Batas bahasaku adalah batas duniaku, demikian tesis Ludwig
Wittgenstein tentang relasi antara bahasa dan dunia. Penalaran ini mempertegas
relasi bahwa bahasa dan pikiran
menjadikan manusia sebagai subjek sekaligus objek yang “berkelimpahan.” Sebagai
makhluk individual sekaligus menjadi makhluk sosial yang senantiasa menciptakan
dan mengkreasikan sebuah kehidupan agar lebih dinamis. Dari sudut pandang ini,
bahasalah menjadi senjata terakhir dan satu-satunya dianggap tepat untuk setiap
situasi dan konteks. Ada saatnya manusia menyimpan pesan dan ada saatnya
manusia memproduksi pesan. Dalam konteks demikian, bahasa dan pikiran menjadi
media vital dan primer yang mau tidak mau perlu dijaga, disadari agar dapat
digunakan secara baik dan lestari.
Sekitar tahun 1979 panorama pendidikan di Indonesia
berkenalan dengan dikotomi antara hasil instruksional berupa kompetensi
pebelajar atas pengetahuan dan keterampilan dalam ranah intelektual, emosional,
dan fisik (psikomotor), dan hasil pengiring (nurturent effect), serta
nilai (value). Pelajaran yang dapat dipetik dari konsep ini ialah ada
sesuatu yang diperoleh siswa dari apa yang diajarkan guru atau dipelajari
siswanya. Hal tersebut
sejajar dengan munculnya pembedaan antara konsep pembelajaran (learning)
dan pemerolehan (acquisition) bahasa. Istilah “pemerolehan" berpaut
dengan kajian psikolinguistik ketika kita berbicara mengenai anak-anak dengan
bahasa ibunya. Istilah pertama dipakai untuk belajar bahasa kedua (B2) dan
istilah kedua dipakai untuk bahasa ibu (B1). Faktanya, belajar selalu dikaitkan
dengan guru, kurikulum, alokasi waktu, dan sebagainya, sedangkan dalam
pemerolehan B1 semua itu tidak ada. Ada fakta lain bahwa dalam memperoleh B1,
anak mulai dari nol; dalam belajar B2, pebelajar sudah memiliki bahasa.
Dengan "lokomotif" pemerolehan bahasa yang
dibawa sejak lahir (teori mentalistik dengan bekal “piranti penguasaan
bahasa”, Noam Chomsky), seoraang anak memperoleh bahasa, mengolah data bahasa
lalu memproduksi ujaran-ujaran. Dengan watak aktif, kreatif, dan inofatif,
anak-anak akhirnya mampu menguasai gramatika bahasa dan memproduksi tutur
menuju bahasa yang diidealkan oleh penutur dewasa. Anak memiliki motivasi untuk
segera masuk ke dalam lingkungan sosial, entah kelompok sebaya (peer group)
atau guyup (community).
Perayaan Kemajemukan
Di tengah “perayaan” kemajemukan sebagai sebuah
bangsa, Indonesia patut bersyukur karena
kemajemukan tersebut membuat perjalanan bangsa ini semakin berdecak kagum dan
semarak warna-warni. Kemajemukan yang ditandai dengan berdiamnya berbagai
etnis, agama, golongan, bahasa, budaya, dan sebagainya. Kondisi ini
berkonsekuensi logis pada kepemilikkan berbagai bahasa daerah juga sastra
daerah dengan sejumlah konstruk artefak, yang tidak lain adalah milik kolektif
kolegial komunitas sastra yang meyakininya. Inilah yang disebut sebagai identitas lokal yang senantiasa
memberikan kontribusi dalam dinamika peradaban kebangsaan saat ini.
Identitas daerah yang menandai kehadiran
suatu komunitas tampaknya sedang tercerabut ketika negara sedang mengabaikan
ruang kemajemukan yang sejatinya perlu diperhatikan. Pengabaian demikian
menampakkan gejala munculnya “tegangan” antara pengakuan identitas diri dan
kepentingan umum, bahkan sampai memunculkan konflik akhir-akhir ini. Dengan
demikian, kemajemukan ini perlu diapresiasi sebagai kekayaan dalam kerangka
memperkuat persatuan dan kesatuan menuju sebuah perayaan Bhineka Tunggal Ika, perekat
bangsa Indonesia yang multietnis. Semua gejala sosial kemasyarakatan dan
persoalan-persoalan lain yang mengitari kehidupan masyarakat diwadahi dengan bahasa.
Dari Ende dikhabarkan bahwa Bahasa
Ende Jadi Muatan Lokal Bahasa di Tingkat SD (Flores Pos, 22 Juli
2010). Menurut Anni Labina, Kepala
Dinas Pariwisata Ende, arus globalisasi yang cepat melanda aspek kehidupan
manusia ikut berpengaruh terhadap tatanan kebudayaan manusia. Pengaruh
perubahan akan merembes pada nilai-nilai budaya secar perlahan, terutama
kata-kata bahasa daerah asli diganti dengan kata baru. Pos Kupang sehari
sebelumnya juga menurunkan berita yang sama. Bahasa Manggarai Terancam
(21 Juli 2010). Bahasa daerah Manggarai makin terancam punah. Karena itu,
perlu dibuat peraturan daerah (perda) untuk mengoptimalkan penggunaan bahasa
ibu tersebut. Demikian Romo Dr.John Boylon,Pr,M.A dalam konferensi
International Multidisiplin di Ruteng. Dua kesadaran di atas mengusik kita
semua.
Bagi saya rencana dan kiat yang disuarakan tersebut
sesungguhnya merupakan sebuah kegelisahan, kekuatiran, dan kecemasan akan
bahasa daerah kita, identitas kita yang nyaris “ditinggalkan”, sehingga perlu
dijaga, diwariskan agar tetap lestari. Mengapa? Direktur Jenderal UNESCO
Koichiro Matsuura pernah berucap bahwa akan ada 3000 bahasa ibu (daerah) dari
6000 bahasa ibu di seluruh dunia akan
terancam punah, dan 700 di antaranya berada di Indonesia yang tersebar di
pelosok daerah. Mungkinkah bahasa-bahasa ibu yang akan punah itu juga adalah
bahasa Manggarai, bahasa Ende, atau bahasa-bahasa ibu lainnya di Flores dan
Lembata, juga bahasa ibu lain di Nusa Tenggara Timur pada umumnya? Inilah
sebuah keprihatinan, sehingga harapan yang bergema di Ende dan Manggarai di
atas perlu ditindak lanjuti untuk menjunjung pemakaian bahasa ibu sebagai wadah
dan media pembelajaran di sekolah dan kegiatan-kegiatan informal lainnnya menjadi
urgen, prioritas dan segera dilaksanakan.
Dalam
hubungan dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai lambang identitas dan
kebanggaan nasional pada level bangsa dan negara, bahasa daerah berfungsi
sebagai (1) pendukung bahasa Indonesia, (2) bahasa pengantar pada tingkat
permulaan sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa
Indionesia dan/atau pelajaran lain, dan (3) sumber kebahasaan untuk memperkaya
bahasa Indonesia (Politik Bahasa, 2003:
6). Demikianlah, bahasa daerah memiliki fungsi dan kedudukan yang sama dengan
bahasa Indonesia. Karena bahasa Indonesia yang merakyat sekarang ini, tidak
lain merupakan salah satu “bahasa daerah” yang hidup dan bekembang di
Indonesia.
Arus
global memang terasa menggoyang jati diri sebagai bangsa Indonesia. Goyangan
kultural global yang menggelisahkan generasi tua terhadap keberlanjutan tata
nilai lokal menyadarkan warga untuk menggali, menemukan, dan memperkokoh jati
diri dengan rajutan nilai-nilai lokal. Baik jati diri keetnikan di jenjang
lokal maupun jati diri kebangsaan sedang berada dalam tantangan. Jika gejala
pasangnya semangat nasionalisme mempertebal rasa keindonesiaan kita yang
majemuk, sebaliknya gejala surutnya semangat nasionalisme menipiskan rasa
keindonesiaan kita sebagai bangsa yang multietnik. Keadaan itu menggelitik
warga etnis untuk mengidentifikasi kembali kekuatan jati diri keetnikan demi
kekuatan jati diri keindonesiaan.
Pada
perspektif yang berbeda, gempuran globalisasi yang ditandai oleh akselerasi
informasi dan transportasi telah mempengaruhi pola berpikir dan pola bertindak
masyarakat. Kemunculan globalisasi menghadirkan sebuah ‘sensitivitas’ yang
membuat orang untuk cenderung mengabaikan hal-hal yang telah ada. Masyarakat
terjebak dalam domain-domain universalia yang instant. Padahal, globalisasi yang sedang tak dielakkan ini, sesungguhnya
mengajarkan kepada kita untuk meng’global’kan, sembari membenamkan
kembali seluruh khasana, kekhasan, dan jati diri daerah yang adalah identitas
daerah, termasuk memasyarakatkan bahasa daerah agar terhindar dari isu
kepunahan bahasa. Dalam konteks
perbincangan ini, hemat saya, ada lima indikator yang dapat disajikan sebagai
tantangan di satu pihak, namun pada pihak yang lain dapat dipersepsi sebagai
upaya pemertahanan, minimal agar bahasa daerah tetap menjadi kebanggaan kita
sampai menjadi punah.
Pertama, budaya tulis.
Misalnya, orang Lamaholot hidup dalam budaya lisan. Nenek moyang tidak bisa
menulis. Tidak punya aksara. Budaya omong, koda kirin, sangat terasa dalam
komunitas etnis Lamaholot. Orang suka menghabiskan waktu berjam-jam,
berhari-hari, untuk koda kirin.
Membahas belis perempuan, berapa banyak gading, ukuran gading, dan sebagainya
menjelang pernikahan. Budaya makan sirih pinang di kalangan para ibu dan isap
tembakau (golo tebako) untuk
bapak-bapak juga menjadi ciri khas masyarakat Etnis Lamaholot ini. Salah
satu kendala adaptasi bahasa melalui penuturnya adalah “rendahnya” mutu
penguasaan (kompetensi) dan rendahnya kelincahan verbal berbahasa lokal,
sementara bahasa Indonesia juga masih memrihatinkan. Bukankah masih banyak
warga bangsa yang buta bahasa Indonesia dan buta huruf Latin? Dalam perspektif
keindonesiaan, sebagian (besar) anak bangsa, secara verbal berada dalam kondisi
“sakit dan gamang”. Ada jarak yang renggang dengan lingkungan sosio-ekologis,
namun sangat akrab dengan budaya multimedia. Kondisi
ini mengimplikasikan tugas dan peran kita semua untuk melakukan inventarisasi
melalui penulisan berbagai bahan ajar dalam bahasa daerah, mengaksarakan
berbagai karya sastra lokal ke dalam bahasa daerah untuk tujuan pembelajaran ke
depan. Tentu ini butuh koordinasi, mengharap kerja sama yang solid dan komitmen
yang tak terhingga. Pihak-pihak atau dinas-dinas terkait, (Dinas Pariwisata,
PPOK, Legislatif, Eksekutif, Perguruan Tinggi), hendaknya “sehati” untuk
merealisasikan hal ini.
Kedua, tidak ada pelajaran bahasa daerah.
Pada
setiap lembaga pendidikan formal tidak ada pelajaran bahasa daerah. Bahkan,
pada keluarga-keluarga zaman ini mempunyai kecenderungan untuk membelajarkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak mereka. Berangkat dengan asumsi
yang sederhana bahwa anak-anak akan lebih cepat beradaptasi dan memahami ilmu dan pengetahuan ketika sudah berada pada
lembaga pendidikan formal. Sebaliknya, tidak ada media massa cetak dan elektronik
pun yang menggunakan bahasa daerah sebagai media komuniksi dengan pembaca. Oleh karena itu, pola pewarisan bahasa daerah
kita sangatlah alamiah, dan masih sangat tradisional. Sistem
pembelajaran bahasa yang “dihegemoni” oleh pragmatisme politik adalah situasi
keterbelengguan atau keterjebakan yang sangat merugikan. Sikap hanya demi
keberhasilan ujian nasional, bukannya keterampilan dan kelincahan verbal
(tuturan dan tulisan) sebagai ciri
kecerdasan intelektual dan emosional, sangat mengganggu perkembangan
sumber daya insani dan perkembangan jati diri sebagian (besar) generasi muda
bangsa.
Ketiga, perihal urbanisasi.
Sudah menjadi kenyataan bahwa banyak anak muda lebih suka dan bergairah untuk
tinggal di kota. Setelah berinteraksi dengan sesamanya, maka ada kemungkinan
untuk menikah dengan orang dari bahasa dan etnis yang lain. Terjadilah kawin
campur. Konsekuensinya bahwa generasi yang dilahirkan akan menghadapi dua
pilihan bahasa yang berbeda. Mau ikut bahasa Bapak atau Ibu? Inilah pilihan
berat. Tak pelak, akhirnya keluarga memilih jalan tengah, netral, misalnya anak
dibelajarkan bahasa Indonesia. Apalagi, dengan alasan yang tersembunyi bahwa
belajara bahasa Indonesia, selain bahasa daerah akan lebih cepat menguasai ilmu
pengetahuan.
Keempat, komitmen politik rendah. Rendahnya komitmen
pihak elite daerah pada era otonomi daerah ini untuk meramu berbagai regulasi tentang upaya kelestarian dan
penyelamatan bahasa-bahasa daerah pada umumnya. Otonomi daerah sepertinya
membuat orang ego. Kenyataan di beberapa tempat, termasuk daerah-daerah di
Flores memperlihatkan rendahnya dukungan politis dari lembaga politik daerah,
yaitu eksekutif dan legislatif terhadap pengembangan budaya. Otonomi daerah
adalah proses politik yang memberikan hak prerogatif kepada daerah untuk
mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan pusat, termasuk pengaturan
aspek-aspek budayanya.
Kelima, kuatnya memasyarakatkan bahasa Indonesia. Hampir
tidak pernah dirasakan bahwa dengan “mewajibkan” siswa berbahasa Indonesia di
lingkungan sekolah (bahkan di rumah), proses pewarisan bahasa daerah akan
berjalan lambat. Tidak dapat dibantah, lama-kelamaan bahasa daerah yang
dibanggakan sebagai bahasa ibu (mother
tongue) para penutur akan tergerus oleh kekuatan bahasa Indonesia. Dengan
demikian, kepedulian, ikhwal betapa pentingnya bahasa-bahasa vernacular,
bahasa-bahasa etnis yang juga menjadi bahasa ibu (mother tongue) perlu
dibudidayakan. Sebab, di dalam aneka teks verbal (tuturan ataupun tulisan)
bahasa-bahasa etnis yang sangat variatif dan multilingual itu ternyata
menyimpan bahkan mampu merepresentasikan realitas kesejagatan manusia,
masyarakat, kebudayaan dan alam sekitarnya. Faktor demikianlah yang memotivasi
manusia penghayat dan pemilik bahasa untuk terus melestarikannya sebagai
identitas dan jati dirinya
Bahasa
pada sudut pandang yang berbeda telah berusaha merekam secara simbolis kekayaan
alam dan modal sosial-kultural komunitas tutur bahasa. Dunia keetnikan
berkaitan dengan bayangan dan kesadaran akan kesamaan leluhur, asal-muasal,
tradisi, adicita (ideology) tanah teritorial simbol-simbol, dan juga
kesadaran akan keberbedaan dengan kelompok etnis lain. Keberbedaan itu
diperkuat pula oleh bahasa etnis. Ini berarti bahasa etnis sangat penting
dipelihara dan digunakan antaranggota warga etnis sebagai perwujudan jati diri.
Sebagai masyarakat yang multietnik dan multilingual, secara fungsional bahasa
itu selayaknya hadir secara adil, berimbang, serasi, dan merata antarguyub
tutur dan guyub kultur.Fungsi-fungsi simbolis dan makna referensial kode-kode
lingual menjadi kabur oleh waktu, terutama oleh gerusan arus budaya global.
Keterpinggiran dan ketercerabutan akar lokal berdampak pada kegoyahan jati diri
kolektif, baik pada jenjang lokal keetnikan maupun jati diri sebagai bangsa
Indonesia yang plural. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar