Halaman

Tampilkan postingan dengan label intelektual. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label intelektual. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 Mei 2020

Menuju Mazhab Agroekologis Biografi Intelektual Dr. Sri Wahyuni, S.P., M.Si.





Merawat Obsesi Keilmuan

Filosofi Oriza Zativa, “kian berbulir bernas kian merunduk” menjadi metafora yang relevan untuk mempresentasikan level kematangan intelektualitas seorang cendekiawan sejati. Tipe cendekiawan yang otentik, selalu mempersoalkan secara metodologis didaktis dimensi-dimensi praksis maupun epistemologis disiplin keilmuannya.Tendensi sikap ilmiah keilmuan yang diemban oleh cendekiawan sejati jelas-tegas terarah pada pengembangan keilmuan, pemuliaan nilai-nilai kemanusiaan, dan keberpihakan pada keseimbangan kosmos.
Filosofi Oriza Zativa juga menjadi spirit dasar bagi ahli hama dan penyakit tumbuhan Dr. Sri Wahyuni, S.P., M.Si. Kesan sepintas ketika pertama kali bersua dengannya bisa saja mengecoh. Ibu Sri Wahyuni adalah sosok dosen yang terkesan protektif terhadap publisitas diri dan cenderung “irit” dalam berbicara. Namun, kesan semacam itu serta merta segera buyar ketika berada dalam suasana diskusi. Ibu Sri Wahyuni menjadi begitu respek, penuh antusiasme, dan aura keilmuannya spontan keluar, terutama ketika memasuki zona bidang ilmu yang menjadi “nafas” aktivitas akademisnya.
Secara kronologis rekam jejak ziarah akademis Ibu Sri Wahyuni cukup unik. Kuliah program sarjana dimulai tahun 1998 di Universitas Udayana dengan konsentrasi studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan. Ilmu rumit yang masuk dalam rumpun ilmu eksata ini berhasil terlampaui dan gelar Sarjana Pertanian (S.P) digondol tahun 2002.
Seusai menorehkan gelar sarjana, Ibu Sri Wahyuni belum ingin menjajaki dunia kerja. Pertimbangannya, “pisau” analisis pengetahuannya perlu “diasah” setajam mungkin agar memiliki “bargaining possition” yang cukup mumpuni saat berkarya. Atas dasar itulah, tahun 2002 Ibu Sri Wahyuni memutuskan kembali ke almamaternya untuk melanjutkan kuliah di program pascasarjana dengan spesifikasi studi pertanianlahan kering. Melalui kerja dan usaha yang sangat gigih, seluruh beban SKS sebagimana dipersyaratkan dalam jenjang pasca dituntaskan tahun 2005.

Dosen: Menjaga Komitmen Tridarma

Bermodalkan pengakuan institusi atas prestasi formal akademis inilah, Ibu Sri Wahyuni merasa sangat siap untuk mengabdikan ilmunya. Hijrah dari Denpasar menuju ke kota Pancasila Ende untuk menjajaki kemungkinan aplikasi keilmuannya. Alhamdullilah pada 2006 Ibu Sri Wahyuni mulai menapaki karier sebagai dosen di Fakultas Pertanian Universitas Flores.
Menyimak percakapan dengan promovendus, terungkap bahwa sesungguhnya pola pembelajaran yang dikembangkannya “bernafaskan” pendekatan konstruktivisme. Jadi, pola pembelajaran klasikal konvensional dipandang sudah mubazir. Itu artinya, sudah tidak memadai lagi para peserta didik dijejali dengan seperangkat teori yang rigit, abstrak, dan mengawang melainkan diajak untuk mengalami pengalaman teoretik secara otentik dan kontekstual.
Dari perspektif filosofi pedagogis, Dr. Sri Wahyuni bukanlah tipikal pengajar yang cepat puas mencecapi privalese kampus sebagai “istana” menara gading. Sudah bukan menjadi spirit zamannya lagi seorang dosen duduk manis di dalam kelas “berkotbah” soal rumus-rumus ilmu pasti yang ruwet bagai sumur tanpa dasar. Padahal, masih ada darma pengabdian keilmuan dan darma penelitian yang perlu dikonversi secara proporsional.
Selain mengajar, energi pikiran positifnya didistribusikan secara merata untuk dua darma perguruan tinggi lain. Dari interval waktu 2008–2013, beberapa penelitian lapangan digarap.Bermula dari keberhasilan “memenangkan” dana hibah yang bersumber dari Yayasan Perguruan Tinggi Flores (Yapertif).
Beranjak ke skala yang lebih tinggi, penelitian dilaksanakan dengan suntikan dana hibah dari DP2M Dikti, bersama Pemda, dan Balai Taman Nasional Kelimutu (BTNK). Kelanjutan dari riset ini menggandeng staf peneliti dari pihak LIPI, BTNK, dan Fakultas Pertanian Uniflor. Efek logis dari riset gabungan ini telah menjadi embrio lahirnya rumah Insektarium dan Herbarium yang ada di Taman Nasional Kelimutu.
Berdasarkan pencapaian-pencapaian yang telah ada, memperlihatkan bahwa Dr. Sri Wahyuni, S.P.,M.Si., termasuk kategori dosen yang tidak selalu berpuas diri dengan dalil-dalil, hukum, maupun teori-teori pengetahuan yang telah mapan. Penelitian plus eksperimentasi adalah titian penting yang dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan horizon pengetahuannya. Argumentasi yang diajukannya mempertegas adagium teori peluang dalam logika ilmu pasti. Semakin intens meneliti, maka seorang dosen menjadi semakin ahli di bidangnyaagar berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Parasitoid: Pestisida Alamiah

Atas dukungan lembaga dan keluarga, Ibu Sri Wahyuni bergegas melanjutkan studi program doktor di Universitas Udayana tahun 2013. Tercatat Sang Promovendus lulus dengan predikat cumlaude tahun 2017. Judul Disertasi yang diajukan, yakni “Struktur Komunitas dan Potensi Parasitoid dalam Mengendalikan Populasi Lalat Pengorok Daun Liriomyza Spp pada Pertanaman Sayuran Di Nusa Tenggara”. Promotor utama Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, MS dari Universitas Udayana, Copromotor 1 Prof. Dr. Ir. I Nyoman Wijaya, MS dari Universitas Udayana, dan Copromotor 2 Prof. Drs. Rosichon Ubaidillah, M.Sc.,Ph.D dari LIPI.
Target terjauh dari temuan disertasi adalah meminimalisir pemanfaatan pestisida sintetis dalam mengendalikan hama pengorok daun Liriomyza spp pada pertanaman sayuran di Nusa Tenggara (Pulau Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, dan Timor). Temuan paling urgen dalam penelitian, yakni terungkapnya 7 jenis parasitoid sebagai agen hayati Limriomyza spp, yakni Neochrysocharis formosa, Neochrysocharis okazakii, Hemiptasenus Varicornis, Opius Chromatomyiae, Opius dissitus, Gronotoma Micromorpha, dan  Asecodes deluchii. Berdasarkan estimasi matematis, ketujuh jenis parasitoid tersebut memiliki potensi sekitar 20–98 persen sebagai agen yati Liriomyza spp. Temuan mengenai potensi parasitoid alamiah ini memungkinkan para petani untuk segera memutuskan mata rantai penggunaan pestisida sintetis.

Menembus Scopus& Thompson

Kerja berat ilmuwan pascariset adalah mempublikasikan intisari riset ke jurnal ilmiah bereputasi nasional maupun internasional yang terindeks Scopus maupun Thompsons. Obsesi ini, bisa saja menemukan jalan buntu, bahkan mengarah pada sikap fatalis karena harus berkompetisi dengan dosen dari berbagai negara dan tentu membutuhkan fulus yang tidak sedikit jumlahnya.
Meskipun demikian, Dr. Sri Wahyuni, S.P. M.Si., justru telah mempublikasikan dua hasil penelitiannya yang terindeks pada jurnal ilmiah internasional terakreditasi Scopus dan Thompsons. Tips praktis agar hasil riset dipublikasikan secara internasional, yakni lacak informasi tentang jurnal internasional terbitan Indonesia, pilih graduasinya (Q1-Q4), pelajari waktu terbit jurnal secara berkala dalam setahun, dan kuota artikel dalam sekali terbit. Berikutnya, menjajaki kemungkinan untuk menjadi bagian dari komunitas beberapa situs tempat berkumpulnya para peneliti lintas bidang ilmu.
Prestasi membanggakan bahwa pada tanggal 16–20 Oktober 2017 yang lalu, Dr. Sri Wahyuni, S.P.,M.Si., telah mempresentasikan naskah karya akademisnya pada The 5th International Entomophagous Insect Conference di Kyoto University  Jepang. Tema makalah yang dibawakan adalah Biological and Demographic Parameter Of Oplus dissitus Muesebeck Parasitoid (Hymenoptera:Brachonidae) On Leafminer Flies Liriomyza spp (Diptera: Agromyidae. (*)

Kamis, 21 Desember 2017

Soekarno–Ende: 1934–1938 Dari Nusa Naga Ke Nusantara: Sebuah Antologi



 “Pulau Bunga akan tetap melekat kuat dalam ingatanku”, kata Bung Karno mengenai Pulau Flores atau Pulau Bunga. Ungkapan nostalgik ini berbeda jauh dengan jeritan hati di awal pembuangannya di Ende. Hidup Bung Karno telah menjadi sejarah negara dan bangsa Indonesia serta tetap terpatri dalam sanubari anak cucu negara ini. Di setiap tempat yang pernah ditapakinya, BungKarno telah menoreh kenangan tersendiri. Demikian pula di sini, di Ende, sebuah kota tengah Pulau Flores. Di kota sejarah inilah Bung Karno memahat sebuah candi intelektual yang kita kenal dengan nama Pancasila. Demikianlah peribahasa lama mengingatkan kita “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. 

Politik pembuangan (internering) Soekarno [2] di Ende tahun 1934–1938 dianggap sebagai rumah pemulihan.[3] Satu pertanyaan yang tidak pernah lepas dari peristiwa pembuangan ini adalah mengapa harus Ende? Ada tiga alasan, pertama, adanya penjagaan yang cukup ketat sehingga yang ditahan tidak melarikan diri. Kedua, kesempatan kerja, dan ketiga, kepekaan masyarakat sekitar kalau sekiranya ada agitasi dari Bung Karno. Ternyata dugaan para pembesar Belanda meleset karena Ende dan Flores umumnya yang ketika itu jauh dari riuh rendah politik, menjadi destinasi yang sudah jinak laksana bunga sehingga telah melepaskan atavisme “nusa nipa nusa naga”[4] karena sudah mempertautkan dua kekuatan sekaligus, yakni kekerasan kekuasaan kolonial Belanda yang memaksakan penaklukan dengan kekerasan senjata dan kelembutan agama Katolik yang mengajarkan “cintailah sesamamu” yang asing atau sebangsa, berkulit putih atau hitam. Dengan demikian, Ende bagi Soekarno tidak sekadar kota nelayan, melainkan sebuah kota pelabuhan dengan jaringan yang luas. Di Ende jugalah Soekarno telah menemukan dirinya sebagai seorang cendikiawan, ideolog, dan seniman yang komplit. Bagi orang Ende sendiri, Soekarno adalah ata pita pu’u Jawa (orang pintar dari Jawa). Sebaliknya Soekarno sendiri memandang dirinya sebagai “seekor  burung elang yang telah dipotong sayapnya”[5].
Di Ende, Soekarno berhasil memungut gagasan-gagasan dasar dari budaya-budaya yang diamati dan dijumpainya, dan beliau “merajut”, mentransformasikannya, menjadi suatu “candi” [6] intelektual yang dikenal dengan nama Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi dasar bangunan Negara Republik Indonesia. Yang menarik bahwa beliau mengaitkan semua sila dengan konsep tradisional gotong royang. Menurut beliau, untuk membangun Indonesia, gotong royang harus menjadi alat transformasi sosial budaya. Sebab dalam gotong royong semua saling menghargai dan tolong menolong meskipun berbeda etnik, ras, kepercayaan. Inilah romantisme Bung Karno dalam membangun konsep kebangsaan Indonesia.
Selain menjadi tempat pemulihan dan transformasi merajut candi intelektual, Ende juga menjadi tempat “perjumpaan” antara masa pembuangan penjara dengan panggung merdeka. Sebab di tempat inilah, Soekarno menjalani persahabatan tanpa batas dan menemukan wajah Belanda yang lain lewat para pastor Belanda yang berkarya di Ende. Kalau dicermati, mereka adalah “musuh” politik Bung Karno. Namun, ternyata fakta menunjukkan lain, bahwa para pastor Belanda itu sangat akrab dan bersahabat.
Di tempat yang sama ini pulalah Bung Karno menampilkan kecemerlangan berpikir dan berkarya seni. Tercatat selama masa internering di Ende beliau mencipta duabelas naskah toneel, bahkan sempat dipentaskan di Rumah Pentas Imakulata Jalan Katedral Ende. Bahkan dari tempat inilah Bung Karno telah meramalkan bahwa Indonesia akan merdeka tahun 1945 melalui sebuah toneelnya yang berjudul Tahun 1945. Dua naskah terkenal adalah Dokter Syaitan dan Rahasia Kelimutu.
Sekali lagi, Indonesia merupakan sebuah bangsa yang plural, majemuk, beranekaragam suku, bahasa, agama, dan budaya. Sehingga tidaklah penting mempersoalkan mengapa Bung Karno harus di buang ke Ende. Terlepas ada kepentingan politik kaum kolonialis Belanda ketika itu, tetapi yang jelas bahwa Ende dan Flores adalah wilayah NKRI. Secara literer, Indonesia merupakan sebuah teks  yang sangat luas. Di dalam teks itulah memungkinkan semua orang untuk hidup dan membangun sebuah keselarasan antara satu orang dengan orang yang lain demi tercapainya sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan mandiri, sebagaimana yang pernah digagas dan diidamkan oleh Bung Karno dalam pidatonya 17 Agustus 1964, tentang Tahun Vivere Pericoloso yang menekankan pada “Trisakti”: berkedaulatan dalam bidang politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkpribadian dalam bidang sosial budaya. (*)

           









[1] Judul buku yang berisi lima tulisan masing-masing oleh (1) Dr. Daniel Dhakidae, (2) Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., (3) Pater John Dami Mukese,MA,SVD, (4) Dra.Maria Matildis Banda, dan (5) Dr. Pius Pampe, M.Hum. Diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., dan diterbitkan oleh CV.Brimotry Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013. Diluncurkan dan dibedah di Universitas Flores dengan pembahas Dr. Kotan Stefanus, M.H., Sabtu, 15 Maret 2014.
[2] Soekarno berarti pahlawan yang terbaik atau pahlawan sejati. Dilahirkan tanggal enam bulan enam jam setengah enam pagi tahun 1901. Tahun permulaan abad baru. Ditandai dengan meletusnya gunung Kelud di Jawa. Orang menafsirkannya sebagai pertanda yang baik, yaitu suatu “penyambutan terhadap bayi Soekarno. (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 15). Dalam kepercayaan Bali, kalau gunung Agung meletus maka itu pertanda buruk. Entahlah, mana yang benar, namuun Soekarno menerima semuanya itu sebagai bagian dari nasib hidupnya. “Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran, dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah perpaduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 15-16).
[3] Pendapat Dr. Daniel Dhakidae dalam subjudul “Dari Tempat Pembuangan menjadi Rumah Pemulihan: makna Soekarno bagi Ende, dan Ende bagi Soekarno”, dalam buku berjudul Soekarno–Ende, 1934–1938, halaman 13–79, Penerbit CV.Brimotry Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013.

[5] Ende di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Jalan raya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal yang ditebas melalui hutan. Di musim hujan lumburnya menjadi berbungkah-bungkah. Apabila matahari yang menghanguskan memancarkan dengan terik, maka bungkah-bungkah itu menjadi keras dan terjadilah lobang dan aluran baru. Ende dapat dijalani dari ujung ke ujung dalam beberapa jam saja (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 42-43).
[6] Secara historis empiris Indonesia boleh disebut sebagai negara candi. Selain karena secara kuantitas begitu banyak candi yang kita temukan (terutama di Pula Jawa dan Bali) yang merupakan hasil cipta dan karya peninggalan Hindu dan Budha, istilah ini oleh Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., dalam subjudul buku “Bung Karno: Perajut mimpi Indonesia Mandiri”, dalam buku berjudul Soekarno–Ende, 1934–1938, halaman 80–101, Penerbit CV. Brimotry Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013, lebih ditafsirkan sebagai sebuah proses permenungan, pergumulan. Proses demikian yang pada akhirnya mengerucut dan memuncak seperti candi. Badan candi sendiri dipahami sebagai proses. Puncak pergumulan Soekarno di Ende adalah Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi dasar negara Indonesia.