Halaman

Senin, 06 November 2017

Ujian Nasional dan Momentum Refleksi Bersama




Prosesi akhbar ujian akhir nasional (unas) 2009 telah berlalu. Proyek tahunan  Depdiknas tersebut pun siap diumumkan ke ruang publik. Media, misalnya memberitakan, tingkat kelulusan ujian nasional SMA/MA dan SMK tahun ini menurun 5%. Penurunan ini disebabkan karena tingkat pengawasan berjalan baik, yang indikatornya adalah kurangnya pelanggaran yang terjadi ketika unas berlangsung. Dari total peserta unas 1.522.162, lebih dari 10 persen yang tidak lulus, yakni sebanyak 154.079. Bagi yang tidak lulus masih memiliki kesempatan untuk mengikuti ujian ulang pada 10 - 14 Mei 2010. Kalau masih ada siswa yang tidak lulus maka akan mengikuti unas kesetaraan paket C pada 22 Juni mendatang. Sekadar mengingatkan kita semua bahwa kalau tingkat kelulusan tahun lalu mencapai 93,4%, maka tahun ini cuma mencapai 89,88% siswa yang dinyatakan lulus. Mendiknas mencontohkan, di Gorontalo tingkat kelulusan mencapai 90% tahun lalu, namun tahun ini hanya mencapai 53%. Selain Gorontalo, beberapa daerah yang tingkat kelulusannya menurun, yakni NTT (52,08%), Kalteng (39,29%), Maluku Utara (41,14%), Sultra (35,89%), dan Kaltim (30,35%). (Jawa Pos, 24 April 2010).
Tentu ini sebagai wujud pertanggungjawaban departemen ‘produksi’ manusia negeri ini kepada masyarakat. Apapun hasilnya, sebagai anggota masyarakat kita sepantasnya memberikan apresiasi dan penghargaan  tak terhingga buat penyelenggara, terutama peran guru dalam kapasitasnya sebagai instrumental input yang telah mengawal dan memberikan yang terbaik untuk siswa atau peserta didiknya. Kepada segenap orangtua, ucapan terima kasih tak terhingga kita sampaikan, karena dengan impitan kehidupan sosial ekonomi yang dilematis di tengah badai ekonomi negeri yang kian fluktuatif tetapi masih dengan tegar membiayai sebuah generasi, sebuah zaman yang kelak memegang kendali daerah dan bangsa ini. Juga kepada masyarakat luas yang turut menjaga kondusivitas lingkungan pembelajaran, sehingga terciptalah lingkungan pembelajaran yang aman, tertib, dan nyaman.
Dari hasil yang ada dapat dijadikan sebagai parameter evaluatif. Pertama, menjadi kaca pengilon buat guru untuk mengevaluasi diri, demi memilah dan memilih materi, metode dan penilaian (MMP) yang lebih pas, relevan dan bergayut dengan paradigma pembelajaran ke depan. Guru juga dapat berpikir kembali bagaimana memberikan penilaian atau evaluasi yang tepat terhadap keseluruhan tingkah laku belajar siswa yang pada akhirnya dapat terbentuklah persona-persona yang siap tampil maksimal dan memiliki kematangan kognisi, afeksi dan psikomotorik. Bagi orangtua dan masyarakat, hasil unas dapat menjadi bagian refleksi untuk mengukur derajat partisipasi aktif yang telah dibangun dengan lembaga formal tempat putra/putri mereka menempuh pendidikan. Kedua, menjadi pemicu dalam memacu diri sebagai upaya meletakkan (link march) strategi dan kiat baru demi meningkatkan lagi hal-hal yang dianggap positif pascaunas berlangsung.
Terlepas dari tuaian tahunan Depdiknas tersebut, tentu masih ada keprihatinan Nasional, keprihatinan kita bersama atas beberapa kasus ikutan yang timbul dari penyelenggaraan unas 2009. Keprihatinan itu seperti, adanya sinyalemen yang beredar bahwa para siswa masih menggunakan cara-cara yang tidak fair menghadapi ujian nasional. Ada rumor yang berkembang juga bahwa guru memfasilitasi kelulusan siswa yang secara politis akan mendongkrak angka kelulusan siswa dan sekolah. Pada berbagai kasus juga kita baca bahwa siswa sering saja ambil jalan pintas yang pragmatis. Siswa hanya berharap untuk memperoleh bocoran soal-soal unas (Kompas,23 Maret 2010). Menempuh cara belajar yang instan, segera, cepat, tanpa berpikir utuh akan sebuah proses. Terkadang siswa juga hanya konsentrasi pada mata pelajaran-mata pelajaran unas, yang dengan sendirinya mengesampingkan mata pelajaran lain. Berbagai argumen coba diusung untuk merespon tuaian tahunan tersebut. Mulai dari sistem hingga persoalan operasional di lapangan.
Memang secara substansial kita menemukan realitas yang paradoks. Sekolah akan diberikan penghargaan, puja-puji, ucapan selamat, jika siswa mereka mendapatkan nilai yang bagus, sebaliknya sekolah akan diberi sanksi jika siswanya mendapatkan nilai yang jelek. Johnson (2009: 283), mengungkapkan bahwa pihak-pihak yang menganjurkan ujian standardisasi dan menganggap nilai ujian sebagai bukti kuat kesuksesan akademik rupanya menganut beberapa asumsi sebagai berikut. Pertama, pendidikan terdiri dari pengetahuan dan keterampilan yang dapat diukur. Segala sesuatu yang tidak dapat diukur bukanlah sesuatu yang penting. Ujian standar, khususnya hanya mengukur keterampilan verbal-linguistik dan logis-matematik, yang sesungguhnya tidak memberikan informasi yang tidak akurat dan penuh prasangka tentang seorang siswa.
Kedua, para penganjur ujian standardisasi kelihatannya beranggapan bahwa nilai ujian merupakan ukuran paling akurat dan dapat diandalkan untuk menilai apa yang diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa. Namun, nilai ujian tidak memberikan informasi yang bermanfaat tentang hal-hal yang tidak tampak yang memberi kontribusi bagi kesuksesan akademik dan pribadi siswa, bahkan tidak mengungkapkan pengetahuan yang luas bagi siswa yang prestasinya buruk dalam ujian seperti itu. Para siswa akan mudah mengingat istilah-istilah misalnya, tetapi gagal memahami maksudnya.
Ketiga, penganjur standardisasi beranggapan bahwa semua orang bisa dididik hanya dengan menyeragamkan pendidikan, mengajar semua siswa dengan cara yang sama, dan memberi mereka ujian yang sama (Gardner dalam Johnson, 2009: 287). Demikian, maka disparitas mencerdaskan anak akan semakin tampak. Karena, sudah tentu bagi siswa yang memperoleh peringkat tinggi dapat maju sambil lenggang kangkung, sementara peringkat rendah dapat membuat mereka berhenti berusaha.
Ada begitu banyak perbedaan yang harus dijembatani dahulu sebelum pemberlakuan standardisasi ujian nasional ini. Konsekuensi logis perbedaan ini adalah terjadinya disparitas mencerdaskan anak akan semakin tampak. Bagaimana mungkin seorang siswa yang bersekolah jauh di pedalaman dengan fasilitas belajar seadanya, mulai dari gedung sampai dengan kelengkapan belajar harus disamakan, dipaksa untuk diuji dengan seorang siswa yang bersekolah pada lembaga yang lumayan baik fasilitasnya?
Kelompok lain, barangkali berangkat dari argumen awal bahwa sejatinya, penyeragaman ujian nasional didahului oleh pertimbangan-pertimbangan holistik dan komperhensif. Pertimbangan-pertimbangan tersebut, semisal perlunya pemenuhan juga penyeragaman fasilitas, sarana belajar di semua sekolah tanpa kecuali, penyebaran dan pemerataan guru yang kualifaid, loyal dan memiliki dedikasi tinggi terhadap profesinya. Kalau seperti ini, maka wajar-wajar saja jika negara melaksanakan ujian standardisasi. Ujian nasional bagi mereka bukan merupakan takaran yang tepat buat mengukur kemampuan seorang siswa atau peserta didik. Ketika realitas empiris masih menunjukkan ketimpangan dan jarak yang amat jauh antara satu sekolah dengan sekolah yang lain, maka secara tidak langsung negara sedang menciptakan gap, jurang dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kelompok ini berpijak pada asumsi-asumsi socialpaedagogik  pembelajaran. Pertama, belajar merupakan proses berkesinambungan untuk menghasilkan perubahan perilaku anak didik yang relatif permanen. Artinya, peran penggiat pendidikan (guru) menjadi agen perubahan (agent of change). Kedua, anak didik memiliki potensi, gandrung, dan kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan tanpa henti. Proses belajar pada individu memiliki irama perkembangan yang berbeda-beda. Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh alami linear sejalan proses kehidupan. Namun, proses belajar-mengajar perlu didesain secara khusus, diniati secara ikhlas demi tercapainya kondisi atau suatu kualitas ideal. Kita mengakui bahwa sekolah atau guru berada pada posisi dilematis. Sebuah dilematika panjang bahkan ngeri dan menakutkan ketika bicara tentang ujian nasional. Semua komponen, terutama guru di sekolah mengerahkan segala daya, kondisi dan perhatian yang ekstra lebih untuk menghadapi ujian nasional. Orang tua siswa juga terlibat untuk berpikir tentang ujian nasional sampai jadi uanan. Begitupun siswa peserta ujian nasional terus dihantui dengan ujian nasional akhirnya juga jadi uanan. Mungkinkah ada yang salah dengan proyek ujian nasional ini sehingga ia tidak tampil sebagai momok yang ngeri dan menakutkan?
            Hemat penulis, fenomena ini telah menjadi semacam “kecelakaan pembelajaran” di Indonesia. Sekolah-sekolah di Indonesia telah berubah menjadi lembaga ‘bimbingan belajar’ dari keberadaannya sebagai lembaga formal pembelajaran. Hal ini tampak ketika sekolah begitu ketat menjalankan bimbingan belajar bagi siswa menjelang ujian akhir nasional. Celakanya lagi ketika siswa dijejali dengan berbagai versi prediksi soal yang sangat variatif. Siswa hampir pasti tidak punya waktu, dan ruang untuk membenamkan apa yang dia peroleh. Apalagi, seandainya bundelan prediksi soal tersebut dijadikan sebagai buku suci, tetapi tidak mewajibkan siswa untuk membaca bahan ajar.
Artinya, siswa dibiarkan sekedar menjawab soal, ditambah hilangnya kebebasan siswa menjelang ujian nasional, maka mereka akan acuh, apatis. Dan pada titik yang paling mengkhawatirkan saat siswa menghafal kunci jawaban, tanpa mengetahui persis proses atau sistematika mengapa jawabannya harus ini dan bukan itu. Pada alur dilematika yang sama ini, munculnya gejala fetisisme, “pendangkalan pengetahuan”, sejenis virus modern yang menganjurkan orang untuk hidup tidak susah-susah. Akibatnya, merebaklah “perdagangan pengetahuan”:  bocornya soal-soal ujian akhir nasional beserta kunci jawabannya, bocornya soal-soal tes CPNS serta kunci jawabannya,dan lain-lain trend instant di Republik ini. Walaupun demikian, kita semua berharap agar pelaksanaan unas 2009 dan hasil yang akan dituai menggembirakan kita semua, bukti kerja keras kita selama ini, tetapi terkalahkan oleh kebijakan dan sistem yang butuh pembenahan.
Kita seakan-akan lupa bahwa penilaian yang sebenarnya adalah penilaian yang autentik (authentic assessment) dari apa yang kita amati bertahun-tahun, yang telah dilakukan melalui berbagai cara dan sumber yang bervariasi. Lalu, apa gunanya nilai atau angka kuantitatif kalau siswa tidak bisa menjadi learning to be setelah tamat sekolah? Sebut saja, untuk makan sendiri, cuci pakaian sendiri masih harus minta bantuan orang lain? Dengan demikian, mengukur kemampuan seorang siswa tidak bisa hanya dengan memilih alternatif A,B,C,D atau E dalam lembaran kerja siswa itu, melainkan tentang keberhasilan dan optimalisasi segenap kemampuan pada diri anak untuk bersosialisasi, mencintai, berempati, mengatur diri sendiri, dan lain-lain. Inilah problematka dasar yang sedang menggeranyang dunia pendidikan kita ini. Perlu kita rancang kembali agar pendidikan yang kita bangun memiliki energia holistik yang tangguh dan kuat.
            Pada simpang jalan demikian, kita manggantung sebuah asa, bahwa seluruh komponen pendidikan sedapatnya membangun sebuah proses pendidikan yang utuh dan berkeadilan. Sebuah proses pendidikan yang seimbang dan menyeluruh, untuk tidak berapresiasi lebih terhadap hasil yang akan dituai, tetapi juga terhadap proses suka-duka atau jatuh bangunnya semua komponen pendidikan dalam membangun dan menata masa depan pendidikan kita. Pendidikan ini juga hendaknya dipahami sebagai rekayasa pais-paidea dan rekayasa budaya. Rekayasa pais-paidea sebuah rekayasa untuk membebaskan anak dari kerangkeng ketidakmatangan juga kebodohan menjadi individu yang human, matang dan berintelek. Rekayasa ini dipersepsi sebagai proses mendorong individu untuk menjadi orang yang otonom dan mandiri, akibat dari proses pendidikan yang demokratis dan etis. Manusia yang demokratis serta etis inilah sangat pasti diyakinkan untuk tampil sebagai individu yang berintegritas, unggul dan siap mengabdi pada masyarakat. Selain itu, rekayasa budaya menjadi titik bidik pendidikan dalam membangun dan menghidupkan rasa manusia sebagai makhluk budaya.

Peran Kita

Membaca realitas pendidikan kita demikian, kita semua (orang tua, masyarakat, pemerintah, serta semua organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat), perlu menggalang kerja sama dan ikhtiar bersama membangun kemauan politk (political will) untuk peduli terhadap pendidikan. Kemauan dan kepedulian ini juga perlu disampaikan kepada guru agar guru mampu melaksanakan tugasnya secara lebih baik dan bertanggung jawab. Guru juga diharapkan dapat menjadi kelompok penekan dalam masyarakat (pressure group) untuk melobi lembaga-lembaga politik eksekutif dan legislatif, serta lembaga masyarakat lainnya untuk berdiskusi tentang besarnya dana pendidikan, sebagai implementasi atas rencana besar (grand desain) bangsa dalam membangun masyarakat Indonesia baru yang demokratis demi mencerdaskan bangsa. Akhirnya, mengutip misi NTT-PEP, mendidik seorang anak, seluruh kampung harus terlibat. (*)




[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, Tanggal 3 Mai 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar