Bahasa adalah
suatu rekayasa teknologi untuk mengemas pengetahuan yang tertangkap manah (mind)
untuk menghimpun, menyebarkan, dan mewariskan pengetahuan. Bahasa juga menjadi
wadah penyimpan informasi, dan ia berkembang secara simbiosis dengan budaya dan
keberlangsungan kehidupan. Perlu dikemukakan di sini bahwa fungsi utama bahasa
manusia bukanlah untuk komunikasi saja, melainkan untuk simbolisasi (Piaget,
1963). Simbol adalah representasi kulltural dan ekologis dari realitas; jadi
selalu sesuai dengan konteks orang, waktu, dan tempat, dalam hubungannya dengan
manah (mind), pikiran, cara berpikir dan bertindak.
Sebagai pewaris
dan pengguna bahasa, manusia juga dikenal sebagai makhluk naratif, yang suka
berkisah, berceritera, dengan menggunakan bahasa. Bahasa adalah pencapaian
tertinggi evolusi kesadaran manusia. Karena bahasa pada dasarnya adalah lambang
untuk merepresentasikan apa pun, maka manusia menggunakan bahasa untuk
berpikir, berkisah, bercakap, berceritera, umumnya secara verbal, memakai
kata-kata tentang apa pun yang dipikirkannya, dialaminya (optik, auditoris,
taktil, olfaktoris, kecap), dan dirasakannya. Manusia juga berceritera secara
visual dalam coretan, dan lukisan–yang kemudian berkembang menjadi tulisan, dan
secara kinesik dalam gerak–tari, misalnya. Manusia juga bernarasi mengenai apa
yang dibayangkannya sendiri, bahkan tentang apa yang tidak ada karena ia
menggunakan lambang yang abstrak yang dapat mengacu apa pun. Manusia
bercakap-cakap secara lisan. Percakapan membuat seseorang menjadi manusiawi,
menjadi sosial dengan menyentuh orang lain dengan kata-kata. Tetapi dalam
perkembangannya manusia juga menulis, dan tulisan tersebut membuatnya menjadi
beradab (Gusdorf, 1965: 3–10).
Selain bahasa,
juga terdapat sastra yang dapat berbentuk lisan dan tulisan. Orang berceritera
secara lisan sehari-hari, dan ketika ditekankan pada nilai keindahan
berceritera, lahirlah sastra. Bahasa tulisan mulai dikenal manusia kira-kira
35.000 tahun yang lalu dalam bentuk coretan dan lukisan di gua-gua (Corballis,
1991: 45). Coretan dan lukisan itu mungkin digunakan untuk membuat catatan atau
meninggalkan pesan kepada orang lain; dan bagi peneliti masa kini coretan atau
lukisan itu dapat digunakan untuk merekonstruksi kesadaran manusia akan
dirinya, sejarahnya, dan lingkungannya (Ong, 1982: 15). Bahasa dan sastra
adalah warisan sosial, kultural, dan spiritual yang khas dan tak tergantikan.
Tradisi Lisan
adalah roh kehidupan manusia. Semua pengalaman hidup manusia dipatri dalam
tradisi lisan mulai dari pangkuan ibu, ayah, nenek, kakek, maupun pengasuh yang
lain. Seorang anak mengenal dunia melalui tradisi lisan. Sebagai pengamatdan
peneliti bahasa saya selalu terbawa oleh dahsyatnya memori manusia sebagaimana
dicatat di dalam bahasanya. Melalui memori kita mengingat masa lampau: semua
yang kita alami dan pelajari tentang dunia; dan dengan memori kita membuat
proyeksi ke masa depan. Dalam sejarah perkembangan makhluk manusia kita
mengalami tiga tahap penting dalam kehidupan. Pertama, kita berevolusi
karena adanya dan mengikuti DNA (deoxyribonuclieic acid), suatu ensiklopedia
yang memuat informasi lengkap tentang wujud fisik genetis manusia; kedua,
munculnya sistem saraf dalam otak manusia, terutama neo-korteks, yang menyimpan
memori manusia sejak lahir sampai wafatnya; dan ketiga, munculnya
bahasa, yang menjadi alat untuk mencatat seluruh pengetahuan manusia dan alat
untuk mengkomunikasikannya dengan manusia lain dan mewariskan pengetahuan itu
kepada keturunannya (Periksa Midner, Vesna. 2008. The Cognitive Neuroscience
of Human Communication).
Ketiga hal di atas
telah menjadi perhatian para ahli genetika, ahli neurologi, dan ahli bahasa.
Dan, kita semua dibuat tertegun dengan pengetahuan itu karena di situ
ditunjukkan betapa Maha Besarnya, betapa Maha Kasihnya Tuhan yang telah
menciptakan manusia, yang sungguh-sungguh berbeda dengan makhluk lain, termasuk
kerabat paling dekat kita secara evolusi, yaitu primata atau kera–yang menurut
penelitian ahli genetika, 98 persen sama dengan kita secara fisik. Kita
bersyukur bahwa ada perbedaan sekitar dua persen. Perbedaan antara “langit dan
bumi”, dua persen itu adalah bahasa dan budaya.
Yang saya sebutkan
di atas adalah pengantar bagi kuliah umum yang akan diberikan oleh Ibu Profesor
Doktor Pudentia. Kami sangat berbangga dengan karya dan nama Anda di bidang
pengkajian tentang tradisi lisan dan kami siap belajar dari pengalaman Anda,
dan di masa yang akan datang bekerja sama untuk mengembangkan studi tentang
tradisi lisan di Universitas Flores ini. Kami sadari betapa pentingnya tradisi
lisan karena ia mengkaji dan berhubungan langsung dengan serat, fabric,
yang merupakan dasar untuk membangun wujud “tenunan” text, kehidupan
manusia. Kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalmnya atas kesediaan Ibu
mengunjungi Universitas Flores dan memberikan kuliah umum untuk menambah
wawasan kami tentang tradisi lisan. (*)
[1] Disari dari Naskah
Pidato Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A.,Rektor Universitas Flores, Ende yang Disampaikan pada Acara Pelantikan Pengurus Asosiasi Tradisi
Lisan Flores Ende, pada Selasa, 22 Maret 2016, di Auditorium H.J.Gadi Djou,
Jl. Sam Ratulangi Ende, Artikel ini telah dimuat pada HU Flores Pos, 2
April 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar