Mempertalikan hubungan
antara bahasa dan pikiran, ibarat mempersoalkan mana yang lebih dahulu: ayam
atau telur. Memang secara kasat mata hampir saja tidak ada perbedaan yang
menyolok antara keduanya. Setelah dicermati, ditelisik secara akademis,
sesungguhnya terdapat nuansa-nuansa khas yang perlu diurai agar dapat
memberikan komperhensi tambahan, minimal menyodok pencerahan sehingga hubungan
antara bahasa dan pikiran yang juga menjadi masalah klasik yang tetap saja
relevan ini tidak tumpang tindih (overlap) antara satu dengan yang lain.
Penjelasan tentang hubungan ini diteropong dari tiga perspektif yang berbeda,
yakni: (a) bahasa dan pikiran adalah dua hal yang berbeda; (b) bahasa dan
pikiran amat erat hubungannya; dan (c) bahasa dan pikiran sebagai dua macam
penampilan kegiatan yang sama. Pada bagian ini akan dideskripsikan sekilas tentang bahasa dan pikiran amat erat hubungannya.
Bahasa dan Pikiran Amat Erat Hubungannya
Perspektif
pertama dalam mengkontraskan hubungan antara bahasa dan pikiran memang
menampilkan sebuah nuansa yang sangat halus dan tipis. Secara serta merta kita
tentunya sepakat bahwa antara bahasa dan pikiran tidak terdapat jedah, celah,
batas pemisah karena keduanya adalah satu, tunggal (mono). Hubungan ini
telah menjadi petualangan pemikiran Edward Sapir dan muridnya Benjamin Lee
Whorf. Hasil pemikiran mereka terakumulasi dalam sebuah hipotesis yang disebut
dengan Hipotesis Shapir–Whorf, atau secara simpel disebut sebagai Hipotesis
Whorfian. Menurut hipotesis ini hubungan antara bahasa dan pikiran dapat
ditafsirkan dari dua sisi, yakni teori relativitas linguistik, dan teori
determinisme linguistik. Teori relativitas linguistik menyatakan bahwa
tiap-tiap budaya akan menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda-beda dan bahwa
perbedaan-perbedaan ini akan tampak atau terkodekan dalam bahasa. Digunakan
term relativistik dalam hipotesis ini, berarti tidak ada cara yang mutlak atau alami secara absolut untuk memberikan label pada isi dunia ini.
Kita dapat memberi label atau menamai sesuatu tentunya berangkat dari persepsi
kita yang berbeda-beda tentang sesuatu itu, dan karena itu bersifat relatif,
dalam arti berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lain. (Thomas
&Wareing, 2007: 38).
Teori
determinisme linguistik, menyatakan bahwa
bukan hanya persepsi kita terhadap dunia yang mempengaruhi bahasa kita,
melainkan bahasa yang kita gunakan juga dapat mempengaruhi cara berpikir secara
sangat mendalam. Bahasa bisa dikatakan sebagai kerangka (term of reference) dari
pemikiran (Kadarisman, 2009: 38), kita yang memampukan kita untuk berbicara
atau berpendapat, berurun rembuk secara bergayut, runtut, sistematis, dan
teratur.
Secara linguistis, dikatakan bahwa bahasa adalah data pemikiran. Selain bahasa secara sosial digunakan sebagai alat komunikasi, namun bahasa juga digunakan untuk proses berpikir itu sendiri. Pikiran memiliki peran strategis dalam kegiatan menyimak, menyimpan dan memproses sampai memproduksi pesan atau ide atau tahapan pengujaran. Gagasan-gagasan atau pesan-pesan yang tersimpan akan dieksplor melalui untaian-untaian fonologis berupa pesan kepada pendengar dalam kegiatan komunikasi. Eksplorasi pesan tersebut menggunakan media berupa simbol-simbol atau lambang bahasa yang menjadi konvensi dan kesepakatan bersama berdasarkan konteks komunikasi yang sedang dibangun. Dengan demikian, bahasa bukan menjadi sebuah alat mati dan statis dalam pikiran, tetapi secara logika mempunyai peran yang sangat strategis dalam kehidupan secara umum.
Clark &Clark
menyebut Hipotesis Shapir–Whorf, sebagai “versi kuat”, ketika banyak kritikan terhadap hipotesis ini.
Clark &Clark tidak menolak hipotesis tersebut, tetapi mengajukan suatu “versi lemah” yang berbunyi ada
pengaruh struktur bahasa pada cara berpikir orang, dan melalui pikiran orang
dapat juga mempengaruhi perilakunya. Sampai di sini, adagium klasik “bahasa
menunjukkan identitas” mungkin masih relevan untuk menjembatani pemahaman
tentang hubungan ini. Karena itu, perilaku seseorang tidak hanya mewujud dari
cara berbahasa saja, namun tampak juga dari aspek-aspek non verbal lainnya.
Dan, menurut saya faktor terakhir inilah menjadi nyata dan riil untuk menilai
dan menyelami diri seseorang. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar