Persentase ketidaklulusan sekolah-sekolah menengah di
hampir semua kabupaten di Nusa Tenggara Timur, nyaris tidak bergeser posisi
dari tahun ke tahun. Tidak dapat kita ingkari juga bahwa pars pro toto
siswa kita memiliki kecerdasan yang membanggakan. Namun, boleh dibilang
pendidikan kita berjalan di tempat. Tidak saja lulusan sekolah menengah.
Lulusan perguruan tinggi kita di propinsi kepulauan inipun dikeluhkan para
pengguna jasa karena minimnya kreativitas dan inovasi riil yang bisa diciptakan
setelah menempuh pendidikan tinggi.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional Muhamad Nuh
menyebutkan bahwa persentase ketidaklulusan yang tinggi disebabkan oleh empat
faktor, yakni: (1) terkait motivasi belajar dengan budaya belajar, (2) terkait
kualitas guru, (3) terkait infrastruktur kelengkapan laboratorium dan
sebagainya, dan (4) terkait dukungan keluarga, budaya yang ada di sekitarnya
(Jawa Pos, 20 Desember 2010).
Uraian ini menyoroti dua faktor yang terkait dengan
motivasi belajar dengan budaya belajarnya, dan dukungan keluarga, budaya yang
ada di sekitarnya. Dua faktor ini menempatkan keluarga, masyarakat, dan
lingkungan budaya anak sebagai kontributor terbesar keberhasilan siswa, sedangkan
dua faktor yang lain lebih merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai
pengambil kebijakan penyelenggaraan pendidikan.
Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik
Motivasi intrinsik,
seperti kemauan anak, kesadaran, kehendak, niat, ikhtiar untuk mencapai
keberhasilan. Anak tahu dan mau memanfaatkan segala sesuatu yang ada di
sekitarnya untuk mencapai keberhasilan. Motivasi ekstrinsik, misalnya, di NTT,
pemerintah telah mencanangkan “Gong Belajar” dalam rangka mempersiapkan
siswa-siswa menghadapi UN. Bimbingan belajar setiap hari menjelang ujian
nasional adalah model belajar yang ditempuh untuk meningkatkan persentase
kelulusan sekolah.
Terkait dukungan keluarga, budaya di sekitarnya beberapa komponen penting
yang terlibat langsung. Ada
orang tua, guru dan masyarakat. Orang tua mendidik karena secara kodrati mereka
harus mendidik. Baik buruknya anak di sekolah sebagian besar merupakan tanggung
jawab orang tua. Keluarga telah terlibat aktif dalam pembentukan nilai, sikap, kebiasaan
dari keterampilan untuk menunjang keberhasilan sekolah. Dengan demikian, asumsi
bahwa tugas orang tua selesai ketika menghantar anaknya ke sekolah adalah suatu
kekeliruan. Sekolah memfasilitasi tumbuhkembang anak melalui penyediaan sarana
dan prasarana pendidikan. Guru bukan menjadi satu-satunya sumber belajar. Di
era berlangsungnya revolusi digital yang luar biasa yang mengubah kebudayaan,
peradaban, dan sendi-sendi kehidupan, termasuk pendidikan menjadikan siswa
mendapatkan pengetahuan di luar kelas. Guru hanyalah salah satu sosok yang mengemban tugas mendidik.
Guru sebagai motivator dan fasilitator dalam bahasa
Kurikulum 2013. Konsekuensinya, guru hanya bertemu dengan anak (siswa) kurang lebih 6–7 jam
dalam sehari. Selebihnya anak akan berada bersama
orang tua dari masyarakat.
Berbagai
pengamatan, ditemukan beberapa problematika penyelenggaraan pendidikan,
termasuk di wilayah kita. Ada kesengajaan untuk membuat diri dan masyarakat
kita tetap berada dalam belitan kemiskinan yang tanpa disadari telah
terstruktur dan terkultural secara sistemik dan sistematis.
Secara sistemik,
lembaga-lembaga pemerintahan kita pekat dengan berbagai ketimpangan. Bukan hanya
dosa bangsa berupa korupsi, kolusi dan nepotisme, tetapi juga perebutan kekuasaan,
dan jabatan. Mulai prioritas kepentingan-kepentingan yang tidak populis hingga pejabat
yang tidak peduli dengan kepentingan publik. Masalah kita gelondongan dana, ibarat gelondongan-gelondongan kayu, uang negara terus
digulirkan ke NTT melalui berbagai program pemerintah. Namun, secara faktual,
keprihatinan terus terjadi, lantaran gelondongan-gelondongan uang tersebut
banyak yang raib di tengah jalan melalui cara korupsi. Lagi-lagi,
seperti menggerojok air ke padang pasir, tidak berbekas. Gambaran ini menunjukkan
bahwa bantuan atau apapun program pemerintah selama ini tidak banyak menyentuh persoalan
hak dasar rakyat miskin dan tak mampu menaikan derajat pendidikan, mengentaskan
kemiskinan, ketertinggalan, dan kelaparan.
Secara kultural
berkecambah kebiasaan-kebiasaan usang dan tidak mencerahkan. Orang NTT yang
dilahirkan dan dibesarkan di NTT tidak bersedia meneruskan pekerjaan orang tuanya,
misalnya menjadi petani. Namun, ketika ia keluar dari NTT atau berpindah ke kabupaten
lain di NTT, ia sukses bekerja sebagai petani. Kita lebih suka pesta. Kehidupan
sumir, hura-hura selama berhari-hari sampai larut malam. Harta benda disumbangkan
kepada penyelenggara pesta dengan pertimbangan akan mendapat balasan serupa saat
ia menyelenggarakan pesta. Sikap gotong royong saat berpesta menyebabkan segala
sesuatu dipestakan.
Reformasi melahirkan keterkejutan budaya. Seperti orang
yang terpenjara, kemudian melihat tembok penjara runtuh. Semua keluar mendapati
pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan, dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas.
Euforia psikologis demikian membuat masyarakat menuntut hak tapi lupa kewajiban,
mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi. Lagi-lagi birokrasi yang
lamban, korup, dan tidak kreatif, merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang
rendah moralnya, pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Mengharap kucuran dana
dari pusat, bahkan menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis. Dinas-dinas teknis
berjalan tanpa koordinasi yang signifikan justru memelihara keangkuhan
egosektoral. Di lingkungan sekolah, menyeruak kasus pungutan liar di akhir
tahun ajaran dan saat pendaftaran siswa baru, menjadi contoh nyata betapa tidak
sinkronnya penerapan berbagai regulasi pendidikan yang ada.
Beberapa jalan
keluar: pertama, siswa hendaknya memiliki kecenderungan untuk berpikir
bebas, terbuka, dan eksploratif, mengembara (roaming) dengan dunia luar
melalui pembelajaran yang interaktif dalam bangunan komunikasi yang inklusif
dan inovatif (Tilaar, 2002:124), kedua secara kolektif kemasyarakatan
membangun unit-unit pendidikan berkelanjutan, tanpa meninggalkan
identitas-identitas lain yang telah memasyarakat. Misalnya, arisan-arisan
pendidikan, koperasi, kumpul keluarga pendidikan, dan ketiga, jauhkan
sikap malas, putus asa, rendah diri, sebaliknya mengembangkan dan memupuk sikap
kerja keras, saling membantu, menabung, kerja sama, demi terciptanya masa depan
generasi yang cerdas, terampil, visioner, bersemangat, unggul, dan kompetitif. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar