Halaman

Rabu, 08 November 2017

Sang Magistra Itu, Pergi! (Secuil Catatan tentang Bapak H. J.Gadi Djou, Drs.Ekon




Kong Fu Tse, ahli filsafat Cina mengatakan kalau ingin membangun masyarakat dalam waktu satu tahun, maka tanamlah padi; kalau ingin membangun masyarakat dalam waktu sepuluh tahun, maka tanamlah pohon; dan kalau ingin membangun masyarakat dalam waktu seratus tahun, maka didiklah rakyat.(dalam H.J Gadi Djou,  Uniflor: Sejarah Berdirinya, Perjuangannya, dan Misi Depan Bangsa, Pena Persada Offset Yogyakarta, 2005).

Gadi Djou: Pemimpin yang Pendidik
            Bapak H.J.Gadi Djou  lahir di Ndona, 4 April 1937. Menamatkan pendidikan sekolah dasar tahun 1950 di Ndona, SMPK Ndao tahun 1953, SMAK Syuriadikara tahun 1956, dan menempuh pendidikan tinggi dan meraih gelar Drs. Ekon pada Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta tahun 1965. Almahrum Bapak H.J.Gadi Djou tercatat sebagai Bupati Ende selama sepuluh tahun semenjak dilantik pada 5 September 1973. Selama memimpin, beliau berkomitmen dan menaruh perhatiannya pada dunia pendidikan. Dunia yang menurutnya menjadi titian prioritas pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat Kabupaten Ende. Kiblat kepemimpinan dan perjuangannya terinspirasi dari pemikiran sang filsuf Cina Kon Fu Tse di atas. Bahwa perjuangan mengangkat derajat dan martabat masyarakat harus dimulai dari pendidikan. Di sini, tentu Bapak Gadi Djou menjadikan dirinya seorang pemimpin yang pendidik. Beliau memulai dari dirinya dan keluarganya. Beliau secara implisit sedang berusaha mengubah cara berpikir masyarakat untuk memandang pendidikan sebagai sebuah proses panjang. Wadah investasi pembangunan jangka panjang. Beliau juga seorang visioner dan model bagaimana mengelola dan menata masyarakat. Konsepsi, gagasan, dan tanda keberpihakannya itu, mendorong beliau menggagas sebuah Yayasan Perguruan Tinggi Flores (Yapertif), yang menaungi lembaga pendidikan Universitas Flores. Sebuah lembaga pendidikan tinggi yang menurut beliau tahun 2005 telah menamatkan 2.105 alumni (ibid, iv), maka selang delapan tahun sekarang pastilah total alumni itu telah bertambah.
Baginya, menyitir banyak pendapat para bijak pedagogik bahwa pendidikan haruslah ditebar sebagai matahari kedua, sebagai proses pencerahan, di samping menjadi investasi masa depan yang tak tergantikan. Investasi karena selain membutuhkan waktu yang lama, aspek ini juga membutuhkan biaya yang banyak, tidak sedikit. Artinya, masyarakat kita harus digerakkan dan disadarkan akan hal ini, kendati kondisi perekonomian kita fluktuatif. Jadilah, secara riil beliau tentu tersenyum perangai tat kala dalam sebuah kondisi yang paradoksal, di tengah impitan krisis ekonomi yang tak memiliki ending yang jelas, para orang tua masih tegar membiayai sebuah generasi, sebuah zaman yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa ini. Demikianlah kemauan, kerja keras, pengorbanan, dan “banting tulang” untuk keberlanjutan kepemimpinan bangsa yang menjadi implikasi dan keniscayaan dalam menggapai asa yang diidamkan oleh setiap anak bangsa. Singkat kata, anak-anak kita harus bersekolah. Melalui pencapaian kemajuan di bidang pendidikan di daerah inilah, tak bisa dipungkiri bahwa beliaulah salah satu motivator, inisiator ulung nan ulet dalam ranah pencerdasan anak-anak di daerah ini. Hemat saya keikhlasan hati dan keceriaan budi Alamahrum turut melapangkan sisa hidupnya hingga mengakhiri usianya pada 6 Juli 2014 di RS Panti Rapi Yogyakarta, tiga bulan dua hari persis selepas merayakan hari ulang tahunnya yang ke 77.
Dalam kiat, asa, dan harapan yang demikian, sebagai orang yang peduli pendidikan dan generasi di daerah ini, Almahrum terus berharap agar cita-cita pendidikan sekaligus upaya pemerataannya tak henti-henti diarahkan kepada semangat egalisasi: semua orang sama dan berhak memperoleh pendidikan. Demikianlah, kiat juga asa Almahrum dalam menanamkan sebuah perubahan masyarakat jangka panjang melalui pendidikan. Dan, janji kepada dirinya dan masyarakat itu ada dengan adanya lembaga Universitas Flores.

Sang Magistra yang Pendulum
Dalam konteks membaca dan membuat hidup lebih hidup, secara pribadi saya menganggap kehidupan beliau sebanding dengan apa yang ditulis si Jenius Sastrawan Chairil Anwar yang menganggap hidup adalah perjuangan “binatang jalang” yang menghadapi perjuangan yang tidak ada habisnya sekaligus sedang berusaha untuk memenangkannya, maka di mata saya Bapak Gadi Djou juga sedang berlari dan terus berlari menghayati elan vital, daya hidup untuk seribu tahun lagi. Hidup bagi mereka dihayati sebagai medan pengembaraan untuk pencarian kedalaman makna hidup.
Dapatlah kita pahami bahwa baginya tiap hirupan napas pada tapak hidupnya adalah sungguh berharga, sungguh penting dan bermanfaat. Oleh karena itu, setiap saat, begitu ia bangun tidur, selalu diisi dengan untaian kehidupan dengan apa yang paling berharga yang bisa disumbangkan untuk orang lain. Dalam kehidupan semacam ini beliau berusaha untuk selalu sadar diri dan cerah budi, membiarkan pikirannya terbuka untuk tidak sedikitpun menyerah pada kekalahan perjuangan hidup yang sedang dilawatinya dalam melawan kebodohan, kemalasan, dan kepasipan yang mengendorkan semangat hidup. Dia tidak berpangku tangan, seperti nrimo, menerima saja nasib, malahan terus berikhtiar menggandakan talentanya untuk setiap mereka di sekitarnya, melalui kerja keras dan pengorbanan. Itulah, di usia kepergiannya yang ke-77 ini beliau telah menoreh jejak-jejak kaki yang penuh semangat sebagai warisan berharga bagi mereka yang ditinggalkannya. Ia meninggalkan sikap disiplin yang luar biasa hebat untuk semua mereka yang dicintainya. Beliau menjadikan dirinya sebagai Pendulum semangat dan asa. Akhirnya, dia jualah seorang magistra, guru kehidupan bagi anak cucu dan lingkungan sosialnya. Selamat jalan Bapak Eman, semoga arwahmu diterima di sisi Kanan Bapa di Surga seturut amal dan perbuatan yang Bapak kerjakan selama hidup. RIP (Rest In Peace) Beristirahatlah dalam Damai. (*)



[1] Opini ini dimuat dalam HU Flores Pos, 19 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar