Gebiar
bola terbesar di NTT bernama ETMC baru
selesai
dihelat di Kabupaten Sikka
Maumere. Stadion Gelora Samador da Cunha Maumere menjadi arena masing-masing
tim atau perserikatan memperlihatkan kepiawaiannya dan “talenta” dalam
menggulir bola. Persami Maumere keluar merengkuh juara setelah menaklukkan tim
tetangga sebelah Perse Ende. Euforia, decak kagum, dan gemuruh para suporter menembusi
langit kota Maumere yang nyaris terbakar oleh terik matahari. Teriakan
histeris. Lautan suporter Persami tumpah ruah berbaur dengan anak-anak Laskar
Kelimutu menggoyang bumi Nian Sikka. Terus berarak menembus lorong-lorong kota
sampai pedalaman Kabupaten Nyiur Melambai ini. Seakan hanyut dan tenggelam di keindahan
teluk Maumere. Destinasi pariwisata laut yang baru saja di launching
oleh orang-orang besar Jakarta. Demikianlah kegembiraan. Luapan dan ekspresi anak-anak
maniak Maumere terhadap tim kesayangannya Persami. Itulah “adat” kompetisi. Ada
yang menang dan ada yang kalah. Dilarang dendam. Dilarang berlebihan karena
sepak bola menjunjung sportivitas.
Drama bola dua tahunan itu pun telah usai. Tinggal kisah
dan kenangan. Suka juga duka selama perhelatan berlangsung. Semua perserikatan
pun telah bale nagi dan tentu mulai merancang strategi baru untuk
menyambut perhelatan yang sama dua tahun yang akan datang di bumi tiwu telu
Kelimutu Ende 2017.
El Tari Memorial Cup
Ketika ETMC, “si Kulit bundar” mulai digulir, ada asa
bersama. Harapan kaya optimisme juga digelindingkan untuk digapai bersama. Harapannya bisa jadi adalah pertama, melalui ETMC
masyarakat NTT mesti lebih mampu mempererat persaudaraan dan kekeluargaaan
dengan merajut kembali kondisi kehidupan masyarakat yang mungkin sudah longgar,
lantaran berbagai persoalan kemaslahatan masyarakat masih saja retorik, kedua
sebagai sarana hiburan, artinya ETMC mampu membuat orang banyak merasa
bahagia dan gembira dalam situasi beban hidup rakyat yang terus-menerus didera
kesulitan. Kita berharap gebiar ETMC akan melahirkan ergon, penyerasian antara berbagai
unsur dalam sebuah tim untuk mempertontonkan permaianan yang elegan, cantik,
indah, dan ketiga
adalah turnamen ETMC menjadi wadah mengevaluasi sejauh mana kemajuan dan
keberhasilan pembinaan olahraga, secara khusus sepak bola di daerah ini. Oleh
karena itu, sepak bola kita mesti menampakkan wajah lain yang oleh von Humboldt
tidak sekadar terbatas sebagai ergon, sebuah alat untuk mendapatkan hasil,
melainkan juga menjadi sebuah energia, kekuatan, tenaga, yang aktif,
dinamis, dan mempersatukan.
Itulah asa yang digantung di depan yang harus digapai
oleh duta setiap perserikatan khususnya, dan masyarakat NTT pada umumnya.
Dengan sarana bola si kulit bundar kita coba mengaktualisasikan amanat di atas
untuk menjanin lagi rajutan yang telah pudar, mempererat kembali ikatan yang
sudah longgar dan menyimpul ulang sebuah persatuan yang mungkin menipis oleh
prasangka-prasangka akibat perjalanan waktu. Kendati demikian, harus diakui
bahwa untuk merealisir harapan tersebut
tidaklah semuda mengejanya. Benar adanya. Karena yang diungkapkan belum tentu
benar dalam tindakan. Suguhan tak menarik di tengah lapangan, seperti adu jotos
antarpemain, pengejaran wasit sampai pemukulan wasit oleh pemain, lagak
fanatisme suporter memasuki lapangan, dan berbagai fenomena lainnya memperlihatkan
bahwa sepak bola kita telah menjadi permainan fisik, bukan adu keterampilan
mengolah bola. Sampai kapan pula litani “ricuh lagi” demi menjunjung tinggi hukum
sportivitas dalam sepak bola? Tak juga dipungkiri bahwa ada satu dua pemain
yang berhasil dilirik tim-tim papan atas dan berkesempatan merumput di level nasional.
Cukupkah itu sebagai petanda bahwa sepak bola kita maju? Sesungguhnya ini
pengalaman pahit. Angka merah yang senantiasa butuh komitmen terus-menerus
semua stakeholder bola untuk berbenah.
Antara asosiasi kabupaten, pemerintah daerah, pemain, dan seluruh perangkat
pertandingan, termasuk para suporter dan pendukung masing-masing tim.
Kematangan emosional pemain juga mesti terus diasah, di samping kematangan dan
keterampilan mendrill bola.
Memang sukar mencari instrumen keberhasilan sepak bola
kita. Namun tidak berlebihan juga kalau ETMC menjadi ajang bergengsi. Parameter
yang dapat memberikan gambaran seberapa kontinuitas pembinaan sepak bola di
masing-masing kabupaten. Kita tentu perlu mengucapkan selamat kepada
Kesebelasan Kabupaten “belia” Malaka (Persemal), misalnya yang penampilannya di
luar ekspektasi penggila bola. Mngalahkan juar bertahan Manggarai Barat, dan tembus
babak semi final menjadi contoh kontinuitas pembinaan tersebut. Tampil apik
dengan terus memperagakan kerja sama dan skill yang menghibur adalah
bagian dari pembinaan yang kita idamkan. Dengan kata lain, yang lokal itu bukan
tidak bisa, tetapi frekuensi latihan dan ajang bola perlu digalang lebih
serius, di samping soal-soal teknis lain, dana, manajemen, dan sebagainya. Siapa
bilang anak-anak kita tidak memiliki keterampilan dan skill mumpuni? Demi
keseriusan itulah, kita berharap asosiasi di daerah kabupaten/kota terus
menggalang turnamen, entah bekerja sama dengan pihak lain untuk merekruit, membina,
juga mempromosikan pemain-pemain muda
lokal yang berbakat.
Akhirnya, pada sisi yang lain, sepak bola dan berbagai
fakta yang mengitarinya memberikan pelajaran kepada masyarakat kita, NTT juga Indonesia,
juga dunia bahwa menjadi juara (pemimpin) itu tidak abadi, mutlak. Ada
dinamika naik turun. Fluktuatif. Butuh pengorbanan, kerja sama, dana, waktu,
dan berbagai komponen lain yang sama-sama penting. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar