Halaman

Rabu, 08 November 2017

Charil Anwar, Tokoh Pluralitas yang Masih Hidup




Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin
(dikutip dari: Yang Terampas dan Yang Putus, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45; H.B.Jassin: 1978: 78).

Chairil Anwar: Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi

Tulisan ini disajikan untuk mengenang kembali kematian Chairil Anwar, sastrawan angkatan ’45, yang meninggal 28 April 1949, (hari ini genap 63 tahun meninggal). Chairil Anwar, oleh H.B.Jassin, disebutkan bahwa kurang lebih tujuh tahun bersastra (lebih tepat 6,5 tahun), alamahrum mampu menghasilkan 94 tulisan, baik prosa, puisi, asli maupun terjemahan (1978: 10), sebelum ‘pamit’ dengan dunia fana dalam keranda hitam menuju kebun Karet untuk menghadap Sang Penyelenggara Hidup, sekaligus memenuhi ramalannya sendiri sebagaimana yang dituliskannya pada baris puisi di atas: /di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin/.
Chairil Anwar, juga sastrawan umumnya mampu menujum, sembari berusaha mengungkap realitas kehidupan masyarakat. Hal ini dilatari oleh situasi dan kondisi yang berkembang di sekitarnya. Pada titik inilah kita dapat menemukan peran dan kontribusi sastra terhadap pembangunan bangsa. Peran ini sinergis dengan yang ditulis Jean Paul Sartre, bahwa manusia bukan sebuah koleksi, tetapi sebuah totalitas. Pemikiran seorang Sartre, menyiratkan pesan bahwa manusia haruslah menyatakan secara keseluruhan potensinya, bukan bagian demi bagian, termasuk kemampuan bersastra dalam mengungkap fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan dalam rangka mencari solusi masalahnya.
Bersastra berarti berusaha ‘mengangkat’ yang realitas-obyektif menjadi realitas baru, yakni realitas-imajinatif dengan melewati proses kreativitas yang tinggi, hasil pengamatan yang intens, terhadap realitas kehidupan yang telah mengkristal dalam diri seorang pengarang. Kristalisasi realitas kehidupan tersebut, tampak lewat pengalaman diri, pengalaman bahasa, maupun pengalaman estetik yang diracik khas dengan menghadirkan irama mempesona, menghanyutkan, tetapi tetap memperhatikan satu-kesatuan makna dalam mencapai tujuan sang pengarang itu sendiri.
Sastrawan sebenarnya juga merupakan sosok biasa, yang karena menyadari eksistensinya secara baik, dia berusaha melihat dan mengangkat sesuatu yang terlewatkan oleh kebanyakan orang. Mengangkat sesuatu tidak pada tempatnya untuk dipasarkan ke tengah masyarakat. Sastrawan sebagai lampu yang siap menerangi masyarakat di sekitarnya. Dari sinilah masyarakat pembaca  pada umumnya, dan pencinta sastra khusunya dapat menemukan identitas atau jati dirinya, baik sebagai makhluk individu, maupun makhluk sosial. Jati diri atau identitas manusia perlu dikembangkan agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Hal ini merupakan wujud kepedulian masyarakat terhadap sesama dan menjadi sarana interaksi sastra untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, sastra merupakan suatu alternatif penting dalam menyingkap tabir kehidupan ini. Dan, Chairil Anwar telah melewati semua itu.
Gambaran di atas mempertegas bahwa Chairil Anwar merupakan seorang penyair individualistis yang memiliki vitalisme tinggi, tenaga hidup, api hidup, yang membawa angin segar dalam kesusastraan Indonesia. Padanya, aku menjadi paling penting. Kenyataan ini tergambar dalam cita-cita hidupnya, yakni hendak mereguk hidup ini sepuas-puasnya: /Aku ingin hidup seribu tahun lagi/.

Chairil Anwar: Tokoh Pluralitas

Chairil Anwar, sosok sastrawan dan pelopor Angkatan ’45 dalam pentas sastra Indonesia tampil lewat berbagai karya yang individualistis-revolusioner, baik dalam bahasa, isi, maupun gagasan sebagai curahan hati nuraninya. Tema-tema yang diangkat seputar kehidupan dan perjuangan yang menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereferensi pada realitas kehidupan tersebut, Chairil Anwar melakukan tafsiran atau interpretasi atas kehidupan universal. Ketika individualitasnya bersua dengan kehidupan manusia Indonesia yang telah rusak oleh ulah kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang, ia pun tampil meneriakkan gemuruh perjuangan melalui medan sastra.
Secara religius, sastrawan Payakumbuh ini telah merekam dan memunculkan sebuah tema sentral, yakni nilai toleransi hidup beragama sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralis, yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, namun tetap toleran: hidup rukun, damai, dan penuh persaudaraan dalam lingkungan tempat tinggal, lingkungan sosial, dan budaya yang sama, yakni Indonesia. Pluralisnya Indonesia tersebut menjadi bagian dari kehidupan dalam satu semangat, satu perjuangan merebut kemerdekaan, serta sama visi untuk  mengisi pembangunan di era kemerdekaan menuju Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Pada simpul inilah, misalnya dalam sajak ISA, Chairil Anwar menawarkan solusi yang takjub dalam merajut kembali nilai toleransi hidup beragama. Demikian, Chairil Anwar hendak meretas sebuah novum dan kesadaran bersama untuk hidup berdampingan di Bumi Pertiwi Indonesia. Dengan kata lain, Chairil Anwar telah menanamkan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam setiap cipta sastranya di tengah kondisi pluralitas hingga menembus tembok dan sekat primordialis yang mendamparkannya untuk menjadi seorang tokoh religius moderat sejati yang luas pemikirannya dan jauh titik pandangannya dalam mengenal dan mengakui Tuhan yang dipuja dan disembah agama lain.
Itu tubuh/mengucur darah/. Chairil Anwar sungguh meyakini secara intens jiwa dan batin manusia Indonesia dari kelompok lain, sekalipun berbeda agama dan kepercayaan. ISA terlahir dari kejujuran dan kebeningan hati seorang Chairil Anwar setelah melihat Patung Kristus dan membaca penderitaanNya. Sebuah kepasrahan Tuhan Yesus menyerahkan TubuhNya untuk disiksa, dirajam, dianiaya, ditikam dengan tombak tanpa sebuah keluh kesah dan perlawanan. Chairil Anwar hendak menyampaikan kepada kita dalam konteks kekinian untuk mencoba mengaktualisasikan nilai-nilai harmonis di tengah kepluralitasan sebagai sebuah bangsa Indonesia. (*)




Artikel ini pernah dimuat dalam HU Flores Pos, 30 April 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar