Pagi itu mendung. Di pengujung tahun ini. Kabut tebal masih menggelayuti kota Malang.
Panorama keilmuan Malang–Kota Bunga belum tampak menggeliat. Hawa sejuk angin Gunung
Semeru dan Gunung Bromo yang mengapiti kota Bunga belum beranjak pamit. Embun pagi
masih tampak menoreh pada dedahanan taman-taman kota. Kuncup mekar pagi menyuguhkan
senyum perangai wangi warga bunga pada tatapan setiap taman untuk menyapa civitas akademika yang melewati lorong-lorong
waktu. Jam handphone saya menunjuk pada
pukul 07.47 pagi. Ruangan seminar di bilangan Jalan Surabaya No. 6 Malang dengan
kapasitas peserta sekitar ratusan orang itu sudah terisi hampir penuh. Kebanyakan
mereka adalah mahasiswa dan pemerhati masalah bahasa dan budaya. Sudah tampak sibuk.
Ada yang tengah serius mencoba menguliti makalah dan buku di tangan, sambil menyeruput
teh dan kopi panas. Ada yang sudah kelihatan sedang berdiskusi “sengit”,
kendati seminar dan acara bedah buku itu belum dimulai. Saya menghampiri meja registrasi.
Mendaftar nama dan menerima kudapan juga fasilitas seminar, berupa makalah dan sebuah
buku. Saya berdiri sejenak sambil menatap kursi yang kosong. Bisik hati kecilku,
memang orang kota semuanya taat pada waktu. Kalau ini juga terjadi di lingkungan
kita, maka tidak ada yang mengeluh tentang
tidak ada waktu.
Bedah Buku
Tepat Pukul
08.15 acara seminar dan bedah buku dimulai. Tidak ada seremoni yang rumit. Acara
langsung dibuka oleh Ketua Jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Malang. Tidak
juga panjang lebar. Beliau Cuma bilang seminar dan acara bedah buku ini membawa
nilai manfaat yang besar. Inilah menjadi salah satu “nafas” segar institusi
yang berlabel keilmuan. Dan, inilah hakikat sebuah perguruan tinggi. Tradisi ini
selanjutnya haruslah kita teruskan dengan menganekaragamkan bentuk sesrawungan
ilmiah, termasuk juga memperluas jangkauan partisipannya.
Itu saja. Singkat, padat dan pasti. Semua peserta pun angguk-angguk. Betapa
orang lebih ingin mendengar substansinya dari pada sekedar seremoni yang kadang
membosankan, gumamku dalam hati. Mungkin inilah suasana yang patut dibudidayakan
ketika masyarakat kita belakangan ini lebih mendewakan acara-acara seremonial dan
mengaburkan makna dan tujuan mendasar sebuah hajatan.
Judul tulisan ini merupakan judul buku karya Prof. Dr. Efendi
Kadarizman, Ph.D., profesor linguistik Universitas Negeri Malang yang diterbitkan
Universitas Negeri Malang Press. Dari judulnya saja, tampak bahwa penulis selain
merupakan seorang linguis, beliau juga menjadi seorang seniman. Terdapat rima aliterasi
“m-b-m-b” yang sekaligus sangat artistik. Secara umum buku ini membahas dua persoalan
pokok, yakni (1) relativitas dan universalitas bahasa, serta penerapannya dalam
pengajaran bahasa, dan (2) puitika, etnopuitika, dan penerjemahan. Dari segi aktualitas
topik, buku mengurai bahasa menyibak budaya memadukan topik-topik lama
dan baru. Topik lama masih menjadikan relativitas bahasa dan budaya yang
bertitik tolak pada hipotesis Sapir–Worf. Hipotesis ini semakin relevan dan aksentuatif
dalam budaya Indonesia. Topik “gramatika semesta” dan “teori minimalis Chomsky”
yang mengundang perdebatan, penafsiran dan implementasi gramatika semesta,
menjadi sebuah topik yang baru. Adakah benang merah antara universalitas bahasa
yang dipelopori tahun 1950-an lewat teori UG (Gramatika Semesta) oleh pelopor Linguistik
Generatif, Noam Chomsky, dengan “relativitas bahasa” yang pada dasawarsa
1970-an melalui pemikiran-pemikiran antropolog–bahasawan Edward Sapir? Pertanyaan
ini kemudian dielaborasi secara detail oleh penulis pada bagian pertama dan kedua
buku ini.
Di
bidang puitika, penulis mengupas dalam dan terang benderang “puitika linguistik”, Roman
Jakobson, yang berambisi mempertautkan dua disiplin ilmu yang berbeda: linguistic dan sastra.
Merespon maraknya gagasan local knowledge, penulis memasukkan topik etnopuitika
yang menyelaraskan kepesatan
di bidang sastra bahwa sebuah sastra bukan hanya dipandang dari aspek struktur keindahan,
tetapi dapat ditelisik dari aspek sosiokulturalnya bagi budaya-budaya setempat. Pada tataran pengajaran bahasa, seorang pengajar linguistic hendaknya memiliki pengetahuan linguistik
yang memadai untuk membantu pembelajar mengatasi transfer
errors, baik pada ranah struktur maupun budaya, tulis Kadarizman yang spesialisasi linguistik di Departement of Linguistics,
University of Hawai at Manoa, masing-masing tahun 1993 dan 1999 dengan menulis disertasi Wedding Narratives as Verbal Art
Performance: Explorations in Javanese Poetics.
KajianBahasa
Bahasa adalah sine
qua non bagi kebudayaan dan manusia. Lewat bahasa, manusia mengabstrakkan seluruh pengalaman empiris,
rasional, dan spiritualnya secara konseptual, sistematis, dan terstruktur yang
pada gilirannya mengantarkan lahirnya dunia simbolik yang melewati sekat-sekat ruang
dan waktu. Lewat bahasa, manusia dapat menyampaikan dan menggambarkan pemikirannya
dalam aneka wujud kebudayaan. Simbol-simbol bahasa memungkinkan kita berpikir,
berrelasi dengan orang lain, dan memberi makna yang ditampilkan oleh alam semesta.
Inilah mengapa bahasa selalu saja menarik untuk dikaji sepanjang masa peradaban
manusia. Kajian-kajian tersebut berangkat dari perspektif masing-masing. Kaum strukturalisme,
pragmatisme, posmodernisme, akan menggunakan cara pandang masing-masing yang
mungkin saja berbeda dalam mengaji bahasa manusia.
Selain mempercakapkan tentang teori-teori kebahasaan dan kesastraan,
buku ini mengingatkan pembaca, terutama para mahasiswa, akademisi, dan peneliti
untuk memilih metode penelitiaan yang tepat, terutama metode kebahasaan dan kesastraan
secara tertib dan cermat. Prinsip “parsimoni” yang ditularkan oleh Kerlinger harus
dipegang teguh. Artinya, sebuah metode hanya cocok untuk memecahkan masalah tertentu,
tetapi tidak cocok untuk memecahkan masalah yang lain. Seekor nyamuk yang
hinggap di pipi perlu diusir dengan menggunakan telapak tangan, dan ini dianggap
cocok. Tidaklah perlu digunakan obat penyemprot nyamuk, atau baygon, tulis Anang
Santoso sebagai pem-bedah buku itu. Demikianpun dengan teori linguistik. Teori
dalam linguistik ibarat resep obat dari dokter spesialis. Satu obat tertentu digunakan
untuk mengobati suatu penyakit tertentu. Dengan demikian, mengurai bahasa menyibak
budaya juga menjadi pilihan bagi peneliti untuk memilih metode penelitian
yang benar dan efektif.
Buku ini tidak cuma mengupas cermat fenomena-fenomena pada
lingkaran bahasa dan budaya, namun Pak Efendi telah berusaha menyajikan fenomena-fenomena
sosial kemasyarakatan dalam konteks keindonesiaan dan kedaerahan melalui tampilan
contoh-contoh yang sangat aktual dan aplikatif. Tentunya, membuat pembaca semakin
dekat dan “lekat” dengan dunia sosialnya. Misalnya, tampak pada pernyataan, “…Dan,
meskipun di luar bidang linguistik “peperangan” ini nyaris tak terdengar,” demikian
tulis penulis di halaman 240, dalam resensi bukuThe Linguistics Wars, karya
Randy Allen Harris. Peperangan terasa segar dalam kehidupan kita, kehidupan berbahasa.
Dan, kita pun mengalaminya itu. Sebagaimana Austin Philip berucap selayaknya setiap orang berpikir tetap mengenakan
baju lama, tapi dapat membeli buku baru daripada bisa membeli baju baru, tapi tidak
dapat membaca buku baru. Anda harus membaca buku ini, terutama mahasiswa, dosen
dan mereka yang menggandrungi kajian-kajian kebahasaan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar