Halaman

Jumat, 06 April 2018

Tamu Tak Dikenal





          Batuknya kedengaran lesuh. Tenaganya telah habis terkuras dalam perjalannanya semalam suntuk. Untuk kesekian kalinya sesosok tubuh yang dimamah usia itu beristirahat lagi. Perjalanan tanpa tujuan itu ia lanjutkan. Dari penghujung kampung tamu tak dikenal itu berlangkah pelan menelusuri ruas jalan yang penuh bebatuan. Batuknya kian parah. Sementara suaranya makin kecil dan membangkitkan rasa ibah bagi penghuni kampung di subuh itu. Dibarengi dengan bunyi dahaknya yang menusuk telinga warga setempat. Seolah ada sebutir kerikil kecil yang menghalangi keluarnya dahak dari kerongkongan tuanya. Tamu tak dikenal itu tak bertenaga lagi. Tapi, apa mau dikata, perjalanan harus dilanjutkan, entah sampai kapan.
    
         Siapa tamu subuh itu? Usik suara hati anton yang asik memperhatikan langkah tamu subuh yang nyaris jatuh karena kepayahan. Apa itu suara Nek Danto, yang tinggal di seberang kali mati itu? Tapi, batuknya Nek Danto tidak separah itu. Lagipun Nek Danto baru berumur 49 tahun. Ataukah Pak Doyan, lelaki setengah waras itu? Oh…, kalau Pak Doyan itu tidak mungkin. Sebab, lelaki yang satu itu sangat dicintai oleh anak-anaknya. Anton bermonolog sendiri meramalkan nasib tamu yang tak dikenal itu. Pikirannya terus bermain dengan seribu satu kemungkinan. Lelaki kurus kerempeng itu semakin dekat. Dengan bantuan tongkat di tangan kanannya ia melangkah lugu. Batuknya bagai dikipas terus mengeluarkan dahak yang sangat menjijikkan. Tamu dengan setengah bongkok itu menatap rumah bertingkat satu dipinggir jalan itu. Tanpa ragu ia mendekati rumah tersebut.
         Selamat pa…pa…pagi Nak! Suara tamu subuh itu berketar-ketar menyapa Anton mengawali jumpah mereka di pagi itu. Anton masih heran. Baginya peristiwa ini adalah hal yang baru. Aduh…capai! Keluhnya lesuh. Wajahnya pucat. Napasnya terengah-engah keletihan. Dari raut wajahnya terpancar nuansa sedih bagi setiap tatapan. Nak,…bolehkah Nek meminta sedikit air minum? Oh,… duduklah dulu Nek. Sambil Anton mempersilahkan tamu itu duduk.
          Tanpa menanyakan namanya, Anton segera ke dapur. Secangkir kopi panas dan sepiring ubi rebus dihidangkan untuk tamu itu. Dengan mengucapkan nama Tuhan, tamu itu mencicipi hidangan dengan senang hati. Tak sepotong ubi rebus pun ditinggalkannya. Bunyi perut yang tadinya bagai arus kecil tak kedengaran lagi. Lelaki berumur sekitar enampuluhan tahun itu mulai kelihatan bersemangat. Tanpa ditanya dia mulai bercerita.
          Selama ini Nek tinggal bersama anak sulung Nek yang bekerja sebagai seorang pegawai. Semenjak kepergian istri tercinta lima tahun silam, aku diminta untuk tinggal bersama mereka. Situasi keluarganya yang tidak aman membuatku tak betah lagi. Salah-paham antara mereka, Nenek juga yang  dipersalahkan. Mungkin karena kehadiran Nenek membuat mereka sibuk. Bagi Nenek, dialah anak yang sangat menyayangi orang tuanya. Dia juga dapat membantu Nenek menjual dan membagi sayur kepada langganan semasa dia duduk di SLTP dan SLTA. Entah kenapa dia begitu berubah watak. Mungkinkah dia telah dirasuk ulah zaman yang berinisial ‘materialistis’?
          Tapi, di manakah anak Nenek yang lain? Seloroh Anton ingin mengetahui siapa sebenarnya tamu subuh itu. Nenek punya tiga orang anak. Semuanya laki-laki. Selain putra sulung, dua yang lain telah berada di Negara jiran Malaysia, sejak tujuh tahun lalu. Hingga kini mereka sepih tanpa berita. Bahkan, kematian ibu mereka pun, mereka tidak hadir, walau telah diberitakan. Oh,… betapa kejam dunia ini. Sedih! Nenek pasrah pada semuanya ini. Dan,…Nenek hanya menunggu saat yang paling tepat untuk mengindar dari mereka. Ulah  jatuhnya putri sulungnya, Nenek pula yang dipersalahkan. Dan,…ketika mereka sekeluarga sedang menikmati liburan di akhir pekan……………! Dia diam! Bisu seribu bahasa.
          Benaknya menerawang jauh mengenangkan tragedi semalam. Drama yang selama ini tak pernah terbayangkan. Wajah anak sulungnya terlintas dalam angannya. Pandangannya diarahkan keluar rumah menatap cerianya alam sekitar. Angin pagi segar berhembus di celah-celah kerimbunan daun hijau menusuk hati yang penuh dengan sebongkah kesedihan. Ulah anak yang tidak tahu membalas jasa orang tuanya. Rasanya aku telah bersalah membesarkan dan membiayai mereka.
          Siapa yang dapat membiayai anaknya sampai menjadi seorang pegawai, seperti Nenek yang cuma seorang petani sayur. Bahkan, Nenek sudah merasa gembira melihat putra-putra Nenek yang semuanya telah mandiri. Tapi segala pengorbanan Nenek dibalas dengan kecaman dan hinaan. Tepatlah kata moyang Nenek, bahwa seorang ayah dan ibu dapat menjaga sepuluh orang anak, tetapi sepuluh orang anak tidak dapat menjaga seorang ayah dan seorang ibu. Dia bergumam sendiri. Dan, sembari mengangkat tongkatnya untuk minta pamit, tamu itu pun menitipkan seuntai pesan: “Terima kasih atas kebaikan anak. Semoga Tuhan memberkati dan senantiasa memberikan rezeki kepeda keluarga Nak!”
          Memandang tamu subuh yang masih keletihan, Anton tidak membiarkan ia pergi. Tinggallah saja bersama kami Nek. Anggaplah kami sebagai keluarga Nenek. Tidak Nak! Aku harus pergi. Aku ingin mencari ketenangan. Dibalik mendung tebal ini, masih ada sinar yang menunggu. Aku tidak mau membebani siapa-siapa pun selagi Nek masih bernapas. Jangan Nek! Tinggallah bersama kami. Anton membujuknya lagi. Tapi, ke mana Nek akan pergi? Seruh Anton. Tamu subuh itu tunduk. Tak diduga, kenapa air matanya menetes jatuh ke pipihnya.
           Setiap saat yang dilewati, wajah alamahrumah istri tercinta selalu hadir dalam bayangan. Banyak kenangan masih segar dalam ingatan. Aku dan almahrumah tersayang bekerja membanting tulang tak perduli dengan panas terik dan turunnya hujan. Aku tetap punya tekad dan niat agar anak-anak Nek dapat memperoleh hidup yang baik dikemudian hari.
           Timbul nada gerham terhadap anaknya yang memperlakukannya seperti seekor anjing kurap. Walau bagaimanapun aku harus pergi mencari ketenangan. Jangan Nek! Tidurlah saja di sini. Anggaplah kami sebagai anak Nenek. Anton mengulangi kembali kata-katanya semula untuk meyakinkan lagi tamu itu.
Nak! Sekali lagi ia bersuara. Ketahuilah bahwa dibalik mendung tebal ini matahari tetap ada. Dibalik rencana Allah yang Nenek jalani ini, berkat-Nya telah tersedia. Bila mendung itu berlalu, mataharipun akan kelihatan. Dan bila rencana ini berakhir, maka Kasih Tuhan pun akan terasa. Anton terpegun mendengar kata-kata yang diucapkan tamu subuh itu. Akhirnya, ia pergi merajut hari baru dan hidup baru bersama angin kemarau. Bagi dia, di sanalah akan terjadi kebahagiaan abadi. Akan ada pembalasan atas perbuatannya. Kasih Tuhan tetap ada bagi dia.

Ende, kota sejarah
14 Oktober 1998



[1] Pernah dimuat pada majalah Mingguan DIAN,1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar