Halaman

Selasa, 14 November 2017

Mengapa Pendidikan Kita selalu Tertinggal?




            Persentase ketidaklulusan sekolah-sekolah menengah di hampir semua kabupaten di Nusa Tenggara Timur, nyaris tidak bergeser posisi dari tahun ke tahun. Tidak dapat kita ingkari juga bahwa pars pro toto siswa kita memiliki kecerdasan yang membanggakan. Namun, boleh dibilang pendidikan kita berjalan di tempat. Tidak saja lulusan sekolah menengah. Lulusan perguruan tinggi kita di propinsi kepulauan inipun dikeluhkan para pengguna jasa karena minimnya kreativitas dan inovasi riil yang bisa diciptakan setelah menempuh pendidikan tinggi.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional Muhamad Nuh menyebutkan bahwa persentase ketidaklulusan yang tinggi disebabkan oleh empat faktor, yakni: (1) terkait motivasi belajar dengan budaya belajar, (2) terkait kualitas guru, (3) terkait infrastruktur kelengkapan laboratorium dan sebagainya, dan (4) terkait dukungan keluarga, budaya yang ada di sekitarnya (Jawa Pos, 20 Desember 2010).
Uraian ini menyoroti dua faktor yang terkait dengan motivasi belajar dengan budaya belajarnya, dan dukungan keluarga, budaya yang ada di sekitarnya. Dua faktor ini menempatkan keluarga, masyarakat, dan lingkungan budaya anak sebagai kontributor terbesar keberhasilan siswa, sedangkan dua faktor yang lain lebih merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pengambil kebijakan penyelenggaraan pendidikan.

Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik

Motivasi intrinsik, seperti kemauan anak, kesadaran, kehendak, niat, ikhtiar untuk mencapai keberhasilan. Anak tahu dan mau memanfaatkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya untuk mencapai keberhasilan. Motivasi ekstrinsik, misalnya, di NTT, pemerintah telah mencanangkan “Gong Belajar” dalam rangka mempersiapkan siswa-siswa menghadapi UN. Bimbingan belajar setiap hari menjelang ujian nasional adalah model belajar yang ditempuh untuk meningkatkan persentase kelulusan sekolah.
Terkait dukungan keluarga, budaya di sekitarnya beberapa komponen penting yang terlibat langsung. Ada orang tua, guru dan masyarakat. Orang tua mendidik karena secara kodrati mereka harus mendidik. Baik buruknya anak di sekolah sebagian besar merupakan tanggung jawab orang tua. Keluarga telah terlibat aktif dalam pembentukan nilai, sikap, kebiasaan dari keterampilan untuk menunjang keberhasilan sekolah. Dengan demikian, asumsi bahwa tugas orang tua selesai ketika menghantar anaknya ke sekolah adalah suatu kekeliruan. Sekolah memfasilitasi tumbuhkembang anak melalui penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Guru bukan menjadi satu-satunya sumber belajar. Di era berlangsungnya revolusi digital yang luar biasa yang mengubah kebudayaan, peradaban, dan sendi-sendi kehidupan, termasuk pendidikan menjadikan siswa mendapatkan pengetahuan di luar kelas. Guru hanyalah salah satu sosok yang mengemban tugas mendidik. Guru sebagai motivator dan fasilitator dalam bahasa Kurikulum 2013. Konsekuensinya, guru hanya bertemu dengan anak (siswa) kurang lebih 67 jam dalam sehari. Selebihnya anak akan berada bersama orang tua dari masyarakat.
Berbagai pengamatan, ditemukan beberapa problematika penyelenggaraan pendidikan, termasuk di wilayah kita. Ada kesengajaan untuk membuat diri dan masyarakat kita tetap berada dalam belitan kemiskinan yang tanpa disadari telah terstruktur dan terkultural secara sistemik dan sistematis.
Secara sistemik, lembaga-lembaga pemerintahan kita pekat dengan berbagai ketimpangan. Bukan hanya dosa bangsa berupa korupsi, kolusi dan nepotisme, tetapi juga perebutan kekuasaan, dan jabatan. Mulai prioritas kepentingan-kepentingan yang tidak populis hingga pejabat yang tidak peduli dengan kepentingan publik. Masalah kita gelondongan dana, ibarat gelondongan-gelondongan kayu, uang negara terus digulirkan ke NTT melalui berbagai program pemerintah. Namun, secara faktual, keprihatinan terus terjadi, lantaran gelondongan-gelondongan uang tersebut banyak yang raib di tengah jalan melalui cara korupsi. Lagi-lagi, seperti menggerojok air ke padang pasir, tidak berbekas. Gambaran ini menunjukkan bahwa bantuan atau apapun program pemerintah selama ini tidak banyak menyentuh persoalan hak dasar rakyat miskin dan tak mampu menaikan derajat pendidikan, mengentaskan kemiskinan, ketertinggalan, dan kelaparan.
Secara kultural berkecambah kebiasaan-kebiasaan usang dan tidak mencerahkan. Orang NTT yang dilahirkan dan dibesarkan di NTT tidak bersedia meneruskan pekerjaan orang tuanya, misalnya menjadi petani. Namun, ketika ia keluar dari NTT atau berpindah ke kabupaten lain di NTT, ia sukses bekerja sebagai petani. Kita lebih suka pesta. Kehidupan sumir, hura-hura selama berhari-hari sampai larut malam. Harta benda disumbangkan kepada penyelenggara pesta dengan pertimbangan akan mendapat balasan serupa saat ia menyelenggarakan pesta. Sikap gotong royong saat berpesta menyebabkan segala sesuatu dipestakan.
Reformasi melahirkan keterkejutan budaya. Seperti orang yang terpenjara, kemudian melihat tembok penjara runtuh. Semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan, dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Euforia psikologis demikian membuat masyarakat menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi. Lagi-lagi birokrasi yang lamban, korup, dan tidak kreatif, merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya, pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Mengharap kucuran dana dari pusat, bahkan menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis. Dinas-dinas teknis berjalan tanpa koordinasi yang signifikan justru memelihara keangkuhan egosektoral. Di lingkungan sekolah, menyeruak kasus pungutan liar di akhir tahun ajaran dan saat pendaftaran siswa baru, menjadi contoh nyata betapa tidak sinkronnya penerapan berbagai regulasi pendidikan yang ada.
Beberapa jalan keluar: pertama, siswa hendaknya memiliki kecenderungan untuk berpikir bebas, terbuka, dan eksploratif, mengembara (roaming) dengan dunia luar melalui pembelajaran yang interaktif dalam bangunan komunikasi yang inklusif dan inovatif (Tilaar, 2002:124), kedua secara kolektif kemasyarakatan membangun unit-unit pendidikan berkelanjutan, tanpa meninggalkan identitas-identitas lain yang telah memasyarakat. Misalnya, arisan-arisan pendidikan, koperasi, kumpul keluarga pendidikan, dan ketiga, jauhkan sikap malas, putus asa, rendah diri, sebaliknya mengembangkan dan memupuk sikap kerja keras, saling membantu, menabung, kerja sama, demi terciptanya masa depan generasi yang cerdas, terampil, visioner, bersemangat, unggul, dan kompetitif. (*)



[1] Artikel ini dimuat dalam HU Flores Pos, 8 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar