Halaman

Selasa, 14 November 2017

Merajut Kebhinekaan, Mengukuhkan Kebangsaan




Sebagai sebuah bangsa kita telah menjejak jalan hidup panjang dengan bersandar pada nilai-nilai kebangsaan yang telah tertanam dalam bangunan bangsa Indonesia. Keuletan dan ketokohan para pendahulu untuk teguh pendirian menghadirkan sebuah bangsa Indonesia yang berdaulat. Mereka mulai meratas dan meretas “jalan panjang” penuh liku menuju bangunan NKRI yang satu. Mereka adalah representasi “sedikit” orang dari “banyak” orang, jika ditilik dari situasi kekinian, yang memiliki itikad dan ikhtiar untuk terus merawat perdamaian. Perdamaian yang dialami sekarang juga adalah bukti sebuah “jalan panjang” yang ditenun secara bersama-sama. Maka, atas nama perdamaian di tengah kebhinekaan, upaya “berdamai” dengan sesama anak bangsa harus tetap diperjuangkan. Tanpa melihat ada perbedaan sedikitpun, karena justru perbedaan itulah telah berperan merekat dan memadukan semua kita dalam satu negara Indonesia. Negara yang berkarakter kuat dalam gagasan dan pandangan yang humanis kemanusiaan, maupun dalam tindakan, perilaku, dan sikap hidup. Karena bahwa setiap manusia secara imanen mempunyai kesadaran terhadap apa yang ada di sekeliling kita yang masing-masing berbeda, sehingga sebaiknya kita harus mengakui kesadaran itu, tanpa bermaksud menilainya baik atau buruk dan kurang atau lebih.
Dalam kehidupan heterogenitas masyarakat memang cenderung terjadi polarisasi hubungan antara orang perorang, maupun antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Faktornya juga bermacam-macam. Salah satunya adalah pertentangan atau perbedaan itu terjadi akibat cara pandang dua kelompok yang berbeda dalam menyelesaikan suatu masalah. Dalam struktur masyarakat yang demikian, hubungan seperti ini sering berjalan tidak linier. Sebagai jalan tengah memulihkan relasi akibat polarisasi dimaksud, maka masyarakat mesti membangun dan merajut kembali interaksi dialogis.
Dalam cara pandang interaktif dialogis yang demikian, Bourdieu mengajukan dua konsep yang disebutnya sebagai habitus dan ranah. Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial. Oleh karena itu, habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus bagi Bourdieu (Takwin, 2009:xix), merupakan produk budaya sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat. Pada proses interaksi dengan pihak luar itulah, terbentuklah ranah yang menjadi pertemuan pada ruang sosial untuk memungkinkan individu dan habitusnya berhubungan dengan individu lain dalam berbagai realitas sosial.
Dalam koridor hubungan yang demikianlah ranah telah menjadi pertaruhan kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal. Para pemodal, penguasa dan kelompok elite adalah contoh konkrit kelompok yang memiliki skemata kognisi yang mapan sebagai perwujudan habitus dalam rangka melakukan tawar-menawar untuk mendapatkan ranah atau posisi dan kekuatan mempertahankan status quo. Mereka akan berbaur dengan kelompok-kelompok humanis yang senantiasa mengusung perdamaian dan “menolak” untuk melanggengkan konflik, sehingga mereka terus tak henti menganjurkan jalan keluar penyelesaian melalui jalur damai. Pendekatan yang barangkali tidak diminati kelompok kekuatan kognisi maupun kekuatan modal.
Mengacu pada berbagai peristiwa akhir-akhir ini, seperti anarkisme, radikalisme, premanisme, penyalahgunaan kuasa dan wewenang, dan pola kekerasan lain yang bersifat destruktif, sesungguhnya menyiratkan adanya krisis jati diri kebangsaan identitas yang sangat substansif. Pada akhirnya, dibutuhkan sebuah model pengajaran pada semua jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sebuah model pengajaran yang diharapkan menjadi pengajaran kebangsaan yang teraplikasi melalui mata pelajaran dan mata kuliah bernuansa kebangsaan, selain pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan pengajaran lain yang selama ini telah diterapkan. Pengajaran kebangsaan dianggap menjadi media pengayak juga penghalus hati dan budi manusia Indonesia, terutama peserta didik sebagai generasi muda masa depan.  Untuk itu, pengajaran kebangsaan tetap menjadi pengajaran yang aktual dan relevan sebagai prioritas lembaga-lembaga formal kita, agar perihal jiwa kebangsaan perlu ditanamkan sejak dini.
Dari sudut yang lain, bolehlah kita jujur bahwa penyebab sikap dan perilaku yang destruktif disebabkan juga oleh adanya kepesatan perkembangan teknologi dan informasi. Ketika bangsa ini belum siap mental d
an psikologis, terpaan teknologi itu datang secara massif. Jadilah bangsa inipun kaget dan menjadi bangsa yang konsumtif. Namun demikian, tentu kitapun tidak bisa menolak, mengelak dengan kepesatan yang ada. Melalui pintu pendidikan segenap anak bangsa mesti memiliki sikap selektif yang baik untuk memilah dan memilih aneka macam informasi agar tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi itu. Di tengah aliran deras informasi hoaks dan ujaran kebencian yang kian tak terelakan. Menyaksikan perkembangan industrialisasi yang pesat ini, Betrand Russel mengajak umat manusia untuk membaca Buku Kedua Tuhan dengan lebih baik. Buku Pertama, menurutnya adalah Kitab Suci, sedangkan Buku Kedua adalah alam, dengan bahasanya adalah ilmu pengetahuan. Pemujaan terhadap mesin adalah sesuatu yang memuakkan, sehingga pemujaan berlebihan terhadapnya adalah pemujaan setan di zaman modern. (*)



[1] Artikel opini ini dimuat dalam HU Flores Pos, 13 Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar