Jargon “pendidikan untuk semua”, melalui
program Wajib Belajar menjadi
satu program pendidikan yang
menghadirkan rona dan harapan baru bagi gelora pendidikan Indonesia. Saat Indonesia masih menjadi wilayah jajahan
dan eksploitasi kaum kolonialisme pada masa prakemerdekaan, pendidikan menjadi
sebuah wacana pemikiran dasar untuk melahirkan kemerdekaan bagi nusantara. Ketika Indonesia menyatakan
kemerdekaannya, sejak saat itu pula
pendidikan
ditegaskan menjadi sebuah ‘cagar kehidupan bangsa’ yang dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Indonesia.
Pada era selanjutnya, pendidikan tetap
menjadi bagian dari program-program nasional. Seiring tumbuh dan berkembangnya
globalisasi, tuntutan perbaikan taraf kehidupan bangsa melalui pendidikan
menjadi agenda yang sangat mendesak. Pemerintah bahkan mencanangkan Program Wajib
Belajar Sembilan Tahun bagi rakyat Indonesia. Era
berganti, kepemimpinan baru mengambil estafet, pendidikan pun tetap menjadi
pekerjaan rumah yang cukup rumit.
Setelah
perekonomian Indonesia terpuruk akibat
krisis
moneter, cita-cita, dan harapan kolektif rakyat untuk memeratakan akses
pendidikan demi peningkatan taraf kemakmuran bangsa menjadi semakin “jauh
panggang dari api”. Betapa tidak, untuk makan saja susah, apalagi untuk
menyekolahkan anak. Indonesia kembali menata program-program perbaikan di
berbagai bidang, termasuk
pendidikan. Terseok-seok, namun tentu saja perbaikan
sektor ekonomi yang menjadi prioritas karena sekali lagi pendidikan juga butuh ongkos.
Aspek
pendidikan untuk semua (PUS) mengandaikan bahwa setiap anak usia sekolah harus
mengikuti pendidikan formal. Semua anggota masyarakat dapat bersekolah dan mendapat
pendidikan yang layak. Pendidikan berkelanjutaan
mensyaratkan guru agar memanfaatkan pemikiran-pemikiran baru dalam
pembelajaran, misalnya hubungan antara otak dan belajar, bervariasinya
kecerdasan peserta didik, hingga bagaimana guru sebagai arsitek pembelajaran
mendesain dan merekonstruksi pembelajaran di kelas berdasarkan
penemuan-penemuan baru pembelajaran, seperti blended learning dan mindful
learning. Orientasi pembelajaran pun menekankan sisi karakter peserta
didik.
Determinan
aspek ini pada upaya rekonstruksi pendidikan dengan mengangkat nilai-nilai
budaya dan penguatan karakter peserta didik. Rekonstruksi model ini mendapat
fokus dan perhatiannya pada pendidikan dasar dan menengah. Rekonstruksi ini
bertujuan memberdayakan masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya sendiri di
tengah menguatnya aneka krisis kehidupan modern dengan perilaku hidup hedonisme
dan pragmatisme. Dibutuhkan penguatan jaringan
kerja sama, dan kemauan segenap pemangku kepentingan dalam masyarakat
berdasarkan kekuatan khazanah kultural masyarakat itu sendiri.
Fokus dan
perhatian aspek pendidikan mengangkat nilai-nilai budaya dan penguatan karakter
para peserta didik, sejalan dengan kemajuan dunia dan pembangunan makro di abad
XXI. Kemendikbud (2017) dalam Program Penguatan Pendidikan Karekter (PPK) bagi
pendidikan sekolah dasar dan menengah merumuskan enam kecenderungan di abad XXI
ini; (a) berlangsungnya revolusi digital yang luar biasa yang mengubah
kebudayaan, peradaban, dan sendi-sendi kehidupan, termasuk pendidikan, (b)
terjadinya integrasi belahan-belahan dunia akibat internasionalisasi,
globalisasi, hubungan-hubungan teknologi komunikasi dan teknologi transportasi,
(c) berlangsungnya pendataran dunia (the world is flat) sebagai akibat
perubahan dimensi kehidupan manusia, terutama mengglobalnya negara, korporasi,
dan individu, (d) sangat cepatnya perubahan dunia mengakibatkan ruang tampak menyempit,
waktu terasa ringkas, dan keusangan segala sesuatu cepat terjadi, (e) semakin
tumbuhnya masyarakat padat pengetahuan (knowledge society), masyarakat
informasi (information society), dan masyarakat jaringan (network
society), dan (f) makin tegasnya fenomena abad kreatif beserta masyarakat
kreatif yang menempatkan kreativitas dan inovasi sebagai modal penting bagi
individu, perusahan, dan masyarakat. Kecenderungan-kecenderungan perlu
diantisipasi melalui pembelajaran budi pekerti dan karakter di sekolah.
Sehubungan
dengan orientasi pendidikan pada upaya rekonstruksi, dan penguatan pendidikan
karakter, maka Kemendikbud (2017) merumuskan pula lima nilai utama dalam rangka
membentuk jejaring nilai sebagai prioritas gerakan ini. Pertama, nilai religius.
Nilai religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang
diwujudkan dalam perilaku melaksanakan agama dan kepercayaan yang dianut, hidup
rukun dan damai dengan pemeluk agam lain, yang dikembangkan melalui tiga
dimensi pokok, yakni hubungan individu dengan Tuhan, individu dengan sesama,
dan individu dengan alam semesta. Kedua, nilai nasionalis. Nilai
nasionalis tercermin dalam cara berpikir, bertindak, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa dengan menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri.
Ketiga, nilai mandiri. Nilai mandiri merupakan sikap dan
perilaku tidak bergantung pada orang lain, dan menggunakan tenaga, pikiran,
daya juang untuk merealisasikan harapan dan cita-cita. Keempat, nilai gotong
royang. Nilai gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja
sama dan bahu membahu menyelesaikan pekerjaan secara bersama-sama, dan menjalin
komnunikasi dan persahabatan. Kelima, nilai integritas. Nilai integritas
mendasari perilaku siswa pada usaha atau upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Jika
membebankan guru untuk melaksanakannya sendiri, maka jejaring pendidikan
karakter tidak berhasil. Namun, jika orang tua dan masyarakat ikut memberikan
andil yang konstruktif, maka jejaring ini mendapat hasil yang positif dalam
satu jejaring yang bermakna. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar