Halaman

Selasa, 14 November 2017

Jejaring Nilai Pendidikan Karakter



Jargon “pendidikan untuk semua”, melalui program Wajib Belajar menjadi satu program pendidikan yang menghadirkan rona dan harapan baru bagi gelora pendidikan Indonesia. Saat Indonesia masih menjadi wilayah jajahan dan eksploitasi kaum kolonialisme pada masa prakemerdekaan, pendidikan menjadi sebuah wacana pemikiran dasar untuk melahirkan kemerdekaan bagi nusantara. Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya, sejak saat itu pula pendidikan ditegaskan menjadi sebuah cagar kehidupan bangsa’ yang dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Indonesia.
Pada era selanjutnya, pendidikan tetap menjadi bagian dari program-program nasional. Seiring tumbuh dan berkembangnya globalisasi, tuntutan perbaikan taraf kehidupan bangsa melalui pendidikan menjadi agenda yang sangat mendesak. Pemerintah bahkan mencanangkan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun bagi rakyat Indonesia. Era berganti, kepemimpinan baru mengambil estafet, pendidikan pun tetap menjadi pekerjaan rumah yang cukup rumit.
Setelah perekonomian Indonesia terpuruk akibat krisis moneter, cita-cita, dan harapan kolektif rakyat untuk memeratakan akses pendidikan demi peningkatan taraf kemakmuran bangsa menjadi semakin “jauh panggang dari api”. Betapa tidak, untuk makan saja susah, apalagi untuk menyekolahkan anak. Indonesia kembali menata program-program perbaikan di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Terseok-seok, namun tentu saja perbaikan sektor ekonomi yang menjadi prioritas karena sekali lagi pendidikan juga butuh ongkos.
Aspek pendidikan untuk semua (PUS) mengandaikan bahwa setiap anak usia sekolah harus mengikuti pendidikan formal. Semua anggota masyarakat dapat bersekolah dan mendapat pendidikan yang layak. Pendidikan berkelanjutaan mensyaratkan guru agar memanfaatkan pemikiran-pemikiran baru dalam pembelajaran, misalnya hubungan antara otak dan belajar, bervariasinya kecerdasan peserta didik, hingga bagaimana guru sebagai arsitek pembelajaran mendesain dan merekonstruksi pembelajaran di kelas berdasarkan penemuan-penemuan baru pembelajaran, seperti blended learning dan mindful learning. Orientasi pembelajaran pun menekankan sisi karakter peserta didik.
Determinan aspek ini pada upaya rekonstruksi pendidikan dengan mengangkat nilai-nilai budaya dan penguatan karakter peserta didik. Rekonstruksi model ini mendapat fokus dan perhatiannya pada pendidikan dasar dan menengah. Rekonstruksi ini bertujuan memberdayakan masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya sendiri di tengah menguatnya aneka krisis kehidupan modern dengan perilaku hidup hedonisme dan pragmatisme. Dibutuhkan penguatan jaringan  kerja sama, dan kemauan segenap pemangku kepentingan dalam masyarakat berdasarkan kekuatan khazanah kultural masyarakat itu sendiri.
Fokus dan perhatian aspek pendidikan mengangkat nilai-nilai budaya dan penguatan karakter para peserta didik, sejalan dengan kemajuan dunia dan pembangunan makro di abad XXI. Kemendikbud (2017) dalam Program Penguatan Pendidikan Karekter (PPK) bagi pendidikan sekolah dasar dan menengah merumuskan enam kecenderungan di abad XXI ini; (a) berlangsungnya revolusi digital yang luar biasa yang mengubah kebudayaan, peradaban, dan sendi-sendi kehidupan, termasuk pendidikan, (b) terjadinya integrasi belahan-belahan dunia akibat internasionalisasi, globalisasi, hubungan-hubungan teknologi komunikasi dan teknologi transportasi, (c) berlangsungnya pendataran dunia (the world is flat) sebagai akibat perubahan dimensi kehidupan manusia, terutama mengglobalnya negara, korporasi, dan individu, (d) sangat cepatnya perubahan dunia mengakibatkan ruang tampak menyempit, waktu terasa ringkas, dan keusangan segala sesuatu cepat terjadi, (e) semakin tumbuhnya masyarakat padat pengetahuan (knowledge society), masyarakat informasi (information society), dan masyarakat jaringan (network society), dan (f) makin tegasnya fenomena abad kreatif beserta masyarakat kreatif yang menempatkan kreativitas dan inovasi sebagai modal penting bagi individu, perusahan, dan masyarakat. Kecenderungan-kecenderungan perlu diantisipasi melalui pembelajaran budi pekerti dan karakter di sekolah.
Sehubungan dengan orientasi pendidikan pada upaya rekonstruksi, dan penguatan pendidikan karakter, maka Kemendikbud (2017) merumuskan pula lima nilai utama dalam rangka membentuk jejaring nilai sebagai prioritas gerakan ini. Pertama, nilai religius. Nilai religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan agama dan kepercayaan yang dianut, hidup rukun dan damai dengan pemeluk agam lain, yang dikembangkan melalui tiga dimensi pokok, yakni hubungan individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, dan individu dengan alam semesta. Kedua, nilai nasionalis. Nilai nasionalis tercermin dalam cara berpikir, bertindak, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa dengan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri.
Ketiga, nilai mandiri. Nilai mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada orang lain, dan menggunakan tenaga, pikiran, daya juang untuk merealisasikan harapan dan cita-cita. Keempat, nilai gotong royang. Nilai gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan pekerjaan secara bersama-sama, dan menjalin komnunikasi dan persahabatan. Kelima, nilai integritas. Nilai integritas mendasari perilaku siswa pada usaha atau upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Jika membebankan guru untuk melaksanakannya sendiri, maka jejaring pendidikan karakter tidak berhasil. Namun, jika orang tua dan masyarakat ikut memberikan andil yang konstruktif, maka jejaring ini mendapat hasil yang positif dalam satu jejaring yang bermakna. (*)



[1] Artikel ini dimuat dalam HU Flores Pos, 1 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar