Halaman

Tampilkan postingan dengan label NTT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NTT. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 Februari 2024

Selat Gonsalu Larantuka

Gerson Poyk, sastrawan nasional dan perintis sastra NTT menulis sebuah ulasan sastra dengan judul "Dari Mata Turun ke Hati." Ulasan tersebut dimuat dalam Antologi Cerpen Cerita dari Selat Gonsalu", yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa NTT tahun 2015. Antologi Cerpen ini memublikasikan 57 judul cerpen dari 27 penulis. Selain menulis ulasan antologi ini, Gerson Poyk juga salah satu yang menulis cerpen untuk antologi dimaksud. Kata Pengantar ditulis oleh Yohanes Sehandi pengamat sastra NTT dari Univeritas Flores Ende.

Gerson Poyk

Di akhir ulasannya yang ringkas dan padat, Gerson Poyk menyodorkan sebuah pesan penting untuk muda-mudi NTT. Begini pesannya:

"Untuk muda-mudi NTT, menulislah terus, syukur kalau menghasilkan karya berbobot. Kalaupun hasilnya karya pop, yang penting ada untaian kata dan kalimat yang merusak khayalan pop dengan seni filsafat bercinta, yaitu mengandung respek, tanggung jawab, dan saling mengerti kekurangan dan kelebihan masing-masing." 

Jadi, menulislah terus, sebagaimana inspirasi dari sastrawan Gerson Poyk. (*)

Rabu, 08 Maret 2023

Kiat Menyediakan Pangan di NTT secara Berkesinambungan



Kondisi pertanian lahan kering di NTT sangat menjanjikan. Jika diolah secara terintegrasi, maka akan menjadi lumbung penyedia pangan lokal yang berkesinambungan. Model pengelolaan lahan secara integratif juga menjamin ketersediaan tanaman-tanaman obat dan tanaman-tanaman lokal lainnya yang menjadi kekhasan etnik. Dengan demikian, masyarakat dapat menangkal krisis pangan dan ancaman wabah atau penyakit dengan ketersediaan pangan dan ketercukupan tanaman obat tradisional yang mengandung nutrizi, nilai-nilai sosial kemasyarakatan, dan kekebalan tubuh.

Berdasarkan pengantar tema yang saya tuliskan di atas, berikut ini saya kemukakan tiga usul saran.

1.    Memasuki musim tanam tahun ini, gerakan menanam tanaman, tidak hanya tanaman pangan, tetapi juga berbagai tanaman obat tradisional, seperti tanaman jenis eukaliptus yang pernah direkomendasikan pemerintah semenjak Covid-19. Perlu diikuti dengan sosialisasi dan pendampingan yang menyeluruh melibatkan berbagai unsur masyarakat, seperti kepala desa, unsur RT, RW, pelajar, mahasiswa, pemuda mesjid, OMK, karang taruna, PKK, guru, dan berbagai jenis organisasi lainnya di masyarakat. Untuk di kota dihidupkan kembali program pekarangan apotik di halaman rumah atau lingkungan RT. Dengan begitu, masyarakat tidak menggantungkan diri pada jenis obat kimia, namun kembali ke alam. Ada proteksi diri dari mayarakat terhadap serangan penyakit dari luar. Jika ketersediaan pangan memadai, maka mobilisasi orang ke luar daerah pun akan semakin kecil.

2.    Perilaku hidup sehat dilaksanakan dengan cara saling mengingatkan di antara warga untuk bahu-membahu, gotong royong melalui kerja bakti membersihkan selokan, lorong, membuang sampah pada tempatnya, dan menjaga kebersihan pekarangan. Modal-modal sosial kultural ini, akhir-akhir ini telah “tergerus” karena ketergantungan masyarakat terhadap berbagai bantuan sosial, termasuk kepedulian instansi atau lembaga-lembaga pemerintahan, swasta, maupun lembaga pendidikan membersihkan tempat-tempat umum.

Literasi berbagai kebijakan pemerintah tentang pola tanam terintegrasi dan perilaku hidup sehat, bahkan penanganan wabah atau penyakit, termasuk Covid-19 disampaikan dalam bahasa yang ringkas, padat, dengan menggunakan bahasa daerah setempat. Karena bahasa daerah dianggap lebih “bertenaga” dan lebih cepat dipahami oleh kelompok atau komunitas-komunitas tertentu. Pemerintah bertugas memantau dan mengevaluasi secara berkala melalui pemerintah desa atau kelurahan. (*)

Jumat, 06 April 2018

Malang (Buat Mereka yang Bernama Malang)



 Kabut tebal masih menggelayuti Jalan Tite Herun di kota tua ini. Panorama keilmuan kota pelajar ini pun belum tampak menggeliat. Embun pagi masih tampak menggelantung pada dedahanan taman-taman kota.  Kuncup mekar pagi menorehkan senyum perangai wangi warga bunga pada petakan setiap taman untuk menyapa warga kota yang melewati lorong-lorong waktu. Pandangan coba kuarahkan jauh ke depan. Mendapati seorang sosok tegar mengayuh pelan tongkat menghampiri kampus universitas tua di kota itu. Agak terbata-bata aku coba memberanikan diri untuk mendekati dia. Di tikungan lorong pada Jalan Tite Herun, kami bersua membuka percakapan panjang lebar tentang kekokohan juga ketegarannya membentengi dirinya dengan ilmu.


Jumat, 12 Januari 2018

Perempuan Sastra





Pengantar
Sama dengan pemikiran-pemikiran besar lainnya, feminisme merupakan sebuah fenomena kultural yang harus diperhitungkan, sekaligus dapat terus dipertanyakan secara kritis dasar-dasar argumentasinya. Alasan kemunculannya, terutama bila dilihat dari perspektif modern, ialah berdasarkan ketidakpuasan terhadap realitas yang dianggap sebagai konstruksi patriarkal.

Selasa, 14 November 2017

Sarjanakan Semua Guru Di NTT!




            Judul yang imperatif. Semacam “memerintah”, mengharuskan, dan bersifat segera. Perihal penting untuk ditindak lanjuti. Kira-kira demikian, kalau tulisan ini dianggap sebagai sebuah surat. Ya, sebuah surat kecil. Bingkisan atau kado pada setapak jedah usia perjalanan kemerdekaan bangsa yang ke-72 tahun. Usia 72 tahun adalah sebuah rentang perjalanan waktu yang tidak singkat. Jauh, dan tentunya melelahkan. Begitu banyak hasil pembangunan yang telah kita tuai dan nikmati bersama sebagai anak bangsa. Itulah sehingga, di usia ini kita mensyukurinya bahwa bangsa ini tetap tegak merdeka, sekalipun berbagai bencana menimpanya. Namun, aneka evaluasi juga perlu dilakukan demi pencapaian yang lebih baik.
Judul di atas menggugah rasa kesadaran saya, juga sesama kita, terutam apara elite penguasa di propinsi kepulauan ini, penguasa pendidikan di NTT untuk ”segera” mengambil langkah dan jalan keluar strategis menyelamatkan guru-guru NTT yang menurut data yang disampaikan Sekretaris Dinas PPO NTT Aloysius Min, sebanyak 31,45% belum sarjana (PosKupang, 10 Agustus 2017). Tentu kita prihatin. Guru menjadi komponen penting dalam pendidikan. Mutu pendidikan itu selalu dikaitkan dengan mutu guru. Dan, salah satu strategi untuk menjaga mutu adalah dengan mensarjanakan para guru. Walaupun kita seakan telah terlambat merespon regulasi pendidikan tentang kualifikasi guru.
Pertanyaannya adalah mungkinkah masih ada kesempatan bagi para guru yang belum memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma empat untuk boleh melanjutkan pendidikannya pada pendidikan tinggi, secara khusus sebagaimana yang dipersentasikan di atas? Dan, apakah mungkin setelah itu keluhan tentang kualitas pendidikan di NTT yang selama ini menjadi keprihatinan semua pihak dapat teratasi? Gagasan singkat ini lebih menyoroti pertanyaan pertama di atas.
Solusi Segera
Mendesak sehingga dibutuhkan solusi segera karena persoalan keberhasilan pendidikan tentunya melibatkan berbagai komponen. Bagi saya komponen yang juga mendesak yang perlu ditangani secara cepat adalah guru. Guru menjadi titik mulai dan akhir pembelajaran di kelas. Anak-anak kita akan mulai belajar di kelas kalau guru sudah masuk kelas. Sebaliknya, kelas akan menjadi tidak aman kalau guru tidak berada di dalam kelas. Ini artinya, keberhasilan belajar para siswa juga sangat ditentukan oleh guru sebagai sang kreator kelas. Oleh karena itu, terlepas berbagai faktor dan komponen keberhasilan pendidikan, komponen guru menjadi perhatian serius di tengah lajunya dunia pendidikan dengan aneka pendekatan, paradigma, dan teknologi pembelajaran yang bergerak cepat.
Pertama,secara pribadi saya berterima kasih kepada Sekretaris Dinas Pendidikan NTT yang telah menyampaikan ke media tentang kondisi guru-guru di NTT yang belum memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma empat. Bagi saya ini merupakan motivasi atau lecutan energi baru kepada para guru yang masuk dalam kelompok ini untuk mengambil langkah “menyekolahkan diri” tentu atas restu dinas. Sementara di pihak lain, pemberitaan ini merupakan kritik kepada pemangku kepentingan di masing-masing kabupaten/kota untuk mengambil langkah bijak dan segera demi menjawab harapan agar semua guru di NTT pada tiga atau empat tahun mendatang harus berijasah sarjana atau diploma empat. Dengan demikian, dinas pendidikan kabupaten/kota perlu melakukan pemutahiran data lengkap agar jalan keluar yang ditempuh juga tepat, tentunya disertai dengan pertimbangan-pertimbangan yang saling menguntungkan.
Kedua, Pemerintah NTT, dalam hal ini Dinas Pendidikan NTT melalui Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota secepatnya menggandeng atau bekerja sama dengan LPTK di NTT untuk peningkatan kualifikasi pendidikan dan kapasitas kompetensi para guru yang belum memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma empat sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan 9 UU No.14/2005. Pasal 8 berbunyi “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Sedangkan Pasal 9 berbunyi “Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat”.
Ini artinya, kita belum terlambat demi kemaslahatan dan kemajuan pendidikan kita. Secara pribadi saya optimis bahwa LPTK di NTT sangat memadai dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk pendidikan lanjut para guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan akademik sarjana. Langkah ini tentunya diikuti dengan kebijakan-kebijakan stretegik lainnya, seperti suntikan dana, kemudahan pemberian izin belajar, mengingat NTT sebagai Propinsi Kepulauan dengan konsentrasi penyelenggaraan pendidikan tinggi selama ini masih terpusat di kota.Di Flores ada Universitas Flores Ende, Unipa Maumere, dan STKIP Ruteng, sedangkan di Timor ada Undana, Unwira,Unimor, dan beberapa PTS yang lain.
Ketiga, LPTK di NTT juga sedapat mungkin memberi dan membuka ruang akademik yang cukup untuk kerja sama. Ini dilandasi oleh kesadaran, keterlibatan juga keberpihakan yang sungguh terhadap peningkatan sumber daya manusia guru, menuju penguatan kapasitas daya saing pendidikan dan pemerataan akses pendidikan sampai ke pelosok daerah. Oleh sebab itu, para pemangku kepentingan LPTK di NTT untuk berpikir dan diharapkan untuk bertindak dalam menangani puluhan ribu guru kita yang belum memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma empat. Mekanisme yang ditempuh tentu tetap berlandas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kita berharap agar tiga atau empat tahun yang akan datang jumlah guru di atas telah berijazah sarjana atau diploma empat. Tentunya ini sebuah solusi, sekaligus salah satu upaya untuk keluar dari pesimisme emosional masyarakat bahwa mutu pendidikan kita selalu saja merosot. Terlepas faktor lain, bagi saya setelah guru-guru kita berijazah sarjana, maka pendidikan, terlebih proses pembelajaran di kelas akan memasuki tahapan baru menuju pencapaian mutu yang kita idamkan. (*)


[1] Artikel ini dimuat dalam HU Pos Kupang, 17 Agustus 2017

Rabu, 08 November 2017

Membaca: Sebuah Involusi




  Berbagai keluhan mengemuka, bukan curhat (curahan hati) dari berbagai kalangan tentang anak sekolahan juga mahasiswa yang kehilangan semangat dan taji membaca. Berbagai opini kegelisahan juga harapan demikian, lahir sebagai keprihatinan ketercerabutan semangat membaca ini. Dalam konteks NTT kita, setidaknya terdapat tiga peran sekaligus motivator pemberi semangat membaca dalam komunitas kita yang hendak diungkap dalam tulisan kecil ini.

Membaca sebagai Kebutuhan

Peran pertama, tentang ikhtiar dan harapan bersama untuk menjadikan membaca sebagai sebuah kebutuhan (Tarigan,1996: menyebutnya sebagai keterampilan). Membaca memang bukan proses asal-asalan, melainkan sebuah keterampilan yang perlu dibina, dibiasakan, dan ditumbuhkembangkan. Peran ini muncul pada aras formal di masing-masing lembaga pendidikan kita, ketika para guru, maestro pembelajaran di sekolah berusaha membina para siswa untuk membaca dan terus membaca. Karena merupakan kebutuhan, maka membaca juga perlu diletakkan setara sebagai yang vital di antara kebutuhan-kebutuhan harian manusia. Bahkan, lebih jauh membaca mesti dijadikan ‘budaya’ melalui komitmen-komitmen baru dalam memotivasi peserta didik dalam membaca.
  Peran kedua, adalah peran lingkungan (keluarga dan masyarakat kompleks) yang lalai, bahkan lupa membiasakan anak untuk membaca. Setidak-tidaknya langkah ini sebagai upaya menyambung, meneruskan pesan (maaf: bukan pesan singkat) yang dikirim atau disampaikan oleh guru di sekolah. Yang pasti bahwa tentu ada sejumlah petuah, nasihat, ikhtiar untuk dapat membuka cakrawala dan horison dunia maha luas ini melalui kegiatan membaca. Peran ini dapat terrealisasi kalau orang tua, masyarakat, dan lingkungan sekitar memberi suasana kondusif. Membangun sinergi komperhensif melalui menyiapkan bacaan-bacaan untuk anak. Sebaliknya, lingkungan memberi peran konstruktif dengan implementasi berbagai kemampuan sumber daya yang ada untuk pembiasaan keterampilan dan kebutuhan membaca ini.
Peran ketiga, tentang keberadaan para elite politisi kita yang banyak omong tanpa dimulai dengan membaca. Beberapa bulan lalu, misalnya wakil rakyat kita di Manggarai Timur membantah dilabeli sebagai wakil rakyat yang malas membaca (PK,27 Juli 2012). Sama halnya di Ende, Kepala Kejaksaan Negeri Ende berharap agar wakil rakyat membaca dulu sebelum memberikan komentar agar tidak terjaddi salah penafsiran (PK,21 Agustus 2012). Ini artinya, lembaga-lembaga politik di daerah perlu ‘memperkaya’ diri dengan membaca karena mereka itulah yang menjadi ‘corong masyarakat’. Wakil dari sekian masyarakat yang diwakili. Bagaimana kalau wakilnya bicara tanpa didahului dengan tahu lebih dahulu, dan itu bisa diperoleh dengan membaca? Apalagi, menyangkut dan bersentuhan dengan regulasi. Inilah mengapa membaca sangat penting di kalangan wakil rakyat kita, karena mereka jugalah mampu menjadi panutan menjawab kegelisahan di atas.
Berangkat dari tiga peran di atas, Saryono (2005: 56–61), menguak tiga penyebab kendur dan renggangnya implementasi peran-peran dimaksud. Pertama, meningkatnya pragmatisme penyelenggaraan pendidikan, diikuti ledakan partisipasi pendidikan era 70-an sampai sekarang, dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan secara besar-besaran dengan ijin penyelenggaraan yang royal tanpa menyediakan saranapembelajaran yang memadai, terutama buku-buku untuk koleksi perpustakaan. Bahkan, infrastruktur perpustakaan sangat diabaikan. Kalaupun ada banyak yang tidak terawat, dan tidak dikunjungi oleh pembaca. Akibatnya, kebiasaan membaca pada subjek atau peserta didik pupus dan ‘layu sebelum berkembang’. Merajalelanya Mcdonalisasi pendidikan, dari jenjang menengah sampai perguruan tinggi juga turut mempengaruhi tradisi membaca bahkan menulis pada para subjek didik. Dosen pun, terkadang sekedar memberi ceramah di ruang-ruang kuliah, tanpa mengingatkan mahasiswanya untuk membaca buku-buku kuliah di perpustakaan. Bahkan sebaliknya, mahasiswa pun sekedar ke kampus tanpa mengisi waktu kuliahnya dengan membaca buku.
Kendatipun berbagai terapan metode dan strategi pembelajaran dilaksanakan, tetapi kerutinan dan kebiasaan pembelajaran sulit berubah: latihan soal, mengerjakan LKS, dan uji coba soal. Tak jarang juga kredo pragmatisme pertama ini dengan niat luhur pemerintah untuk pencerdasan anak bangsa, terus tersangkut dengan skandal-skandal proyek pengadaan buku di lembaga pendidikan, hampir di semua pelosok negeri ini. Dana-dana pengadaan buku diproyekkan lagi, yang berujung pada peserta didik harus membayar mahal buku-buku itu di sekolah, bahkan buku-buku yang diadakan pun tak lengkap dan sesuai harapan. Karena itu tadi, sedikit-sedikit proyek. Kita belum lupa, bagaimana Dinas PPO Lembata terbelit dan masuk dalam kubangan lumpur mafia pengadaan buku untuk anak-anak sekolah di kampung-kampung terdalam Lembata. Kasihan memang, tapi itulah: lagi-lagi proyek.
Kedua, meredupnya tradisi membaca akibat merebaknya teknologi komunikasi dan informasi.Tersedianya telpon dan telpon selular menjadikan masyarakat Indonesia, dan warga pendidikan lebih banyak berbicara dan mendengar. Masyarakat kita kembali pada pola masyarakat lisan. Meluasnya internet membuat masyarakat lebih suka mengobrol (chating) dan bermain (game online). Pertumbuhan televisi swasta dan pemerintah dengan animasi dan artikulasi yang menawan dengan tampilan aduhai membuat masyarakat lebih “betah” berjam-jam tanpa capai di depan televisi untuk mendengar dan menonton, ketimbang memegang buku dan membaca. Coba perhatikan, di atas motor, di lorong-lorong gedung sekolah dan kampus, di warung makan, bahkan sedang membersihkan halaman rumah dan kantor sekalipun, misalnya, orang-orang tak pernah lepas dengan telpon genggam. Banyak waktu yang dihabiskan diatas layar handphone tanpa penat, namun rasa penat itu spontan muncul kalau berhadapan dengan buku.
Ketiga, berkembangnya budaya visual di masyarakat, komik dan animasi singkat yang dikomunikasikan dan dipublikasikan melalui media komunikasi membuat masyarakat lebih suka dengan sesuatu yang visual. Ada jarak yang renggang dengan lingkungan sosio-ekologis, namun sangat akrab dengan budaya multimedia.            Mereka akan menghabiskan waktu berjam-jam di depan televisi untuk memirsa berbagai suguhan telenovela dan acara-acara infotaiment lainnya. Inilah bukti bahwa masyarakat kita adalah masyarakat lisan, masyarakat lisan atau oral yang lebih suka bertutur daripada beraksara. Sistem pembelajaran bahasa yang dihegemoni oleh pragmatisme politik adalah situasi keterbelengguan atau keterjebakan yang sangat merugikan.

Sikap Kita

Sikap hanya demi keberhasilan ujian nasional, lulus dalam sebuah mata kuliah, bukannya keterampilan dan kelincahan verbal sebagai ciri  kecerdasan intelektual dan emosional, sangat mengganggu perkembangan sumber daya insani dan perkembangan jati diri sebagian generasi muda bangsa. Dengan demikian, kita tidak mengalami apa yang disebut oleh Geertz sebagai gejala involusi, gejala kemerosotan. Sebuah masyarakat akan maju, ketika masyarakatnya berada dalam tingkat keberaksaraan yang tinggi. Tugas kita, membangun kembali kebiasaan untuk membaca, di rumah, di sekolah, dan di masyarakat luas. Dan, kita semua pun dapat menjadi panutan, elite politik, guru, dosen, orang tua, pegawai, sopir, dan berbagai profesi yang kita emban. (*)


[1] Artikel ini pernah dimuat dalam HU Flores Pos,

Bahasa Bola





Fabregas. Francesc Fabregas Soler. Pria 25 tahun yang lahir pada 4 Mei 1987, dengan tinggi badan 179 cm, berkebangsaan Spanyol, tampil “luar biasa” ketika laga semifinal Euro 2012, Kamis, 28 Juni 2012, mempertemukan Spanyol dengan Portugal. Pada saat laga tersebut harus ditentukan melalui adu pinalti 12 pas, mulut Fabregas komat-kamit saat berjalan sembari memegang bola menuju titik putih. Apakah ia sedang mengucapkan doa atau mantra sebelum eksekusi pinalti? Ternyata tidak. Pemain Timnas Spanyol ini mengaku saat itu dirinya sedang bicara dengan bola. “Aku bilang pada bola itu, kita harus membuat sejarah dan jangan bikin aku kecewa” (Pos Kupang, 29 Juni 2012). Permintaan Fabregas dikabulkan sang bola. Setelah sempat membentur tiang bawah, bola kemudian menggelinding masuk ke dalam gawang Rui Patricio, penjaga gawang Portugal. Fabregas, akhirnya  menjadi penentu kemenangan saat Espana Spanyol unggul 4–2 atas Portugal pada drama adu pinalti di Donboss Arena, Donetsk Ukraina, pada laga semifinal Euro 2012, Kamis, 28 Juni 2012. Si jenius Fabregas pulalah yang berhasil memberikan asist kepada David Silva untuk menceploskan bola ke gawang Buffon, pada laga final Euro 2012, mempertemukan Timnas negeri Matador Spanyol vs Nerazuri Italia. Fabregas,Cs, akhirnya menjadi jawara Euro 2012, setelah empat tahun silam menjuarai pesta bola di Benua Biru itu.
Komat-kamit Sang gelandang serang visioner negeri Matador di atas semakin mengabsahkan tesis bahwa bahasa merupakan sebuah organisme yang hidup, berkecambah, menjalar, dan menalari kehidupan manusia. Bagi saya, inilah fenomena bahasa bola. Bahwa bola, tidak sekadar fenomena fisik yang menuntut skill, kepiawaian dan ketepatan pemain untuk menahan dan menggulir dari satu sisi lapangan ke sisi lapangan yang lain. Dari tengah lapangan menjangkau pojok yang lain, melainkan telah menghadirkan intensi, doa, dan permohonan pemain dan kesatuan tim yang dibela. Inilah faktor “X”, ekstralinguistik bahasa bola yang telah memainkan peran penting dan menempati posisi sentral dalam peziarahan manusia.

Bahasa Bola

Komat-kamit Fabregas mengemban fungsi dan nilai komunikatif. Fungsi ini memandang “bola” sebagai teman bicaranya. Bahasa sebagai sarana komunikasi, simbol kehadiran dan kehidupan sosial. Komunikasi merupakan fungsi utama bahasa. Bahasa pulalah yang membuat orang dapat berkata-kata. Karena kata mampu menempatkan dua pribadi dalam komunikasi, menciptakan relasi timbal balik, dalam satu waktu yang sama. Inilah pribadi manusia yang terrepresentasi lewat Fabregas, untuk mengungkapkan secara tuntas maksud dan kehendaknya melalui bahasa.
Kita percaya bahwa komat-kamit Fabregas di atas menghadirkan sebuah kekuatan  verbalistik, kekuatan kata. Dalam konstelasi sosial yang lebih universal, bahasa menjadi instrumen bagi pelaku sosial untuk dapat bersosialisasi dengan pelaku sosial lain. Bahasa menjadi medan transaksi perwujudan praktik sosial dalam membangun sebuah interaksi aktif antara struktur sosial yang objektif dengan sistem linguistik yang dimiliki pelaku sosial. Sebagai praktik sosial, praktik bahasa tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam suatu kohesi sosial yang mempersatukan dan merupakan milik kolektivitas masyarakat.
Fabregas telah menguak sisi lain bahasa, yakni sisi pragmatik. Pragmatik menukik pada intension (maksud), terutama tentang tata berbicara, tata berpakaian, tata makan, tata budaya. Dengan demikian, pragmatik mengkaji makna yang tersembunyi atau tersirat dibalik teks. Pada sisi kegenapan kuantitas komunikasi, ada sesuatu yang lain yang tidak terucap tuntas dalam satu pesan yang sama. Dari sisi kualitasnya pun, kegenapan maksud tak selamanya representatif pada deretan kata atau kalimat yang sterucap. Demi menjaga keseimbangan antara intensi kuantitas dan intensi kualitas, maka Paul  Grice (Cumings, 2007), menyarankan  untuk memasukkan maksim hubungan, teori relevansi. Maksim relevansi ini telah menjadi pokok persoalan dan telah mampu mengungkap dua rahasia besar.

Prinsip Q dalam Pragmatik

Yang pertama usaha yang dilakukan Horn (1984); yang lain dilakukan oleh Sperber dan Wilson (Cumings, 2007: 159). Horn mempostulatkan dua prinsip yakni Q-principle (‘Q' untuk ‘kuantitas’), memberitahu kita untuk mengatakan sebanyak yang dapat kita katakan; dan R-principle (‘R' untuk ‘relasi’ atau hubungan), yang mengatakan bahwa kita harus ‘berkata tidak lebih dari yang harus kita katakan.’ Menurut Sperber dan Wilson, pragmatik memerlukan hanya satu prinsip saja,  yakni  prinsip relevansi, yang berbunyi bahwa setiap ujaran menciptakan harapan relevansi dalam diri orang yang diajak bicara (addressee).
Relevansi memiliki keterkaitan dengan komponen kognitif maupun komunikasi. Komponen kognisi memungkinkan untuk pembentukan hipotesis dan konfirmasi hipotesis, sedangkan komponen komunikasi  memungkinkan partisipan menyusun kontribusi sendiri dan menginterpretasikan kontribusi orang lain. Asumsi yang mendasari teori relevansi–yakni, dalam suatu konteks tertentu, kita harus berasumsi bahwa apa yang dikatakan orang-orang adalah relevan. Prinsip relevansi Sperber dan Wilson jauh lebih eksplisit daripada prinsip kooperatif  dan maksim-maksim  yang diajukan Grice. Yang pasti bahwa komunikasi membutuhkan mitra tutur. Ada relasi, hubungan timbal balik. Fabregas telah membuktikan itu, sekalipun dengan bola.
Dalam pada itu, bahasa tetaplah menjadi alat rekam vital dan menjadi media penghubung representatif antara aspek kehidupan yang satu dengan aspek kehidupan yang lain. Di sanalah ada penghargaan, juga ruang keterbukaan untuk mengekspresikan pemikiran yang jernih dalam berbahasa secara apa adanya. Fabregas pun percaya, dengan komat-kamitnya yang sedikit itu, telah mampu menoreh sejarah. Sebagaimana intensi, doa, dan permohonan yang disampaikannya. Dan, sejarah itu telah menjadi fakta sejarah. Menjadi tontonan jutaan pasang mata maniak bola seantero jagad. Fabregas, cs pun telah “bale nagi” membawa dan menggelindingkan bola sejarah, bahwa lewat “bahasa bola”Fabregas, negeri matador Espana Spanyol mampu merengkuh takhta tertinggi Euro 2012. Itulah bahasa bola. (*)


[1] Artikel ini pernah dimuat dalam  HU Flores Pos, 10 Juli 2012