Halaman

Senin, 06 November 2017

Bahasa Daerah Kita




Batas bahasaku adalah batas duniaku, demikian tesis Ludwig Wittgenstein tentang relasi antara bahasa dan dunia. Penalaran ini mempertegas relasi bahwa  bahasa dan pikiran menjadikan manusia sebagai subjek sekaligus objek yang “berkelimpahan.Sebagai makhluk individual sekaligus menjadi makhluk sosial yang senantiasa menciptakan dan mengkreasikan sebuah kehidupan agar lebih dinamis. Dari sudut pandang ini, bahasalah menjadi senjata terakhir dan satu-satunya dianggap tepat untuk setiap situasi dan konteks. Ada saatnya manusia menyimpan pesan dan ada saatnya manusia memproduksi pesan. Dalam konteks demikian, bahasa dan pikiran menjadi media vital dan primer yang mau tidak mau perlu dijaga, disadari agar dapat digunakan secara baik dan lestari.
Sekitar tahun 1979 panorama pendidikan di Indonesia berkenalan dengan dikotomi antara hasil instruksional berupa kompetensi pebelajar atas pengetahuan dan keterampilan dalam ranah intelektual, emosional, dan fisik (psikomotor), dan hasil pengiring (nurturent effect), serta nilai (value). Pelajaran yang dapat dipetik dari konsep ini ialah ada sesuatu yang diperoleh siswa dari apa yang diajarkan guru atau dipelajari siswanya. Hal tersebut sejajar dengan munculnya pembedaan antara konsep pembelajaran (learning) dan pemerolehan (acquisition) bahasa. Istilah “pemerolehan" berpaut dengan kajian psikolinguistik ketika kita berbicara mengenai anak-anak dengan bahasa ibunya. Istilah pertama dipakai untuk belajar bahasa kedua (B2) dan istilah kedua dipakai untuk bahasa ibu (B1). Faktanya, belajar selalu dikaitkan dengan guru, kurikulum, alokasi waktu, dan sebagainya, sedangkan dalam pemerolehan B1 semua itu tidak ada. Ada fakta lain bahwa dalam memperoleh B1, anak mulai dari nol; dalam belajar B2, pebelajar sudah memiliki bahasa.
Dengan "lokomotif" pemerolehan bahasa yang dibawa sejak lahir (teori mentalistik dengan bekal “piranti penguasaan bahasa”, Noam Chomsky), seoraang anak memperoleh bahasa, mengolah data bahasa lalu memproduksi ujaran-ujaran. Dengan watak aktif, kreatif, dan inofatif, anak-anak akhirnya mampu menguasai gramatika bahasa dan memproduksi tutur menuju bahasa yang diidealkan oleh penutur dewasa. Anak memiliki motivasi untuk segera masuk ke dalam lingkungan sosial, entah kelompok sebaya (peer group) atau guyup (community).

Perayaan  Kemajemukan

Di tengah “perayaan” kemajemukan sebagai sebuah bangsa, Indonesia patut bersyukur  karena kemajemukan tersebut membuat perjalanan bangsa ini semakin berdecak kagum dan semarak warna-warni. Kemajemukan yang ditandai dengan berdiamnya berbagai etnis, agama, golongan, bahasa, budaya, dan sebagainya. Kondisi ini berkonsekuensi logis pada kepemilikkan berbagai bahasa daerah juga sastra daerah dengan sejumlah konstruk artefak, yang tidak lain adalah milik kolektif kolegial komunitas sastra yang meyakininya. Inilah yang disebut sebagai identitas lokal yang senantiasa memberikan kontribusi dalam dinamika peradaban kebangsaan  saat ini.
Identitas daerah yang menandai kehadiran suatu komunitas tampaknya sedang tercerabut ketika negara sedang mengabaikan ruang kemajemukan yang sejatinya perlu diperhatikan. Pengabaian demikian menampakkan gejala munculnya “tegangan” antara pengakuan identitas diri dan kepentingan umum, bahkan sampai memunculkan konflik akhir-akhir ini. Dengan demikian, kemajemukan ini perlu diapresiasi sebagai kekayaan dalam kerangka memperkuat persatuan dan kesatuan menuju sebuah perayaan Bhineka Tunggal Ika, perekat bangsa Indonesia yang multietnis. Semua gejala sosial kemasyarakatan dan persoalan-persoalan lain yang mengitari kehidupan masyarakat diwadahi dengan bahasa.
Dari Ende dikhabarkan bahwa Bahasa Ende Jadi Muatan Lokal Bahasa di Tingkat SD (Flores Pos, 22 Juli 2010). Menurut  Anni Labina, Kepala Dinas Pariwisata Ende, arus globalisasi yang cepat melanda aspek kehidupan manusia ikut berpengaruh terhadap tatanan kebudayaan manusia. Pengaruh perubahan akan merembes pada nilai-nilai budaya secar perlahan, terutama kata-kata bahasa daerah asli diganti dengan kata baru. Pos Kupang sehari sebelumnya juga menurunkan berita yang sama. Bahasa Manggarai Terancam (21 Juli 2010). Bahasa daerah Manggarai makin terancam punah. Karena itu, perlu dibuat peraturan daerah (perda) untuk mengoptimalkan penggunaan bahasa ibu tersebut. Demikian Romo Dr.John Boylon,Pr,M.A dalam konferensi International Multidisiplin di Ruteng. Dua kesadaran di atas mengusik kita semua.
Bagi saya rencana dan kiat yang disuarakan tersebut sesungguhnya merupakan sebuah kegelisahan, kekuatiran, dan kecemasan akan bahasa daerah kita, identitas kita yang nyaris “ditinggalkan”, sehingga perlu dijaga, diwariskan agar tetap lestari. Mengapa? Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura pernah berucap bahwa akan ada 3000 bahasa ibu (daerah) dari 6000 bahasa ibu di seluruh dunia  akan terancam punah, dan 700 di antaranya berada di Indonesia yang tersebar di pelosok daerah. Mungkinkah bahasa-bahasa ibu yang akan punah itu juga adalah bahasa Manggarai, bahasa Ende, atau bahasa-bahasa ibu lainnya di Flores dan Lembata, juga bahasa ibu lain di Nusa Tenggara Timur pada umumnya? Inilah sebuah keprihatinan, sehingga harapan yang bergema di Ende dan Manggarai di atas perlu ditindak lanjuti untuk menjunjung pemakaian bahasa ibu sebagai wadah dan media pembelajaran di sekolah dan kegiatan-kegiatan informal lainnnya menjadi urgen, prioritas dan segera dilaksanakan.
Dalam hubungan dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai lambang identitas dan kebanggaan nasional pada level bangsa dan negara, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa Indonesia, (2) bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa Indionesia dan/atau pelajaran lain, dan (3) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia  (Politik Bahasa, 2003: 6). Demikianlah, bahasa daerah memiliki fungsi dan kedudukan yang sama dengan bahasa Indonesia. Karena bahasa Indonesia yang merakyat sekarang ini, tidak lain merupakan salah satu “bahasa daerah” yang hidup dan bekembang di Indonesia.
Arus global memang terasa menggoyang jati diri sebagai bangsa Indonesia. Goyangan kultural global yang menggelisahkan generasi tua terhadap keberlanjutan tata nilai lokal menyadarkan warga untuk menggali, menemukan, dan memperkokoh jati diri dengan rajutan nilai-nilai lokal. Baik jati diri keetnikan di jenjang lokal maupun jati diri kebangsaan sedang berada dalam tantangan. Jika gejala pasangnya semangat nasionalisme mempertebal rasa keindonesiaan kita yang majemuk, sebaliknya gejala surutnya semangat nasionalisme menipiskan rasa keindonesiaan kita sebagai bangsa yang multietnik. Keadaan itu menggelitik warga etnis untuk mengidentifikasi kembali kekuatan jati diri keetnikan demi kekuatan jati diri keindonesiaan.
Pada perspektif yang berbeda, gempuran globalisasi yang ditandai oleh akselerasi informasi dan transportasi telah mempengaruhi pola berpikir dan pola bertindak masyarakat. Kemunculan globalisasi menghadirkan sebuah ‘sensitivitas’ yang membuat orang untuk cenderung mengabaikan hal-hal yang telah ada. Masyarakat terjebak dalam domain-domain universalia yang instant. Padahal, globalisasi yang sedang tak dielakkan ini, sesungguhnya mengajarkan kepada kita untuk meng’global’kan, sembari membenamkan kembali seluruh khasana, kekhasan, dan jati diri daerah yang adalah identitas daerah, termasuk memasyarakatkan bahasa daerah agar terhindar dari isu kepunahan bahasa.   Dalam konteks perbincangan ini, hemat saya, ada lima indikator yang dapat disajikan sebagai tantangan di satu pihak, namun pada pihak yang lain dapat dipersepsi sebagai upaya pemertahanan, minimal agar bahasa daerah tetap menjadi kebanggaan kita sampai menjadi punah.
            Pertama, budaya tulis. Misalnya, orang Lamaholot hidup dalam budaya lisan. Nenek moyang tidak bisa menulis. Tidak punya aksara. Budaya omong, koda kirin, sangat terasa dalam komunitas etnis Lamaholot. Orang suka menghabiskan waktu berjam-jam, berhari-hari, untuk koda kirin. Membahas belis perempuan, berapa banyak gading, ukuran gading, dan sebagainya menjelang pernikahan. Budaya makan sirih pinang di kalangan para ibu dan isap tembakau (golo tebako) untuk bapak-bapak juga menjadi ciri khas masyarakat Etnis Lamaholot ini. Salah satu kendala adaptasi bahasa melalui penuturnya adalah “rendahnya” mutu penguasaan (kompetensi) dan rendahnya kelincahan verbal berbahasa lokal, sementara bahasa Indonesia juga masih memrihatinkan. Bukankah masih banyak warga bangsa yang buta bahasa Indonesia dan buta huruf Latin? Dalam perspektif keindonesiaan, sebagian (besar) anak bangsa, secara verbal berada dalam kondisi “sakit dan gamang”. Ada jarak yang renggang dengan lingkungan sosio-ekologis, namun sangat akrab dengan budaya multimedia. Kondisi ini mengimplikasikan tugas dan peran kita semua untuk melakukan inventarisasi melalui penulisan berbagai bahan ajar dalam bahasa daerah, mengaksarakan berbagai karya sastra lokal ke dalam bahasa daerah untuk tujuan pembelajaran ke depan. Tentu ini butuh koordinasi, mengharap kerja sama yang solid dan komitmen yang tak terhingga. Pihak-pihak atau dinas-dinas terkait, (Dinas Pariwisata, PPOK, Legislatif, Eksekutif, Perguruan Tinggi), hendaknya “sehati” untuk merealisasikan hal ini.
Kedua, tidak ada pelajaran bahasa daerah. Pada setiap lembaga pendidikan formal tidak ada pelajaran bahasa daerah. Bahkan, pada keluarga-keluarga zaman ini mempunyai kecenderungan untuk membelajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak mereka. Berangkat dengan asumsi yang sederhana bahwa anak-anak akan lebih cepat beradaptasi dan memahami  ilmu dan pengetahuan ketika sudah berada pada lembaga pendidikan formal. Sebaliknya, tidak ada media massa cetak dan elektronik pun yang menggunakan bahasa daerah sebagai media komuniksi dengan pembaca.  Oleh karena itu, pola pewarisan bahasa daerah kita sangatlah alamiah, dan masih sangat tradisional. Sistem pembelajaran bahasa yang “dihegemoni” oleh pragmatisme politik adalah situasi keterbelengguan atau keterjebakan yang sangat merugikan. Sikap hanya demi keberhasilan ujian nasional, bukannya keterampilan dan kelincahan verbal (tuturan dan tulisan) sebagai ciri  kecerdasan intelektual dan emosional, sangat mengganggu perkembangan sumber daya insani dan perkembangan jati diri sebagian (besar) generasi muda bangsa.
Ketiga, perihal urbanisasi. Sudah menjadi kenyataan bahwa banyak anak muda lebih suka dan bergairah untuk tinggal di kota. Setelah berinteraksi dengan sesamanya, maka ada kemungkinan untuk menikah dengan orang dari bahasa dan etnis yang lain. Terjadilah kawin campur. Konsekuensinya bahwa generasi yang dilahirkan akan menghadapi dua pilihan bahasa yang berbeda. Mau ikut bahasa Bapak atau Ibu? Inilah pilihan berat. Tak pelak, akhirnya keluarga memilih jalan tengah, netral, misalnya anak dibelajarkan bahasa Indonesia. Apalagi, dengan alasan yang tersembunyi bahwa belajara bahasa Indonesia, selain bahasa daerah akan lebih cepat menguasai ilmu pengetahuan.
            Keempat,  komitmen politik rendah. Rendahnya komitmen pihak elite daerah pada era otonomi daerah ini untuk meramu berbagai regulasi tentang upaya kelestarian dan penyelamatan bahasa-bahasa daerah pada umumnya. Otonomi daerah sepertinya membuat orang ego. Kenyataan di beberapa tempat, termasuk daerah-daerah di Flores memperlihatkan rendahnya dukungan politis dari lembaga politik daerah, yaitu eksekutif dan legislatif terhadap pengembangan budaya. Otonomi daerah adalah proses politik yang memberikan hak prerogatif kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan pusat, termasuk pengaturan aspek-aspek budayanya.
            Kelima,  kuatnya memasyarakatkan bahasa Indonesia. Hampir tidak pernah dirasakan bahwa dengan “mewajibkan” siswa berbahasa Indonesia di lingkungan sekolah (bahkan di rumah), proses pewarisan bahasa daerah akan berjalan lambat. Tidak dapat dibantah, lama-kelamaan bahasa daerah yang dibanggakan sebagai bahasa ibu (mother tongue) para penutur akan tergerus oleh kekuatan bahasa Indonesia. Dengan demikian, kepedulian, ikhwal betapa pentingnya bahasa-bahasa vernacular, bahasa-bahasa etnis yang juga menjadi bahasa ibu (mother tongue) perlu dibudidayakan. Sebab, di dalam aneka teks verbal (tuturan ataupun tulisan) bahasa-bahasa etnis yang sangat variatif dan multilingual itu ternyata menyimpan bahkan mampu merepresentasikan realitas kesejagatan manusia, masyarakat, kebudayaan dan alam sekitarnya. Faktor demikianlah yang memotivasi manusia penghayat dan pemilik bahasa untuk terus melestarikannya sebagai identitas dan jati dirinya
Bahasa pada sudut pandang yang berbeda telah berusaha merekam secara simbolis kekayaan alam dan modal sosial-kultural komunitas tutur bahasa. Dunia keetnikan berkaitan dengan bayangan dan kesadaran akan kesamaan leluhur, asal-muasal, tradisi, adicita (ideology) tanah teritorial simbol-simbol, dan juga kesadaran akan keberbedaan dengan kelompok etnis lain. Keberbedaan itu diperkuat pula oleh bahasa etnis. Ini berarti bahasa etnis sangat penting dipelihara dan digunakan antaranggota warga etnis sebagai perwujudan jati diri. Sebagai masyarakat yang multietnik dan multilingual, secara fungsional bahasa itu selayaknya hadir secara adil, berimbang, serasi, dan merata antarguyub tutur dan guyub kultur.Fungsi-fungsi simbolis dan makna referensial kode-kode lingual menjadi kabur oleh waktu, terutama oleh gerusan arus budaya global. Keterpinggiran dan ketercerabutan akar lokal berdampak pada kegoyahan jati diri kolektif, baik pada jenjang lokal keetnikan maupun jati diri sebagai bangsa Indonesia yang plural. (*)



[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 28 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar