sebagaimana yang pernah digagas dan diidamkan oleh Bung Karno dalam pidatonya 17 Agustus 1964, tentang Tahun Vivere Pericoloso yang menekankan pada “Trisakti”: berkedaulatan dalam bidang politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkpribadian dalam bidang sosial budaya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar