Berbagai keluhan mengemuka, bukan curhat
(curahan hati) dari berbagai kalangan tentang anak sekolahan juga mahasiswa
yang kehilangan semangat dan taji membaca. Berbagai opini kegelisahan
juga harapan demikian, lahir sebagai keprihatinan ketercerabutan semangat membaca ini. Dalam konteks NTT kita, setidaknya terdapat tiga peran sekaligus
motivator pemberi semangat membaca dalam komunitas kita yang hendak diungkap
dalam tulisan kecil ini.
Membaca sebagai Kebutuhan
Peran pertama, tentang ikhtiar dan harapan bersama
untuk menjadikan membaca sebagai sebuah kebutuhan (Tarigan,1996: menyebutnya sebagai keterampilan). Membaca memang bukan
proses asal-asalan, melainkan sebuah keterampilan yang perlu dibina,
dibiasakan, dan ditumbuhkembangkan. Peran ini muncul pada aras formal di
masing-masing lembaga pendidikan kita, ketika para guru, ‘maestro’ pembelajaran di sekolah berusaha
membina para siswa untuk membaca dan terus membaca. Karena merupakan kebutuhan,
maka membaca juga perlu diletakkan setara sebagai yang vital di antara kebutuhan-kebutuhan harian manusia. Bahkan, lebih jauh membaca mesti dijadikan ‘budaya’ melalui
komitmen-komitmen baru dalam memotivasi peserta didik dalam membaca.
Peran kedua, adalah peran lingkungan (keluarga dan masyarakat kompleks) yang lalai, bahkan lupa
membiasakan anak untuk membaca. Setidak-tidaknya langkah ini sebagai upaya
menyambung, meneruskan pesan (maaf: bukan pesan singkat) yang dikirim atau
disampaikan oleh guru di sekolah. Yang pasti bahwa tentu ada sejumlah petuah, nasihat, ikhtiar
untuk dapat membuka cakrawala dan horison dunia maha luas ini melalui kegiatan membaca. Peran ini dapat terrealisasi
kalau orang tua, masyarakat, dan lingkungan sekitar memberi suasana kondusif. Membangun sinergi komperhensif melalui menyiapkan
bacaan-bacaan untuk anak. Sebaliknya, lingkungan memberi peran konstruktif dengan implementasi berbagai kemampuan sumber
daya yang ada untuk pembiasaan keterampilan dan kebutuhan membaca ini.
Peran ketiga, tentang keberadaan para elite politisi kita yang banyak omong tanpa
dimulai dengan membaca. Beberapa bulan lalu, misalnya wakil rakyat kita di Manggarai
Timur membantah dilabeli sebagai wakil rakyat yang
malas membaca (PK,27 Juli 2012). Sama halnya di Ende,
Kepala Kejaksaan Negeri Ende berharap agar wakil rakyat membaca dulu sebelum
memberikan komentar agar tidak terjaddi salah penafsiran (PK,21 Agustus 2012). Ini artinya, lembaga-lembaga politik di daerah perlu
‘memperkaya’ diri dengan membaca karena mereka itulah yang menjadi ‘corong
masyarakat’. Wakil dari sekian masyarakat yang diwakili. Bagaimana kalau
wakilnya bicara tanpa didahului dengan tahu lebih dahulu, dan itu bisa
diperoleh dengan membaca? Apalagi, menyangkut dan bersentuhan dengan regulasi.
Inilah mengapa membaca sangat penting di kalangan wakil rakyat kita, karena
mereka jugalah mampu menjadi panutan menjawab kegelisahan di atas.
Berangkat dari tiga peran di atas, Saryono (2005: 56–61), menguak tiga penyebab kendur dan renggangnya implementasi peran-peran dimaksud. Pertama, meningkatnya
pragmatisme penyelenggaraan pendidikan, diikuti ledakan partisipasi pendidikan
era 70-an sampai sekarang, dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan secara
besar-besaran dengan ijin penyelenggaraan yang royal tanpa menyediakan
saranapembelajaran yang memadai, terutama buku-buku untuk koleksi perpustakaan.
Bahkan, infrastruktur perpustakaan sangat diabaikan. Kalaupun ada banyak yang
tidak terawat, dan tidak dikunjungi oleh pembaca. Akibatnya, kebiasaan membaca
pada subjek atau peserta didik pupus dan ‘layu sebelum berkembang’.
Merajalelanya Mcdonalisasi pendidikan, dari jenjang menengah sampai
perguruan tinggi juga turut mempengaruhi tradisi membaca bahkan menulis pada
para subjek didik. Dosen pun, terkadang sekedar memberi ceramah di ruang-ruang
kuliah, tanpa mengingatkan mahasiswanya untuk membaca buku-buku kuliah di
perpustakaan. Bahkan sebaliknya, mahasiswa pun sekedar ke kampus tanpa mengisi
waktu kuliahnya dengan membaca buku.
Kendatipun berbagai terapan metode dan strategi pembelajaran
dilaksanakan, tetapi kerutinan dan kebiasaan pembelajaran sulit berubah:
latihan soal, mengerjakan LKS, dan uji coba soal. Tak jarang juga kredo
pragmatisme pertama ini dengan niat luhur pemerintah untuk pencerdasan anak
bangsa, terus tersangkut dengan skandal-skandal proyek pengadaan buku di
lembaga pendidikan, hampir di semua pelosok negeri ini. Dana-dana pengadaan
buku diproyekkan lagi, yang berujung pada peserta didik harus membayar mahal
buku-buku itu di sekolah, bahkan buku-buku yang diadakan pun tak lengkap dan
sesuai harapan. Karena itu tadi, sedikit-sedikit proyek. Kita belum lupa,
bagaimana Dinas PPO Lembata terbelit dan masuk dalam kubangan lumpur mafia
pengadaan buku untuk anak-anak sekolah di kampung-kampung terdalam Lembata.
Kasihan memang, tapi itulah: lagi-lagi proyek.
Kedua, meredupnya tradisi membaca akibat
merebaknya teknologi komunikasi dan informasi.Tersedianya telpon dan telpon
selular menjadikan masyarakat Indonesia, dan warga pendidikan lebih banyak
berbicara dan mendengar. Masyarakat kita kembali pada pola masyarakat lisan.
Meluasnya internet membuat masyarakat lebih suka mengobrol (chating) dan
bermain (game online). Pertumbuhan televisi swasta dan pemerintah dengan
animasi dan artikulasi yang menawan dengan tampilan aduhai membuat masyarakat
lebih “betah” berjam-jam tanpa capai di depan televisi untuk mendengar dan
menonton, ketimbang memegang buku dan membaca. Coba perhatikan,
di atas motor, di lorong-lorong gedung sekolah dan kampus, di warung makan,
bahkan sedang membersihkan halaman rumah dan kantor sekalipun, misalnya,
orang-orang tak pernah lepas dengan telpon genggam. Banyak waktu yang
dihabiskan diatas layar handphone tanpa penat, namun rasa penat itu spontan
muncul kalau berhadapan dengan buku.
Ketiga, berkembangnya budaya visual di masyarakat, komik dan animasi singkat yang
dikomunikasikan dan dipublikasikan melalui media komunikasi membuat masyarakat
lebih suka dengan sesuatu yang visual. Ada
jarak yang renggang dengan lingkungan sosio-ekologis, namun sangat akrab dengan
budaya multimedia. Mereka
akan menghabiskan waktu berjam-jam di depan televisi untuk memirsa berbagai
suguhan telenovela dan acara-acara infotaiment lainnya. Inilah bukti
bahwa masyarakat kita adalah masyarakat lisan, masyarakat lisan atau oral yang
lebih suka bertutur daripada beraksara. Sistem pembelajaran bahasa yang
dihegemoni oleh pragmatisme politik adalah situasi keterbelengguan atau
keterjebakan yang sangat merugikan.
Sikap Kita
Sikap
hanya demi keberhasilan ujian nasional, lulus dalam sebuah mata kuliah, bukannya keterampilan dan kelincahan
verbal sebagai ciri kecerdasan
intelektual dan emosional, sangat mengganggu perkembangan sumber daya insani
dan perkembangan jati diri sebagian generasi muda bangsa. Dengan demikian,
kita tidak mengalami apa yang disebut oleh Geertz sebagai gejala involusi,
gejala kemerosotan. Sebuah masyarakat akan maju, ketika masyarakatnya berada
dalam tingkat keberaksaraan yang tinggi. Tugas kita, membangun kembali
kebiasaan untuk membaca, di rumah, di sekolah, dan di masyarakat luas. Dan,
kita semua pun dapat menjadi panutan, elite politik, guru, dosen, orang tua,
pegawai, sopir, dan berbagai profesi yang kita emban. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar