Halaman

Rabu, 19 April 2023

Hubungan Antara Bahasa dan Pikiran (2)

 


Mempertalikan hubungan antara bahasa dan pikiran, ibarat mempersoalkan mana yang lebih dahulu: ayam atau telur. Memang secara kasat mata hampir saja tidak ada perbedaan yang menyolok antara keduanya. Setelah dicermati, ditelisik secara akademis, sesungguhnya terdapat nuansa-nuansa khas yang perlu diurai agar dapat memberikan komperhensi tambahan, minimal menyodok pencerahan sehingga hubungan antara bahasa dan pikiran yang juga menjadi masalah klasik yang tetap saja relevan ini tidak tumpang tindih (overlap) antara satu dengan yang lain. Penjelasan tentang hubungan ini diteropong dari tiga perspektif yang berbeda, yakni: (a) bahasa dan pikiran adalah dua hal yang berbeda; (b) bahasa dan pikiran amat erat hubungannya; dan (c) bahasa dan pikiran sebagai dua macam penampilan kegiatan yang sama. Pada bagian ini akan dideskripsikan sekilas tentang bahasa dan pikiran amat erat hubungannya.

Bahasa dan Pikiran Amat Erat Hubungannya 

Perspektif pertama dalam mengkontraskan hubungan antara bahasa dan pikiran memang menampilkan sebuah nuansa yang sangat halus dan tipis. Secara serta merta kita tentunya sepakat bahwa antara bahasa dan pikiran tidak terdapat jedah, celah, batas pemisah karena keduanya adalah satu, tunggal (mono). Hubungan ini telah menjadi petualangan pemikiran Edward Sapir dan muridnya Benjamin Lee Whorf. Hasil pemikiran mereka terakumulasi dalam sebuah hipotesis yang disebut dengan Hipotesis Shapir–Whorf, atau secara simpel disebut sebagai Hipotesis Whorfian. Menurut hipotesis ini hubungan antara bahasa dan pikiran dapat ditafsirkan dari dua sisi, yakni teori relativitas linguistik, dan teori determinisme linguistik. Teori relativitas linguistik menyatakan bahwa tiap-tiap budaya akan menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda-beda dan bahwa perbedaan-perbedaan ini akan tampak atau terkodekan dalam bahasa. Digunakan term relativistik dalam hipotesis ini, berarti tidak ada cara yang mutlak atau alami secara absolut untuk memberikan label pada isi dunia ini. Kita dapat memberi label atau menamai sesuatu tentunya berangkat dari persepsi kita yang berbeda-beda tentang sesuatu itu, dan karena itu bersifat relatif, dalam arti berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lain. (Thomas &Wareing, 2007: 38).

Teori determinisme linguistik, menyatakan bahwa  bukan hanya persepsi kita terhadap dunia yang mempengaruhi bahasa kita, melainkan bahasa yang kita gunakan juga dapat mempengaruhi cara berpikir secara sangat mendalam. Bahasa bisa dikatakan sebagai kerangka (term of reference) dari pemikiran (Kadarisman, 2009: 38), kita yang memampukan kita untuk berbicara atau berpendapat, berurun rembuk secara bergayut, runtut, sistematis, dan teratur.

Secara linguistis, dikatakan bahwa bahasa adalah data pemikiran. Selain bahasa secara sosial digunakan sebagai alat komunikasi, namun bahasa juga digunakan untuk proses berpikir itu sendiri. Pikiran memiliki peran strategis dalam kegiatan menyimak, menyimpan dan memproses sampai memproduksi pesan atau ide atau tahapan pengujaran. Gagasan-gagasan atau pesan-pesan yang tersimpan akan dieksplor melalui untaian-untaian fonologis berupa pesan kepada pendengar dalam kegiatan komunikasi. Eksplorasi pesan tersebut menggunakan media berupa simbol-simbol atau lambang bahasa yang menjadi konvensi dan kesepakatan bersama berdasarkan konteks komunikasi yang sedang dibangun. Dengan demikian, bahasa bukan menjadi sebuah alat mati dan statis dalam pikiran, tetapi secara logika mempunyai peran yang sangat strategis dalam kehidupan secara umum.

Clark &Clark menyebut Hipotesis Shapir–Whorf, sebagai “versi kuat”, ketika banyak kritikan terhadap hipotesis ini. Clark &Clark tidak menolak hipotesis tersebut, tetapi mengajukan suatu “versi lemah” yang berbunyi ada pengaruh struktur bahasa pada cara berpikir orang, dan melalui pikiran orang dapat juga mempengaruhi perilakunya. Sampai di sini, adagium klasik “bahasa menunjukkan identitas” mungkin masih relevan untuk menjembatani pemahaman tentang hubungan ini. Karena itu, perilaku seseorang tidak hanya mewujud dari cara berbahasa saja, namun tampak juga dari aspek-aspek non verbal lainnya. Dan, menurut saya faktor terakhir inilah menjadi nyata dan riil untuk menilai dan menyelami diri seseorang. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar