Nasionalisme Indonesia yang dibangun dalam “Rumah Pancasila” dengan lima tiang utama perlu dijaga, dirawat.
Melestarikan nilai-nilai luhur yang tercantum di dalamnya agar tidak keropos
dimakan rayap kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sampai hari
ini, fakta korupsi adalah fakta yang telah ikut menggerus nilai-nilai edukatif
kebangsaan yang telah dipraktikkan dan bahkan diwariskan pendahulu bangsa untuk
generasi muda bangsa ini. Sayangnya, godaan pragmatisme dan kesombongan egoisme
orang perorang menjadikan bangsa ini menjadi “buah bibir” warga bangsa sendiri,
maupun dunia luar akan praktik-praktik tidak terpuji itu. Lantas, apakah bangsa
ini menyerah dan terus membiarkan kesombongan orang-orang yang tipis nurani dan
hatinya itu untuk terus menggerus bangsa ini melalui perbuatan-perbuatan
terkutuk tersebut? Tentu, semua elemen bangsa secara spontan dan tegas menjawab
tidak.
Untuk itu, salah satu upaya yang dapat diterapkan adalah meresapi dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam dasar Negara kita, yaitu Pancasila. Nilai-nilai demikian adalah kristalisasi dan serapan nilai-nilai yang ada dalam keragaman hidup berbangsa Indonesia. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi wajib “merapal” nilai-nilai tersebut untuk menjadi acuan dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupannya sehari-hari. Jika demikian, maka lembaga-lembaga pendidikan terus dibenah, diperkuat, diawasi dalam rancang bangun kurikulum dan penerapannya. Arah dan mekanisme pembelajaran, secara khusus Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila terus diupayakan menjadi pembelajaran kebangsaan yang berfungsi sebagai wadah menanam dan menebalkan semangat patriotism dan cintah tanah air.
Pancasila sebagai Rumah Kebangsaan
Ketika
dibuang ke Ende tahun 1934–1938 Soekarno
berhasil memungut gagasan-gagasan dasar dari budaya-budaya yang diamati dan
dijumpainya, dan beliau “merajut”, mentransformasikannya, menjadi suatu “candi
intelektual”
yang dikenal dengan nama Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi dasar
bangunan Negara Republik Indonesia (Djawanai, 2013: 99). Yang menarik bahwa
beliau mengaitkan semua sila dengan konsep tradisional gotong royang. Menurut
beliau, untuk membangun Indonesia, gotong royang harus menjadi alat
transformasi sosial budaya. Sebab dalam gotong royong semua saling menghargai
dan tolong menolong meskipun berbeda etnik, ras, kepercayaan. Inilah romantisme
Bung Karno dalam membangun konsep kebangsaan Indonesia.
Jika
kita runut, cita-cita dan bangunan kebangsaan Indonesia telah diikhrarkanoleh
para pemuda dalam momentum historis Sumpah Pemuda. Sejak saat itulah persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia yang pluralisttik menjadi harga mati. Bukan
homogenitas. Meskipun konsepnya atau butir-butir ikhrar diawali dengan kata ‘Kami’,
namun makna semantis dalam pernyataan atau sumpah tersebut adalah kekitaan
kolektif. Karena para pemuda yang datang dari berbagai pelosok nusantara
berasal dari beragam etnis, budaya, dan agama. Dengan kata lain, Sumpah Pemuda
hendak menandaskan tentang hakikat menjunjung dan merawat bangsa dalam semangat
bersama-sama. Tanpa dilandasi kebersamaan cita-cita memajukan bangsa tidak
dapat tercapai dengan baik.
Telah
adanya konsensus dan semangat kesediaan untuk saling menerima dalam keperbedaan
identitas masing-masing. Persatuan Indonesia itu begitu kuat karena dengan
menjadi Indonesia orang Jawa tak perlu takut kehilangan budaya Jawanya, orang
Batak tak perlu takut kehilangan kebiasaan Bataknya, orang Flores akan menjadi
luas pandangannya. Gambaran Sumpah Pemuda sebetulnya mencerminkan kekitaan
kolektif berbangsa. Kekolektifan berbangsa tersebut semakin dimurnikan dan
tampak secara jelas dalam sila-sila Pancasila, khususnya Persatuan Indonesia.
Pancasila dengan jelas menyatakan bahwa Indonesia milik kita semua tanpa
membeda-bedakaan mana yang mayoritas dan minoritas. Oleh sebab itu semboyan
Biineka Tunggal Ika dan toleransi agama yang sudah diwariskan harus terus
digembur di tengah keragaman Indonesia. Dengan demikian, tugas bersama semua elemen ke depan
adalah mengurangi konflik berdarah yang terjadi di berbagai tempat di
nusantara.
Soekarno di Ende, menggagas sebuah rumah Indonesia.
Paling kurang ada kiat untuk upaya reaktualisasi nilai-nilai perjuangan
Soekarno di Ende yang perlu digelorakan dari waktu ke waktu demi menghindari
efek amnesia sejarah generasi masa
depan kita. Terutama, bagaimana memandang keragaman Indonesia
sebagai anugerah terindah yang patut dihidupi dari waktu ke waktu.
Dengan
demikian, adalah suatu komitmen bersama untuk menjadikan bangsa ini bebas dari
segala kekerasan.
Tentunya, generasi muda menjadi prioritas. Sebab mereka adalah pemegang estafet
masa depan bangsa. Kalau pendidikan nilai dan proses internalisasi tidak mendapat
skala prioritas
dalam pembangunan
ke depan, maka bukan tidak mungkin kita
akan menghadapi badai beruntun yang tanpa disadari akan menggoyahkan bangsa
ini.
Uraian
yang disajikan di atas menggambarkan kondisi faktual Indonesia dalam perspektif Bhinneka
Tunggal Ika sebagai simbol kebangsaan Indonesia yang plural, dan Pancasila
sebagai “candi intelektual” yang menjadi dasar dan idiologi negara. Indonesia
masih menjadi sebuah cita-cita yang belum selesai. Perlu diupayakan
terus-menerus dari berbagai aspek kehidupan untuk mencapai cita-cita bersama
adil dan makmur.Jika ini sebuah teks, maka Indonesia juga merupakan sebuah teks yang sangat luas. Di dalam teks
itulah memungkinkan semua orang untuk hidup dan membangun keselarasan antara
satu orang dengan orang yang lain demi tercapainya sebuah Indonesia yang maju,
sejahtera, dan mandiri, sebagaimana yang pernah digagas dan diidamkan oleh Bung
Karno dalam pidatonya 17 Agustus 1964, tentang Tahun Vivere Pericoloso
yang menekankan pada “Trisakti”: berkedaulatan dalam bidang politik, mandiri
dalam bidang ekonomi, dan berkpribadian dalam bidang sosial budaya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar