Kelam dan angin lalu mempesiang
diriku,
menggigir juga ruang di mana
dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba
jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku
y.a.d.) sampai juga deru angin
(dikutip dari: Yang Terampas
dan Yang Putus, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45; H.B.Jassin: 1978: 78).
Chairil Anwar: Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi
Tulisan ini disajikan untuk mengenang kembali kematian
Chairil Anwar, sastrawan angkatan ’45, yang meninggal 28 April 1949, (hari ini
genap 63 tahun meninggal). Chairil Anwar, oleh H.B.Jassin, disebutkan bahwa
kurang lebih tujuh tahun bersastra (lebih tepat 6,5 tahun), alamahrum mampu
menghasilkan 94 tulisan, baik prosa, puisi, asli maupun terjemahan (1978: 10),
sebelum ‘pamit’ dengan dunia fana dalam keranda hitam menuju kebun Karet untuk menghadap Sang Penyelenggara Hidup, sekaligus memenuhi
ramalannya sendiri sebagaimana yang dituliskannya pada baris puisi di atas: /di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai
juga deru angin/.
Chairil Anwar, juga sastrawan umumnya mampu menujum,
sembari berusaha mengungkap realitas kehidupan masyarakat. Hal
ini dilatari oleh situasi dan kondisi yang berkembang di sekitarnya. Pada titik inilah kita
dapat menemukan peran dan
kontribusi
sastra terhadap pembangunan bangsa. Peran ini sinergis dengan yang ditulis Jean Paul Sartre, bahwa manusia bukan sebuah
koleksi, tetapi sebuah
totalitas. Pemikiran seorang Sartre, menyiratkan pesan bahwa
manusia haruslah menyatakan secara keseluruhan potensinya, bukan bagian demi
bagian, termasuk kemampuan bersastra dalam mengungkap fenomena-fenomena sosial
kemasyarakatan dalam rangka mencari solusi masalahnya.
Bersastra
berarti berusaha ‘mengangkat’ yang realitas-obyektif menjadi realitas baru,
yakni realitas-imajinatif dengan melewati proses kreativitas yang tinggi, hasil
pengamatan yang intens, terhadap realitas kehidupan yang telah mengkristal
dalam diri seorang pengarang. Kristalisasi realitas kehidupan tersebut, tampak
lewat pengalaman diri, pengalaman bahasa, maupun pengalaman estetik yang
diracik khas dengan menghadirkan
irama mempesona, menghanyutkan, tetapi tetap memperhatikan satu-kesatuan makna
dalam mencapai tujuan sang pengarang itu sendiri.
Sastrawan sebenarnya
juga merupakan sosok biasa, yang karena menyadari eksistensinya secara baik,
dia berusaha melihat dan mengangkat sesuatu yang terlewatkan oleh kebanyakan
orang. Mengangkat sesuatu tidak pada tempatnya untuk dipasarkan ke tengah
masyarakat. Sastrawan sebagai lampu yang siap menerangi masyarakat di
sekitarnya. Dari sinilah masyarakat pembaca
pada umumnya, dan pencinta sastra khusunya dapat menemukan identitas
atau jati dirinya, baik sebagai makhluk individu, maupun makhluk sosial. Jati diri atau identitas manusia
perlu dikembangkan agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Hal ini
merupakan wujud kepedulian masyarakat terhadap sesama dan menjadi sarana
interaksi sastra untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan
demikian, sastra merupakan suatu alternatif penting dalam menyingkap tabir
kehidupan ini. Dan, Chairil Anwar telah melewati semua itu.
Gambaran di atas mempertegas bahwa Chairil
Anwar merupakan
seorang penyair individualistis yang memiliki vitalisme tinggi, tenaga hidup,
api hidup, yang membawa angin segar dalam kesusastraan Indonesia. Padanya, aku menjadi
paling penting. Kenyataan ini tergambar dalam cita-cita hidupnya, yakni hendak mereguk hidup ini sepuas-puasnya: /Aku ingin hidup seribu tahun lagi/.
Chairil Anwar: Tokoh Pluralitas
Chairil
Anwar, sosok sastrawan dan pelopor Angkatan ’45 dalam pentas sastra Indonesia
tampil lewat berbagai karya yang individualistis-revolusioner, baik dalam
bahasa, isi, maupun gagasan sebagai curahan hati nuraninya. Tema-tema yang diangkat
seputar kehidupan dan perjuangan yang menggerogoti kehidupan berbangsa dan
bernegara. Mereferensi pada realitas kehidupan tersebut, Chairil Anwar
melakukan tafsiran atau interpretasi atas kehidupan universal. Ketika individualitasnya
bersua
dengan kehidupan manusia Indonesia yang telah rusak oleh ulah kolonialisme
Belanda dan fasisme Jepang, ia pun tampil meneriakkan gemuruh perjuangan
melalui medan sastra.
Secara
religius, sastrawan Payakumbuh ini telah merekam dan memunculkan sebuah tema
sentral, yakni nilai toleransi hidup beragama sesuai dengan kehidupan
masyarakat Indonesia yang pluralis, yang terdiri dari
berbagai agama dan kepercayaan, namun tetap toleran: hidup
rukun, damai, dan penuh persaudaraan dalam lingkungan tempat tinggal,
lingkungan sosial, dan budaya yang sama, yakni Indonesia. Pluralisnya Indonesia
tersebut
menjadi bagian dari kehidupan dalam satu semangat,
satu perjuangan merebut kemerdekaan, serta sama visi untuk mengisi pembangunan di era kemerdekaan menuju
Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Pada simpul inilah, misalnya dalam
sajak ISA, Chairil Anwar menawarkan solusi yang takjub dalam merajut kembali
nilai toleransi hidup beragama. Demikian, Chairil Anwar hendak meretas
sebuah novum dan
kesadaran bersama untuk hidup berdampingan di Bumi Pertiwi
Indonesia. Dengan kata lain, Chairil Anwar telah menanamkan semboyan Bhineka
Tunggal Ika dalam setiap cipta sastranya di tengah kondisi pluralitas hingga
menembus tembok dan sekat primordialis yang mendamparkannya untuk menjadi seorang
tokoh religius moderat sejati yang luas pemikirannya dan jauh titik
pandangannya dalam mengenal dan mengakui Tuhan yang dipuja dan disembah agama
lain.
Itu tubuh/mengucur darah/.
Chairil Anwar sungguh meyakini secara intens jiwa dan batin manusia Indonesia
dari kelompok lain, sekalipun berbeda agama dan kepercayaan. ISA terlahir dari
kejujuran dan kebeningan hati seorang Chairil Anwar setelah melihat Patung
Kristus dan membaca penderitaanNya. Sebuah kepasrahan Tuhan Yesus menyerahkan
TubuhNya untuk disiksa, dirajam, dianiaya, ditikam dengan tombak tanpa sebuah
keluh kesah dan perlawanan. Chairil Anwar hendak menyampaikan kepada kita dalam
konteks kekinian untuk mencoba mengaktualisasikan nilai-nilai harmonis di
tengah kepluralitasan sebagai sebuah bangsa Indonesia. (*)
Artikel ini pernah dimuat dalam HU Flores Pos,
30 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar