Prosesi
akhbar ujian akhir nasional (unas) 2009 telah berlalu. Proyek tahunan Depdiknas tersebut pun siap diumumkan ke
ruang publik. Media, misalnya memberitakan, tingkat kelulusan ujian nasional
SMA/MA dan SMK tahun ini menurun
5%. Penurunan ini
disebabkan karena tingkat pengawasan berjalan baik, yang indikatornya adalah
kurangnya pelanggaran yang terjadi ketika unas berlangsung. Dari
total peserta unas 1.522.162, lebih dari 10 persen yang tidak lulus, yakni
sebanyak 154.079. Bagi yang tidak lulus masih memiliki kesempatan untuk
mengikuti ujian ulang pada 10 - 14 Mei 2010. Kalau masih ada siswa yang tidak
lulus maka akan mengikuti unas kesetaraan paket C pada 22 Juni mendatang.
Sekadar mengingatkan kita semua bahwa kalau tingkat kelulusan tahun lalu
mencapai 93,4%, maka tahun ini cuma mencapai 89,88% siswa yang dinyatakan
lulus. Mendiknas mencontohkan, di Gorontalo tingkat kelulusan mencapai 90%
tahun lalu, namun tahun ini hanya mencapai 53%. Selain Gorontalo, beberapa daerah
yang tingkat kelulusannya menurun, yakni NTT (52,08%), Kalteng (39,29%), Maluku
Utara (41,14%), Sultra (35,89%), dan Kaltim (30,35%). (Jawa Pos, 24 April 2010).
Tentu
ini sebagai wujud pertanggungjawaban departemen ‘produksi’ manusia negeri ini
kepada masyarakat. Apapun hasilnya, sebagai anggota masyarakat kita sepantasnya
memberikan apresiasi dan penghargaan tak
terhingga buat penyelenggara, terutama peran guru dalam kapasitasnya sebagai instrumental input yang telah mengawal
dan memberikan yang terbaik untuk siswa atau peserta didiknya. Kepada segenap
orangtua, ucapan terima kasih tak terhingga kita sampaikan, karena dengan
impitan kehidupan sosial ekonomi yang dilematis di tengah badai ekonomi negeri
yang kian fluktuatif tetapi masih dengan tegar membiayai sebuah generasi,
sebuah zaman yang kelak memegang kendali daerah dan bangsa ini. Juga kepada
masyarakat luas yang turut menjaga kondusivitas lingkungan pembelajaran,
sehingga terciptalah lingkungan pembelajaran yang aman, tertib, dan nyaman.
Dari
hasil yang ada dapat dijadikan sebagai parameter evaluatif. Pertama, menjadi kaca pengilon buat guru
untuk mengevaluasi diri, demi memilah dan memilih materi, metode dan penilaian
(MMP) yang lebih pas, relevan dan bergayut dengan paradigma pembelajaran ke depan.
Guru juga dapat berpikir kembali bagaimana memberikan penilaian atau evaluasi
yang tepat terhadap keseluruhan tingkah laku belajar siswa yang pada akhirnya
dapat terbentuklah persona-persona yang siap tampil maksimal dan memiliki
kematangan kognisi, afeksi dan psikomotorik. Bagi orangtua dan masyarakat,
hasil unas dapat menjadi bagian
refleksi untuk mengukur derajat partisipasi aktif yang telah dibangun dengan
lembaga formal tempat putra/putri mereka menempuh pendidikan. Kedua, menjadi pemicu dalam memacu diri
sebagai upaya meletakkan (link march) strategi
dan kiat baru demi meningkatkan lagi hal-hal yang dianggap positif pascaunas berlangsung.
Terlepas
dari tuaian tahunan Depdiknas tersebut, tentu masih ada keprihatinan Nasional,
keprihatinan kita bersama atas beberapa kasus ikutan yang timbul dari
penyelenggaraan unas
2009. Keprihatinan itu seperti, adanya sinyalemen yang beredar bahwa para siswa
masih menggunakan cara-cara yang tidak fair
menghadapi ujian nasional. Ada rumor yang berkembang juga bahwa guru
memfasilitasi kelulusan siswa yang secara politis akan mendongkrak angka
kelulusan siswa dan sekolah. Pada berbagai kasus juga kita baca bahwa siswa
sering saja ambil jalan pintas yang pragmatis. Siswa hanya berharap untuk
memperoleh bocoran soal-soal unas (Kompas,23
Maret 2010). Menempuh cara belajar yang instan,
segera, cepat, tanpa berpikir utuh akan sebuah proses. Terkadang siswa juga
hanya konsentrasi pada mata pelajaran-mata pelajaran unas, yang dengan sendirinya
mengesampingkan mata pelajaran lain. Berbagai argumen coba diusung untuk
merespon tuaian tahunan tersebut. Mulai dari sistem hingga persoalan
operasional di lapangan.
Memang
secara substansial kita menemukan realitas yang paradoks. Sekolah akan
diberikan penghargaan, puja-puji, ucapan selamat, jika siswa mereka mendapatkan
nilai yang bagus, sebaliknya sekolah akan diberi sanksi jika siswanya
mendapatkan nilai yang jelek. Johnson (2009: 283), mengungkapkan bahwa
pihak-pihak yang menganjurkan ujian standardisasi dan menganggap nilai ujian sebagai
bukti kuat kesuksesan akademik rupanya menganut beberapa asumsi sebagai
berikut. Pertama, pendidikan terdiri
dari pengetahuan dan keterampilan yang dapat diukur. Segala sesuatu yang tidak
dapat diukur bukanlah sesuatu yang penting. Ujian standar, khususnya hanya
mengukur keterampilan verbal-linguistik dan logis-matematik, yang sesungguhnya
tidak memberikan informasi yang tidak akurat dan penuh prasangka tentang
seorang siswa.
Kedua,
para penganjur ujian standardisasi kelihatannya beranggapan bahwa nilai ujian
merupakan ukuran paling akurat dan dapat diandalkan untuk menilai apa yang
diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa. Namun, nilai ujian tidak memberikan
informasi yang bermanfaat tentang hal-hal yang tidak tampak yang memberi
kontribusi bagi kesuksesan akademik dan pribadi siswa, bahkan tidak
mengungkapkan pengetahuan yang luas bagi siswa yang prestasinya buruk dalam
ujian seperti itu. Para siswa akan mudah mengingat istilah-istilah misalnya,
tetapi gagal memahami maksudnya.
Ketiga,
penganjur standardisasi beranggapan bahwa semua orang bisa dididik hanya dengan
menyeragamkan pendidikan, mengajar semua
siswa dengan cara yang sama, dan memberi mereka ujian yang sama (Gardner
dalam Johnson, 2009: 287). Demikian, maka disparitas mencerdaskan anak akan
semakin tampak. Karena, sudah tentu bagi siswa yang memperoleh peringkat tinggi
dapat maju sambil lenggang kangkung, sementara peringkat rendah dapat membuat
mereka berhenti berusaha.
Ada
begitu banyak perbedaan yang harus dijembatani dahulu sebelum pemberlakuan
standardisasi ujian nasional ini. Konsekuensi logis perbedaan ini adalah
terjadinya disparitas mencerdaskan anak akan semakin tampak. Bagaimana mungkin
seorang siswa yang bersekolah jauh di pedalaman dengan fasilitas belajar
seadanya, mulai dari gedung sampai dengan kelengkapan belajar harus disamakan,
dipaksa untuk diuji dengan seorang siswa yang bersekolah pada lembaga yang
lumayan baik fasilitasnya?
Kelompok lain, barangkali berangkat dari
argumen awal bahwa sejatinya, penyeragaman ujian nasional didahului oleh
pertimbangan-pertimbangan holistik dan komperhensif. Pertimbangan-pertimbangan
tersebut, semisal perlunya pemenuhan juga penyeragaman fasilitas, sarana
belajar di semua sekolah tanpa kecuali, penyebaran dan pemerataan guru yang
kualifaid, loyal dan memiliki dedikasi tinggi terhadap profesinya. Kalau
seperti ini, maka wajar-wajar saja jika negara melaksanakan ujian
standardisasi. Ujian nasional bagi mereka bukan merupakan takaran yang tepat
buat mengukur kemampuan seorang siswa atau peserta didik. Ketika realitas
empiris masih menunjukkan ketimpangan dan jarak yang amat jauh antara satu
sekolah dengan sekolah yang lain, maka secara tidak langsung negara sedang
menciptakan gap, jurang dalam proses
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kelompok ini berpijak pada asumsi-asumsi
social–paedagogik pembelajaran. Pertama, belajar merupakan proses berkesinambungan untuk
menghasilkan perubahan perilaku anak didik yang relatif permanen. Artinya,
peran penggiat pendidikan (guru) menjadi agen perubahan (agent of change). Kedua,
anak didik memiliki potensi, gandrung, dan kemampuan yang merupakan benih
kodrati untuk ditumbuhkembangkan tanpa henti. Proses belajar pada individu
memiliki irama perkembangan yang berbeda-beda. Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh
alami linear sejalan proses kehidupan. Namun, proses belajar-mengajar perlu
didesain secara khusus, diniati secara ikhlas demi tercapainya kondisi atau
suatu kualitas ideal. Kita mengakui bahwa sekolah atau guru berada pada posisi
dilematis. Sebuah dilematika panjang bahkan ngeri dan menakutkan ketika bicara
tentang ujian nasional. Semua komponen, terutama guru di sekolah mengerahkan
segala daya, kondisi dan perhatian yang ekstra lebih untuk menghadapi ujian
nasional. Orang tua siswa juga terlibat untuk berpikir tentang ujian nasional
sampai jadi uanan. Begitupun siswa peserta ujian nasional terus dihantui dengan
ujian nasional akhirnya juga jadi uanan. Mungkinkah ada yang salah dengan
proyek ujian nasional ini sehingga ia tidak tampil sebagai momok yang ngeri dan
menakutkan?
Hemat penulis, fenomena ini telah
menjadi semacam “kecelakaan pembelajaran” di Indonesia. Sekolah-sekolah di
Indonesia telah berubah menjadi lembaga ‘bimbingan belajar’ dari keberadaannya
sebagai lembaga formal pembelajaran. Hal ini tampak ketika sekolah begitu ketat
menjalankan bimbingan belajar bagi siswa menjelang ujian akhir nasional.
Celakanya lagi ketika siswa dijejali dengan berbagai versi prediksi soal yang
sangat variatif. Siswa hampir pasti tidak punya waktu, dan ruang untuk
membenamkan apa yang dia peroleh. Apalagi, seandainya bundelan prediksi soal
tersebut dijadikan sebagai buku suci, tetapi tidak mewajibkan siswa untuk
membaca bahan ajar.
Artinya,
siswa dibiarkan sekedar menjawab soal, ditambah hilangnya kebebasan siswa
menjelang ujian nasional, maka mereka akan acuh, apatis. Dan pada titik yang
paling mengkhawatirkan saat siswa menghafal kunci jawaban, tanpa mengetahui
persis proses atau sistematika mengapa jawabannya harus ini dan bukan itu. Pada
alur dilematika yang sama ini, munculnya gejala fetisisme, “pendangkalan pengetahuan”, sejenis virus modern yang
menganjurkan orang untuk hidup tidak susah-susah. Akibatnya, merebaklah
“perdagangan pengetahuan”: bocornya
soal-soal ujian akhir nasional beserta kunci jawabannya, bocornya soal-soal tes
CPNS serta kunci jawabannya,dan lain-lain trend
instant di Republik ini. Walaupun demikian, kita semua berharap agar
pelaksanaan unas 2009 dan hasil yang akan dituai menggembirakan kita semua,
bukti kerja keras kita selama ini, tetapi terkalahkan oleh kebijakan dan sistem
yang butuh pembenahan.
Kita
seakan-akan lupa bahwa penilaian yang sebenarnya adalah penilaian yang autentik
(authentic assessment) dari apa yang
kita amati bertahun-tahun, yang telah dilakukan melalui berbagai cara dan
sumber yang bervariasi. Lalu, apa gunanya nilai atau angka kuantitatif kalau
siswa tidak bisa menjadi learning to be setelah
tamat sekolah? Sebut saja, untuk makan sendiri, cuci pakaian sendiri masih
harus minta bantuan orang lain? Dengan demikian, mengukur kemampuan seorang
siswa tidak bisa hanya dengan memilih alternatif A,B,C,D atau E dalam lembaran
kerja siswa itu, melainkan tentang keberhasilan dan optimalisasi segenap
kemampuan pada diri anak untuk bersosialisasi, mencintai, berempati, mengatur
diri sendiri, dan lain-lain. Inilah problematka dasar yang sedang menggeranyang
dunia pendidikan kita ini. Perlu kita rancang kembali agar pendidikan yang kita
bangun memiliki energia holistik yang
tangguh dan kuat.
Pada simpang jalan demikian, kita
manggantung sebuah asa, bahwa seluruh komponen pendidikan sedapatnya membangun
sebuah proses pendidikan yang utuh dan berkeadilan. Sebuah proses pendidikan yang seimbang dan menyeluruh, untuk tidak
berapresiasi lebih terhadap hasil
yang akan dituai, tetapi juga terhadap proses suka-duka atau jatuh bangunnya
semua komponen pendidikan dalam membangun dan menata masa depan pendidikan
kita. Pendidikan ini juga hendaknya dipahami sebagai rekayasa pais-paidea dan rekayasa budaya.
Rekayasa pais-paidea sebuah
rekayasa untuk membebaskan anak dari kerangkeng ketidakmatangan juga kebodohan
menjadi individu yang human, matang dan berintelek. Rekayasa ini dipersepsi
sebagai proses mendorong individu untuk menjadi orang yang otonom dan mandiri,
akibat dari proses pendidikan yang demokratis dan etis. Manusia yang demokratis
serta etis inilah sangat pasti diyakinkan untuk tampil sebagai individu yang
berintegritas, unggul dan siap mengabdi pada masyarakat. Selain itu, rekayasa
budaya menjadi titik bidik pendidikan dalam membangun dan menghidupkan rasa
manusia sebagai makhluk budaya.
Peran Kita
Membaca
realitas pendidikan kita demikian, kita semua (orang tua, masyarakat,
pemerintah, serta semua organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat), perlu menggalang kerja
sama dan ikhtiar bersama membangun kemauan politk (political will) untuk peduli terhadap pendidikan. Kemauan dan
kepedulian ini juga perlu disampaikan kepada guru agar guru mampu melaksanakan
tugasnya secara lebih baik dan bertanggung jawab. Guru juga diharapkan dapat
menjadi kelompok penekan dalam masyarakat (pressure
group) untuk melobi lembaga-lembaga politik eksekutif dan legislatif, serta
lembaga masyarakat lainnya untuk berdiskusi tentang besarnya dana pendidikan,
sebagai implementasi atas rencana besar (grand
desain) bangsa dalam membangun masyarakat Indonesia baru yang demokratis
demi mencerdaskan bangsa. Akhirnya, mengutip misi NTT-PEP, mendidik seorang anak, seluruh kampung harus terlibat. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar