Halaman

Selasa, 14 November 2017

Belajar Mengajar dengan Bercerita





Tiga tahun lalu. Grace dan Gracy tiba di kota ini. Keduanya datang dari daerah pedalaman yang berbeda. Namanya hampir sama, padahal keduanya tidak punya hubungan kekeluargaan. Grace menamatkan sekolah dasar di kampungnya, dan melanjutkan ke sekolah menengah pertama. Gracy menyelesaikan sekolah menengah pertama di desanya, dan berniat meneruskan sekolah menengah atas di kota tua ini. Menurut orang tua Grace dan Gracy, sekolah-sekolah di sini (SMP dan SMA) memiliki standar pelayanan pembelajaran yang baik demi transfer pengetahuan dan penanaman nilai-nilai kehidupan yang telah diperoleh sebelumnya. Fasilitas pembelajaran yang cukup, standar pelayanan yang maksimal, ketersediaan sumber daya manusia (guru) yang representatif, suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan, membuat orang tua Grace dan Gracy ‘jatuh hati’ mempercayakan anak-anaknya ke lembaga-lembaga pendidikan demikian.
Supaya lancar, cepat, dan terkendali, Grace dan Gracy diasramakan. Mereka yakin waktu belajarnya lebih tertata rapih. Pembentukan karakter, penempahan minat, bakat, karakter, kreativitas, inovasi, juga pendidikan disiplin, serta perilaku untuk menghargai, mencintai, solider, dan kesetiakawanan sosial, jiwa nasionalisme akan berjalan serasi, sepadan, antara aktivitas di sekolah dan kebiasaan di asrama. Untuk tujuan itulah, orang tua Grace dan Gracy, sekali lagi ‘jatuh hati’ untuk meng-inapkan mereka berdua di asrama. Di samping pertimbangan empiris bahwa orang tua mereka pernah makan asam garam dan merasakan pahit getir kehidupan di asrama. Bagi mereka, ‘sengsara membawa nikmat’.
Guru figur komplit
Banyak kalangan berharap tentang peningkatan dunia pendidikan kita. Sebut saja, terget jangka pendek, hasil Ujian Nasional 2015 boleh menghadirkan harapan baru, minimal ada perbaikan peringkat dari tahun-tahun sebelumnya. Aspek inilah menjadi petunjuk bahwa upaya yang dijalankan oleh semua pemangku kepentingan selama ini tidak sia-sia. Semua kerja keras dan pengorbanan waktu, tenaga, biaya, terbayar dengan hasil baik yang didambakan kita bersama.
Bapak Ibu guru di sekolah tentu sudah mengetahui bahwa setiap awal tahun ajaran terjadi penerimaan siswa baru. Ini artinya, bahwa selang tiga tahun yang akan datang siswa-siswa yang diterima tersebut harus menyelesaikan masa belajarnya. Selesai masa belajar ditentukan melalui sebuah ujian yang sangat ketat dan menasional yakni ujian nasional. Kendati secara empirik masih menghadirkan polemik, namun, tetap dilaksanakan sebagaimana biasa sampai saat ini. Proses ini pun telah disadari secara baik oleh seluruh perangkat  sekolah, maupun stakeholder lainnya agar ujian nasional ini tidak menjadi peristiwa eksekusi yang menakutkan. Dalam konteks ini pun seluruh manajemen sekolah sudah dan pasti mengerahkan seluruh dayanya untuk menghadapi ujian nasional dimaksud.
Dalam kerangka itulah, guru perlu mandiri melalui penguasaan bidang ilmu secara baik dan memadai. Guru harus mampu memberdayakan dirinya sendiri, dengan cara berbagi ilmu di antara sesama guru. Tanpa itu, anak didik akan tertinggal perkembangannya, yang akan mengganggu kesejahteraan bangsa pada masa yang akan datang. Pendidikan Indonesia punya masalah besar, terutama mutu guru. Kalau menunggu pemerintah, guru akan susah berkembang. Guru secara personal juga dituntut untuk berubah, agar mampu bertahan dan menyiapkan generasi yang sesuai dengan zamannya. Tak bisa lagi puas jadi guru tradisional. Guru juga harus mampu berpikir terpadu. Pelajaran-pelajaran di sekolah tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan bagi siswa, melainkan sekaligus dimanfaatkan untuk membangun kepemimpinan, inovasi, kreativitas, pengorbanan, kerja keras, kemandirian dan kemampuan komunikasi. Tantangan kehidupan yang semakin besar, seperti masalah energi, makanan, lingkungan, pemanasan global, kemiskinan, terorisme, demokrasi, hingga teknologi informasi dan komunikasi. Kondisi ini menghendaki para guru untuk bisa menyiapkan sumber daya manusia dengan karakter dan spesifikasi tertentu.
Tantangan-tantangan demikian juga mengharuskan guru untuk bertanggung jawab menyiapkan generasi yang tetap memiliki jati diri Indonesia. Anak-anak bangsa ke depan harus proaktif, mampu berkomunikasi dengan baik, mampu bekerja dalam tim, berkarakter pemecah masalah, penemu jalan keluar, cepat dan akurat, kreatif, berjiwa pemimpin, serta menguasai teknologi informasi dan mampu berkomunikasi dengan rapi dan santun. Semuanya ini menuntut sekolah dan guru untuk berubah. Guru harus memberdayakan dirinya sendiri. Seandainya guru telah mandiri dengan penguasaan bidang ilmunya secara baik dan memadai, guru bisa mengajar di mana saja sesuai dengan sertifikasinya, menjadi teladan dan mampu memahami setiap siswa dengan baik (Kompas, 28 Maret 2011).
Guru sosok pencerita
Sajian di awal tulisan ini juga adalah sebuah cerita. Bercerita hemat saya sangat membantu siswa dalam memahami pembelajaran di kelas. Pembelajaran dengan bercerita bukan hal baru. Jauh sebelum orang mengenal bahasa tulis, cerita telah digunakan dalam proses pembelajaran. Data mengenai hal ini paling tidak dapat kita temukan dalam pengajaran yang dilakukan nenek moyang kita. Seluruh karya dan perjalanannya dilakukan dengan bercerita.
Cerita dapat “menyihir” sebagian besar orang sehingga sering orang mengidentifikasikan dirinya sebagai tokoh cerita tersebut. Kekuatan cerita terletak pada kemampuannya untuk menyampaikan nilai-nilai kepada para pendengarnya, tetapi tidak melalui indoktrinasi. Pendengar cerita memiliki kebebasan untuk mengambil maknanya yang terdapat di dalamnya. Karena itulah ketika seseorang menemukan kecocokan sifat pada tokoh yang diidolakan dalam cerita dapat mempengaruhi hidupnya. Cerita memang menarik karena itu banyak orang ketika ingin menyampaikan pesan ia menggunakan cerita. Kekuatan cerita terletak pada kemampuannya membawa orang merasa dilibatkan, tidak merasa digurui, dan tidak merasa diindoktrinasi.
Cerita merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia. Hampir setiap daerah memiliki cerita yang disebut cerita rakyat. Pada awalnya cerita tersebut berkembang dari mulut ke mulut. Karena itu sering kali cerita rakyat tidak diketahui kapan dan siapa orang yang pertama kali memperkenalkan cerita tersebut. Yang pasti setiap cerita mengandung maksud dan nilai yang akan disampaikan bagi para pendengarnya. Karena cerita disampaikan secara lisan, maka nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut dapat menjadi milik semua orang, ”terinternalisasi” dalam diri pendengarnya. Dengan demikian, pendengar tidak hanya dapat menceritakan cerita tersebut kepada generasi berikutnya, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi bagian dan referensi hidupnya.
Tradisi bercerita ini perlahan ditinggalkan, seiring ditemukannya buku serta berkembangnya teknologi informasi. Namun demikian, tidak serta merta orang senang membaca buku, termasuk b
uku cerita. Cerita yang kaya akan nilai telah banyak ditinggalkan orang sehingga merekapun kehilangan nilai-nilai universal dalam hidupnya. Kita percaya melalui pembelajaran di kelas berbagai cerita akan disebarkan sekaligus disharingkan untuk mendapatkankan pesannya. Bapak dan ibu gurulah memiliki kompetensi yang memadai dalam pembelajaran dimaksud. Karena itulah berceritalah. Bercerita membangkitkan daya nalar siswa untuk menghadapi kehidupannya kelak. (*)










[1] Artikel ini dimuat dalam HU Flores Pos, 13 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar