Halaman

Rabu, 08 November 2017

Sepak Bola NTT Setelah ETMC






Gebiar bola terbesar di NTT bernama ETMC baru selesai dihelat di Kabupaten Sikka Maumere. Stadion Gelora Samador da Cunha Maumere menjadi arena masing-masing tim atau perserikatan memperlihatkan kepiawaiannya dan “talenta” dalam menggulir bola. Persami Maumere keluar merengkuh juara setelah menaklukkan tim tetangga sebelah Perse Ende. Euforia, decak kagum, dan gemuruh para suporter menembusi langit kota Maumere yang nyaris terbakar oleh terik matahari. Teriakan histeris. Lautan suporter Persami tumpah ruah berbaur dengan anak-anak Laskar Kelimutu menggoyang bumi Nian Sikka. Terus berarak menembus lorong-lorong kota sampai pedalaman Kabupaten Nyiur Melambai ini. Seakan hanyut dan tenggelam di keindahan teluk Maumere. Destinasi pariwisata laut yang baru saja di launching oleh orang-orang besar Jakarta. Demikianlah kegembiraan. Luapan dan ekspresi anak-anak maniak Maumere terhadap tim kesayangannya Persami. Itulah “adat” kompetisi. Ada yang menang dan ada yang kalah. Dilarang dendam. Dilarang berlebihan karena sepak bola menjunjung sportivitas.
Drama bola dua tahunan itu pun telah usai. Tinggal kisah dan kenangan. Suka juga duka selama perhelatan berlangsung. Semua perserikatan pun telah bale nagi dan tentu mulai merancang strategi baru untuk menyambut perhelatan yang sama dua tahun yang akan datang di bumi tiwu telu Kelimutu Ende 2017.

El Tari Memorial Cup
Ketika ETMC, “si Kulit bundar” mulai digulir, ada asa bersama. Harapan kaya optimisme juga digelindingkan untuk digapai bersama. Harapannya bisa jadi adalah pertama, melalui ETMC masyarakat NTT mesti lebih mampu mempererat persaudaraan dan kekeluargaaan dengan merajut kembali kondisi kehidupan masyarakat yang mungkin sudah longgar, lantaran berbagai persoalan kemaslahatan masyarakat masih saja retorik, kedua sebagai sarana hiburan, artinya ETMC mampu membuat orang banyak merasa bahagia dan gembira dalam situasi beban hidup rakyat yang terus-menerus didera kesulitan. Kita berharap gebiar ETMC akan melahirkan ergon, penyerasian antara berbagai unsur dalam sebuah tim untuk mempertontonkan permaianan yang elegan, cantik, indah, dan ketiga adalah turnamen ETMC menjadi wadah mengevaluasi sejauh mana kemajuan dan keberhasilan pembinaan olahraga, secara khusus sepak bola di daerah ini. Oleh karena itu, sepak bola kita mesti menampakkan wajah lain yang oleh von Humboldt tidak sekadar terbatas sebagai ergon, sebuah alat untuk mendapatkan hasil, melainkan juga menjadi sebuah energia, kekuatan, tenaga, yang aktif, dinamis, dan mempersatukan.
Itulah asa yang digantung di depan yang harus digapai oleh duta setiap perserikatan khususnya, dan masyarakat NTT pada umumnya. Dengan sarana bola si kulit bundar kita coba mengaktualisasikan amanat di atas untuk menjanin lagi rajutan yang telah pudar, mempererat kembali ikatan yang sudah longgar dan menyimpul ulang sebuah persatuan yang mungkin menipis oleh prasangka-prasangka akibat perjalanan waktu. Kendati demikian, harus diakui bahwa untuk merealisir  harapan tersebut tidaklah semuda mengejanya. Benar adanya. Karena yang diungkapkan belum tentu benar dalam tindakan. Suguhan tak menarik di tengah lapangan, seperti adu jotos antarpemain, pengejaran wasit sampai pemukulan wasit oleh pemain, lagak fanatisme suporter memasuki lapangan, dan berbagai fenomena lainnya memperlihatkan bahwa sepak bola kita telah menjadi permainan fisik, bukan adu keterampilan mengolah bola. Sampai kapan pula litani “ricuh lagi” demi menjunjung tinggi hukum sportivitas dalam sepak bola? Tak juga dipungkiri bahwa ada satu dua pemain yang berhasil dilirik tim-tim papan atas dan berkesempatan merumput di level nasional. Cukupkah itu sebagai petanda bahwa sepak bola kita maju? Sesungguhnya ini pengalaman pahit. Angka merah yang senantiasa butuh komitmen terus-menerus semua stakeholder bola untuk  berbenah. Antara asosiasi kabupaten, pemerintah daerah, pemain, dan seluruh perangkat pertandingan, termasuk para suporter dan pendukung masing-masing tim. Kematangan emosional pemain juga mesti terus diasah, di samping kematangan dan keterampilan mendrill bola.
Memang sukar mencari instrumen keberhasilan sepak bola kita. Namun tidak berlebihan juga kalau ETMC menjadi ajang bergengsi. Parameter yang dapat memberikan gambaran seberapa kontinuitas pembinaan sepak bola di masing-masing kabupaten. Kita tentu perlu mengucapkan selamat kepada Kesebelasan Kabupaten “belia” Malaka (Persemal), misalnya yang penampilannya di luar ekspektasi penggila bola. Mngalahkan juar bertahan Manggarai Barat, dan tembus babak semi final menjadi contoh kontinuitas pembinaan tersebut. Tampil apik dengan terus memperagakan kerja sama dan skill yang menghibur adalah bagian dari pembinaan yang kita idamkan. Dengan kata lain, yang lokal itu bukan tidak bisa, tetapi frekuensi latihan dan ajang bola perlu digalang lebih serius, di samping soal-soal teknis lain, dana, manajemen, dan sebagainya. Siapa bilang anak-anak kita tidak memiliki keterampilan dan skill mumpuni? Demi keseriusan itulah, kita berharap asosiasi di daerah kabupaten/kota terus menggalang turnamen, entah bekerja sama dengan pihak lain untuk merekruit, membina, juga mempromosikan  pemain-pemain muda lokal yang berbakat.
Akhirnya, pada sisi yang lain, sepak bola dan berbagai fakta yang mengitarinya memberikan pelajaran kepada masyarakat kita, NTT juga Indonesia, juga dunia bahwa menjadi juara (pemimpin) itu tidak abadi, mutlak. Ada dinamika naik turun. Fluktuatif. Butuh pengorbanan, kerja sama, dana, waktu, dan berbagai komponen lain yang sama-sama penting. (*)


Opini ini dimuat dalam HU Flores Pos, 17 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar