Halaman

Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 Januari 2024

Pesta Rakyat Pemilu & Pilkada

 

Pesta "Rakyat" berjudul pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada) 2024 telah dibuka pendaftarannya serentak dibuka oleh KPUD di seluruh Indonesia, termasuk di NTT. Dan sekarang ini merupakan tenggat waktu para calon atau kandidat mensosialisasikan diri melalu kampanye. Di Flores, denyut dan aroma Pilkada inipun mulai terasa. Kian hari akan kian panas. Ibaratnya sebuah pesta, kita akan disuguhkan dengan aneka pilihan menu oleh tuan pesta. Pilkada pun demikian. 

Aneka Paket calon akan segera "dihidangkan" ke tengah publik dan tugas kita pemilih adalah memilih Paket Calon dengan senang hati tanpa paksaan dan iming-iming. Dengan begitu, pemimpin yang akan kita dihasilkan adalah pemimpin yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta berpihak pada kepentingan bersama untuk kesejahteraan rakyat. 

Selamat memasuki arena Pilkada 2024 dengan tetap menjaganya agar berlangsung aman, jujur, dan adil. (*)

Senin, 06 November 2017

Selamat Datang Di Kursi Panas: (Catatan terlambat atas peristiwa pelantikan wakil rakyat 2009)




Selamat datang di kursi panas. Bagi Anda penggemar acara kuis milionare (almahrum) di stasion televisi RCTI, mungkin masih mengenang ucapan Tantowi Yahya, presenter acara tersebut, setiap kali menyapa calon milliarder yang berhasil melenggang ke babak final. Sapaan selamat datang di kursi panas, bagi penulis masih sealur dengan peristiwa akhir-akhir ini, yakni pelantikan Anggota DPR/DPRD terpilih pemilu legislatif 9 April 2009, untuk periode lima tahun ke depan: 2009 – 2013. Sebagai satu di antara sekian banyak konstituen, izinkan saya mengucapkan selamat berbahagia kepada para wakil rakyat 2009 – 2013, sembari menyapa selamat datang di kursi panas.
Alasan sederhana penulis, bahwa antara calon kuis milionare dan Anggota DPR/DPRD, anggotanya merupakan pilihan dari sekian banyak peserta atau kontestan. Mereka sama-sama datang sebagai peserta. Mereka muncul dan tampil dari sebuah populasi dan komunitas hidup yang menamakan diri sebagai rakyat. Rakyat perkotaan, rakyat pedesaan. Rakyat kaya, rakyat miskin. Pokoknya rakyat: sebuah penamaan atau label terhadap sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat. Rakyat inilah akar rumput. Asal-muasal lahirnya orang-orang pilihan: berkompeten, berkualitas, berintegritas, dan bermoral. Orang-orang pilihan itulah, di antaranya  yang kita sebut wakil rakyat. Calon milliarder datang dan kalau mampu menjawab pertanyaan sampai pada level tertentu, maka sudah jelas membawa pulang uang miliaran rupiah, tetapi wakil rakyat? Tentu dengan spontan kita mengatakan tidak. Tidak! Datang, duduk, berpikir dan artikulasikan suara rakyat, kebutuhan rakyat, dan aspirasi rakyat yang mengutusmu.

Kursi dan Cermin

Kita bisa berkaca pada Plato. Filsuf kesohor negeri dewa-dewi Yunani tersebut dalam sebuah petualangan imajinasinya pernah  menjadikan kursi sebagai ilustrasi, dalam menggambarkan realitas di sekitar kita. Plato membumikan sebuah tesis bahwa dunia dan segenap isinya yang kita diami ini sesungguhnya merupakan dunia ide. Sebuah kenyataan atau realitas kefanaan yang ada sekarang  adalah akibat proses tiruan atau mimesis dari sebuah kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Dalam teorinya tentang tiruan atau mimesis tersebut, Plato hendak menyampaikan kepada kita tentang betapa kuatnya hubungan antara sastra yang adalah cipta, karya manusia dengan masyarakat. Populasi inilah mendapat ruang untuk mencipta dan melahirkan sekian banyak pola dan tingkah laku manusia. Pola dan tingkah laku manusia,bakal menjadi bagian pembelajaran dari proses peradaban yang kian dinamis ini. Plato akhirnya melanjutkan bahwa sastra (cipta manusia) menjadi media cermin pembelajaran bagi manusia secara universal. Cermin yang setiap saat memantulkan realitas kerakyatan, realitas kemiskinan, realitas berdemokrasi.
Dikaitkan dengan momentum pelantikan anggota DPR/DPRD, ada semacam cita-cita bersama bahwa wakil rakyat terpilih hendaknya memiliki kemampuan, ide juga kegelisahan untuk menangkap realitas. Ide mengenai realitas itu sendiri tentunya berawal dari kecermatan wakil rakyat terpilih untuk melakukan sesuatu pengamatan atas realitas di sekitarnya. Pengamatan ketika turba, juga kunjungan kerja yang lagi fenomenal di kalangan legislatif dan eksekutif akhir-akhir ini.
Kita mencatat, sepuluh tahun sudah reformasi digulirkan, tetapi masih banyak yang kekurangan. Sebut saja, pupuk untuk petani sulit didapat, kalaupun tersedia harganya cukup mahal. Pengangguran meningkat, pengobatan untuk rakyat tidak murah, kalaupun ada urusannya juga tidak mudah dan berbelit. Pendidikan pun sama. Biayanya mahal, juga faktor-faktor nonteknis yang memberatkan. Anggota dewan diharapkan mengawal reformasi yang kehadirannya adalah untuk perubahan, perbaikan segala aspek kehidupan yang dianggap timpang. Peristiwa pelantikan ini menjadi kaca cermin untuk evaluasi diri, termasuk belajar dari proses legislasi periode lalu.
Sebagai contoh lain, berdasarkan hasil survei terbaru  Lembaga Survei Indonesia (LSI), menemukan bahwa  58,9 persen masyarakat menyatakan tidak setuju bila gaji serta fasilitas anggota DPR dinaikkan. Kemudian, 61,3 persen menyatakan tidak setuju bila anggota dewan sering kunker ke luar negeri untuk studi banding. Tentang citra anggota DPR di mata publik sangat negatif karena cuma 39,8 persen menilai moral anggota DPR baik, sedangkan kasus moral dan tingkat keaktifan DPR relatif rendah, yakni hanya 40,4 persen. Perilaku DPR dalam memberantas korupsi juga hanya 51,3 persen, dan kapasitas mereka juga tidak terlalu gemilang yang hanya menanjak pada angka 55,7 persen (Jawa Pos,19 September 2009).  Data ini jelas mempresentasikan kepada kita betapa tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap anggota DPR belum pulih, bukan hanya soal kinerja, moralitas anggota dewan juga jauh dari harapan. Oleh karena itu, anggota dewan mendatang harus bekerja lebih keras. Ini gambaran anggota DPR yang menjadi parameter keberhasilan pesta demokrasi yang kita selenggarakan lima tahun sekali itu. Pertanyaannya adalah, bagaimana kinerja anggota DPRD kita lima tahun terakhir dengan beberapa indikator yang disampaikan di atas? Mudah-mudahan punya nilai rapor baik.
Kursi dan cermin dalam gagasan Plato di atas relevan, ketika kita sedang menyambut representan kita (anggota DPR/DPRD), yang antri mengikuti pelantikan sekalian mengucapkan sumpah. Dua kata yang lazim, lumrah, biasa dalam peziarahan kita. Kursi sebagai tempat duduk sehari-hari, mudah-mudahan tidak menjadi tempat yang asing dan eksklusif. Kursi rakyat, yang akan ditempati para wakil rakyat, hendaknya  membuat Anda tidak tenang. Panas. Karena kursi yang di sana telah dititipkan selusin aspirasi, selaksa harapan untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Bukan segepok uang yang membuatmu menjadi miliarder baru. Kursi, tempat berambisi, bercita-cita demi mengartikulasikan janji-janji ketika kampanye. Tempat menjadikan harapan-harapan menjadi kebenaran dari apa yang diteriakkan melalui visi dan misi kampanye dulu. Singkatnya, ‘kursi’ menjadi tantangan untuk selalu ke bawah, turun ke grass root, menjaring aspirasi dan menyuarakan aspirasi-aspirasi tersebut. Kursi ‘baru’ di gedung dewan hendaknya membuatmu bergumul tentang nasib rakyat yang Anda wakili. Tentang pengalaman keterlemparan ke tengah suka-duka rakyat. Juga tentang keberpihakan dan solidaritas dengan mereka di sekitar. Dengan demikian, kursi tidak menjadi tempat melabeli diri sebagai OKB, orang kaya baru. Tidak menjadikannya untuk mencari rezeki dan mengumpulkan harta dari kemiskinan, kemelaratan, kebodohan orang-orang yang telah memilih dan mengutusmu ke gedung dewan.
Kursi tidak membuatmu lupa, terlena dalam menjalankan fungsi pengawasan, legislasi, juga fungsi budget. Kursi yang sehari-hari Anda duduki untuk mencermini kedirian, mencermini realitas kegantengan, kecantikan, kerapihan sebelum memulai aktivitas. Cerminan realitas kedirian tersebut menuntut perbaikan. Oleh karena itu, kursi Anda di gedung dewan jangan jadi sarana kekuasaan membangun konspirasi dengan eksekutif guna mendapatkan sesuatu. Membuat deal atas regulasi-regulasi yang tidak menguntungkan rakyat. Ini fakta demokrasi kita. Tidak dapat dimungkiri. Hanya dapat menjadi kaca cermin untuk melihat dan mengkajinya. Tinggalkan fakta periodik yang dianggap tidak berpihak. Mulailah sesuatu yang baru karena bagi saya Andalah yang terbaik. Dengan demikian, yang kita harapkan adalah tidak terjadi lagi KKN berjamaah di gedung dewan. Anggota dewan tidak lagi terlibat KDRT, pelecehan seksual atau skandal seks, dan kasus-kasus kategori kelas berat lainnya. Setidaknya pergulatan pemikiran dan awasan Si Genius Plato di atas dapat menjadi cermin permenungan anggota legislatif dalam membaca dan memahami realitas masa lalu, kini dan yang akan datang. (*)



[1] Artikel ini pernah dimuat, di HU Flores Pos, 07 OKtober 2009

Gaya dan Substansi





Demonstrasi demokrasi menyosong pemilihan legislatif (pileg) 2009 tampak makin gencar. Kesan ini terungkap ketika mengamati sejumlah persiapan para calon legislatif. Fenomena demokrasi kebangsaan ini mencuat di pengujung setiap kali akan degelarnya pesta rakyat lima tahunan yang lebih akrab disebut sebagai pemilu itu. Selain lewat media massa cetak dan elektronik, kita juga amati langsung kondisi di beberapa daerah di Flores-Lembata tentang persiapan dan ingar bingar persiapan caleg pada Pemilu 2009.
Perbincangan-perbincangan aktual seputar pesta ini sering sekali kita dengar. Mulai sekelas warung kopi (warkop) sampai ruang-ruang full AC yang diasesori dengan fasilitas yang aduhai. Semua itu bertujuan baik, ingin mendapatkan calon yang betul-betul representan dan mewakili rakyat Pengalaman-pengalaman ini membersitkan dua hal yang sangat menggelitik dan mengganggu hela nafas penulis untuk menguraikannya dalam tulisan alakadar ini. Dua hal yang dimaksud adalah gaya dan substansi.
Gaya. Aspek ini sangat tampak kasat mata dalam aktivitas keseharian kita belakangan ini. Pernak-pernik pileg yang mencoraki nuansa demokrasi terasa semakin panas. Di tengah jalan, di persimpangan jalan, pada sudut kota, di atas pohon, pada tiang-tiang listrik, tembok-tembok toko, dan sebagainya gampang sekali kita jumpai stiker, spanduk, baliho, dan bendera-bandera partai. Ini warna demokrasi, tetapi pada sisi lain sangat mengganggu pemandangan kota. Para caleg sekadar memasang dengan dalih “sosialisasi diri", tetapi tidak mempertimbangkan estetika dan keindahan kota. Ini fakta. Ini gaya demokrasi. Bahkan baliho, stiker yang dipajang dengan latar tokoh parpol yang mengusungnya. Ada yang berbusana daerah, ada yang tampil dengan setting publik/massa sambil memegang mik untuk berkampanye. Bahkan tidak tanggung-tanggung ada caleg yang dengan gaya kepala ke bawah dan kaki ke atas (TV One, 26/2/ 2009). Luar biasa, sebuah tanda bahwa pileg 2009 banyak menampilkan gaya. Setelah itu lupa lagi. Realitas ini telah menyiratkan berragam kesanggupan dan kekuatan. Kesanggupan mengeksplorsi diri, terutama tentang kekuatan yang dimiliki. Betapa kuat rasa percaya diri untuk terlibat dalam kompetisi terakhbar ini.
Para caleg yang gampang kita amati sekarang ini lewat stiker, spanduk,dan lain-lain, menyertakah sejumlah kata atau kalimat sebagai wujud penegasan tambahan atas eksistensi dan prinsip dasar mereka kalau terpilih nanti. Kata atau kalimat tersebut merupakan amanah perjuangan mereka. Gaya pengungkapan sangat bervariasi. Performansi kebahasaan yang tersurat pun sangat bervariasi sesuai selera yang dianggap pas atau cocok sebagai titik klimaks sebuah hasil dari permenungan yang barangkali panjang. Bagi kita (pembaca) pasti telah melakukan analisis untuk mengkaji bentuk-bentuk atau wujud bahasa yang tampil tersebut.
Sejumlah tanda akan coba kita konkretisasi dari sekian bentuk bahasa yang sangat abstrak tersebut. Hal ini diakui karena kata itu  atau wacana yang kita baca, sesungguhnya  sedang menujukkan suatu  hasil negosiasi antara caleg sebagai penulis dan pemilih (kita) sebagai pembaca. Kita barangkali tidak sekadar sebagai penerima teks tetapi juga sedang melakukan transaksi dengan penulis teks (caleg). Pada posisi demikian, akan sangat membantu kita untuk menilai siapa atau figur mana yang tepat untuk dicontreng pada 9 April nanti. Penilaian demikian juga, sangat membantu kita untuk tidak terjebak pada penilaian (pilihan) yang tidak substansif. Akhirnya, saya memilih dia karena masih punya hubungan keluarga atau karena figur yang bersangkutan tampilan fisiknya cantik, ganteng, masih punya hubungan keturunan, memiliki garis idealogis yang sama, latar belakang organisasi yang sama, Meskipun kita akui bahwa proses penerimaan atau penolakan pemilih masih dipengaruhi oleh kultur kita, yang berakibat relasi atau hubungan yang kita bangun itu lebih bersifat emosional ketimbang rasional. Kita harapkan, mudah-mudahan kita, memberikan pilihan yang komperhensif, mulai dari kapabilitas pribadi, wawasan, dan pengalaman pribadi.
Mencermati sekian banyak teks atau wacana yang ditawarkan para caleg, ada salah satu hal mendasar yang perlu disoroti, yakni politik bahasa yang ditawarkan masih  sangat  abstrak dan akhirnya menjadi pretensi buruk tetap tidak jelasnya program politik yang diusung.

Format Bahasa

Format bahasa yang digunakan belum, beranjak dari format pemilu 2004. Kondisi ini terbaca lewat iklan-iklan politik, juga stiker dan baliho, yang bertebaran yang dipajang sekitar kita. Dan, asumsi penulis ketika kampanye terbuka tiba format bahasa yang sama akan tetap diusung. Dengan demikian, akan memperkuat dugaan banyak orang bahwa visi atau misi atau apapun namanya secara eksplisit akan tetap mengambang secara substansi, bahkan jauh dari pemahaman rakyat. Kita akan tetap digiring dan terus berkutat pada lambang-lambang dan simbol-simbol bahasa yang abstrak. Ada semacam feodalisme bahasa, ketika para elite (caleg) tidak berangkat dari apa yang disebut 'akar rumput'. Tidak beranjak dari realitas. Teks/wacana yang diangkat selalu saja diintervensi dari atas. Oleh karena itu, ada pengalaman yang membuktikan bahwa, ketika ada pernyataan-pernyataan elite politik tentang sesuatu hal sesungguhnya sedang meninggalkan kesan bahwa belum tentu yang dibicarakan itu dipahami secara baik. Bahasa yang tersurat lewat teks atau wacana semestinya menyiratkan simbol atau makna substansi tentang apa yang akan disampaikan. Yang kita harapkan adalah bahasa rakyat. Bahasa sederhana. Bahasa yang tidak multitafsir, ambigu. Demikian akan semakin membuat caleg-caleg kita untuk lebih progresif tetapi tidak janji, dan tidak retoris.
Ada benang merah yang perlu ditarik di sini yakni jadikanlah pemilu legislatif 9 April mendatang menjadi sebuah partisipasi politik bukan mobilisasi politik yang dihantui dengan iming-iming atau janji-janji politik. Kita. (pemilih) perlu lebih cermat, cerdas untuk menghindari godaan-godaan eksternal yang sengaja dilancarkan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu. Pilihlah caleg yang visioner, bermoral dan teguh memegang amanah. Menjadi pemilih yang baik, tentu sebelum memilih perlu mempertimbangkan dan tahu betul caleg dan partai mana yang mampu "mengakomodir aspirasi kita, kelak. Pemilu berkualitas apabila pemilih juga berkualitas. *


[1] Tulisan ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 17 Maret 2009