Halaman

Jumat, 31 Agustus 2018

Tradisi Lisan: Wujud Tenunan Kehidupan Manusia





                                         
Bahasa adalah suatu rekayasa teknologi untuk mengemas pengetahuan yang tertangkap manah (mind) untuk menghimpun, menyebarkan, dan mewariskan pengetahuan. Bahasa juga menjadi wadah penyimpan informasi, dan ia berkembang secara simbiosis dengan budaya dan keberlangsungan kehidupan. Perlu dikemukakan di sini bahwa fungsi utama bahasa manusia bukanlah untuk komunikasi saja, melainkan untuk simbolisasi (Piaget, 1963). Simbol adalah representasi kulltural dan ekologis dari realitas; jadi selalu sesuai dengan konteks orang, waktu, dan tempat, dalam hubungannya dengan manah (mind), pikiran, cara berpikir dan bertindak.
Sebagai pewaris dan pengguna bahasa, manusia juga dikenal sebagai makhluk naratif, yang suka berkisah, berceritera, dengan menggunakan bahasa. Bahasa adalah pencapaian tertinggi evolusi kesadaran manusia. Karena bahasa pada dasarnya adalah lambang untuk merepresentasikan apa pun, maka manusia menggunakan bahasa untuk berpikir, berkisah, bercakap, berceritera, umumnya secara verbal, memakai kata-kata tentang apa pun yang dipikirkannya, dialaminya (optik, auditoris, taktil, olfaktoris, kecap), dan dirasakannya. Manusia juga berceritera secara visual dalam coretan, dan lukisan–yang kemudian berkembang menjadi tulisan, dan secara kinesik dalam gerak–tari, misalnya. Manusia juga bernarasi mengenai apa yang dibayangkannya sendiri, bahkan tentang apa yang tidak ada karena ia menggunakan lambang yang abstrak yang dapat mengacu apa pun. Manusia bercakap-cakap secara lisan. Percakapan membuat seseorang menjadi manusiawi, menjadi sosial dengan menyentuh orang lain dengan kata-kata. Tetapi dalam perkembangannya manusia juga menulis, dan tulisan tersebut membuatnya menjadi beradab (Gusdorf, 1965: 3–10).
Selain bahasa, juga terdapat sastra yang dapat berbentuk lisan dan tulisan. Orang berceritera secara lisan sehari-hari, dan ketika ditekankan pada nilai keindahan berceritera, lahirlah sastra. Bahasa tulisan mulai dikenal manusia kira-kira 35.000 tahun yang lalu dalam bentuk coretan dan lukisan di gua-gua (Corballis, 1991: 45). Coretan dan lukisan itu mungkin digunakan untuk membuat catatan atau meninggalkan pesan kepada orang lain; dan bagi peneliti masa kini coretan atau lukisan itu dapat digunakan untuk merekonstruksi kesadaran manusia akan dirinya, sejarahnya, dan lingkungannya (Ong, 1982: 15). Bahasa dan sastra adalah warisan sosial, kultural, dan spiritual yang khas dan tak tergantikan.
Tradisi Lisan adalah roh kehidupan manusia. Semua pengalaman hidup manusia dipatri dalam tradisi lisan mulai dari pangkuan ibu, ayah, nenek, kakek, maupun pengasuh yang lain. Seorang anak mengenal dunia melalui tradisi lisan. Sebagai pengamatdan peneliti bahasa saya selalu terbawa oleh dahsyatnya memori manusia sebagaimana dicatat di dalam bahasanya. Melalui memori kita mengingat masa lampau: semua yang kita alami dan pelajari tentang dunia; dan dengan memori kita membuat proyeksi ke masa depan. Dalam sejarah perkembangan makhluk manusia kita mengalami tiga tahap penting dalam kehidupan. Pertama, kita berevolusi karena adanya dan mengikuti DNA (deoxyribonuclieic acid), suatu ensiklopedia yang memuat informasi lengkap tentang wujud fisik genetis manusia; kedua, munculnya sistem saraf dalam otak manusia, terutama neo-korteks, yang menyimpan memori manusia sejak lahir sampai wafatnya; dan ketiga, munculnya bahasa, yang menjadi alat untuk mencatat seluruh pengetahuan manusia dan alat untuk mengkomunikasikannya dengan manusia lain dan mewariskan pengetahuan itu kepada keturunannya (Periksa Midner, Vesna. 2008. The Cognitive Neuroscience of Human Communication).
Ketiga hal di atas telah menjadi perhatian para ahli genetika, ahli neurologi, dan ahli bahasa. Dan, kita semua dibuat tertegun dengan pengetahuan itu karena di situ ditunjukkan betapa Maha Besarnya, betapa Maha Kasihnya Tuhan yang telah menciptakan manusia, yang sungguh-sungguh berbeda dengan makhluk lain, termasuk kerabat paling dekat kita secara evolusi, yaitu primata atau kera–yang menurut penelitian ahli genetika, 98 persen sama dengan kita secara fisik. Kita bersyukur bahwa ada perbedaan sekitar dua persen. Perbedaan antara “langit dan bumi”, dua persen itu adalah bahasa dan budaya.
Yang saya sebutkan di atas adalah pengantar bagi kuliah umum yang akan diberikan oleh Ibu Profesor Doktor Pudentia. Kami sangat berbangga dengan karya dan nama Anda di bidang pengkajian tentang tradisi lisan dan kami siap belajar dari pengalaman Anda, dan di masa yang akan datang bekerja sama untuk mengembangkan studi tentang tradisi lisan di Universitas Flores ini. Kami sadari betapa pentingnya tradisi lisan karena ia mengkaji dan berhubungan langsung dengan serat, fabric, yang merupakan dasar untuk membangun wujud “tenunan” text, kehidupan manusia. Kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalmnya atas kesediaan Ibu mengunjungi Universitas Flores dan memberikan kuliah umum untuk menambah wawasan kami tentang tradisi lisan. (*)



[1]  Disari dari Naskah Pidato Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A.,Rektor Universitas Flores, Ende yang Disampaikan pada Acara Pelantikan Pengurus Asosiasi Tradisi Lisan Flores Ende, pada Selasa, 22 Maret 2016, di Auditorium H.J.Gadi Djou, Jl. Sam Ratulangi Ende, Artikel ini telah dimuat pada HU Flores Pos, 2 April 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar