Halaman

Tampilkan postingan dengan label bahasa dan pikiran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bahasa dan pikiran. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 April 2023

Hubungan Antara Bahasa dan Pikiran (3-selesai)

                     Cogito Ergo Sum: (Saya berpikir maka saya ada), 

demikian tesis Rene Descartes

 

Mempertalikan hubungan antara bahasa dan pikiran, ibarat mempersoalkan mana yang lebih dahulu: ayam atau telur. Memang secara kasat mata hampir saja tidak ada perbedaan yang menyolok antara keduanya. Setelah dicermati, ditelisik secara akademis, sesungguhnya terdapat nuansa-nuansa khas yang perlu diurai agar dapat memberikan komperhensi tambahan, minimal menyodok pencerahan sehingga hubungan antara bahasa dan pikiran yang juga menjadi masalah klasik yang tetap saja relevan ini tidak tumpang tindih (overlap) antara satu dengan yang lain. Penjelasan tentang hubungan ini diteropong dari tiga perspektif yang berbeda, yakni: (a) bahasa dan pikiran adalah dua hal yang berbeda; (b) bahasa dan pikiran amat erat hubungannya; dan (c) bahasa dan pikiran sebagai dua macam penampilan kegiatan yang sama. Pada bagian ini akan dideskripsikan sejenak tentang bahasa dan pikiran sebagai dua macam peneampilan kegiatan yang sama.


Bahasa dan Pikiran Sebagai Dua Macam Penampilan Kegiatan yang Sama 

Perspektif ketiga ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahasa dan pikiran sebagai dua macam kegiatan yang sama dapat dipandang dari dua indikator, yakni (1) keduanya mewakili kategori-kategori kognitif tertentu; dan (2) keduanya mewakili kategori-kategori sosial. Kategori-kategori kognitif muncul sebagai tanggapan atau respon terhadap berbagai macam informasi yang diterima manusia melalui berbagai indranya. Selanjutnya, bagaimana manusia memprosesnya dalam pikiran, memilah-milah dan mendistribusikannya untuk sebuah penyimpanan dalam ingatan (storage) dan menemukannya kembali (retrieve). Greenberg (dalam Djojosuroto, 2007: 274-279), menyebut kegiatan memproses, menyimpan dan mendistribusikan pesan sebagai kategorisasi.  Menurutnya kategorisasi tersebut berupa kategorisasi bilangan, peniadaan, sebab dan akibat, dan waktu. Kategori-kategori sosial mendeskripsikan keadaan hidup manusia sebagai makhluk sosial dan kultural. Dengan demikian, kategori-kategori sosial ini dapat dibagi menjadi empat kelompok, yakni perkerabatan; kata ganti orang; ungkapan-sapaan; dan kelas sosial.

Dari konsep-konsep yang diperikan di atas tampaknya bahwa bahasa dan pikiran umpama sepasang anak kembar yang susah untuk dibedakan. Keduanya berperawakan sama, sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Namun, yang pasti bahwa bahasa dan pikiran menjadikan manusia sebagai subjek sekaligus objek yang “berkelimpahan”. Sebagai makhluk individual sekaligus menjadi makhluk sosial yang seanantiasa menciptakan dan mengkreasikan sebuah kehidupan agar lebih dinamis. Dari sudut pandang ini, bahasalah menjadi senjata terakhir dan satu-satunya dianggap tepat untuk setiap situasi dan konteks. Ada saatnya manusia menyimpan pesan dan ada saatnya manusia memproduksi pesan. Dalam konteks demikian, bahasa dan pikiran menjadi media vital dan primer yang mau tidak mau perlu dijaga, disadari agar dapat digunakan secara baik dan lestari. (*)

Daftar Bacaan

Brown, H.Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Diterjemahkan oleh Nor Cholos dan Yusi Avianto Pareanom). Jakarta: Kedubes Amerika Serikat, Pearson Education Inc.

Bakker, Anton. 1986. Metode-metode Filsafat. Jakarta:  Ghalia Indonesia.

Bourdieu, P. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge, Massachussets: Havard University Press.

Clark,Herbert H, dan Eve V. Clark. 1977. Psychology and Language. New York: Harcourt Brace Juvanovich, Inc.

Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Dardjowidjojo,Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan OBOR Indonesia.

Ellis,Rod. 1994. The Study of Second Langage Acquicition. Oxford: Oxford University Press.

Kadarisman, Efendi. 2009. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

Saryono,Djoko. 2010. Pemerolehan Bahasa: Teori dan Serpih Kajian. Malang: Nasa Media.

Wareing, Shan &Thomas, Linda. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Abdul Syukur Ibrahim (Eds.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hubungan Antara Bahasa dan Pikiran (2)

 


Mempertalikan hubungan antara bahasa dan pikiran, ibarat mempersoalkan mana yang lebih dahulu: ayam atau telur. Memang secara kasat mata hampir saja tidak ada perbedaan yang menyolok antara keduanya. Setelah dicermati, ditelisik secara akademis, sesungguhnya terdapat nuansa-nuansa khas yang perlu diurai agar dapat memberikan komperhensi tambahan, minimal menyodok pencerahan sehingga hubungan antara bahasa dan pikiran yang juga menjadi masalah klasik yang tetap saja relevan ini tidak tumpang tindih (overlap) antara satu dengan yang lain. Penjelasan tentang hubungan ini diteropong dari tiga perspektif yang berbeda, yakni: (a) bahasa dan pikiran adalah dua hal yang berbeda; (b) bahasa dan pikiran amat erat hubungannya; dan (c) bahasa dan pikiran sebagai dua macam penampilan kegiatan yang sama. Pada bagian ini akan dideskripsikan sekilas tentang bahasa dan pikiran amat erat hubungannya.

Bahasa dan Pikiran Amat Erat Hubungannya 

Perspektif pertama dalam mengkontraskan hubungan antara bahasa dan pikiran memang menampilkan sebuah nuansa yang sangat halus dan tipis. Secara serta merta kita tentunya sepakat bahwa antara bahasa dan pikiran tidak terdapat jedah, celah, batas pemisah karena keduanya adalah satu, tunggal (mono). Hubungan ini telah menjadi petualangan pemikiran Edward Sapir dan muridnya Benjamin Lee Whorf. Hasil pemikiran mereka terakumulasi dalam sebuah hipotesis yang disebut dengan Hipotesis Shapir–Whorf, atau secara simpel disebut sebagai Hipotesis Whorfian. Menurut hipotesis ini hubungan antara bahasa dan pikiran dapat ditafsirkan dari dua sisi, yakni teori relativitas linguistik, dan teori determinisme linguistik. Teori relativitas linguistik menyatakan bahwa tiap-tiap budaya akan menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda-beda dan bahwa perbedaan-perbedaan ini akan tampak atau terkodekan dalam bahasa. Digunakan term relativistik dalam hipotesis ini, berarti tidak ada cara yang mutlak atau alami secara absolut untuk memberikan label pada isi dunia ini. Kita dapat memberi label atau menamai sesuatu tentunya berangkat dari persepsi kita yang berbeda-beda tentang sesuatu itu, dan karena itu bersifat relatif, dalam arti berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lain. (Thomas &Wareing, 2007: 38).

Teori determinisme linguistik, menyatakan bahwa  bukan hanya persepsi kita terhadap dunia yang mempengaruhi bahasa kita, melainkan bahasa yang kita gunakan juga dapat mempengaruhi cara berpikir secara sangat mendalam. Bahasa bisa dikatakan sebagai kerangka (term of reference) dari pemikiran (Kadarisman, 2009: 38), kita yang memampukan kita untuk berbicara atau berpendapat, berurun rembuk secara bergayut, runtut, sistematis, dan teratur.

Secara linguistis, dikatakan bahwa bahasa adalah data pemikiran. Selain bahasa secara sosial digunakan sebagai alat komunikasi, namun bahasa juga digunakan untuk proses berpikir itu sendiri. Pikiran memiliki peran strategis dalam kegiatan menyimak, menyimpan dan memproses sampai memproduksi pesan atau ide atau tahapan pengujaran. Gagasan-gagasan atau pesan-pesan yang tersimpan akan dieksplor melalui untaian-untaian fonologis berupa pesan kepada pendengar dalam kegiatan komunikasi. Eksplorasi pesan tersebut menggunakan media berupa simbol-simbol atau lambang bahasa yang menjadi konvensi dan kesepakatan bersama berdasarkan konteks komunikasi yang sedang dibangun. Dengan demikian, bahasa bukan menjadi sebuah alat mati dan statis dalam pikiran, tetapi secara logika mempunyai peran yang sangat strategis dalam kehidupan secara umum.

Clark &Clark menyebut Hipotesis Shapir–Whorf, sebagai “versi kuat”, ketika banyak kritikan terhadap hipotesis ini. Clark &Clark tidak menolak hipotesis tersebut, tetapi mengajukan suatu “versi lemah” yang berbunyi ada pengaruh struktur bahasa pada cara berpikir orang, dan melalui pikiran orang dapat juga mempengaruhi perilakunya. Sampai di sini, adagium klasik “bahasa menunjukkan identitas” mungkin masih relevan untuk menjembatani pemahaman tentang hubungan ini. Karena itu, perilaku seseorang tidak hanya mewujud dari cara berbahasa saja, namun tampak juga dari aspek-aspek non verbal lainnya. Dan, menurut saya faktor terakhir inilah menjadi nyata dan riil untuk menilai dan menyelami diri seseorang. (*)


Hubungan Antara Bahasa dan Pikiran (1)

 

Cogito Ergo Sum: (Saya berpikir maka saya ada), 

demikian tesis Rene Descartes


Mempertalikan hubungan antara bahasa dan pikiran, ibarat mempersoalkan mana yang lebih dahulu: ayam atau telur. Memang secara kasat mata hampir saja tidak ada perbedaan yang menyolok antara keduanya. Setelah dicermati, ditelisik secara akademis, sesungguhnya terdapat nuansa-nuansa khas yang perlu diurai agar dapat memberikan komperhensi tambahan, minimal menyodok pencerahan sehingga hubungan antara bahasa dan pikiran yang juga menjadi masalah klasik yang tetap saja relevan ini tidak tumpang tindih (overlap) antara satu dengan yang lain. Penjelasan tentang hubungan ini diteropong dari tiga perspektif yang berbeda, yakni: (a) bahasa dan pikiran adalah dua hal yang berbeda; (b) bahasa dan pikiran amat erat hubungannya; dan (c) bahasa dan pikiran sebagai dua macam penampilan kegiatan yang sama. Bagian pertama ini, akan dipaparkan tentang bahasa dan pikiran adalah dua hal yang berbeda.

Bahasa dan Pikiran Adalah Dua Hal yang Berbeda


Dikotomi ini sesungguhnya telah diretas jauh sebelumnya oleh Wilhelm Von Humboldt (Kadarisman, 2009: 33) yang pada akhirnya disebut sebagai hipotesis relativitas kebahasaan (Bdk. Djojosuroto, 2007). Menurut Humboldt, terdapat hubungan yang erat antara masyarakat, bahasa dan budaya. Hubungan ini oleh Gumperz (dalam Kadarisman, 2009: 34) sebagai tritunggal: satu bahasa, satu masyarakat, satu budaya. Setiap bahasa berbeda dari bahasa lainnya, dan bahwa pikiran dan bahasa merupakan dua entitas yang tak terpisahkan.  Bahwa bahasa bertugas membentuk weltanshauung, atau pandangan dunia seseorang (Brown, 2008:232). Hipotesis Humboldt di atas menyiratkan dengan terus terang bahwa bahasa seseorang sangat mempengaruhi pikirannya. Batas bahasaku adalah batas duniaku, yang dicanangkan oleh Wittgenstein semakin memperkuat penalaran ini.

Ketika ada dua orang, katakan yang satu adalah pebelajar asing yang sedang belajar bahasa Indonesia, dan yang satunya adalah penutur bahasa Indonesia yang nota bene adalah cendik pandai, sama-sama diminta untuk menarasikan sebuah obyek yang sama (contohnya: buah apel), maka narasi yang dibeberkan akan sangat jauh berbeda antara keduanya. Penutur asing pasti akan sangat kesulitan bahkan mencari-cari, mungkin juga mengernyitkan dahi terus-menerus memilih kata bahasa Indonesia yang terkait dengan buah apel. Kita akan mendapatkan sebuah narasi yang terputus-putus, bahkan tidak merepresentasikan obyek yang ada. Hal ini dapat dipahami bahwa penutur asing masih sangat keterbatasan kosa akat bahasa Indonesia. Kondisi yang berbeda terjadi pada penutur asli bahasa Indonesia. Dia akan begitu mudah, gampang, dan tanpa kesulitan untuk mendeskripsikan buah apel secara jelas, bahkan mungkin disertai gaya dan pilihan kata yang sangat menarik dan elegan.

Ilustrasi ini bagi saya sangat bersimetris dengan pernyataan bahwa bahasa dan pikiran merupakan dua hal yang berbeda. Dengan demikian, penguasaan bahasa (kosa kata) sangat mempengaruhi kualitas berbahasa seseorang. Realitas dunia nyata, eksistensi kefanaan manusia dan kekuasaannya dapat terselami dengan dalam dan komperhensif hanya dengan bahasa, karena bahasa itulah menggerakkan pikirannya untuk mengungkap sesuatu yang ada di sekitarnya. Relativitas bahasa yang demikian, seaspirasi dengan pemikiran seorang Saussura tentang penanda (signifier), dan petanda (signified). Penanda (signifier) mengacu pada bentuk atau form sebuah bahasa, sedangkan petanda (signified) mengacu pada makna yang ada pada bentuk bahasa yang diacu. Namun demikian, hubungan antara penanda (signifier), dan petanda (signified) bersifat sewenang-wenang (arbitrer).(*)

Daftar Bacaan

Brown, H.Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Diterjemahkan oleh Nor Cholos dan Yusi Avianto Pareanom). Jakarta: Kedubes Amerika Serikat, Pearson Education Inc.

Bakker, Anton. 1986. Metode-metode Filsafat. Jakarta:  Ghalia Indonesia.

Bourdieu, P. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge, Massachussets: Havard University Press.

Clark,Herbert H, dan Eve V. Clark. 1977. Psychology and Language. New York: Harcourt Brace Juvanovich, Inc.

Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Dardjowidjojo,Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan OBOR Indonesia.

Ellis,Rod. 1994. The Study of Second Langage Acquicition. Oxford: Oxford University Press.

Kadarisman, Efendi. 2009. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

Saryono,Djoko. 2010. Pemerolehan Bahasa: Teori dan Serpih Kajian. Malang: Nasa Media.

Wareing, Shan &Thomas, Linda. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Abdul Syukur Ibrahim (Eds.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.