Pasar (bahasa Lamaholot: wule(n)) tidak semata diterjemahkan sebagai media sekaligus ruang transaksi ekonomi modern menggunakan uang. Di Lembata, hampir semua pasar tradisional, termasuk di Wulandoni, selatan Lembata, pasar barter telah menjadi sarana strategis pewarisan nilai-nilai kolektif. Pasar barter menjadi media menganyam ikatan persaudaraan yang hari-hari ini seakan telah tergerus oleh hegemoni pasar modern.
Di pasar barter inilah orang berkumpul tidak saja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi konsumtif, melainkan menghadirkan ruang-ruang diskusi dalam kearifan "tutu koda"-"tutu maring" demi lebih dekat memahami identitas dan jati diri kultural.
Dalam kerangka memandang pasar tidak sekadar sebagai transaksi uang inilah, ekonom Paul Samuelson membenarkan bahwa pasar (ekonomi) adalah pertukaran transaksi dengan atau tanpa menggunakan uang. Dengan itu, pasar lebih sebagai perjumpaan manusia kiwan-watan (gunung-pesisir). Tukar-menukar barang dengan barang dalam bahasa Lamaholot disebut duru-op, gelu gore atau gelu-geneka dan dalam bahasa Kedang disebut kelung lodong.
Barter bisa berbentuk barang dengan barang maupun barang dengan jasa. Misalnya, ikan kering satu ekor dapat ditukar dengan jagung 5-10 tongkol atau tuak 1 botol. Tukang batu atau kayu mengerjakan 1 rumah permanen dapat dibayar dengan 2 ekor babi besar, atau 1 batang gading atau bisa juga dengan 5 buah gelang gading.
Lebih dari itu, barter di Wulandoni mengajarkan praktik filosofis tutur kata, tegur sapa antara sesama elemen sebagai perwujudan toleransi antarsesama. Karena itulah, pasar barter telah msnjadi pusat perjumpaan masyarakat tradisional yang memiliki nilai-nilai filosofis yang tinggi.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar