Halaman

Tampilkan postingan dengan label pembelajaran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pembelajaran. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 April 2023

Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran

 

Pendidikan menjadi bagian penting yang terintegral dengan bagian-bagian lain pembangunan dalam seluruh rangkaian proses pembangunan bangsa. Dengan kata lain, proses berlangsungnya pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan secara umum diarahkan dan betujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sebagai suatu proses pendidikan diarahkan dalam rangka membentuk peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya dan memungkinkannya pula untuk berkarya secara kompeten dalam kehidupan bermasyarakat. Keberhasilan pendidikan bangsa sangat erat kaitannya dengan sekolah, lembaga formal tempat berlangsungnya proses belajar mengajar di kelas maupun di luar kelas. Karena pengajaran bertugas mengarahkan proses ini agar sasaran dari perubahan itu dapat tercapai sebagaimana yang diinginkan.

Dalam melihat dan memandang keberadaan sekolah sebagai sebuah tempat terjadinya proses belajar-mengajar, proses pendidikan diharapkan untuk berlangsung dalam suasana kebersamaan sebagai sebuah cerminan miniatur pola kehidupan insani suatu masyarakat yang kompleks. Guru adalah sosok atau anggota suatu masyrakata. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik dan pengajar guru diharapkan dapat melamapui tugas mulianya, yakni menjadi “kreator” pembelajaran. Agar rencana dan pelaksanaan pembelajaran membuat peserta didik lebih kreatif dan inovatif.

Karena itulah, proses pendidikan juga adalah upaya atau proses pelatihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan, pikiran, karakter dan seterusnya, khususnya melalui persekolahan formal. Pemahaman seperti ini mendasarkan diri pada pemahaman bahwa pendidikan memiliki sifat dan sasaranya yaitu untuk kesejahteraan manusia. Manusia sebagai individu mengandung banyak aspek karena sifatnya yang sangat kompleks. Karena itu, tidak ada suatu batasan yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan pendidikan yang dibuat para ahli tampak begitu beraneka ragam, dan kandungannya berbeda antara satu dan yang lain. Batasanyang ada  bertujuan untuk memberi arah atau cakupan pelaksanaan pendidikan nasional itu sendiri (Tilaar: 2002: 67).

Beeraneka ragam pendekatan yang dapat diterapkan oleh guru dalam menyampaikan pembelajarannya di kelas. Pemilihan aneka pendekatan pembelajaran tersebut tentu disesuaikan dengan karakteristik dan kedalaman materi yang akan disampaikan kepada siswa. Aspek sederhana, murah, mudah, dan efektif menjadi titik perhatian pemilihan pendekatan pembelajaran. Salah satu pendekatan yang digunakan guru dalam membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran adalah pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning). Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru dalam mengaitkan antara materi pembelajaran yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning) adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. Pendekatan kontekstual adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak karena menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari peserta didik (Jhonson, 2012:57).

Kontekstual memfokuskan diri pada pembangunan ilmu, pemahaman, keterampilan peserta didik, dan juga pemahaman kontekstual peserta didik tentang hubungan mata pelajaran yang dipelajarinya dengan dunia nyata. Pembelajaran akan lebih bermakna apabila guru menekankan agar peserta didik lebih mengerti relevansi akan apa yang mereka pelajari di sekolah dengan situasi kehidupan nyata di mana isi pelajaran akan digunakan.

Tujuan pembelajaran kontekstual adalah untuk membekali peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan dan kemampuan (skill) yang lebih realistis karena inti pembelajaran berbasis kontekstual adalah untuk mendekatkan hal-hal yang teoretis ke hal-hal atau persoalan-persoalan yang bersifat praktis. Dengan demikian, proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual diusahakan agar teori yang dipelajari teraplikasi dalam situasi riil. Bagi guru metode ini membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan dunia nyata dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan sebelumnya dengan aplikasinya dalam kehidupan mereka di masyarakat (Nurhadi, 2009: 50). Perubahan pola atau paradigma pembelajaran sebagaimana yang disajikan di atas, telah memberikan gambaran bahwa telah terjadi perubahan atau peralihan pola-pola pendekatan pembelajaran di kelas. (*)

Kamis, 09 Maret 2023

Trend Pembelajaran: Dari Behaviorisme ke Konstruktivisme

 
Tren atau gaya mutakhir (KBBI, 2003) mempersyaratkan bahwa guru sebagai instrumental input, bahkan sutradara kelas harus ‘selalu’ mengorkestrasi kelas mengikuti gaya mutakhir pembelajaran. Syarat ini merupakan prioritas agar dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pembelajaran di kelas guru lebih siap dan matang dalam hal merancang persiapan, pemilihan bahan, metode, maupun parameter evaluasi untuk mengukur derajat keberhasilan (ketuntasan: KTSP) siswa dalam belajar. Untuk itu, demi sepadannya pemberian tunjangan yang cukup memadai di atas, adapun tuntutan yang diberikan kepada guru, yakni dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, sebagaimana diamanatkan Pasal 20. 
Sharing dan transaksi informasi pembelajaran ini akan saya gunakan sebaik mungkin untuk membagikan kepada Bapak/Ibu, sedikit tentang tren pembelajaran itu. Tren pembelajaran yang saya sharingkan pada kesempatan ini berkecenderungan pada tren pembelajaran kontekstual
1.        `Kecenderungan Pemikiran Tentang Belajar
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut.

1)        Proses Belajar

o    Belajar tidak sekedar menghafal, namun mengkonstruksi pengetahuan.

o    Anak belajar dari mengalami, bukan diberi begitu saja oleh guru.
o    Pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman tentang sesuatu persoalan (subject matter).
o    Pengetahuan tidak dapat dipisahkan menjadi fakta-fakta, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan, sehingga siswa dibiasakan memecahkan masalah.
o    Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Untuk itu, strategi belajar yang salah dan terus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, dan cara seseorang berperilaku.

2)        Transfer Belajar

o    Anak belajar dari mengalami, sendiri bukan pemberian orang lain.

o    Keterampilan dan pengetahuan diperluas dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit (sedikit-sedikit jadi bukit).
o    Penting bagi siswa tahu, untuk apa dia belajar, dan bagaimana dia menggunakan pengetahuan dan keterampilan tersebut.

3)        Siswa sebagai Pembelajar

o    Seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru. Jadi, Strategi belajar sangat penting.

o    Peran guru (orang dewasa) mengubungkan antara yang baru dengan yang sudah diketahui, sehingga tugas guru adalah memfasilitasi, agar informasi baru bermakna, guru sebagai sutradara.

4)        Pentingnya Lingkungan Belajar

o    Belajar efektif dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa: dari guru akting ke siswa akting.

o    Umpan balik penting bagi siswa, yang berasal dari penilaian yang benar.
o    Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok.
 2.        Kecenderungan Belajar yang Konstruktivistik
Menurut Zahorik (dalam Nurhadi,2009: 7) mengemukakan lima elemen belajar yang konstrutivistik. Lima elemen ini hendaknya diperhatikan dalam praktik pembelajaran kontekstual.
(1)     Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge ).
(2)     Pemerolehan pengetahuan baru dengan cara mempelajari secara saksama keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya (acquiring knowledge).
(3) Pemahaman pengetahuan dengan cara menyusun hipotesis, melakukan sharing agar mendapat tanggapan (validasi), dan revisi konsep dan dikembangkan (understanding knowledge ).
(4)     Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).
(5) Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut (reflecting knowledge).

3.        Kecenderungan Dengan Pembelajaran Kontekstual

Pertama, Konstruktivisme (constructivism)

Siswa dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi, bukan menerima pengetahuan. Pandangan konstruktivis, “strategi” memperoleh lebih diutamakan, dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan; (2) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka dalam belajar.

Kedua, Menemukan (Inquiry)

Inquiry merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang akan diajarkannya. Siklus inkuiri adalah:  (1) observasi (observation); (2) bertanya (questioning; (3) mengajukan dugaan (hiphotesis; (4) pengumpulan data (data gathering); dan penyimpulan (conclusion).

(1)     Merumuskan masalah.
Merumuskan masalah dapat dilakukan melalui mengamati atau melakukan observasi dengan: (a) membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi; dan (b) mengamati dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumber atau objek yang diamati
(2)     Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya.
Bertujuan untuk mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audiens dengan cara: (a) bertanya jawab dengan teman; (b) memunculkan ide-ide baru; (c) melakukan refleksi; dan (d) menempelkan karya di dinding kelas, majalah sekolah, dsb.
Ketiga, Bertanya (questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari bertanya. Bertanya (questioning) merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Kegiatan bertanya dipandang sebagai kegiatan untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Questioning dapat diterapkan di kelas antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dsb.

 Keempat, Masyarakat Belajar (Learning Community)

Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Dua orang anak dapat membentuk learning community. Hasil belajar dapat diperoleh melalui sharing, antara teman, antarkelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Di mana saja: di ruang ini, di kelas ini, di sekolah ini, di sekitar ini, atau orang-orang yang ada di luar sana, semuanya adalah anggota masyarakat belajar.

Masyarakat-belajar bisa terjadi apabila ada komunikasi dua arah. Seorang guru yang mengajari siswanya, bukan contoh masyarakat belajar, karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yakni informasi hanya datang dari guru ke siswa. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat pembelajaran saling belajar. Saling belajar terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, melainkan semua pihak saling mendengarkan.

Kelima, Pemodelan (Modelling)

Modelling maksudnya dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model ini bisa berupa cara mengoperasikan komputer, cara menendang bola, cara malafalkan bahasa Inggris, cara menulis karya ilmiah, dan sebagainya. Secara sederhana, ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci. Perlu diingat bahwa dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara melafalkan suatu kata. Di sini, siswa dikatakan sebagai model, namun, model juga bisa didatangkan dari luar.

Keenam, Refleksi (Reflection)

Reflection merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.

Ketujuh, Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)

Assessment adalah proses pengumpulan berbagai  data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Data yang demikian disebut data autentik.

Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah satunya. Itulah hakikat penilaian yang sebenarnya. Namun, perlu dibedakan bahwa, penilaian (assessment) merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi tentang pencapaian dan kemajuan belajar siswa, baik perseorangan maupun. Penilaian (evaluasi) merupakan kegiatan yang dirancang untuk mengukur keefektifan suatu sistem pendidikan nasional (PBK, 2002: 3). (*)







Langkah-langkah kegiatan menemukan (inquiry) sebagai berikut.

Sabtu, 07 November 2020

Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis “Teks” dalam Kurikulum 2013


 

A. Pendahuluan

Secara historis, Kurikulum 2013 merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya, yakni Kurikulum 2006 atau KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Pada Kurikulum 2006, mata pelajaran Bahasa Indonesia lebih mengedepankan pembelajarannya pada keterampilan berbahasa (dan bersastra), sedangkan dalam Kurikulum 2013, pembelajaran Bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan menalar. Perubahan ini terjadi dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kemampuan menalar peserta didik Indonesia masih sangat rendah. Hal ini diketahui dari studi Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2011, hanya lima persen peserta didik Indonesia yang mampu memecahkan persoalan yang membutuhkan pemikiran, sedangkan sisanya 95 persen hanya sampai pada level menengah, yaitu memecahkan persoalan yang bersifat hafalan. Tahun 2016, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang melaksanakan penilaian tiga tahunan atas budaya literasi 72 negara melalui Program For International Students Assesment—melansir indks budaya literasi siswa antarbangsa. Indeks literasi sains dan matematika siswa Indonesia naik cukup bermakna masing-masing 21 dan 11 poin: 382 poin pada 2012 menjadi 403 tahun 2015, serta 375 tahun 2012 dan 386 pada tahun 2015. Indeks literasi membaca hanya naik satu poin: 396 pada 2012 dan 397 pada 2015 (Kompas, 29 April 2017). Hasil penelitian tersebut ingin menjelaskan bahwa pendidikan Indonesia masih berada pada tatanan teoretis konseptual. Bahasa Indonesia sebagai pengajaran kebangsaan merupakan salah satu solusi, yaitu dengan menjadikan bahasa sebagai penghela ilmu pengetahuan dan pembelajaran berbasis teks.

 B.  Esensi Kurikulum Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 merupakan kurikulum berbasis kompetensi dengan “outcomes-based curriculum”. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian kompetensi yang dirumuskan dari SKL. Penilaian hasil belajar dan hasil kurikulum diukur dari pencapaian kompetensi

Kompetensi dasar dikembangkan berdasarkan tiga hal yang saling berhubungan yakni bahasa (pengetahuan tentang Bahasa Indonesia); sastra (memahami, mengapresiasi, menanggapi, menganalisis, dan menciptakan karya sastra; Literasi (memperluas kompetensi berbahasa Indonesia dalam berbagai tujuan khususnya yang berkaitan dengan membaca dan menulis). Pengetahuan tentang Bahasa Indonesia yang dimaksud adalah pengetahuan tentang bahasa Indonesia dan bagaimana penggunaannya yang efektif.

Siswa belajar bagaimana bahasa Indonesia memungkinkan orang saling berinteraksi secara efektif; membangun dan membina hubungan; mengungkapkan dan mempertukarkan pengetahuan, keterampilan, sikap, perasaan, dan pendapat. Siswa mampu berkomunikasi secara efektif melalui teks yang koheren, kalimat yang tertata dengan baik, termasuk tata ejaan, tanda baca pada tingkat kata, kalimat, dan teks yang lebih luas.

Pembelajaran sastra bertujuan melibatkan siswa mengkaji nilai kepribadian, budaya, sosial, dan estetik. Pilihan karya sastra dalam pembelajaran yang berpotensi memperkaya kehidupan siswa, memperluas pengalaman kejiwaan, dan mengembangkan kompetensi imajinatif. Siswa belajar mengapresiasi karya sastra dan menciptakan karya sastra mereka sendiri akan memperkaya pemahaman siswa akan kemanusiaan dan sekaligus memperkaya kompetensi berbahasa. Siswa menafsirkan, mengapresiasi, mengevaluasi, dan menciptakan teks sastra seperti cerpen, novel, puisi, prosa, drama, film, dan teks multimedia (lisan, cetak, digital/ online).

Aspek literasi bertujuan mengembangkan kemampuan siswa menafsirkan dan menciptakan teks yang tepat, akurat, fasih, dan penuh percaya diri selama belajar di sekolah dan untuk kehidupan di masyarakat. Pilihan teks mencakup teks media, teks sehari-hari, dan teks dunia kerja. Rentangan bobot teks dari kelas 1 hingga kelas 12 secara bertahap semakin kompleks dan semakin sulit, dari bahasa sehari-hari pengalaman pribadi hingga semakin abstrak, bahasa ragam teknis dan khusus, dan bahasa untuk kepentingan akademik. Siswa dihadapkan pada bahasa untuk berbagai tujuan, audiens, dan konteks.

C.  Pendekatan Pembelajaran Bahasa Indonesia

Pembelajaran Bahasa Indonesia dikembangkan berdasarkan pendekatan komunikatif, pendekatan berbasis teks, pendekatan CLIL (content language integrated learning), pendekatan pendidikan karakter, dan pendekatan literasi. Teks dalam pendekatan berbasis genre bukan diartikan istilah umum sebagai tulisan berbentuk artikel. Teks merupakan kegiatan sosial, tujuan sosial.

Ada 7 jenis teks sebagai tujuan sosial, yaitu: laporan (report), rekon (recount), eksplanasi (explanation), eksposisi (exposition: discussion, response or review), deskripsi (description), prosedur (procedure), dan narasi (narrative). Lokasi sosial dari eksplanasi bisa berupa berita, ilmiah populer, paparan tentang sesuatu; naratif bisa berupa bercerita, cerita, dan sejenisnya; eksposisi bisa berupa pidato/ceramah (eksemplum ada dalam pidato atau tulisan persuasif), surat pembaca, debat.

Teks adalah cara komunikasi. Komunikasi dapat berbentuk tulisan, lisan, atau multimodal. Teks multimodal menggabungkan bahasa dan cara komunikasi lainnya seperti visual, bunyi, atau lisan sebagaimana disajikan dalam film atau penyajian komputer.

Coyle (2006:2007) mengajukan 4C sebagai penerapan CLIL, yaitu content, communication, cognition, culture (community/citizenship). Content itu berkaitan dengan topik yang berdimensi. Communication berkaitan dengan bahasa jenis apa yang digunakan (misalnya membandingkan, melaporkan). Pada bagian ini konsep genre teraplikasi, bagaimana suatu jenis teks tersusun (struktur teks) dan bentuk bahasa apa yang sering digunakan pada jenis teks tersebut. Cognition berkaitan dengan keterampilan berpikir apa yang dituntut berkenaan dengan topik (misalnya mengidentifikasi, mengklasifikasi). Culture berkaitan dengan muatan lokal lingkungan sekitar yang berkaitan dengan topik, misalnya kekhasan tumbuhan yang ada di wilayah tempat siswa belajar, termasuk juga persoalan karakter dan sikap berbahasa.

Pendekatan berbasis teks yang menjadi model pembelajaran bahasa berbasis genre mencakup empat hal prosedur utama (lihat gambar), yaitu (1) membangun konteks teks dan membangun pengetahuan tentang teks yang akan dipelajari, (2) telaah model (dekonstruksi), (3) latihan membuat teks secara bertahap dan terbimbing (joint construction), (4) tugas dan latihan membuat teks secara mandiri dan minim bantuan guru (independent construction).

Keempat tahap tersebut digambarkan dengan diagram berikut

 

      Tahap Membangun Konteks

Tahap ini menyadarkan siswa tentang fungsi teks dalam konteks kehidupan yang sesungguhnya. Pada tahap ini disajikan beragam konteks yang berkaitan dengan hadirnya sebuah teks. Contoh menyajikan gambar dan bertanya jawab tentang lagu deskripsi Rayuan Pulau Kelapa.

      Tahap Telaah Model (Dekonstruksi)

Telaah model adalah kegiatan mengamati semua teks yang akan dipelajari. Model teks dapat diambil dari penggunaan autentik dari media massa (cetak dan elektronik) atau penggunaan di masyarakat yang tidak terpublikasi. Model teks juga dapat dikembangkan oleh penulis. Dekonstruksi yang dimaksud adalah siswa dibekali dengan kompetensi pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana menyusun atau menciptakan teks.

      Tahap Prakonstruksi (joint construction)

Tahap prakonstruksi adalah tahap berlatih membuat teks secara bertahap dan terbimbing. Pada tahap ini siswa berlatih menyusun bagian-bagian teks secara terbimbing dan bertahap. Ibarat bermain sepak bola, siswa berlatih menendang bola, menggiring bola, menahan bola masuk ke gawang. Pada tahap ini siswa masih mencoba bertahap untuk melengkapi teks, membuat bagian pembuka/penutup sebuah teks tertentu.

      Tahap Membuat Teks Secara Mandiri (independent construction)

Tahap ini merupakan bagian puncak dari pendekatan berbasis teks. Pada tahap ini siswa secara kreatif menghasilkan teks dengan berbagai konteks komunikasi. Tahap ini berisi panduan, tugas, dan latihan menyusun teks secara mandiri. Guru sebagai fasilitator.

  

Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

Standar Proses mengamanatkan penggunaan pendekatan saintifik dengan menggali informasi melalui mengamati, menanya, mengeksplorasi, menalar, dan mencoba.

      Mengamati

Tahap mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media objek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Pada tahap mengamati, kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan mengamati teks yang dimodelkan, mengamati dua/ tiga teks yang berbeda penyajiannya, mengamati tayangan TV/ video, mengamati gambar atau mengamati lingkungan sekitar, mengamati puzzle/ potongan kalimat/ paragraf, mengamati teks yang rumpang, mengamati teks dengan kesalahan struktur/ kebahasaan, mengamati contoh-contoh judul dan seterusnya.

      Menanya

Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari ‘bertanya’. Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam pembentukan kreativitas dan kekritisan. Siswa dalam mengajukan pertanyaan didorong rasa ingin tahu.

      Mengeksplorasi/Mencoba

Pada kegiatan eksplorasi siswa melakukan berbagai eksperimen, membaca beragam buku, mewawancarai, mengamati beragam contoh yang lebih luas. Dalam kegiatan eksplorasi, guru: (1) melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip belajar dari aneka sumber; (2) menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain; (3) memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; (4) melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan (5) memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.

      Menalar

Penalaran adalah proses berpikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat. Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide dan engasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori.

      Mengomunikasi

Pada tahap ini peserta didik memaparkan hasil pemahamannya terhadap suatu konsep/bahasan secara lisan atau tertulis. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah melakukan presentasi laporan hasil percobaan, mempresentasikan peta konsep, memajang, memamerkan dengan penjelasan, memublikasikan, dan lain-lain.

D.  Teks dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 yang mencakup sejumlah perubahan mulai diberlakukan Juli 2013 di sebagian sekolah di Indonesia yang dipilih oleh Kemendikbud. Kebijakan ini perlu mendapat perhatian dan sambutan dari berbagai pihak agar pemberlakuan kurikulum baru dapat dilaksanakan dengan baik dan bena-benar meningkatkan kualitas pendidikan.

Pembelajaran bahasa Indonesia termasuk sastra pada kurikulum 2013 menggunakan pendekatan teks (Mahsun, 2013a). Dengan berbasis teks, siswa menggunakan bahasa tidak saja hanya dijadikan sebagai sarana komunikasi, tetapi sebagai sarana mengembangkan kemampuan berpikir. Pengertian teks dalam kurikulum ini berbeda dengan pengertian teks selama ini yang hanya diartikan sebagai wacana tertulis. (Alwi,et al, 2002:1159). Teks itu adalah ungkapan pikiran manusia yang lengkap yang di dalamnya ada situasi dan konteksnya (Mahsun, 2013a). Teks dibentuk oleh konteks situasi penggunaan bahasa yang di dalamnya ada register atau ragam bahasa yang melatarbelakangi lahirnya teks tersebut. Mahsun (2013b) menyatakan bahwa bahasa yang muncul berdasarkan konteks situasi inilah yang menghasilkan register atau bahasa sebagai teks.

Pembelajaran bahasa Indonesia disuguhakan pada peserta didik bertujuan untuk melatih peserta didik terampil berbahasa dengan menuangkan ide dan gagasanya secara kreatif dan kritis. Pembelajaran bahasa Indonesia pada hakikatnya adalah membelajarkan peserta didik tentang keterampilan berbahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai tujuan dan fungsinya.

Menurut Atmazaki (2013), mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial, menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Di dalam bagian Pendahuluan buku Komposisi, setelah menguraikan pengertian bahasa, aspek bahasa, fungsi bahasa, tujuan kemahiran berbahasa, dan manfaat tambahan, Gorys Keraf tiba pada satu simpulan. Bahwa pemakai bahasa tidak saja harus memiliki kemahiran berbahasa, tetapi juga harus memiliki moral yang tinggi (Keraf, 1989:10). Menurut Gorys Keraf, kemahiran berbahasa bertujuan melancarkan komunikasi yang jelas dan teratur dengan sesama anggota masyarakat. Maka, yang terutama dari kemahiran berbahasa adalah pemakaian bahasa secara baik untuk kepentingan tiap individu dalam masyarakat, demi kebaikan umat manusia (Keraf, 1989:10).

Untuk mengimplementasikan tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia tersebut, maka pembelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013 disajikan dengan menggunakan pendekatan berbasis teks. Teks dalam pendekatan berbasis genre bukan diartikan sebagaimana yang dipahami orang dalam tulisan. Teks merupakan kegiatan sosial yang bertujuan sosial. Terdapat tujuh teks dengan tujuan sosial, yaitu laporan (report), rekon[3] (recount), eksplanasi (explanation), eksposisi (exposition, discussion, respon of view), deskripsi (description), prosedur (procedure), dan narasi (narrative). Latar sosial dari eksplanasi dapat berupa berita, ilmiah popular, paparan tentang sesuatu, naratif dapat berupa bercerita, cerita, dan sejenisnya. Eksposisi dapat berupa pidato atau ceramah (eksemplum ada dalam pidato atau tulisan persuasif), surat pembaca dan debat.

Tujuan teks sosial melalui bahasa berbeda-beda sesuai dengan keperluan. Pencapaian tujuan ini diwadahi oleh karakteristik cara mengungkapkan tujuan sosial yang disebut struktur retorika, pilihan kata sesuai tujuan, serta tata bahasa. Misalnya, tujuan sosial eksplanasi adalah berpendapat sehingga memiliki struktur retorika tesis-argumen. Oleh karena itu, teks sebagai cara berkomunikasi dengan lisan, tulisan, dan multimodal. Teks multimodal menggabungkan bahasa dan cara komunikasi lainnya seperti visual, bunyi, atau lisan sebagaimana dalam film atau penyajian komputer.

Mahsun (2014:39) menyatakan, dalam pembelajaran Bahasa ada dua komponen yang harus dipelajarai, yaitu masalah makna dan bentuk. Kedua unsur tersebut harus hadir secara stimulan dan keduanya harus ada. Namun pemakai bahasa harus menyadari bahwa komponen makna menjadi unsur utama dalam pembentuk bahasa, dan karena itu bahasa menjadi sarana pembentukan pikiran manusia. Untuk itu guru perlu menyadari, bahwa kemampuan berpikir yang harusnya dibentuk dalam bahasa adalah kemampuan berpikir sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis. Secara stimulatif kemampuan berpikir tersebut disebut dengan berpikir metodologis yang hanya dapat dicapai melalui pembelajaran teks berdasarkan pendekatan ilmiah/saintifik.

Pendekatan ilmiah digunakan untuk mengembangkan belajar mandiri dan mengembangkan sikap kritis terhadap fakta dan fenomena. Guru diharapkan tidak memberi “tahu” sesuatu yang dapat dilakukan anak untuk mancari “tahu”. Pengetahuan diperoleh anak melalui langkah-langkah ilmiah: mengajukan pertanyaan, mengamati fakta, mengajukan jawaban sementara, menguji fakta, menyimpulkan jawaban, dan menyampaikan temuan. Sehubungan dengan itu, pembelajaran bahasa Indonesia menonjolkan empat unsur sebagai penajaman kompetens berbahasa, yaitu  isi (content), bahasa/komunikasi (communication), kognisi (cognition), dan budaya (culture).

Pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan pendekatan genre yang menekankan “kolaborasi interaktif antara guru dan siswa, guru mengambil peran otoritas untuk menaikan jenjang performa potensial peserta didik”. Vigotsky–menegaskan bahwa belajar terjadi dalam suatu konteks sosial percakapan dan keterampilan berpikir yang melampaui Zona of Actual Developmen individual.   

Pada kesempatan lain Mahsun (2013) menyatakan, kehadiran konteks budaya, selain konteks situasi yang melatarbelakangi lahirnya suatu teks menunjukkan adanya kesejajaran antara pembelajaran berbasis teks (konsep bahasa) dengan filosofi pengembangan Kurikulum 2013.

Hal lain yang perlu dicermati oleh guru, bahwa karakteristik pembelajaran terkait erat dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan memberikan kerangka konseptual tentang sasaran pembelajaran yang harus dicapai, dan Standar Isi memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang dikembangkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi. Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan domain sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memiliki karakteristik berbeda untuk masing-masing mata pelajaran.

Domain Sikap diperoleh melalui aktivitas menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan. Domain pengetahuan diperoleh melalui aktivitas mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Domain keterampilan diperoleh melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Pencapain kompetensi tersebut berkaitan erat dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan. Untuk itu, guru harus merencanakan pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum dengan menggunakan pendekatan saintifik dan model pembelajaran yang mendorong kemampuan peserta didik untuk melakukan penyingkapan/ penelitian, serta dapat menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok.

Dengan memahami keterkaitan masing-masing kompetensi dalam pembelajaran, khusunya pembelajaran bahasa Indonesia dengan pembelajaran berbasis teks akan mampu mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik secara kreatif dan kritis. Di samping itu, pembelajaran Bahasa Indonesia dapat berperan sebagai penghela dan pengintegrasi ilmu lain.

Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013 dengan pembelajaran berbasis teks bertujuan agar dapat membawa peserta didik sesuai perkembangan mentalnya, dan menyelesaikan masalah kehidupan nyata dengan berpikir kritis. Dalam penerapannya, pembelajaran Bahasa Indonesia memiliki prinsip, yaitu sebagai berikut.

a.    Bahasa hendaknya dipandang sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata atau kaidah kebahasaan.

b.   Penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasan untuk mengungkapkan makna.

c.    Bahasa bersifat fungsional, artinya penggunaan bahasa yang tidak pernah dapat dipisahkan dari konteks, karena bentuk bahasa yang digunakan mmencerminkan ide, sikap, nilai, dan ideologi pemakai/penggunanya.

d.   Bahasa merupakan sarana pembentukan berpikir manusia.

Dengan prinsip di atas, maka pembelajaran bahasa berbasis teks membawa implikasi metodologis pada pembelajaran yang bertahap. Hal ini diawali dari kegiatan guru membangun konteks, dilanjutkan dengan kegiatan pemodelan, membangun teks secara bersama-sama, sampai pada membangun teks secara mandiri. Kegiatan ini dilakukan karena teks merupakan satuan bahasa yang mengandung pikiran dengan struktur yang lengkap. Guru harus benar-benar meyakini bahwa pada akhirnya peserta didik mampu menyajikan teks secara mandiri

Untuk implemetasi dalam pembelajaran, guru dapat menggunakan model pembelajaran, antara lain model inkuiri based learning, discovery based learning, problem based learning, dan project based learning. Model-model tersebut masing-masing memiliki langkah kerja yang sistematis dalam penerapannya. Dalam penerapan model tidak ada satu model yang unggul dari model lain, namun guru perlu mencocokkan dengan lingkup materi dan strategi pembelajaran yang digunakan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 Agustina, Sofia Eka. 2017. Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Teks: Representasi Kurikulum 2013. Jurnal AKSARA. Vol. 18, No. 2, April 2017. https://media.neliti.com/media/publications/241049-pembelajaran-bahasa-indonesia-berbasis-t-be6531e1.pdf.

 

Atmazaki. 2013. Mengungkap Masa Depan: Inovasi Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks Pengembangan Karakter Cerdas. Makalah. Padang: UNP.

 

Dirjen Pendik Kemendikbud. 2014. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Melalui Pendekatan Saintifik. Jakarta: Dirjen Pendik.

 

Ibrahhim A. Gufron. PISA dan Daya Baca Bangsa. Kompas, 29 April 2019.

 

Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Nusa Indah: Ende.

 

Mahsun. 2013. Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 2013. http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/artikel-kurikulum-mahsun. Diakses 20 September 2019.

 

Mahsun. 2014. Teks Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

Patria, Bekti. 2013. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013. https://bektipatria.wordpress.com/2013/10/27/mata-pelajaran-bahasa-indonesia-dalam-kurikulum-2013/. Diakses 27 September 2015.

 

Slamet, St. Y.. 2007. Dasar-Dasar Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar. Surakarta: LPP UNS dan UPT.

 

Ibrahim A. Gufran. Kompas, 29 April 2017. PISA dan Daya Baca Bangsa.



[1] Makalah ini disampaikan dalam Workshop Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Kurikulum 2013 bagi Mahasiswa PBSI Uniflor, Tahun 2019, yang dilaksanakan pada Senin, 17 Juni 2019, bertempat di Laboratorium Micro Teaching Prodi PBSI Universitas Flores.

 

[2] Mengampu mata kuliah Sosiolinguistik pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Flores.

[3] Menceritakan cerita secara berurutan.