Kong Fu Tse, ahli filsafat
Cina mengatakan kalau ingin membangun masyarakat dalam waktu satu tahun, maka
tanamlah padi; kalau ingin membangun masyarakat dalam waktu sepuluh tahun, maka
tanamlah pohon; dan kalau ingin membangun masyarakat dalam waktu seratus tahun,
maka didiklah rakyat.(dalam H.J Gadi Djou, Uniflor: Sejarah Berdirinya, Perjuangannya,
dan Misi Depan Bangsa, Pena Persada Offset Yogyakarta, 2005).
Gadi Djou: Pemimpin yang Pendidik
Bapak H.J.Gadi Djou lahir di Ndona, 4 April 1937. Menamatkan
pendidikan sekolah dasar tahun 1950 di Ndona, SMPK Ndao tahun 1953, SMAK
Syuriadikara tahun 1956, dan menempuh pendidikan tinggi dan meraih gelar Drs.
Ekon pada Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta tahun 1965. Almahrum Bapak H.J.Gadi
Djou tercatat sebagai Bupati Ende selama sepuluh tahun semenjak dilantik pada 5
September 1973. Selama memimpin, beliau berkomitmen dan menaruh perhatiannya pada
dunia pendidikan. Dunia yang menurutnya menjadi titian prioritas pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan
rakyat Kabupaten Ende. Kiblat kepemimpinan dan perjuangannya terinspirasi dari pemikiran sang filsuf Cina Kon Fu Tse di atas. Bahwa perjuangan mengangkat
derajat dan martabat masyarakat harus dimulai dari pendidikan. Di sini, tentu
Bapak Gadi Djou menjadikan dirinya seorang pemimpin yang pendidik. Beliau
memulai dari dirinya dan keluarganya. Beliau secara implisit sedang berusaha
mengubah cara berpikir masyarakat untuk memandang pendidikan sebagai sebuah
proses panjang. Wadah investasi pembangunan jangka panjang. Beliau juga
seorang visioner dan model bagaimana mengelola dan menata masyarakat. Konsepsi,
gagasan, dan tanda keberpihakannya itu, mendorong beliau menggagas sebuah
Yayasan Perguruan Tinggi Flores (Yapertif), yang menaungi lembaga pendidikan
Universitas Flores. Sebuah lembaga pendidikan tinggi yang menurut beliau tahun
2005 telah menamatkan 2.105 alumni (ibid, iv), maka selang delapan tahun
sekarang pastilah total alumni itu telah bertambah.
Baginya, menyitir
banyak pendapat para bijak pedagogik bahwa pendidikan haruslah ditebar sebagai
matahari kedua, sebagai proses pencerahan, di samping menjadi
investasi masa depan yang tak tergantikan. Investasi
karena selain membutuhkan waktu yang lama, aspek ini juga membutuhkan biaya yang
banyak, tidak sedikit. Artinya, masyarakat kita harus digerakkan dan disadarkan
akan hal ini, kendati kondisi perekonomian kita fluktuatif. Jadilah, secara
riil beliau tentu tersenyum perangai tat kala dalam sebuah kondisi yang
paradoksal, di tengah impitan krisis ekonomi yang tak memiliki ending
yang jelas, para orang tua masih tegar membiayai sebuah generasi, sebuah zaman
yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa ini. Demikianlah kemauan, kerja
keras, pengorbanan, dan “banting tulang” untuk keberlanjutan kepemimpinan
bangsa yang menjadi implikasi dan keniscayaan dalam menggapai asa yang
diidamkan oleh setiap anak bangsa. Singkat kata, anak-anak kita harus
bersekolah. Melalui pencapaian kemajuan di bidang pendidikan di daerah inilah,
tak bisa dipungkiri bahwa beliaulah salah satu motivator, inisiator ulung nan
ulet dalam ranah pencerdasan anak-anak di daerah ini. Hemat saya keikhlasan
hati dan keceriaan budi Alamahrum turut melapangkan sisa hidupnya hingga
mengakhiri usianya pada 6 Juli 2014 di RS Panti Rapi Yogyakarta, tiga bulan dua
hari persis selepas merayakan hari ulang tahunnya yang ke 77.
Dalam kiat, asa, dan
harapan yang demikian, sebagai orang yang peduli pendidikan dan generasi di
daerah ini, Almahrum terus berharap agar cita-cita pendidikan sekaligus upaya
pemerataannya tak henti-henti diarahkan kepada semangat egalisasi: semua orang
sama dan berhak memperoleh pendidikan. Demikianlah, kiat juga asa Almahrum
dalam menanamkan sebuah perubahan masyarakat jangka panjang melalui pendidikan.
Dan, janji kepada dirinya dan masyarakat itu ada dengan adanya lembaga
Universitas Flores.
Sang Magistra yang
Pendulum
Dalam konteks
membaca dan membuat hidup lebih hidup, secara pribadi saya menganggap kehidupan
beliau sebanding dengan apa yang ditulis si Jenius Sastrawan Chairil Anwar yang
menganggap hidup adalah perjuangan “binatang jalang” yang menghadapi perjuangan
yang tidak ada habisnya sekaligus sedang berusaha untuk memenangkannya, maka di
mata saya Bapak Gadi Djou juga sedang berlari dan terus berlari menghayati elan
vital, daya hidup untuk seribu tahun lagi. Hidup bagi mereka dihayati
sebagai medan
pengembaraan untuk pencarian kedalaman makna hidup.
Dapatlah kita pahami
bahwa baginya tiap hirupan napas pada tapak hidupnya adalah sungguh berharga,
sungguh penting dan bermanfaat. Oleh karena itu, setiap saat, begitu ia bangun
tidur, selalu diisi dengan untaian kehidupan dengan apa yang paling berharga
yang bisa disumbangkan untuk orang lain. Dalam kehidupan semacam ini beliau
berusaha untuk selalu sadar diri dan cerah budi, membiarkan pikirannya terbuka
untuk tidak sedikitpun menyerah pada kekalahan perjuangan hidup yang sedang
dilawatinya dalam melawan kebodohan, kemalasan, dan kepasipan yang mengendorkan
semangat hidup. Dia tidak berpangku tangan, seperti nrimo, menerima saja
nasib, malahan terus berikhtiar menggandakan talentanya untuk setiap mereka di
sekitarnya, melalui kerja keras dan pengorbanan. Itulah, di usia kepergiannya
yang ke-77 ini beliau telah menoreh jejak-jejak kaki yang penuh semangat
sebagai warisan berharga bagi mereka yang ditinggalkannya. Ia meninggalkan
sikap disiplin yang luar biasa hebat untuk semua mereka yang dicintainya.
Beliau menjadikan dirinya sebagai Pendulum semangat dan asa. Akhirnya, dia
jualah seorang magistra, guru kehidupan bagi anak cucu dan lingkungan
sosialnya. Selamat jalan Bapak Eman, semoga arwahmu diterima di sisi Kanan Bapa
di Surga seturut amal dan perbuatan yang Bapak kerjakan selama hidup. RIP (Rest
In Peace) Beristirahatlah dalam Damai. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar