1 Juni bagi bangsa Indonesia dirayakan sebagai Hari Kelahiran
Pancasila. Di Ende, tiga tahun belakangan peringatan ini dirayakan secara gegap
gempita, melalui berbagai uapacara, semisal Parade Kebangsaan, napak tilas ke
Rumah Situs Bung Karno, mengunjungi Taman Makam Ibu Fatmawati, dan berbagai
kegiatan lain, dengan mengundang sejumlah tokoh penting Jakarta ke Ende.
Pokoknya semarak dan menyenangkan. Artinya, Pancasila yang menjadi Landasan
Idiil Negara menjadi landasan yang sakti serentak mampu menunjukkan
kesaktiannya melalui lima butir yang digagas dan dituangkan sebagai dasar
negara. Untuk itulah, setiap warga negara wajib hukumnya untuk mengaplikasikan
secara benar dalam relasi dan cara hidup berindonesia.
Hari dan tanggal
inilah selalu dekat dengan nama Soekarno. Bahkan, ada wacana agar bulan Juni
dirayakan sebagai bulan Soekarno. Nama Soekarno menjadi sebuah nama yang paling
lama melekat kuat dalam setiap memori anak negeri ini, secara khusus anak-anak
di Ende. Mungkin karena nama itu hanya memiliki satu kata, ringkas, dan padat.
Selain bahwa Soekarno adalah Presiden Pertama Indonesia, nama ini telah
menghadirkan sekian daya, seperti magnet. Bahkan, Tukang Sihir yang mampu
“menyihir” dan menghipnotis anak negeri ini untuk tidak patah arang dalam
menggelorakan perjuangan mendesak mundur para kolonialis. Soekarno terus
menggedor kaum muda melalui pidato yang memacu “detak jantung” warga bangsa
untuk tidak tega membiarkan Zamrud ini dijajah terus-menerus. Di Ende, gelora
dan semangat itu juga terleret dalam bentuk tonil, cetusan dan bukti kecemerlangan
berpikir dan berkarya seni Soekarno. Tercatat selama di Ende inilah beliau
mencipta duabelas naskah toneel dan sempat dipentaskan di Rumah Pentas
Imakulata Jalan Katedral Ende. Bahkan, dari tempat inilah Bung Karno telah
meramalkan bahwa Indonesia akan merdeka tahun 1945 melalui sebuah toneelnya
yang berjudul Tahun 1945. Dua naskah terkenal adalah Dokter Syaitan
dan Rahasia Kelimutu. Naskah pertama pernah dipentaskan mahasiswa Prodi
PBSI Uniflor bersama Prof. Steph Djawanai, Rektor Uniflor Ende, dan Alm. Taufik
Kiemas yang disiarkan langsung oleh RRI Ende. Sedangkan naskah yang kedua
pernah dipentaskan di Auditorium H.J Gadi Djou, oleh mahasiswa PBSI Universitas
Flores, dihadapan tamu dari Kementerian Dikbud RI. Dan, untuk itulah nama
Soekarno tak pernah akan dilupakan setiap anak Ende, karena di sinilah, di Ende
sebelum sebagai Presiden Pertama Indonesia, Soekarno pernah mengalami masa
pembuangan antara tahun 1934–1938.
Soekarno
Putra Sang Fajar
Di Ende, Soekarno berhasil memungut gagasan-gagasan dasar
dari budaya-budaya yang diamati dan dijumpainya, dan beliau “merajut”,
mentransformasikannya, menjadi suatu “candi” intelektual yang dikenal dengan
nama Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi dasar bangunan Negara Republik
Indonesia (Djawanai, 2013: 99). Yang menarik bahwa beliau mengaitkan semua sila
dengan konsep tradisional gotong royang. Menurut beliau, untuk membangun
Indonesia, gotong royang harus menjadi alat transformasi sosial budaya. Sebab
dalam gotong royong semua saling menghargai dan tolong menolong meskipun
berbeda etnik, ras, kepercayaan. Inilah romantisme Bung Karno dalam membangun
konsep kebangsaan Indonesia.
Selain menjadi tempat pemulihan dan transformasi merajut
candi intelektual, Ende juga menjadi tempat “perjumpaan” antara masa pembuangan
penjara dengan panggung merdeka (Mukese, 2013: 102). Sebab di tempat inilah,
Soekarno menjalani persahabatan tanpa batas dan menemukan wajah Belanda yang
lain lewat para pastor Belanda yang berkarya di Ende. Yang kalau dicermati,
mereka adalah “musuh” politik Bung Karno. Namun, ternyata fakta menunjukkan
lain, bahwa para pastor Belanda itu sangat akrab dan bersahabat.
Sekali lagi, Indonesia merupakan sebuah bangsa yang
plural, majemuk, beranekaragam suku, bahasa, agama, dan budaya. Sehingga
tidaklah penting mempersoalkan mengapa Bung Karno harus di buang ke Ende.
Terlepas ada kepentingan politik kaum kolonialis Belanda ketika itu, tetapi
yang jelas bahwa Ende dan Flores adalah wilayah NKRI. Secara literer, Indonesia
merupakan sebuah teks yang sangat luas.
Di dalam teks itulah memungkinkan semua orang untuk hidup dan membangun sebuah
keselarasan antara satu orang dengan orang yang lain demi tercapainya sebuah
Indonesia yang maju, sejahtera, dan mandiri, sebagaimana yang pernah digagas
dan diidamkan oleh Bung Karno dalam pidatonya 17 Agustus 1964, tentang Tahun Vivere
Pericoloso yang menekankan pada “Trisakti”: berkedaulatan dalam bidang
politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkpribadian dalam bidang sosial
budaya. Barangkali itulah ide dasar, mengapa Preside Jokowi dalam kabinet Kerja
mengusung Nawacita dalam derap dan gegap pembangunan Indonesia.
“Pulau Bunga akan
tetap melekat kuat dalam ingatanku”, kata Bung Karno mengenai Pulau Flores atau
Pulau Bunga. Ungkapan nostalgik ini berbeda jauh dengan jeritan hati di awal
pembuangannya di Ende. Hidup Bung Karno telah menjadi sejarah negara dan bangsa
Indonesia serta tetap terpatri dalam sanubari anak cucu negara ini. Di setiap
tempat yang pernah ditapakinya, BungKarno telah menoreh kenangan tersendiri.
Demikian pula di sini, di Ende, sebuah kota tengah Pulau Flores. Di kota
sejarah inilah Bung Karno memahat sebuah candi intelektual yang kita kenal dengan
nama Pancasila. Demikianlah peribahasa lama mengingatkan kita “gajah mati
meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati
meninggalkan nama”. Soekarno di Ende, menggagas sebuah rumah Indonesia. Paling
kurang ada kiat untuk upaya re-aktualisasi nilai-nilai perjuangan Soekarno di
Ende yang perlu digelorakan dari waktu ke waktu demi menghindari efek amnesia
sejarah generasi masa depan kita. (*)
Opini ini dimuat
dalam HU Pos Kupang, 18 Juni 2015