Tiga tahun lalu. Grace dan Gracy tiba di kota ini.
Keduanya datang dari daerah pedalaman yang berbeda. Namanya hampir sama,
padahal keduanya tidak punya hubungan kekeluargaan. Grace menamatkan sekolah
dasar di kampungnya, dan melanjutkan ke sekolah menengah pertama. Gracy
menyelesaikan sekolah menengah pertama di desanya, dan berniat meneruskan
sekolah menengah atas di kota tua ini. Menurut orang tua Grace dan Gracy,
sekolah-sekolah di sini (SMP dan SMA) memiliki standar pelayanan pembelajaran yang
baik demi transfer pengetahuan dan penanaman nilai-nilai kehidupan yang telah
diperoleh sebelumnya. Fasilitas pembelajaran yang cukup, standar pelayanan yang
maksimal, ketersediaan sumber daya manusia (guru) yang representatif, suasana
belajar yang kondusif dan menyenangkan, membuat orang tua Grace dan Gracy
‘jatuh hati’ mempercayakan anak-anaknya ke lembaga-lembaga pendidikan demikian.
Supaya lancar, cepat, dan terkendali, Grace dan Gracy
diasramakan. Mereka yakin waktu belajarnya lebih tertata rapih. Pembentukan
karakter, penempahan minat, bakat, karakter, kreativitas, inovasi, juga
pendidikan disiplin, serta perilaku untuk menghargai, mencintai, solider, dan
kesetiakawanan sosial, jiwa nasionalisme akan berjalan serasi, sepadan, antara
aktivitas di sekolah dan kebiasaan di asrama. Untuk tujuan itulah, orang tua Grace
dan Gracy, sekali lagi ‘jatuh hati’ untuk meng-inapkan mereka berdua di asrama.
Di samping pertimbangan empiris bahwa orang tua mereka pernah makan asam garam
dan merasakan pahit getir kehidupan di asrama. Bagi mereka, ‘sengsara membawa
nikmat’.
Guru figur komplit
Banyak
kalangan berharap tentang peningkatan dunia pendidikan kita. Sebut saja, terget
jangka pendek, hasil Ujian Nasional 2015 boleh menghadirkan harapan baru,
minimal ada perbaikan peringkat dari tahun-tahun sebelumnya. Aspek inilah
menjadi petunjuk bahwa upaya yang dijalankan oleh semua pemangku kepentingan
selama ini tidak sia-sia. Semua kerja keras dan pengorbanan waktu, tenaga,
biaya, terbayar dengan hasil baik yang didambakan kita bersama.
Bapak
Ibu guru di sekolah tentu sudah mengetahui bahwa setiap awal tahun ajaran terjadi
penerimaan siswa baru. Ini artinya, bahwa selang tiga tahun yang akan datang
siswa-siswa yang diterima tersebut harus menyelesaikan masa belajarnya. Selesai
masa belajar ditentukan melalui sebuah ujian yang sangat ketat dan menasional
yakni ujian nasional. Kendati secara empirik masih menghadirkan polemik, namun,
tetap dilaksanakan sebagaimana biasa sampai saat ini. Proses ini pun telah disadari
secara baik oleh seluruh perangkat sekolah, maupun stakeholder lainnya
agar ujian nasional ini tidak menjadi peristiwa eksekusi yang menakutkan. Dalam
konteks ini pun seluruh manajemen sekolah sudah dan pasti mengerahkan seluruh
dayanya untuk menghadapi ujian nasional dimaksud.
Dalam
kerangka itulah, guru
perlu mandiri melalui
penguasaan bidang ilmu secara baik dan memadai. Guru harus mampu memberdayakan
dirinya sendiri, dengan cara berbagi ilmu di antara sesama guru. Tanpa itu,
anak didik akan
tertinggal perkembangannya,
yang akan mengganggu kesejahteraan bangsa pada masa yang akan datang.
Pendidikan Indonesia punya masalah besar, terutama mutu guru. Kalau menunggu
pemerintah, guru akan susah berkembang. Guru secara personal
juga dituntut untuk
berubah, agar mampu bertahan dan menyiapkan generasi yang sesuai dengan
zamannya. Tak bisa lagi puas jadi guru tradisional. Guru juga harus mampu berpikir
terpadu. Pelajaran-pelajaran di sekolah tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan
bagi siswa, melainkan sekaligus dimanfaatkan untuk membangun kepemimpinan,
inovasi, kreativitas, pengorbanan, kerja keras, kemandirian dan kemampuan
komunikasi. Tantangan
kehidupan yang semakin besar, seperti masalah energi, makanan, lingkungan, pemanasan global, kemiskinan,
terorisme, demokrasi, hingga teknologi informasi dan komunikasi. Kondisi ini
menghendaki para guru
untuk bisa
menyiapkan sumber daya manusia
dengan karakter dan spesifikasi tertentu.
Tantangan-tantangan demikian juga
mengharuskan guru untuk bertanggung jawab menyiapkan generasi yang tetap
memiliki jati diri Indonesia. Anak-anak bangsa ke depan harus proaktif, mampu
berkomunikasi dengan baik, mampu bekerja dalam tim, berkarakter pemecah
masalah, penemu jalan keluar, cepat dan akurat, kreatif, berjiwa pemimpin, serta
menguasai teknologi informasi dan mampu berkomunikasi
dengan rapi dan santun.
Semuanya ini menuntut sekolah dan guru untuk berubah. Guru harus memberdayakan
dirinya sendiri. Seandainya guru telah mandiri dengan penguasaan bidang ilmunya
secara baik dan memadai, guru bisa mengajar di mana saja sesuai dengan
sertifikasinya, menjadi teladan dan mampu memahami setiap siswa dengan baik (Kompas,
28 Maret 2011).
Guru sosok pencerita
Sajian di awal
tulisan ini juga adalah sebuah cerita. Bercerita hemat saya sangat membantu
siswa dalam memahami pembelajaran di kelas. Pembelajaran dengan bercerita bukan hal baru. Jauh sebelum orang mengenal bahasa
tulis, cerita telah digunakan dalam proses pembelajaran. Data mengenai hal ini
paling tidak dapat kita temukan dalam pengajaran yang dilakukan nenek moyang
kita. Seluruh karya dan perjalanannya dilakukan dengan bercerita.
Cerita dapat “menyihir” sebagian besar
orang sehingga sering orang mengidentifikasikan dirinya sebagai tokoh cerita
tersebut. Kekuatan cerita terletak pada kemampuannya untuk menyampaikan
nilai-nilai kepada para pendengarnya, tetapi tidak melalui
indoktrinasi. Pendengar cerita memiliki kebebasan untuk mengambil maknanya yang
terdapat di dalamnya. Karena itulah ketika seseorang menemukan kecocokan sifat
pada tokoh yang diidolakan dalam cerita dapat mempengaruhi hidupnya. Cerita
memang menarik karena itu banyak orang ketika ingin menyampaikan pesan ia
menggunakan cerita. Kekuatan cerita terletak pada kemampuannya membawa orang
merasa dilibatkan, tidak merasa digurui, dan tidak merasa diindoktrinasi.
Cerita merupakan bagian tidak
terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia. Hampir setiap daerah memiliki
cerita yang disebut cerita rakyat. Pada awalnya cerita tersebut berkembang dari
mulut ke mulut.
Karena itu sering kali cerita rakyat tidak diketahui kapan dan siapa orang yang
pertama kali memperkenalkan cerita tersebut. Yang pasti setiap cerita mengandung maksud dan nilai yang akan disampaikan bagi para
pendengarnya. Karena cerita
disampaikan secara lisan,
maka nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut dapat menjadi milik semua orang, ”terinternalisasi” dalam diri
pendengarnya. Dengan demikian, pendengar tidak hanya dapat menceritakan cerita
tersebut kepada generasi berikutnya,
tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi bagian dan referensi
hidupnya.
Tradisi bercerita
ini perlahan ditinggalkan, seiring
ditemukannya buku serta berkembangnya teknologi informasi. Namun demikian, tidak serta merta orang senang membaca
buku, termasuk b
uku cerita. Cerita yang kaya akan nilai telah banyak
ditinggalkan orang sehingga merekapun kehilangan nilai-nilai universal dalam
hidupnya. Kita percaya melalui pembelajaran di kelas berbagai cerita
akan disebarkan sekaligus disharingkan untuk mendapatkankan pesannya. Bapak
dan ibu gurulah memiliki kompetensi yang memadai dalam pembelajaran dimaksud.
Karena itulah berceritalah. Bercerita membangkitkan daya nalar siswa untuk
menghadapi kehidupannya kelak. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar