Halaman

Rabu, 08 November 2017

Membaca: Sebuah Involusi




  Berbagai keluhan mengemuka, bukan curhat (curahan hati) dari berbagai kalangan tentang anak sekolahan juga mahasiswa yang kehilangan semangat dan taji membaca. Berbagai opini kegelisahan juga harapan demikian, lahir sebagai keprihatinan ketercerabutan semangat membaca ini. Dalam konteks NTT kita, setidaknya terdapat tiga peran sekaligus motivator pemberi semangat membaca dalam komunitas kita yang hendak diungkap dalam tulisan kecil ini.

Membaca sebagai Kebutuhan

Peran pertama, tentang ikhtiar dan harapan bersama untuk menjadikan membaca sebagai sebuah kebutuhan (Tarigan,1996: menyebutnya sebagai keterampilan). Membaca memang bukan proses asal-asalan, melainkan sebuah keterampilan yang perlu dibina, dibiasakan, dan ditumbuhkembangkan. Peran ini muncul pada aras formal di masing-masing lembaga pendidikan kita, ketika para guru, maestro pembelajaran di sekolah berusaha membina para siswa untuk membaca dan terus membaca. Karena merupakan kebutuhan, maka membaca juga perlu diletakkan setara sebagai yang vital di antara kebutuhan-kebutuhan harian manusia. Bahkan, lebih jauh membaca mesti dijadikan ‘budaya’ melalui komitmen-komitmen baru dalam memotivasi peserta didik dalam membaca.
  Peran kedua, adalah peran lingkungan (keluarga dan masyarakat kompleks) yang lalai, bahkan lupa membiasakan anak untuk membaca. Setidak-tidaknya langkah ini sebagai upaya menyambung, meneruskan pesan (maaf: bukan pesan singkat) yang dikirim atau disampaikan oleh guru di sekolah. Yang pasti bahwa tentu ada sejumlah petuah, nasihat, ikhtiar untuk dapat membuka cakrawala dan horison dunia maha luas ini melalui kegiatan membaca. Peran ini dapat terrealisasi kalau orang tua, masyarakat, dan lingkungan sekitar memberi suasana kondusif. Membangun sinergi komperhensif melalui menyiapkan bacaan-bacaan untuk anak. Sebaliknya, lingkungan memberi peran konstruktif dengan implementasi berbagai kemampuan sumber daya yang ada untuk pembiasaan keterampilan dan kebutuhan membaca ini.
Peran ketiga, tentang keberadaan para elite politisi kita yang banyak omong tanpa dimulai dengan membaca. Beberapa bulan lalu, misalnya wakil rakyat kita di Manggarai Timur membantah dilabeli sebagai wakil rakyat yang malas membaca (PK,27 Juli 2012). Sama halnya di Ende, Kepala Kejaksaan Negeri Ende berharap agar wakil rakyat membaca dulu sebelum memberikan komentar agar tidak terjaddi salah penafsiran (PK,21 Agustus 2012). Ini artinya, lembaga-lembaga politik di daerah perlu ‘memperkaya’ diri dengan membaca karena mereka itulah yang menjadi ‘corong masyarakat’. Wakil dari sekian masyarakat yang diwakili. Bagaimana kalau wakilnya bicara tanpa didahului dengan tahu lebih dahulu, dan itu bisa diperoleh dengan membaca? Apalagi, menyangkut dan bersentuhan dengan regulasi. Inilah mengapa membaca sangat penting di kalangan wakil rakyat kita, karena mereka jugalah mampu menjadi panutan menjawab kegelisahan di atas.
Berangkat dari tiga peran di atas, Saryono (2005: 56–61), menguak tiga penyebab kendur dan renggangnya implementasi peran-peran dimaksud. Pertama, meningkatnya pragmatisme penyelenggaraan pendidikan, diikuti ledakan partisipasi pendidikan era 70-an sampai sekarang, dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan secara besar-besaran dengan ijin penyelenggaraan yang royal tanpa menyediakan saranapembelajaran yang memadai, terutama buku-buku untuk koleksi perpustakaan. Bahkan, infrastruktur perpustakaan sangat diabaikan. Kalaupun ada banyak yang tidak terawat, dan tidak dikunjungi oleh pembaca. Akibatnya, kebiasaan membaca pada subjek atau peserta didik pupus dan ‘layu sebelum berkembang’. Merajalelanya Mcdonalisasi pendidikan, dari jenjang menengah sampai perguruan tinggi juga turut mempengaruhi tradisi membaca bahkan menulis pada para subjek didik. Dosen pun, terkadang sekedar memberi ceramah di ruang-ruang kuliah, tanpa mengingatkan mahasiswanya untuk membaca buku-buku kuliah di perpustakaan. Bahkan sebaliknya, mahasiswa pun sekedar ke kampus tanpa mengisi waktu kuliahnya dengan membaca buku.
Kendatipun berbagai terapan metode dan strategi pembelajaran dilaksanakan, tetapi kerutinan dan kebiasaan pembelajaran sulit berubah: latihan soal, mengerjakan LKS, dan uji coba soal. Tak jarang juga kredo pragmatisme pertama ini dengan niat luhur pemerintah untuk pencerdasan anak bangsa, terus tersangkut dengan skandal-skandal proyek pengadaan buku di lembaga pendidikan, hampir di semua pelosok negeri ini. Dana-dana pengadaan buku diproyekkan lagi, yang berujung pada peserta didik harus membayar mahal buku-buku itu di sekolah, bahkan buku-buku yang diadakan pun tak lengkap dan sesuai harapan. Karena itu tadi, sedikit-sedikit proyek. Kita belum lupa, bagaimana Dinas PPO Lembata terbelit dan masuk dalam kubangan lumpur mafia pengadaan buku untuk anak-anak sekolah di kampung-kampung terdalam Lembata. Kasihan memang, tapi itulah: lagi-lagi proyek.
Kedua, meredupnya tradisi membaca akibat merebaknya teknologi komunikasi dan informasi.Tersedianya telpon dan telpon selular menjadikan masyarakat Indonesia, dan warga pendidikan lebih banyak berbicara dan mendengar. Masyarakat kita kembali pada pola masyarakat lisan. Meluasnya internet membuat masyarakat lebih suka mengobrol (chating) dan bermain (game online). Pertumbuhan televisi swasta dan pemerintah dengan animasi dan artikulasi yang menawan dengan tampilan aduhai membuat masyarakat lebih “betah” berjam-jam tanpa capai di depan televisi untuk mendengar dan menonton, ketimbang memegang buku dan membaca. Coba perhatikan, di atas motor, di lorong-lorong gedung sekolah dan kampus, di warung makan, bahkan sedang membersihkan halaman rumah dan kantor sekalipun, misalnya, orang-orang tak pernah lepas dengan telpon genggam. Banyak waktu yang dihabiskan diatas layar handphone tanpa penat, namun rasa penat itu spontan muncul kalau berhadapan dengan buku.
Ketiga, berkembangnya budaya visual di masyarakat, komik dan animasi singkat yang dikomunikasikan dan dipublikasikan melalui media komunikasi membuat masyarakat lebih suka dengan sesuatu yang visual. Ada jarak yang renggang dengan lingkungan sosio-ekologis, namun sangat akrab dengan budaya multimedia.            Mereka akan menghabiskan waktu berjam-jam di depan televisi untuk memirsa berbagai suguhan telenovela dan acara-acara infotaiment lainnya. Inilah bukti bahwa masyarakat kita adalah masyarakat lisan, masyarakat lisan atau oral yang lebih suka bertutur daripada beraksara. Sistem pembelajaran bahasa yang dihegemoni oleh pragmatisme politik adalah situasi keterbelengguan atau keterjebakan yang sangat merugikan.

Sikap Kita

Sikap hanya demi keberhasilan ujian nasional, lulus dalam sebuah mata kuliah, bukannya keterampilan dan kelincahan verbal sebagai ciri  kecerdasan intelektual dan emosional, sangat mengganggu perkembangan sumber daya insani dan perkembangan jati diri sebagian generasi muda bangsa. Dengan demikian, kita tidak mengalami apa yang disebut oleh Geertz sebagai gejala involusi, gejala kemerosotan. Sebuah masyarakat akan maju, ketika masyarakatnya berada dalam tingkat keberaksaraan yang tinggi. Tugas kita, membangun kembali kebiasaan untuk membaca, di rumah, di sekolah, dan di masyarakat luas. Dan, kita semua pun dapat menjadi panutan, elite politik, guru, dosen, orang tua, pegawai, sopir, dan berbagai profesi yang kita emban. (*)


[1] Artikel ini pernah dimuat dalam HU Flores Pos,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar