Batuknya kedengaran lesuh.
Tenaganya telah habis terkuras dalam perjalannanya semalam suntuk. Untuk
kesekian kalinya sesosok tubuh yang dimamah usia itu beristirahat lagi.
Perjalanan tanpa tujuan itu ia lanjutkan. Dari penghujung kampung tamu tak
dikenal itu berlangkah pelan menelusuri ruas jalan yang penuh bebatuan. Batuknya
kian parah. Sementara suaranya makin kecil dan membangkitkan rasa ibah bagi
penghuni kampung di subuh itu. Dibarengi dengan bunyi dahaknya yang menusuk
telinga warga setempat. Seolah ada sebutir kerikil kecil yang menghalangi
keluarnya dahak dari kerongkongan tuanya. Tamu tak dikenal itu tak bertenaga
lagi. Tapi, apa mau dikata, perjalanan harus dilanjutkan, entah sampai kapan.
Siapa tamu subuh itu? Usik suara hati anton yang asik memperhatikan langkah tamu subuh yang nyaris jatuh karena kepayahan. Apa itu suara Nek Danto, yang tinggal di seberang kali mati itu? Tapi, batuknya Nek Danto tidak separah itu. Lagipun Nek Danto baru berumur 49 tahun. Ataukah Pak Doyan, lelaki setengah waras itu? Oh…, kalau Pak Doyan itu tidak mungkin. Sebab, lelaki yang satu itu sangat dicintai oleh anak-anaknya. Anton bermonolog sendiri meramalkan nasib tamu yang tak dikenal itu. Pikirannya terus bermain dengan seribu satu kemungkinan. Lelaki kurus kerempeng itu semakin dekat. Dengan bantuan tongkat di tangan kanannya ia melangkah lugu. Batuknya bagai dikipas terus mengeluarkan dahak yang sangat menjijikkan. Tamu dengan setengah bongkok itu menatap rumah bertingkat satu dipinggir jalan itu. Tanpa ragu ia mendekati rumah tersebut.
Selamat
pa…pa…pagi Nak! Suara tamu subuh itu berketar-ketar menyapa Anton mengawali
jumpah mereka di pagi itu. Anton masih heran. Baginya peristiwa ini adalah hal
yang baru. Aduh…capai! Keluhnya lesuh. Wajahnya pucat. Napasnya terengah-engah
keletihan. Dari raut wajahnya terpancar nuansa sedih bagi setiap tatapan.
Nak,…bolehkah Nek meminta sedikit air minum? Oh,… duduklah dulu Nek. Sambil
Anton mempersilahkan tamu itu duduk.
Tanpa
menanyakan namanya, Anton segera ke dapur. Secangkir kopi panas dan sepiring
ubi rebus dihidangkan untuk tamu itu. Dengan mengucapkan nama Tuhan, tamu itu
mencicipi hidangan dengan senang hati. Tak sepotong ubi rebus pun
ditinggalkannya. Bunyi perut yang tadinya bagai arus kecil tak kedengaran lagi.
Lelaki berumur sekitar enampuluhan tahun itu mulai kelihatan bersemangat. Tanpa
ditanya dia mulai bercerita.
Selama
ini Nek tinggal bersama anak sulung Nek yang bekerja sebagai seorang pegawai.
Semenjak kepergian istri tercinta lima tahun silam, aku diminta untuk tinggal
bersama mereka. Situasi keluarganya yang tidak aman membuatku tak betah lagi.
Salah-paham antara mereka, Nenek juga yang
dipersalahkan. Mungkin karena kehadiran Nenek membuat mereka sibuk. Bagi
Nenek, dialah anak yang sangat menyayangi orang tuanya. Dia juga dapat membantu
Nenek menjual dan membagi sayur kepada langganan semasa dia duduk di SLTP dan
SLTA. Entah kenapa dia begitu berubah watak. Mungkinkah dia telah dirasuk ulah
zaman yang berinisial ‘materialistis’?
Tapi, di manakah anak Nenek yang lain? Seloroh
Anton ingin mengetahui siapa sebenarnya tamu subuh itu. Nenek punya tiga orang
anak. Semuanya laki-laki. Selain putra sulung, dua yang lain telah berada di
Negara jiran Malaysia, sejak tujuh tahun lalu. Hingga kini mereka sepih tanpa
berita. Bahkan, kematian ibu mereka pun, mereka tidak hadir, walau telah
diberitakan. Oh,… betapa kejam dunia ini. Sedih! Nenek pasrah pada semuanya
ini. Dan,…Nenek hanya menunggu saat yang paling tepat untuk mengindar dari
mereka. Ulah jatuhnya putri sulungnya,
Nenek pula yang dipersalahkan. Dan,…ketika mereka sekeluarga sedang menikmati
liburan di akhir pekan……………! Dia diam! Bisu seribu bahasa.
Benaknya
menerawang jauh mengenangkan tragedi semalam. Drama yang selama ini tak pernah
terbayangkan. Wajah anak sulungnya terlintas dalam angannya. Pandangannya
diarahkan keluar rumah menatap cerianya alam sekitar. Angin pagi segar
berhembus di celah-celah kerimbunan daun hijau menusuk hati yang penuh dengan
sebongkah kesedihan. Ulah anak yang tidak tahu membalas jasa orang tuanya.
Rasanya aku telah bersalah membesarkan dan membiayai mereka.
Siapa
yang dapat membiayai anaknya sampai menjadi seorang pegawai, seperti Nenek yang
cuma seorang petani sayur. Bahkan, Nenek sudah merasa gembira melihat
putra-putra Nenek yang semuanya telah mandiri. Tapi segala pengorbanan Nenek
dibalas dengan kecaman dan hinaan. Tepatlah kata moyang Nenek, bahwa seorang
ayah dan ibu dapat menjaga sepuluh orang anak, tetapi sepuluh orang anak tidak
dapat menjaga seorang ayah dan seorang ibu. Dia bergumam sendiri. Dan, sembari
mengangkat tongkatnya untuk minta pamit, tamu itu pun menitipkan seuntai pesan:
“Terima kasih atas kebaikan anak. Semoga Tuhan memberkati dan senantiasa
memberikan rezeki kepeda keluarga Nak!”
Memandang
tamu subuh yang masih keletihan, Anton tidak membiarkan ia pergi. Tinggallah
saja bersama kami Nek. Anggaplah kami sebagai keluarga Nenek. Tidak Nak! Aku
harus pergi. Aku ingin mencari ketenangan. Dibalik mendung tebal ini, masih ada
sinar yang menunggu. Aku tidak mau membebani siapa-siapa pun selagi Nek masih
bernapas. Jangan Nek! Tinggallah bersama kami. Anton membujuknya lagi. Tapi, ke
mana Nek akan pergi? Seruh Anton. Tamu subuh itu tunduk. Tak diduga, kenapa air
matanya menetes jatuh ke pipihnya.
Setiap
saat yang dilewati, wajah alamahrumah istri tercinta selalu hadir dalam
bayangan. Banyak kenangan masih segar dalam ingatan. Aku dan almahrumah
tersayang bekerja membanting tulang tak perduli dengan panas terik dan turunnya
hujan. Aku tetap punya tekad dan niat agar anak-anak Nek dapat memperoleh hidup
yang baik dikemudian hari.
Timbul nada gerham terhadap anaknya
yang memperlakukannya seperti seekor anjing kurap. Walau bagaimanapun aku harus
pergi mencari ketenangan. Jangan Nek! Tidurlah saja di sini. Anggaplah kami
sebagai anak Nenek. Anton mengulangi kembali kata-katanya semula untuk
meyakinkan lagi tamu itu.
Nak!
Sekali lagi ia bersuara. Ketahuilah bahwa dibalik mendung tebal ini matahari
tetap ada. Dibalik rencana Allah yang Nenek jalani ini, berkat-Nya telah
tersedia. Bila mendung itu berlalu, mataharipun akan kelihatan. Dan bila rencana
ini berakhir, maka Kasih Tuhan pun akan terasa. Anton terpegun mendengar
kata-kata yang diucapkan tamu subuh itu. Akhirnya, ia pergi merajut hari baru
dan hidup baru bersama angin kemarau. Bagi dia, di sanalah akan terjadi
kebahagiaan abadi. Akan ada pembalasan atas perbuatannya. Kasih Tuhan tetap ada
bagi dia.
Ende, kota
sejarah
14 Oktober 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar